Pergeseran pola
korupsi tersebut, tidak hanya di eksekutif dan legislatif pusat, tetapi juga ke
Daerah, menunjukan bahwa relasi bisnis dan politik yang berbentuk rent seeking juga berubah. Saat Orde
Baru dulu terpusat pada Suharto, dengan jatuhnya Orde Baru dan adanya
desentralisasi, maka rent seeking juga
berpindah ke Daerah selain yang di pusat. Hal ini berhubungan dengan beralihnya
beberapa kewenangan ke daerah. Sehingga beberapa perijinan, seperti ijin pertambangan,
lisensi lahan, dan hak guna usaha atas sumber daya alam beralih ke Daerah. Itu
yang berdampak pada pergeseran peta rent seeking
dan korupsi di era reformasi sekarang.
Dampak dari itu kemudian juga
berhubungan dengan pelaku korupsi itu sendiri. Aktor korupsi tidak hanya
terpusat pada satu kekuatan bisnis, sebagaimana Suharto dulu. Data pelaku
korupsi berdasarkan jabatannya menunjukan bahwa korupsi saat ini tidak terpusat
dan aktivitas rent seeking juga
demikian.
Kemudian,
bila pola relasi bisnis yang berbentuk rent
seeking dapat bertransformasi dari jaman Orde Baru ke era reformasi saat
ini, tentu dengan sedikit perubahannya, maka menjadi sebuah pertanyaaan mengapa
itu bisa terjadi. Hal ini akan dijawab dalam argumentasi di bawah ini.
Sebuah
Konsolidasi (Kembali)
Sebelum kita memahami relasi bisnis
dan politik yang terjadi pasca reformasi, kita perlu melihat bagaimana kondisi
bisnis pasca krisis ekonomi dan kemampuannya untuk dapat bertahan. Hal ini
berhubungan dengan peta kekuatan bisnis pasca krisis ekonomi dan Suharto lengser.
Selain itu, sangat penting untuk dilihat bagaimana pengaruh perubahan
institusional, minimal pada desentralisasi dan demokratisasi, pada relasi
tersebut. Perpaduan dari kedua hal tersebut, kemudian dapat membantu kita untuk
bisa melihat bagaimana relasi bisnis dan politik di era pasca reformasi
berwujud. Dari itu pula, kita akan mendapatkan jawaban secara struktural
mengapa pola relasi bisnis dan politik bisa terbentuk seperti sekarang, yang
itu sebenarnya mirip dengan masa Orde Baru.
Argumentasi
pertama yang sangat penting dilihat dari ini adalah adanya reorganisasi
aktor-aktor bisnis pada jaman Orde Baru. Mereka pada dasarnya tidak mati
setelah krisis ekonomi terjadi, namun bertransfromasi dengan situasi politik
saat ini untuk tetap menguasai sumber daya ekonomi. Cerita mengenai itu dimulai
pada Juli 1997, saat kerapuhan ekonomi dan politik di Indonesia tak bisa
dihindarkan lagi. Utang luar negeri sektor swasta, yang awalnya sekitar 54
milar dolar US meningkat menjadi lebih dari 81 miliar dolar US. Dari utang
tersebut lebih dari 34 miliar dolar US
jatuh tempo pada 1998. Selain itu, terjadi pelarian
besar-besaran investor domestik dari Indonesia terjadi. Di sisi lain bisnis
swasta mulai gagal bayar terhadap utang-utang mereka. Dengan itu, maka Bank
mulai goyah karena dibebani kredit macet yang tak tertanggung, sehingga mereka
kemudian tidak bisa menyediakan kredit. Lebih dari itu, pemerintah juga dengan
cepat kehabisan uang. Situasi tersebut kemudian membuat krisis ekonomi
berdampak pada perekonomian dan politik Indonesia.
Efek terbesar dari krisis ekonomi pada 1997
adalah jatuhnya Suharto yang secara politik kemudian berdampak pada relasi
bisnis di sekitarnya. Dengan itu, maka kekuatan ekonomi yang dulunya berada di
bawah komandonya ikut tercerai berai. Saat situasi krisis terjadi dan sebelum
Suharto turun, langkah penyelamatan atasnya dilakukan dengan mengundang IMF.
Tujuannya adalah untuk mendapatkan kucuran dana sebesar 43 miliar dolar US.
Namun hal itu petaka baru bagi konglomerat di sekitar Suharto. Kesepakatan
dengan IMF membuat adanya penangguhan atau pembatalan proyek-proyek besar
pemerintah, penghapusan monopoli perdangan negara, seperti terigu, kedelai, dan
cengkeh, dan penutupan bank yang tidak likuid. Selain itu, juga adanya
restrukturisasi dan rekapitalisasi perbankan. Dari semua itu, pada hakikatnya
adalah kerangka proteksi negara dan perlakuan khusus yang menopang kekuatan
bisnis-politik harus dihapuskan. Inilah awalnya tercerai berainya kekuatan
ekonomi.
Menjelang
1998, hampir semua pengusaha Indonesia tidak mampu lagi membayar utang-utang
mereka. Di sisi lain, Suharto sebagai patron politik yang selama ini menjadi
pelindung mereka jatuh pada Mei 1998. Agenda-agenda reformasi pun dijalankan
sebagai bentuk tuntutan reformasi. Menghadapi kondisi demikian, Badan
Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), sebuah badan restrukturisasi perbankan,
melakukan penyitaan aset-aset dari debitor dan menjualnya. Penyitaan aset ini
menjadi ancaman bagi kelangsungan bisnis kekuatan konglomerat jaman Orde Baru.
Namun
proses tersebut tidak berjalan mulus seperti yang diharapkan. Hal itu berasal
dari resistensi yang dilakukan oleh kekuatan bisnis atas penyitaan aset mereka.
Selain itu, banyak perusahaan yang tidak transparan atas asetnya, sehingga
penyitaan aset sebagai jaminan utang tidak sesuai harapan. Misalnya, kelompok
Salim menyerahkan aset senilai Rp. 53 triliun yang ternyata hanya bernilai Rp.
20 triliun. Dengan itu, maka pemerintah kekurangan dana yang sangat besar untuk
menutupi biaya BLBI dan jaminan utang BPPN. Di sisi lain, para
konglomerat sambil mengulur negoisasi dengan BPPN, mereka mampu melindungi
perusahaan mereka yang paling menguntungkan di sektor lain yang terbukti paling
menguntungkan untuk pembayaran utang-utang mereka yang strategis, sekaligus
untuk investasi baru. Seperti kelompok Salim yang mendapat uang sebesar 1,8
miliar dolar US dengan menjual kelompok Hagermeyer-nya dan mampu membeli aset
di luar negeri sebesar 700 juta dolar US dan 40 persen saham Indofood. Usaha tersebut dilakukan
untuk mempertahankan posisi konglomerat di dunia bisnis.
Situasi yang tidak menentu atas
kondisi bisnis di Indonesia, kemudian menemukan momentumnya bagi para
konglomerat untuk kembali berkuasa melalui penjualan aset mereka sebelumnya. Ini
dilatar belakangi oleh kesulitan BPPN untuk menjual aset para konglomerat
karena keengganan investor luar negeri untuk membeli aset-aset tersebut.
Tekanan itu kemudian meningkat saat pemerintah menghadapi bunga obligasi yang
meningkat menjadi Rp.77 triliun pada 2001. Di sisi lain, pemerintah menghadapi
kenyataan bahwa untuk menarik investasi mengalir kembali di Indonesia, dan
sektor perbankan dan dunia usaha kembali normal, maka konglomerat adalah
kuncinya. Masuknya para koglomerat diyakini akan menarik para investor asing. Dari
itu, pemerintah dipaksa secara struktural untuk mencabut tuntutannya, untuk
berkompromi dengan merestrukturisasi utang dan mengizinkan para konglomerat
untuk kembali membeli aset-asetnya. Situasi ini yang kemudian menjadi pintu
masuk reorganisasi kekuatan ekonomi konglomerat jaman Orde Baru untuk berkuasa
kembali hingga sekarang.
Argumentasi di atas menunjukan bahwa
kekuatan ekonomi di jaman Orde Baru, tepatnya Oligark, dapat hidup kembali
pasca Suharto jatuh. Bahkan mereka tetap menjadi kekuatan bisnis yang utama di era pasca reformasi. Hal ini
misalnya dapat ditunjukan, sebagai contohnya,
Liem Sie Liong dengan anak-anak Soeharto membangun kartel untuk
memonopoli industri tepung Bogasari. Selain Bogasari, Liem juga mempunyai saham
besar di Krakatau Steel dan Indocement. Industri perhutanan, juga dimonopoli
oleh keluarga dan kroni Soeharto hingga
saat ini dengan memainkan perijinan dan kontrak HPH yang ditutup tendernya dari
publik, meskipun bermain dengan aktor birokrat yang berbeda. Dengan demikian, kekuatan
ekonomi tetaplah sama.
Namun,
mereka kemudian dipaksa untuk mengikuti pola yang mengharuskannya beroperasi
dalam suatu arena tarik menarik politik yang berbeda dengan rejim Orde Baru.
Situasi tersebut berhubungan dengan pola perubahan institusional pasca
reformasi. Christian Chua dalam tulisannya yang berjudul Capitalist Consolidation, Consolidated Capitalist, menunjukan bahwa
perubahan institusional pasca Suharto pada awalnya ditujukan untuk mengakiri rejim
yang otoritarian, sentalisasi, dan praktek KKN. Oleh karena itu kemudian
dijawab dengan perubahan institusional yang meliputi, demokratisasi,
desentralisasi, dan deregulasi. Namun pada akhirnya ketiga perubahan tersebut dapat
dimanfaatkan kembali oleh kekuatan ekonomi di jaman Orde Baru untuk
mempertahankan kekuasaannya.
Kekuatan
ekonomi di jaman Orde Baru menguasai demokratisasi dengan terlibat dalam partai
politik, bahkan menjadi petingginya. Mereka kemudian selain menjadi pebisnis
juga sebagai politisi. Partai yang memerlukan uang dalam jumlah besar untuk
memenangkan kontestasi pemilu mambawa para pebisnis menjadi petinggi partai.
Hal ini dapat kita lihat seperti, Alvin Lie di PAN atau Murdaya Poo di PDIP. Selain
pebisnis China, pengusaha pribumi, yang dulunya mendapat support Orde Baru juga terllibat politik, seperti Jusuf Kalla
sebagai ketua Golkar dan Aburizal Bakrie, juga kemudian menjadi ketua Golkar
berikutnya. Di tengah era kebebasan pers dan media, mereka
menguasai pers untuk mengarahkan opini publik, seperti grup Salim yang
menguasai Indosiar. Juga Tomy Winata yang menguasai Radio 911, Harian Jakarta, Jakarta TV, juga majalah Pilar.
Dengan
desentralisasi, kekuatan ekonomi ini berubah lokus patron-klien-nya. Kekuatan ekonomi ini beralih pada relasi
patronase yang terdesentralisasi. Hal ini mengikuti juga dengan pola beralihnya
sebagian kekuasaan yang ke Daerah. Apalagi karena adanya Pemilukada yang
membutuhkan uang sangat banyak untuk kontestasi. Keterlibatan inipun bisa
secara langsung maupun tidak langsung. Kemudian, dengan
deregulasi, mereka tetaplah yag paling untung karena merupakan kekuatan ekonomi
yang paling kuat. Sehingga, saat pengaturan dibebaskan di pasar, mereka telah
menguasai pasar tersebut. Seperti, pemilik grup Salim yang tetap menjadi
produsen terigu palig besar dengan Bogasarinya.
Perubahan
strategi dengan memanfaatkan perubahan institusional ini membuat kekuatan
ekonomi di jaman Orde Baru tetap bertahan dan menjadi pemain utama dalam
perekonomian sekarang. Aktor ini menjadi penting dalam mempengaruhi pola relasi
bisnis dan politik yang bertahan saat ini. Karena mereka dulunya dibesarkan
dengan pola patronase secara terpusat di masa Orde Baru, maka pola itu sekarang
berubah dengan menjadi lebih terdesentralisasi. Namun, pola relasi
bisnis-politik tidak banyak berubah. Transformasi bentuk rent seeking adalah buktinya.
Argumentasi
kedua, ketidakmunculan kapitalis baru yang cukup signigfikan sebagai
kekuatan ekonomi baru. Hal ini berhubungan dengan dampak dari faktor pertama
ditambah dengan adanya desentralisasi. Itu yang kemudian membuat tipe baru
kapitalis yang lebih produktif tidak muncul. Kemudian, bila itu muncul pun,
tidak menjadi kekuatan yang utama. Studi Ahmad Rizal Shidiq, dalam artikelnya
yang berjudul Decentralization and Rent
Seeking in Indonesia, menunjukan pola yang demikian. Menurutnya, desentralisasi
membuat rent based on transfer
berpindah dari pemerintahan pusaat ke pemerintahan Daerah. Dari itu, kemudian
mengubah struktur ekonomi di tingkat Daerah, sekaligus mengubah pola rent seeking di tingkat lokal. Tidak
hadirnya kapitalis baru yang signifikan ini, dikarenakan oleh tiga hal, antara
lain, pertama, adanya tendensi elit
politik lokal lebih banyak mengundang investasi pada kapitalis lama yang telah
mapan, yang itu adalah bagian dari Orde Baru. Hal itu berhubungan dengan
tuntutan pemerintah daerah harus memiliki pemasukan sendiri. Oleh karena itu,
kemudian mereka memberikan perizina, lisensi atau keringanan pajak. Kedua, adanya tendensi pemerintah lokal
untuk lebih inklusi pada aktor ekonomi, namun lebih banyak pada aktor ekonomi
informal, seperti perjudian dan illegal logging untuk kepentingan dirinya. Ketiga, pemerintah lokal lebih banyak
menginisiasi bisnis melalui Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
Di sisi lain, adanya desentralisasi
juga mendukung ketidakmunculan itu, karena didasarkan pada biaya
mengorganisasikan rents based on transfer
baru yang lebih mahal. Hal itu karena lemahnya koordinasi antara pusat dan
Daerah, sehinngga pebisnis harus melewati proses perizinan yang lebih panjang.
Juga, tendensi dari struktur yang memungkinkan pola relasi yang lebih banyak
bersifat klientelis patron-klien dianntara pebisnis dan pemerintah. Hal itu yang kemdian
menambah biaya produksi.
Argumentasi
ketiga,
satu hal yang menjadi keuntungan bagi kekuatan ekonomi lama tersebut, bahwa aparatur
negara yang masih didominasi oleh hubungan-hubungan kekuasaan yang predatoris,
serta beberapa tokohnya baik nasional dan lokal yang berwatak sama. Adapun karakteristik dari rezim predatoris tersebut
adalah terjadinya hubungan klientelisme yakni perselingkuhan bisnis dan politik
karena basis ekonomi yang lemah dan penguasaan hasil sumber daya yang dikuasai
oleh segelintir elite. Meskipun reformasi dijalankan, menurut Vedi R Hadiz,
elemen-elemennya telah menata kembali diri mereka dalam jaringan patronase baru
yang bersifat desentralistik, lebih cair, dan saling bersaing satu sama lain. Pola
kontinuitas ini yang menjadi warisan Orde Baru dan kemudian mempengaruhi pola
relasi bisnis dan politik di masa reformasi.
Kekuatan predatoris, Hadiz
merujuk pada Peter Evans, adalah pejabat publik (baik individu atau mengacu
pada bentuk korporatis) yang menguasai sumber daya negara untuk kepentingan
pribadi dan/atau kerabatnya. Peter Evans, dalam
studinya yang berjudul Predatory, Developmental, and Other
Apparatuses:A Comparative Political Economy Perspective on the Third World
State menyebut keberadaan
kekuatan predoris erat hubungannya dengan keberadaan birokrasi yang
patrimonial, bila merujuk pada teori birokrasi ideal-non ideal Max Weber.
Evans
menyebut keterlibatan pebisnis yang mempunyai hubungan dekat dengan para
birokrat dan politisi, yang kemudian mengaitkannya dengan konsepsi rent seeking. Evans, menyebut rent seeking adalah sebagai bentuk
korupsi karena akhirnya investasi yang tinggi dan sumber daya yang banyak milik
negara tidak teralokasikan untuk keperluan warga negara, tetapi masuk ke
aparatus negara dan kerabatnya. Perilaku aparatus negara ini, seperti yang
sudah disebutkan di atas, erat hubungannya dengan model birokrasi yang
patrimonial. Kekuatan predatoris adalah kekuatan yang ‘incumbent’ dalam
birokrasi, yang di dalamnya memperebutkan rente. Kekuatan predatoris ini dapat
langgeng karena mereka mempunyai kuasa dalam membuat dan mengeluarkan lisensi,
mengatur pajak, subsidi dan lain sebagainya.
Argumentasi keempat, berhubungan dengan perubahan
institusional yang didasarkan pada paradigma neo-institusionalisme, yang pada dasarnya mengabaikan relasi kuasa
dalam teritori politik tertentu dan mengalihkannya hanya pada persoalan pilihan rasional. Neo institusionalisme adalah
aliran pemikiran pembangunan yang bermaksud menjelaskan sejarah, keberadaan,
dan fungsi dari berbagai macam institusi (pemerintah, hukum, pasar, keluarga,
dan sebagainya berdasarkan asumsi teori ekonomi neoliberal. Beberapa kebijakan yang
mencerminkan pendekatan ini antara lain, desentralisasi, demokratisasi, good governance, penguatan civil society, dan social capital. Premis utama yang dipakai neo-institusionalis
tentang desentralisasi adalah negara-negara dapat bereksperimen dengan
desentralisasi (dan kebijakan lainnya) yang paling sesuai dengan keadaan negara
itu sendiri. Dari premis ini, dapat ditarik logika anti politik, bahwa politik
hanya trigger awal ke arah
desentralisasi. Kebijakan teknokratik yang telah dibangun hati-hati hanya akan
dirusak oleh kepentingan-kepentingan yang muncul. Padahal, perlu dicatat
persoalan sebenarnya bukan saja persoalan kebijakan-kebijakan tepat manakah
yang perlu diambil, tapi desentralisasi sarat akan perebutan kepentingan—sesuai
dengan entitas aslinya bentuk khusus pendistribusian kekuasaan. Logika
antipolitik, secara implisit menuju logika antidemokrasi—artinya perspektif
neo-institusionalis hanya menerima demokrasi sejauh para teknokrat dapat
menjalankan kebijakan-kebijakan yang diambilnya dengan baik, tanpa menyertakan kepentingan-kepentingan
kelompok lain—atas nama good governance.
Hadiz
mengkritik bahwa asumsi tentang adanya serangkaian kepentingan fundamental dari
civil society tidak mempunyai dasar
empiris yang kuat, dan untuk memelihara civil
society yang sehat diperlukan modal sosial yang kuat. Karena pada
kenyataannya, justru banyak civil society
yang sangat anti-demokrasi dan anti-pasar, konteks ini dapat diartikan bahwa
banyaknya kepentingan yang berbeda-beda dari civil society itu sendiri. ‘Jaringan
dinamis’ dari civil society akan terdiri dari berbagai entitas yang
bertentangan satu sama lain. Perspektif neo-institusionalis hanya ‘berkhayal’
akan gambaran desentralisasi yang sehat secara teknokratis, dan melupakan bahwa
sesungguhnya proses demokrasi adalah hasil dari berbagai kepentingan sosial.
Persoalan
fundamentalnya adalah, desentralisasi mungkin lebih mencerminkan konstelasi
kekuasaan tertentu dibanding tujuan kebaikan bersama yang dibayangkan.
Contohnya, timbul pertanyaan, apakah desentralisasi keuangan akan berimplikasi
pada korupsi yang lebih besar atau sedikit, apakah alokasi sumberdaya akan
efisien atau tidak. Kenyataannya, dalam konteks Indonesia, persoalan tidak
sesederhana pembagian kepentingan kerja lokal dan pusat. Yang terjadi adalah
perebutan kepentingan dan sumber daya, bagaimana elite-elite lokal mengambil
alih langsung atas kontrol sumber daya yang selama ini dipegang oleh pusat.
Hadiz
banyak mengulang-ulang, bahwa persoalan utamanya bukanlah desain yang salah
dari proses desentralisasi itu sendiri atau karena kurangnya komitmen untuk
menetapkan desentralisasi. Pada kasus Indonesia, persoalan timbul karena adanya
konstelasi kekuasaan predatoris sisa-sisa Orde Baru. Dalam desentralisasi,
patronase politik lebih terlokalkan, oleh karena itu kekuatan akan lebih banyak
dan otonom dari pusat, dibandingkan pada masa Soeharto. Dalam bahasa lain,
elemen-elemen itu tetap hidup dengan jaringan
patronase baru yang bersifat desentralistik, lebih cair, dan saling bersaing
satu sama lain
Kelemahan
penggunaan pendekatan neo-institusional tersebut yang kemudian hanya melihat
bahwa perubahan institusional akan mengubah relasi kuasa, namun dalam
kenyataannya tidak sesederhana itu. Pengabaian yang besar untuk memperhatikan
pola relasi kuasa dalam proses refromasi memiliki dampak bahwa pola relasi
bisnis dan politik dari Orde Baru ke refromasi berjalan secara kontinuitas.
Penutup
Dengan argumentasi di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa pola relasi bisnis dan politik di era reformasi saat
ini, di satu sisi lebih terbuka, namun di sisi lain juga berbentuk rent seeking. Pola bisnis dan politik
yang berbentuk rent seeking ini,
merupakan transformasi dari pola bisnis dan politik di era Orde Baru.
Penjelasan dari adanya transformasi pola bisnis dan politik yang berbentuk rent seeking ini menjadi akar dari
korupsi yang masih marak pada era desentralisasi dan demokratisasi. Penjelasan
melalui rent seeking tersebut yang
menjadi dasar bagaimana pola korupsi terjadi di masa sekarang.
Pola rent seeking yang ada kemudian dapat
dikategorisasikan menjadi korupsi, karena para pemburu rente ini akhirnya
menggunakan sebagian besar sumber daya negara dengan memonopoli untuk
kepentingan pribadi dan kerabatnya. Selain itu, dilakukan di luar hubungan
publik dan formal, pebisnis yang melakukan lobi membayar atau memberikan uang
(secara pribadi) ke pejabat publik, dan berkaitan dengan monopoli atas suatu
sumber daya.
Namun demikian, karena pengaruh
perubahan institusional sebagai akibat dari proses refromasi, membuat pola rent seeking sedikit berbeda dengan apa
yang terjadi di masa Orde Baru. Pasca adanya desentralisasi dan demokratisasi,
pebisnis menggunakan perubahan institusional tersebut untuk dapat bertahan
hidup. Akibatnya, pola rent seeking lebih
tersebar, terdesentralisasi, dan tidak hanya berlaku di tataran pusat.
Argumentasi
mengapa pola tersebut dapat bertahan dari Orde Baru ke era reformasi, menurut
penulis, setidaknya terdiri dari empat hal, antara lain, pertama kekuatan struktural yang menguasai perekonomian saat ini
relatif masih sama dengan kekuatan yang berkembang dan ada di Orde Baru. Para
aktor ekonomi jaman Orde Baru ini bertransformasi dengan memanfaatkan perubahan
institusional untuk bertahan hidup. Kedua,
tidak munculnya kapitalis baru yang diakibatkan oleh dominannya kekuatan
ekonomi yang lama dan desentralisasi. Ketiga,
pola hubungan-hubungan kekuasaan yang predatoris, serta beberapa tokohnya
baik nasional dan lokal yang berwatak sama. Keempat,
pendekatan yang digubakan untuk menjalankan perubahan pasca reformasi
menggunakan neo-institusionalisme yang
mengabaikan relasi kuasa diantara aktor ekonomi-politik. Perpaduan dari keempat
hal tersebut yang kemudian memuluskan bentuk kontinuitas atas relasi yang dulu
terbangun di masa Orde Baru. Dengan itu maka, pola relasi bisnis dan politk
yang berbentuk rent seeking dapat
dipertahankan.
Daftar
Puskata
Chua, Christian. “Capitalist
Consolidation, Consolidated Capitalist: Indonesia’s Conglomerates
between
Authoritarianism and Democracy” dalam Mareo Bunte and Andreas Ufen (ed). Democratization in Post-Soeharto Indonesia. Oxford: Routledge. 2009
Evans, Peter. “Predatory, Developmental, and Other
Apparatuses: A Comparative Political
Economy Perspective on the Third World State”, Sociological Forum, Vol. 4, No. 4,
Special Issue: Comparative National Development: Theory and Facts for the
1990s. (Dec., 1989),
Girling, John. Corruption, Capitalism, and Democracy. London
and New York: Routledge. 1997
Green, Keith. Decentralization and Good Governance : The
Case in Indonesia. Munich:
Personal RePEc Archive
Paper. 2005.
Hadiz, Vedi R. Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik
Indonesia Pasca Soeharto. Jakarta:
LP3ES, 2005.
Hart, Natasha Hamilton.
“Government and Private Business: Rents, Representation and
Collective Action”
dalam R. H Mcleod and A. MacIntyre (ed), Indonesia:
Democracy, and the Promise of Good Governance. ISEAS. 2007
Krueger, Anne O. “The Political
Economy of the Rent Seeking Society”, The
American
Economic
Review, Vol
46 No. 3, Juni 1974
Kunio, Yoshihara. Kapitalisme
Semu Asia Tenggara. Jakarta :
Penerbit LP3ES. 1991
Kuncoro, Ari. “Corruption and
Business Uncertainty in Indonesia”, ASEAN Economic Bulletin,
Vol. 23, No. 1, Riding
Along a Bumpy Road: Indonesian Economy in an Emerging Democratic Era (April
2006),
Kuncoro, Ari. “Decentralization
and Corruption in Indonesia: Manufacturing Firm Survival
under Decentralization”.
Working Paper. Vol. 2006-25. Desember
2006.
Lambsdorf, Johann Graf.
“Corruption and Rent Seeking”, Public
Choice, Vol 13. No. 1/ 2,
Oktober 2002,
Maclntyre, Andrew. Bussines and Politics in Indonesia. Sydney:
Allen and Unwin, 1991
Shidiq, Akhmad Rizal.
“Decentralisation and Rent-Seeking in Indonesia”, Ekonomi dan
Keuangan
Indonesia,
Vol. 51 2, 2003.
Rahman, Erna Zetha. Pencari Rente dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia, Tesis
Gelar
Magister
Bidang Ilmu Ekonomi Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia, 1997.
Robison, Richard and Vedi R
Hadiz. Reorganizing Power in Indonesia:
The Politic of Oligarchy
in
an Age of Market. London
and New York: Routledge. 2004.
Aribowo, Legislatif
Rente : Persekongkolan Politik Kepala Daerah – DPRD Sebagai Dasar
“Korupsi di Kabupaten Buol”,
diunduh dari
Christian Chua, “Capitalist Consolidation, Consolidated
Capitalist: Indonesia’s Conglomerates
between Authoritarianism and Democracy” dalam Mareo Bunte and Andreas Ufen
(ed). Democratization in
Post-Soeharto Indonesia. Oxford:
Routledge. 2009. p. 201-225.
Peter Evans, “Predatory,
Developmental, and Other Apparatuses: A Comparative Political Economy
Perspective on the Third World State”, Sociological Forum, Vol.
4, No. 4, Special Issue: Comparative National Development: Theory and Facts for
the 1990s. (Dec., 1989), pp. 567
Natasha Hamilton Hart, “Government and Private Business: Rents,
Representation and Collective Action” dalam R. H Mcleod and A. MacIntyre (ed), Indonesia: Democracy, and the Promise of
Good Governance. ISEAS. 2007.
Ari Kuncoro, Corruption and Business Uncertainty in
Indonesia, ASEAN Economic Bulletin, Vol. 23, No. 1, Riding Along a Bumpy
Road: Indonesian Economy in an Emerging Democratic Era (April 2006), Hal. 11