oleh Alpiadi Prawiraningrat
Dari tahun ke tahun tingkat kejahatan dengan kekerasan secara
kuantitatif semakin cenderung meningkat dengan modus operasional yang beragam
dengan dampak yang serius terhadap korban kejahatan. Keprihatinan terhadap korban semakin mengemuka
karena banyaknya kasus pemerkosaan yang tidak terselesaikan secara tuntas,
sedangkan dampak terhadap korban pada saat kejafian hingga pascaviktimisasi
cukup mengenaskan dan membawa dampak traumatik yang berkepanjangan. Yang bila ditelusuri lebih lanjut korban dari
kejahatan tersebut adalah perempuan dengan tindakan kekerasan seperti kekerasan
seksual, tindak perkosaan dan pelecehan seksual.
Sebagai contoh dari kasus ini adalah pemerkosaan yang terjadi
di sarana transportasi umum di ibukota Jakarta yang dari tahun ke tahun
mengalami peningkatan, data humas metro jaya menunjukan pada tahun 2011 telah
terjadi kenaikan kasus sebanyak 13,33% dari kasus yang terjadi tahun 2010.
Mengutip data dari Polda Metro Jaya,
dalam harian kompas.com. (19/11/2011) Menyebutkan, “selama tahun 2011 terjadi
68 kasus perkosaan. Tahun 2010, ada 60 kasus perkosaan. Terjadi peningkatan
13,33 persen. Ini sangat mengkhawatirkan,.Tiga
di antaranya terjadi di jalan umum, termasuk dalam angkot.[1]
Kekerasan tersebut dipahami sebagai kekerasan yang berbasis
gender atau gender based violence.
Konsep ini sejatinya mengacu pada posisi subordinasi perempuan karena
relasi keduanya mencermikan powerless dan powerful, dengan kata lain terdapat
ketimpangan natra
Berbagai hasil studi menunjukan bahwa tindakan pemerkosaan di
sarana transportasi umum terkait dengan rasa aman dan fear of crime. Dibuktikan
dengan banyaknya perempuan yang merasa tidak aman dan dihantui rasa takut
berada di luar rumah pada malam hari karena mereka merasa terancam terhadap
berbagai kekerasan fisik dan seksual dan seakan menajadikan terror bagi
perempuan dan perlu di tindak tegas.
Sebagaiamna yang dikemukakan oleh Wakil Ketua Dewan
Perwakilan Rakyat Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Priyo Budi Santoso,
Minggu (22/1/2012) mengatakan “Perlakuan
biadab ini sudah menjadi teror bagi perempuan. Ini sudah di luar batas toleransi
kita sebagai masyarakat beradab. Hukum harus tegak, tangkap pelakunya!"
kata Priyo melalui pesan singkat kepada Kompas.com
Di sisi lain, kejahatan seks dimulai dari proses perilaku
seks, dan pelecehan seks bermuara pada kejahtan seks. Oleh karena itu, perilaku manusia sangat
dipengaruhi oleh lingkungan hidupnya.
Begitupun dengan permasalahan pemerkosaan di sarana transportasi
umum. Perlu analisis tentang pengaruh
nilai sosial budaya. Terutama berkaitan dengan ideologi gender. Hubungan perempuan dan laki-laki di Indonesia
masih di dominasi oleh ideologi gender yang membuaahkan budaya patriarki. Budaya ini tidak mengakomodasi kesetaraan,
keseimbangan, sehingga perempuan menjadi tidak penting untuk diperhitungkan.[2]
Ketika perbedaan seks dan gender tidak dilihat secara
kritis, maka muncullah masalah gender yang berwujud ketidakadilan gender. Pemerkosaan di sarana transportasi umum
dengan korban mayoritas perempuan menunjukan masih adanya stereotype terhadap
perempuan yang di identikan sebagai kaum yang lemah dan mudah untuk dilecehkan,
dengan pandangan bahwa derajat perempuan lebih rendah dari laki-laki. Sehingga, menjadi salah satu alasan
laki-laki berani melakukan tindakan ketidakadilan atau diskriminasi gender
dalam lingkungan masyarakat. Salah satu bentuk
dari ketidakadilan tersebut adalah tindakan
Kekerasan/Violence.
Lee
Ellis (1989), dalam karyanya Theories of
Rape khususnya pada bagian The
Feminist theory of Rafe mengemukakan tentang posisi perempuan relevansinya
dengan tindakan pemerkosaan. Secara mendasar pemerkosaan berakar pada tradisis
sosial bahwa laki-laki telah mendominasi semua aktivitas penting secara politik
maupun ekonomi. Perempauan dikeluarkan
dari posisis kekuasaan ekonomi dan politik dan perempuan di pandang sebagai
partisipan yang tdiak setra dalam hubungan/interaksi interpersonal (unequal participants in interpersonal
interactions). Kasus perkosaan di
atas menunjukan bahwa fungsi langsung dari kekuasan ekonomi dan politik peran perempuan yang relatif
kurang dibandingkan laki-laki dan merupakan hasil keputusan dan respons
hubungan ketidaksetaraan secara sosial.
Hal tersebut memepengaruhi laki-laki dalam bertindak/ berinterkasi
secara seksual untuk mengekspresikan cara pendomisilan seta mekanisme kontrol
pada diri perempaun. Motif tindak
perkosaan utamanya bukan kepuasaan seksual, tetapi pembuktian akan supermasi,
dominasi dan kontrol terhadap perempuan.
Dengan
memperhatikan permasalahan dan tantangan yang dihadapi, berkaitan dengan
permasalahan pemerkosaan di sarana transportasi umum. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya
untuk meminimalisir dampak tersebut, dengan melakukan razia terhadap supir
angkot tembak (supir angkot sewaan), serta razia terhadap mobil angkutan yang
tidak memenuhi atau melanggar standar peraturan. Salah satunya kaca film yang melebihi batas
yang ditetapkan.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Kabid Humas Polda Metro
Jaya, Komisaris Besar Baharudin Djafar, meminta pemilik angkutan umum untuk
tidak memakai kaca film gelap. Ia melanjutkan, sebenarnya aturan terkait
kaca film ini sudah tertuang di dalam Surat Keputusan Menteri Perhubungan RI
yang menyebutkan kaca film kendaraan bermotor baik pribadi maupun angkutan umum
maksimal 60 persen. Namun, meski banyak
menemukan pelanggaran, polisi tidak bisa menindaknya. "Itu kewenangan Dinas Perhubungan. Kami hanya
bisa mengimbau agar pengelola angkutan umum untuk tidak memakai kaca film gelap,"
katanya.
Sementara itu, Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Udar
Pristono, membenarkan kaca film kendaraan bermotor maksimal memiliki keterangan
cahaya sampai 60 persen, tidak boleh lebih. "Tetapi, sampai sekarang kami belum pernah melihat ada kendaraan umum
yang pakai kaca gelap," kata Pristono. Ia mengatakan kendaraan umum
yang paling banyak melakukan pelanggaran adalah Kopaja, Metro Mini, dan
Mikrolet. Pelanggaran yang biasa dilakukan terkait dengan kelaikan jalan.
"Misalnya ban botak, kaca pecah. Kalau sampai kaca film sepertinya tidak
ada karena kebanyakan dari mereka masalahnya tidak ada perawatan, untuk merawat
saja susah apalagi beli kaca film," kata Pristono.
Namun, pernyataan Pritono tesebut
terbantahkan denag hasil razia yang dilakukan oleh Bidang Pengendalian
Operasional Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Senin (19/9/2011), melakukan razia
kaca film gelap pada angkutan umum (angkot) di Terminal Kampung Rambutan,
Jakarta Timur. Razia tersebut dilakukan untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak
diinginkan. Sebelumnya, razia kaca film
pada angkot dilakukan di Terminal Lebak Bulus dan Terminal Pulo Gadung.
"Hari ini kami lalukan pencopotan saja. Jika memang masih bandel, maka
akan ditilang dan disita surat izinnya," kata Kabid Pengendalian
Operasional Dinas Perhubungan DKI, Arifin Hamonangan di Terminal Kampung
Rambutan, Jakarta, Senin (19/9/2011).
Dari 50 angkutan umum yang
diperiksa, ada enam angkutan umum yang kedapatan menggunakan kaca film. Di
antaranya Angkutan Umum 03 jurusan Kampung Rambutan-Cililitan dan Angkutan Umum
121 jurusan Kampung Rambutan-Cileungsi.
Di samping itu, pendataan terhadap
kepemilikan sarana transportasi umum tersebut harus jelas dengan melakukan
razia terutama pada sopir tembak yang tidak memiliki kelengkapan berkendaraan
seperti Surat Izin Mengemudi (SIM) dan Surat Tanda Naik Kendaran (STNK).
Sebagaimana diungkapkan oleh Direktur Lalu
Lintas Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Royke Lumowa, mengungkapkan, pihaknya
menyadari kerawanan kriminalitas yang terjadi di angkutan umum belakangan
meningkat. Karena itu, razia sopir tembak pun akan dilakukan kepolisian.
“Razia
nantinya akan lebih difokuskan pada domain pihak kepolisian, yakni kelengkapan
dokumen seperti Surat Izin Mengemudi (SIM). "Kalau tidak punya SIM,
pasti akan kami tilang," kata Royke.
Dia mengatakan, untuk membedakan sopir
tembak atau bukan tidak terlalu sulit. Pasalnya, hampir sebagian besar sopir
tembak tidak memiliki SIM sesuai ketentuan. "Rata-rata SIM sopir tembak itu biasanya polos. Polsek-polsek juga
harusnya mendata. Di line ini sopirnya siapa," ucap
Royke. Menambahkan, untuk mencegah
adanya sopir tembak, di tiap angkutan umum harusnya ada tanda pengenal
pengemudi dan kondektur resmi dari pihak operator. "Mereka juga harus
memakai tanda pengenal dan seragam," ujar Royke.
Apabila ditemukan ada yang menyalahi, Royke mengatakan pihak
operator bisa mendapatkan teguran. Namun, razia kelayakan sopir ini merupakan
kewenangan Dinas Perhubungan DKI.
"Ini sebenarnya
kewenangan mereka. Tapi kalau mereka tidak mampu, kami siap membantu. Kalau
situasinya sudah rawan begini, tidak usah saling lempar wewenang,"
kata Royke.
Meskipun dalam hal peraziaan ini
terkesaan adanya lempar wewenang di anatara pihak kepolisian dengan dinas
Perhubungan DKI Jakarta. Namun dari
pihak kepolisan bersedia membantu jika diperlukan. Guna mewujudkan rasa aman terhadap
masyarakat.
Selain itu, pemerintah juga
mengupayakan melalui kebijakan peraturan perundang-undangan dalam menangani
masalah terkait, diantaranya: (1) sosialisasi UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Perempuan terutama bagi aparat penegak hukum di tingkat provinsi
dan kabupaten/kota; (2) sosialisasi Peraturan perundang-undangan UU No 13 tahun
2006 tentang perlindungan saksi dan korban, dan (3) UU No 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang telah mengatur jaminan
perlindungan terhadap para perempuan korban pemerkosaan. Peraturan perundang-undangan tersebut
berkaitan dengan hak-hak yang dimiliki oleh korban pemerkosaan salah satunya
adalah pemohonan perlindungan.
Disayangkan, kurangnya sosialisasi dari
pemerintah mengenai peraturan undang-undang tersebut kepada masyarakat. Menyebbakan para korban tindak pelecehan
seksual tidak mengetahui dan memahami hak-hak dan kewajibanya sebagai korban. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Ketua
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris Semendawai menyatakan,
masih minimnya jumlah permohonan perlindungan yang diajukan korban pemerkosaan
membuktikan bahwa korban belum mengetahui tentang hak-haknya sesuai ketentuan
perundang-undangan.
Menurut Ketua LPSK di Jakarta, Kamis
(22/9),[3]sepanjang
tahun 2010-2011, dari sekitar kurang lebih 64 kasus pemerkosaan dan tindak
pelecehan seksual, hanya ada 10 korban pemerkosaan dan pencabulan yang
mengajukan permohonan perlindungan ke LPSK.
LPSK memandang bahwa minimnya jumlah permohonan perlindungan yang
diajukan korban pemerkosaan ini membuktikan bahwa korban belum banyak
mengetahui tentang hak-haknya sesuai ketentuan Undang-Undang. Peraturan
perundang-undangan tersebut adalah UU No 13 tahun 2006 tentang perlindungan
saksi dan korban, UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga, UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan UU No 21 Tahun 2007
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang telah mengatur
jaminan perlindungan terhadap para perempuan korban pemerkosaan.
Sesuai dengan amanat UU No 13 tahun
2006 tentang perlindungan saksi dan korban, menurut anggota LPSK
Penanggungjawab Bidang Bantuan, Kompensasi dan Restitusi, Lili Pintauli
Siregar, LPSK memiliki kewajiban dalam memberikan perlindungan dan bantuan
terhadap korban pemerkosaaan, mulai dari perlindungan hukum, fisik dan
perlindungan psikis.
"Selain pemberian perlindungan perlindungan hukum, fisik dan
perlindungan psikis, korban juga berhak mengajukan upaya restitusi, agar pelaku
dibebankan untuk memberi ganti kerugian terhadap korban dan keluarga korban,"
ujar Lili.
Dari persoalan di atas diperlukan
dukungan aparat penegak hukum serta pemerintah daerah setempat untuk
menginformasikan secara massif terhadap korban pemerkosaan mengenai hak-haknya
serta melakukan upaya pencegahan agar tidak terjadi tindakan pemerkosaan dan
pencabulan yang akan mengancam posisi perempuan dan anak yang rentan menjadi
korban.
Selain itu pula, penguatan-penguatan
advokasi dan perlindunagn hak-hak perempaun menjadi kebutuhan fundamental bagi
korban kekerasan seksual. Pembaruan
emnasipatif dalam proses peradilan pidana menjadi sesuatu yang esensial.[4] Carol Smart dan feminis lainnya yang menelaah
hukum baerdasarkan perpektif gender menemukan adanya kebutuhan yang aspiratif
terhadap kepentingan perempuan korab kekerasan atai pelecehan seksual. Carol smart menjelaskan bahwa yang perlu
direformasi adalah ahak-hak bari perempuan korban pemerkosaan. Dengan
menghadirkan dokter perempuan, aparat kepolisian perempuan, dan menciptakan
suatu legal advocate untuk memebantu
melindungi kepentingan korban selama proses peradilan.
Berbagai kebijakan dan peraturan yang
telah dijelaskan di atas, tidak lain adalah upaya dalam mewujudkan kesetaraan
gender di Indonesia. Sehingga tidak
menimbulkan permasalahan di masyarakat.
Sebaik apapun produk hukum, akan sulit di implementasikan tanpa disertai
adanya kesadaran bahwa tindakan kekerasan terhadap perempuan merupakan persoalan
kita semua bukan persoalan mereka (perempuan) semata. Penyelesaian kasus kekerasan melalui jalur
hukum merupakan suatu keharusan. Usulan
dari berbagai pihak guna menetapkan hukman minimal serta hukuman yang berat
terhadap pelaku dipercaya dapat menangkal individu melakukan berbagai tindak
kekerasan seksual terhadap perempuan.[5] Akan tetapi itu saja belum cukup mereformasi
keseluruhan sistem hukum dan kinerja jajarannya yang mengakomodasi kebutuhan
dan pengalaman perempuan, merupakan bagian yang paling fundamental.
Proteksi hukum terhadap korban dan saksi
perlu segera direalisasikan mengingat seringnya korban mendapat terror,
intimidasi, ancaman sebagai instrumen menghentikan pengaduan dan tuntutan. Selain anksi pidana, restitusi sebagai ganti
rugi yang harus diberikan pelaku terhadap korban perlu diatur secara memadai.[6] Karena
pasca viktimisasi berbagai penderitaan menimpa korban,. Selain itu, korban memerlukan biaya penyembuhan,. Pendampingan baik oleh seorang ahli hukum,
medis, psikolog selama korban menjadi saksi atau berurusan dengan tata
peradilan pidana menjadi sangat strategis menjamin kenyamnan dan dukungan moril
selama menjalani proses sebagi saksi.
Hal ini dilakukan sebagai upaya dalam menjamin hak-hak perempuan sebagai
warga negara. Sehingga hak tersebut dapat
terjamin dan meminimalisir frekuensi tindakan kekerasan atau pelecehan seskusal
terhadap perempuan. Sebagai upaya dalam
mewujudkan kesetaraan gender di Indonesia dan mencapai Integrasi Nasional.
[1] (http://megapolitan.kompas.com/read/2012/01/27/22391148/Kasus.Perkosaan.di.Angkot.Memprihatinkan)
[3]
Dikutip dari
http://www.suarapembaruan.com/home/lpsk-banyak-korban-perkosaan-tak-tahu-hak-haknya/11553
[4] Murniati,
Agustino P. 2004. Getar
Gender: Perempuan Indonesia dalam Pespektif Sosial, Politik, Ekonomi, Hukum dan
HAM. Magelang: Indonesiatera.
[6] Ibid,.