oleh Alpiadi Prawiraningrat
1.
1 Peran Sentral “Nation State” sebagai Perwujudan Nasionalisme.
Nasionalisme dapat menjadi faktor penting dalam membangun dan memperkuat
rasa kebangsaan (kesadaran) nasional. bAkan
tetapi, perlu kehati-hatian karena nasionalisme yang dipahami dan diterapkan
secara berlebihan justru dapat membahayakan bangsa itu sendiri. Hal ini juga
dikarenakan nasionalisme juga memberikan justifikasi intelektual untuk dendam
terhadap bangsa lain. Proses nasionalisme semacam ini dapat mendorong pada upaya untuk
mendirikan Maha Negara (empire)
dengan cara memuja dan membanggakan bangsa sendiri sampai ke tingkat merasa ras
yang paling unggul yang dikodratkan untuk mengatur dan memerintah bangsa-bangsa
lain.[1]
Negara bangsa/nation
state adalah suatu gagasan tentang negara yang didirikan untuk
seluruh bangsa atau untuk seluruh umat, berdasarkan kesepakatan bersama yang
menghasilkan hubungan kontraktual dan transaksional terbuka antara pihak-pihak
yang mengadakan kesepakatan itu.[2] Nation state merupakan hasil sejarah alamiah yang semi kontraktual
karena ia muncul secara artifisal dan didesak oleh suatu kebutuhan kontrak
sosial, dengan di
dalamnya terdapat sebuah ikatan timbal
balik yang berbentuk hak dan kewajiban antar negara bangsa dengan warganya di mana nasionalisme merupakan landasan bangunannya yang paling kuat.[3]
Sebuah negara bangsa adalah suatu
jiwa, sebuah prinsip kerohanian, dengan landasan nasionalisme yang merupakan
suatu paham yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi harus diserahkan kepada
negara kebangsaan yang did
alamnya terdapat unsur etnisitas, bahasa
dan agama sebagai identitas bersama (common
identity). Karena
ia muncul secara artifisal dan didesak oleh suatu kebutuhan kontrak sosial,
dengan di dalamnya
terdapat sebuah ikatan timbal balik yang berbentuk hak dan kewajiban antar
negara bangsa dengan warganya.
Nasionalisme dapat dikatakakan sebagai sebuah situasi
kejiwaan di mana kesetiaan
seseorang secara total diabdikan langsung kepada negara bangsa atas nama sebuah
bangsa. Dalam situasi perjuangan kemerdekaan, dibutuhkan suatu konsep sebagai
dasar pembenaran rasional dari tuntunan terhadap penentuan nasib sendiri yang
dapat mengikat ke-ikutsertaan semua orang atas nama sebuah bangsa. Dasar
pembenaran tersebut, selanjutnya mengkristal dalam konsep paham ideologi
kebangsaan yang biasa disebut dengan nasionalisme. Dari sinilah kemudian lahir
konsep-konsep turunannya seperti bangsa (nation), negara (state)
dan gabungan keduanya menjadi konsep negara bangsa (nation state)
sebagai komponen-komponen yang membentuk identitas nasional atau kebangsaan.[4]
Setiap orang dalam negaranya masing-masing memiliki
nasionalitas yang sama, dan demikian juga bahasa yang sama dan dapat berperan serta dalam perdebatan yang
bermakna mengenai kebudayaan, akan tetapi kebanyakan negara adalah
multi-kebangsaan yang terdiri dari dua atau lebih komunitas bahasa. Dengan
demikian bangsa (nation) merupakan suatu badan atau wadah yang di dalamnya terhimpun orang-orang yang memiliki persamaan
keyakinan yang mereka miliki seperti ras, etnis, agama, bahasa dan budaya. Gabungan dari dua ide tentang bangsa (nation) dan negara (state)
tersebut terwujud dalam sebuah konsep tentang negara bangsa atau lebih dikenal
dengan Nation-State dengan pengertian
yang lebih luas dari sekedar sebuah negara dalam pengertian state.
Dengan demikian, negara bangsa mutlak memerlukan good
governance, pengelolaan yang baik, yang bertumpu kepada kemutlakan adanya
transparansi, partisipasi terbuka, dan pertanggungjawaban di dalam semua
kegiatan kenegaraan di setiap jenjang pengelolaan negara sehingga terbentuk
pemerintahan yang bersih. Sebuah bangsa sepatutnya memiliki bangunan politik (political
building), seperti ketentuan-ketentuan perbatasan teritorial, pemerintahan
yang sah, pengakuan luar negeri dan merupakan akibat langsung dari gerakan
nasionalisme yang sekaligus telah melahirkan perbedaan pengertian tentang
kewarganegaraan dari masa sebelum kemerdekaan.[5]
Konsep Negara Bangsa (Nation State) adalah konsep tentang negara modern
yang terkait erat dengan paham kebangsaan atau nasionalisme. Seperti telah didefinisikan di atas, suatu negara dikatakan telah memenuhi syarat sebagai sebuah negara
modern, setidak-nya memenuhi syarat-syarat pokok selain faktor kewilayahan dan
penduduk yang merupakan modal sebuah bangsa (nation) sebelum menjadi
sebuah negara bangsa maka syarat-syarat yang lain adalah adanya batas-batas
teritorial wilayah, pemerintahan yang sah, dan adanya pengakuan dari negara
lain.[6]
II.
2 Failed States: Terjadinya Empire dan Strong States dan Weak States
Dibutuhkan negara yang kuat (strong states) yang dapat mengontrol teritorial dan penduduk mereka. Pembentukan
negara kuat (strong state) bertujuan
untuk memudahkan mobilisasi sumber daya guna mewujudkan tidak hanya tujuan
negara tapi juga tujuan kekuasaan elite yang memerintah. Negara kuat
bisa dilihat daripada otonomi politik yang diperolehi oleh rakyatnya. Semakin
tidak otonom rakyat dalam menentukan pilihan-pilihan politik, adalah bukti
semakin kuat negara tersebut. Dampak
semakin kuatnya kekuasaan negara ialah ancaman terhadap pelaksanaan
demokrasi. Ryaas Rasyid (1994: 16) menyebutkan “State formation aims at increasing the strenght
and autonomy of the state. Strenght state is also measured by the
level of authonomy it has inforcing its society.” Menurut Stewart Patrick, dalam “Weak States and Global Threats: Fact or Fiction?” State strength is relative and can be measured by the state’s ability and the
willigness to provide the fundamental political goods associated with statehood
: physical security, legitimate political institutions, economic management,
and social welfare.[7]
Di
Indonesia misalnya, kecenderungan pembentukan negara kuat ini menjadi agenda
politik yang dirancang oleh elite yang berkuasa dari suatu kelompok atau partai
politik yang ada. Tujuannya adalah agar negara, tentunya melalui pemerintah,
memiliki kemampuan untuk bertindak berdasarkan kehendak pemerintah untuk mencapai
kewujudan agenda politik, ekonomi dan sosial. Melalui
kemampuan elite politik yang menguasai negara, maka lembaga-lembaga negara
berkenaan mengarahkan rakyat guna berbuat sesuai dengan keinginan the
rulling class. Trauma pada politik masa lalu yang memunculkan instabilitas
politik, elite yang berkuasa berupaya mengendalikan politik rakyat dengan cara
membentuk negara kuat termasuk dalam berotonomi. Konsep negara kuat disini
adalah sebagai negara yang berkuasa/berperan untuk mengatur segala perbedaan yang
ada. Negara menggunakan sistem pemerintahannya yang kuat, mengatur seluruh
pluralitas kemasyarakatan yang ada.
Sedangkan Negara lemah (weak states) sebagai negara yang umumnya memiliki perbedaan etnis,
religi, bahasa yang menjadi hambatan untuk menjadi negara kuat. Konflik
biasanya terjadi secara terbuka, dan korupsi menjadi hal umum. Hukum tidak
ditegakkan dan privatisasi institusi kesehatan dan pendidikan menjadi bukti
nyata kegagalan negara tersebut. Contoh aktual Negara lemah sejak beberapa
tahun lalu yang sedang menuju negara gagal adalah Irak, Belarus, Korea Utara,
dan Libya.[8]
Dalam hal
state building akan dijelaskan
indikator tentang failed states, strong states dan weak states. Hal ini dapat
digunakan untuk menganalisis transisi-transisi rejim. Menurut Barry Buzan, kriteria sebuah waek state adalah sebagai berikut[9]
1.
Level
kekerasan politik tinggi.
2.
Peran
polisi politik yang mencolok dalam kehidupan sehari-hari rakyat.
3.
Konflik
politik yang serius atas ideology apa yang digunakan untuk mengorganisisr
negara.
4.
Kurangnya
peranan identitas nasional atau adanya perlawanan dalam hal identitas nasional
dalam negara.
5.
Kurangnya
keberadaan hierarki otoritas politik yang jelas terpantau.
6.
Kontrol
negara atau media yang tinggi.
Sementara failed states didefiniskan sebagai gambaran bagi weak state di mana pemerintah pusat
(yang sah) memiliki sedikit sekali kontrol atas wilayahnya. Selain itu, negara di mana terdapat dominasi
milisi, dan terorisme juga dianggap sebagai failed
state.[10]
Karakteristik
weak state yang disebutkan oleh Barry
Buzan di atas didukung oleh K.J Holsti mengenai karakteristik sebuah strong state, yaitu bahwa kekuatan
negara tidak diukur dari kapabilitas atau
power militernya, melainkan dari kapasitasnya untuk mendapat dukungan dari
loyalitas warga negaranya (mendapatkan hak untuk berkuasa) untuk mendapatkan
sumber daya yang diperlukan untuk menipu dan menyediakan pelayanan bagi rakyat
untuk mempertahankan kedaulatan, monopoli atas penggunaan kekuatan bersenjata
dalam batasan wilayah tertentu dan beroperasi dalam konteks masyarakat politik
yang berdasar atas konsensus.[11]
Karakteristik sebuah strong state sendiri dapat di nilai dari:
1.
Gagasan negara, mewakili sejarah , tradisi, budaya,
kebangsaan, dan ideologi. Dalam hal ini
apabila negara tersebut memiliki konsensus dan kesetiaan yang sama dan solid
terhadap gagasan negara mereka. Dampak
dari tidak adanya konsensus dalam gagasan negara adalah bahwa institusi –
institusi politik dan basisi kontrol
terhadap wilayah negara akan mnejadi lemah.[12]
2.
Dasar fisik negara, negara dikategorikan sebagai strong
state apabila negara tersebut memiliki batasan yang jelas serta kedaulatan
penuh atas wilayah, populasi, sumber daya, dan kemakmuran.[13]
3.
Ekspresi institusionalisasi negara, dalam hal ini, strong states dicirikan oleh keberadaan
pemerintah dan rejim, penegakan hukum, keberlakuan norma-norma dan
pejabat-pejabat negara yang berfungsi secara optimal dalam menggerakan roda
negara. Ketiga elemen di atas slaing
berkaitan dan sangat penting untuk menjamin kekuatan negara.[14]
Oleh karena itu dalam proses transisi rejim, state building harus
dilakukan untuk mendukung elemen lainnya, yaitu demokrasi dan peacebuilding.[15]
II. 3 Beberapa
Contoh Kasus Peran Sentral “Nation State” sebagai Perwujudan Nasionalisme
Indonesia sendiri merupakan salah satu negara multietnis yang paling
problematis sejak pertama kali didirikan. Ide bahwa Indonesia merupakan sebuah
teritori yang kita ketahui hari ini tidak ada pada masa pra-kolonial, sampai
akhirnya Belanda mematok Sabang sampai Merauke sebagai wilayah koloninya
sebagai sebuah unit tunggal. Sayangnya, meskipun secara administratif
'lndonesia' ditangani dengan baik, kesetiaan dan relasi etnis sama sekali tidak
diperhatikan bahkan dipecahbelah demi kepentingan dagang. Jika hari ini kita
masih dapat merasakan beberapa konflik sosial dan etnis, maka penyebabnya dapat
ditarik sejauh masa kekuasaan kolonial Belanda.
Seperti pada kasus Turki, bahasa Indonesia juga menjadi salah satu
instrumen utama untuk menyatukan bangsa yang dibayangkan para pendiri negara
ini.[17]
Usaha jangka panjang menuju penciptaan 'bangsa Indonesia' dimulai dari
perlawanan terhadap kolonialisme Belanda dan dari itu terciptalah berbagai
cita-cita mulia Indonesia sebagai sebuah satuan masyarakat. Sayangnya, nasionalisme
etnis Jawa pada awal perkembangan negara yang dijustifikasi oleh jumlahnya yang
memang mayoritas menjadi salah satu kelemahan usaha penyatuan Bhineka Tunggal
Ika ini. Politik Indonesia yang selama ini dikontrol orang Jawa (pada masa Orde
Baru) tidak mentoleransi perbedaan mendasar, non-konformitas, serta alternatif
regional. Ketidakinginan Jakarta pada masa itu untuk mengabulkan hak politik
dan ekonomi minoritas etnis memperbesar tensi dan kekerasan antar-etnis yang
sudah mulai berlangsung bahkan sejak tahun 1945. Hasilnya, kebanyakan warga
Indonesia masih sering mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari etnis
tersebut daripada dirinya sebagai 'bangsa Indonesia'.
M. A. O. Alulo memiliki pendekatan lain dalam membedakan nasionalisme
etnis dan nasionalisme sipil. Menurutnya, nasionalisme etnis merupakan sebuah
fenomena sosial yang kompleks. Di satu sisi, ia dapat diartikan sebagai
seperangkat kepercayaan mengenai superioritas dan perbedaan antara sebuah
kelompok etnis serta melahirkan keinginan membela kepentingannya di atas
hal-hal lainnya. Pada saat yang bersamaan, istilah tersebut juga mengacu kepada
identifikasi individu terhadap kelompok etnis tertentu, kebudayaan,
kepentingan, serta tujuannya. Etnosentrisme lah yang memutuskan kesetiaan dari
hal-hal lain kecuali satu kelompok etnis.
Penjelasan terhadap ini diberikan oleh Hofstede (1994) yang mengatakan
bahwa setiap manusia memiliki tendensi kuat untuk memperjuangkan etnis atau
bahasanya sendiri sampai mendapatkan kemerdekaan atau setidaknya pengakuan
terhadap identitas mereka. Alih-alih penurunan, keecenderungan ini telah
menunjukkan peningkatan sejak abad ke-20 dimulai.
Stavenhagen (1994) kemudian berargumen bahwa nasionalisme etnis menjadi
sesuatu yang umum dalam masyarakat plural dan dapat dijelaskan dalam dua school
ofthoughts yang berbeda: primordialis dan instrumentalis. Kelompok pertama
melihat adanya 'primordial bond' yang menentukan identitas personal mereka dan
secara alamiah membentuk kelompok yang lebih matang dari bangsa atau sistem
kelas modern. Para instrumentalis, sementara itu, melihat identitas etnis
sebagai sebuah langkah bagi masyarakat khususnya para pemimpin untuk mengejar
tujuannya sendiri, seperti mobilisasi dan manipulasi kelompok untuk tujuan politis.
Dalam opini Lijiphart (1984), seluruh
bangsa multietnis "...profoundly
divided along religious, ideological, linguistic, cultural, ethnic or racial
lies." Apa yang disebutnya sebagai 'kebohongan' dijelaskan oleh para
antropolog modern sebagai instrumen stale-building. Dia juga percaya bahwa
dalam masyarakat yang tcrdiri dari berbagai sub-masyarakat dengan kepentingan
dan tujuan yang berbeda, fleksibilitas yang dibutuhkan untuk sebuah demokrasi
modern tidak mungkin tercipta. Dalam situasi yang seperti ini, penggunaan
aturan mayoritas bukan saja menjadi tidak demokratis tapi juga berbahaya karena
akan terjadi eksklusi terhadap kelompok minoritas yang mungkin berujung pada
usaha melawan pemerintahan.
Dalam kasus Nigeria dan berbagai negara Afrika serupa, terdapat pola
berulang sehubungan dengan masalah nasionalisme etnis di negaranya—antara lain
kesetiaan, komitmen, dan patriotisme dari warga negaranya. Menurut Ekeh (1975), akar historis dari krisis
tersebut berdasar pada fakta bahwa negara-negara Afrika tidak lahir dari dalam
masyarakatnya (seperti kebanyakan negara Eropa Barat), tetapi dari luar—sebagai
sebuah imposisi dari otoritas kolonial. Proses penciptaan struktur asing ini
berbasis pada formasi politik yang bersifat artifisial dan menyatukan sub-nasionalisme
yang berbeda di dalam teritori tersebut secara semu, ketika sebenarnya kelompok
tersebut masih merupakan dua publik yang berbeda.
Publik yang pertama terisi dari pemerintah dan institusi modern yang
sifatnya instrumental bagi negara—militer, birokrasi, pengadilan, partai
politik dan sebagainya. Publik kedua adalah masyarakat primordial yang
terbentuk secara sosial selama berpuluh-puluh tahun, termasuk melalui proses
colonial yang tumbuh untuk memuaskan peimintaan personal dan kelompok yang tidak
dapat dipenuhi pemerintah kolonial maupun pos-kolonial. Publik ini yang
kemudian disebut Joseph (1987) sebagai nasionalisme etnis dan menjadi asal dari politik
prebedal di Nigeria. Prebendalisme secara sederhana dapat diartikan sebagai
proses untuk menggunakan posisi pemerintahan untuk mencapai kepentingan
personal, parokial, maupun kelompok—spektrum ekstrim dari pelaksanaan politik
identitas. Sayangnya, dualitas ini yang kemudian menjadi sumber masalah dan
ketidakstabilan politik di Nigeria.
*) Tulisan dibuat dalam rangka Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Nasionalisme dan Resolusi Konflik Etnis yang disampaikan oleh Prof. Dr. Burhan
Djabier Magenda, M.A.
[1] Hakekat Karakter
Bangsa, Lihat http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pengabdian/farida-hanum-msi-dr/hakekat-karakter-bangsa.pdf
diakses 2 Oktober 2012, pkl 16.45 WIB.
[2] Nurcholis
Madjid, Indonesia Kita, (Jakarta: Paramadina, 2004), cet. 3, hal. 42-43
[3] Guibernau, M., “Nationalisms, The Nation-State and
Nationalism in the Twentieth Century,” (Polity
Press: London, 2005), p. 47
[5] Tilly, C., “States and nationalism in
Europe 1492-1992,” Theory and Society, 1994: 23 (1), p. 33
[6] Dede Rosyada, dkk, PENDIDIKAN KEWARGAAN (CIVIC
EDUCATION);Demokrasi, Hak Asasi Manusia Dan Masyarakat Madani, (Jakarta:
Kencana, 2005), cet. 2, hal. 32
[7] Lihat http://www.cgdev.org/files/7034_file_06spring_patrickTWQ.pdf diakses 2 Oktober 2012, pkl 18.25 WIB
[8] “Negara Kuat Dalam Pelaksanaan Demokrasi
Lokal di Indonesia” oleh Rahadani Yusran & Asrinaldi Asril, lihat http://staf.unp.ac.id/yusranrdy/index.php?Itemid=9&id=44&option=com_content&task=view,
pkl 19.10
[9] Barry Buzan, people, State and Fear: An Agenda for International
Security Studiesin The Post-Cold War Era 2nd ed. (new York: Harvester & Wheatsheaf, 1990)
hlm 100. Dikutip Farah Monika, skripsi
Hubungan International “Intervensi AS dalam Transisi Rejim Afghanistan”, 2005
hal 20.
[10] “The Failed State Index 2008”.
Diakses dari http://foreignpolicy.com/story/cms.php?story_id=4350.
[11] K.J
Holsti. The State, war and State of War,
(Cambridge: Cambridge university press, 1996) hal 82-83, Dikutip Farah Monika,
skripsi Hubungan International “Intervensi
AS dalam Transisi Rejim Afghanistan”, 2005 hal . 21
[16] Julius Cesar I. Trajano, "Ethnic Nationalism and Separatism in West Papua, Indonesia"
dalam Journal of Peace, Conflict, and Development, (16 November 2010),
hlm. 13–14. Lihat http://www.peacestudiesjournal.org.uk/dl/iss_16_art_2.pdf,
diakses 21 September 2012, pkl. 13.13 WIB. Dikutip dari makalah kelompok satu
Nasonlaisme dan Resolusi konflik Etnis, “Teori-Teori
Nasionalisme” hal 12-13.
[17] Damien Kingsbury, "Diversity in Unity," dalam Damien Kingsbury dan Harry Aveling
(eds.), Autonomy and Disintegration in Indonesia, (London:
RoutledgeCurzon, 2004), hlm. 111.
[18] M. A. O. Alulo, "Ethnic
Nationalism and the Nigerian Democratic Experience in the Fourth Republic"
dalam Anthropologist, 5 (4), Kamla-Raj,
2003: 253–259, lihat http://www.krepublishers.com/02-Journals/T-Anth/Anth-05-0-000-000-2003-Web/Anth-05-4-217-303-2003-Abst-PDF/Anth-05-4-253-259-2003-106-Aluko-M-A-O/Anth-05-4-253-259-2003-106-Aluko-M-A-O-Text.pdf,
diakses 21 September 2012, pkl. 13.03 WIB. Dikutip dari makalah kelompok satu
Nasonlaisme dan Resolusi konflik Etnis, “Teori-Teori Nasionalisme” hal. 8 – 10.