oleh Alpiadi Prawiraningrat, 1106083372
Judul : Handbook of Qualitative Research: Competing Paradigms in Qualitative Research.
Pengarang :
Egon G. Guba dan Yvonna S. Lincoln.
Data Publikasi : Egon G. Guba
and Yvonna S. Incoln. Handbook of Qualitative Research. Ch. 6: Competing Paradigms in Qualitative
Research.
Bagimanakah
arti penting dari paradigma? Paradigma
apa saja yang melandasi suatu penelitian?
Pertanyaan itu pula yang muncul sebagai pemicu kali ini. Egon
G. Guba dan Yvonna S. Lincoln, menulis mengenai Competing Paradigms in
Qualitative Research. Dengan tujuan agar pembaca dapat menjadikan paradigma sebagai kepercayaan
dasar, pandangan awal yang digunakan
untuk menganalisis dan mempertimbangkan suatu
isu yang berkembang dalam suatu mayarakat.
Metodelogi penelitian tidak dapat terlepas dari paradigma
yang mendasarinya. Artinya, bahwa
metodelogi penelitian merupakan konsekuensi logis dari nilai-nilai,
asumsi-asumsi, aturan-aturan serta kriteria yang menjadi bagain dari integral
suatu paradigma.[1]
Sejauh ini, pengelompokan mengenai teori-teori dan
pendekatan sejumlah paradigma sangat bervariasi. Guba dan Lincoln sendiri mengkategorisasikan
4 (empat) paradigma yaitu positivism, post-positivism, Critical Theory,
dan Construtivism. Mengutip dari karya Dedy N. Hidayat ”Penelitain proposal Penelitian untuk
Pengembangan Ilmu.” Bahwa untuk positivism dan postpositivism dapat disatukan menjadi classical paradigm karena pada prakteknya keduanya tidak jauh
berbeda. Sehingga untuk mempermudah
dikelompokanlah menjadi 3 (tiga) paradigma, yaitu: (a) classical paradigm, yang menempatkan ilmu sosial sebagai metode
yang terorganisir untuk menyatukan deductive
logic dengan pengamatan empiris. (b)
Constructivism paradigm, memandang ilmu sosial sebagai analisis
sistematis terhadap socially meaningfull
action melalui pengamatan langsung terhadap pelaku sosial; (c) Critical
paradigm, menilai ilmu sosial sebagai proses yang kritis berusaha
mengungkap the real structures.
Denzin
dan Lincoln menyebutkan bahwa “ A
paradigm encompasess three elements: epistemology, ontology, and methodology.”[2] Namun, di luar dimensi tersebut paradigma juga
memuat elemen axiology yang berkaitan
dengan posisi value judgments, etika
atau pilihan moral peneliti dalam melakukan suatu penelitian dan kegiatan
ilmiah.[3]
Perbedaan
antara paradigma di atas dapat dijelaskan dari 4 (empat) dimensi, sebagai
berikut: (1) Epistemologis, menyangkut asumsi mengenai hubungan antara peneliti
dengan yang diteliti. (2) Ontologis,
berkaitan dengan objek atau realitas sosial yang diteliti. (3) Metodelogis,
asumsi mengenai bagaimana peneliti dapat memperoleh pengetahuan. (4) Aksiologis,
berkaitan dengan value judgments,
etika dan pilihan moral peneliti dalam melakukan penelitian dan kegiatan
ilmiah.
Perlu
digarisbawahi mengenai perbedaan ketiga paradigma tersebut.[4] Pertama,
paradigma klasik merasa harus menempatkan diri sebagai value free researcher, sehingga membuat pemisahan antara nilai
subjektif dengan fakta objektif yang diteliti.
Sebaliknya, peneliti kubu kritis dan kontruktivis menilai hal tersebut
merupakan sesuatu yang tidak mungkin dan tidak perlu dilakukan. Karena setiap penelitian selalu melibatkan value judgments dan keberpihakan pada
nilai tertentu. Kedua, penelitain paradigma klasik berangkat dari asumsi ada suatu
realitas sosial yang objektif, yakni untuk menghasilkan pengetahuan tentang
suatu hal sperti apa adanya.
Sebaliknya, peneliti paradigma
kritis menilai bahwa objek atau relitas sosial yang mereka amati merupakan
penampakan semu (virtual reality)
atau ekspresi kesadaran palsu (false
consciousness). Ketiga, setiap paradigma memiliki kriteria penilaian kualitas suatu
penelitian tersendiri (goodness criteria).
Perbedaan
Kualitatif dan kuantitatif berawal pada pandangan berkaitan dengan asumsi “received
view” dimana kematangan ilmiah
diyakini
muncul sebagai tingkat kuantifikasi ditemukan dalam peningkatan bidang
tertentu. Sehingga, menimbulkan suatu keyakinan
umum bahwa hanya data kuantitatif yang pada
akhirnya
berlaku karena matematika sebagai “hard science” dinilai mampu menjadi kontrol
dan landasan pengetahuan sedangkan “soft
science” seperti ilmu sosial diyakini
kurang mamapu melakukan hal tersbut.
Berdasarkan
apa yang telah dijelaskan oleh Guba dan Lincoln maka dapat disimpulkan bahwa
permasalah utamanaya bukanlah pembedaan antara penelitain kuantitatif dengan
kualitatif, tetapi perbedaan epistimologi, ontology dan aksiologi. Karena
metodelogi kuantitatif ataupun kualitatif merupakan implikasi dari ke empat
dimensi di atas. Selain itu, suatu paradigma
dibutuhkan sebagai landasan atau kepercayaan dasar mengenai suatu fenomena yang
digunakan untuk menganalisis dan mempertimbangkan suatu isu yang berkembang
dalam suatu mayarakat.
Daftar Pustaka
Guba, E. G., and
Lincoln, Y. S. Handbook of Qualitatvie Research: Competing
Paradigms in
Qualitative Research.
Hidayat, N. Dedy. (2000).
Penulisan Proposal Penelitian
untuk Perkembangan Ilmu: Disampaikan untuk Workshop
Pengembangan Kegiatan Penelitian Staf Pengajar
FISIP-UI. Kampus Depok.
[1] Suatu paradigma menurut Guba dalam Denzin dan Lincoln,
tahun 1994. Hal 107. Dapat didefinisikan sebagai “…a set of basic beliefs (or metaphysics) that
deals with ultimates or first principles…a world view that defines, for its
holder, the nature of the world”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar