Negara adalah
cermin masyarakatnya. Apa pun yang terjadi dalam atau pada negara atau apapun
yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh negara akan secara otomatis mengena
pada rakyatnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Negara menempati
posisi yang sangat penting dan memainkan peran yang menentukan dalam pengaturan
kehidupan dan kegiatan bersama yang terjadi di wilayah atau teritori yang
berada di bawah otoritasnya. Bila sebuah negara mempunyai organisasi pemerintahan
yang bersih, efektif, dan penuh semangat pelayanan maka rakyat akan merasa tenteram
dalam menjalankan kegiatan sehari-hari dan kehidupan dalam masyarakat akan
berjalan dengan aman dan baik. Namun, ketika negara dengan aparat pemerintahnya
yang korup, tidak efektif dan tidak mampu lagi memberikan pelayanan yang baik
dan kesejahteraan bagi masyarakatnya, bagaimana masyarakat mengidentifikasikan
diri terhadap masyarakat yang berada di luar negaranya?
Ada banyak pandangan tentang pengertian dan asal-usul nasionalisme. Berikut
ini dikemukakan beberapa corak yang dipandang perlu. Dalam arti yang paling
sederhana, Gooch menegaskan bahwa nasionalisme
merupakan kesadaran diri suatu bangsa.[1] la telah
menjadi doktrin utama sejak akhir abad ke-18,[2]
sedangkan dalam arti umum dan netral, menurut Greenfeld dan Chirot
istilah nasionalisme mengacu pada seperangkat gagasan dan sentimen yang
membentuk kerangka konseptual tentang identitas nasional yang sering hadir
bersama dengan berbagai identitas lain seperti okupasi, agama, suku, linguistik,
teritorial, kelas, gender, dan
Iain-lain.[3]
Konsep nasionalisme bersifat ambivalen, sebagai kekuatan konservatif dan
sekaligus sebagai faktor revolusioner.[4]
Dilihat dari perspektif lain, nasionalisme merupakan tanggapan terhadap
kekuatan yang datang dari Barat,[5] terutama rakyat yang
merasa dirugikan secara budaya.[6] Sejarah Eropa sendiri
sejak Revolusi Perancis adalah sejarah timbul dan berkembangnya nasionalisme
politik.[7] Ini bukan berarti bahwa di
Asia belum ada bangsa dan kesadaran kebangsaan. Di dalam ajaran Buddha, Islam,
dan Hindu telah terdapat unsur bangsa.[8]
Menurut Kedourie nasionalisme adalah doktrin yang berpretensi untuk
memberikan satu kriteria
dalam menentukan unit penduduk yang ingin menikmati satu pemerintahan
eksklusif bagi dirinya, untuk melegitimasi pelaksanaan kekuasaan dalam negara, dan
untuk memberikan hak mengorganisasikan suatu masyarakat negara. Dengan kata
lain, doktrin ini beranggapan bahwa secara alamiah, komunitas dibagi menjadi
bangsa-bangsa, bahwa bangsa dikenal mempunyai karakteristik khusus yang dapat ditentukan;
dan bahwa corak pemerintahan yang sah hanyalah self-government.[9] Cakupan definisi ini dapat
dibandingkan dengan yang disajikan oleh Nagengast. Bangsa dan nasionalisme,
demikian menurut Nagengast, adalah istilah modernitas yang ada di Eropa dan
Amerika Utara. la diturunkan dari alam pencerahan kondisi rasionalisme,
perluasan penjajahan, peperangan agama, dan kapitalisme liberal yang berfungsi
sebagai pembenaran politik dan legitimasi politik untuk konsep penyatuan teritorial,
politik, dan budaya yang dipaksakan oleh hegemoni pemikiran dan organisasi
liberal.[10]
Di lain pihak, Smith berpendapat bahwa nasionalisme adalah satu gerakan
ideologis untuk meraih dan memelihara otonomi, kohesi dan individuality bagi satu kelompok sosial tertentu yang diakui oleh
beberapa anggotanya untuk membentuk atau menentukan satu bangsa yang
sesungguhnya atau yang berupa potensi saja,[11]
sedangkan menurut Minogue, nasionalisme merupakan gerakan politik untuk
memperoleh dan mempertahankan integritas politik, yakni gerakan politik yang
didasarkan pada perasaan tidak puas sekelompok orang menentang orang asing.[12] Dengan cara pandang
demikian, Smith mengidentifikasi adanya dua jalan menuju nasionalisme. Pertama,
route gradualis: patriotisme negara, kolonisasi, dan provinsialisme. Kedua,
"route" nasionalis: nasionalisme etnis, nasionalisme teritorial,
mobilisasi, komunitas yang berbudaya dan surrogate agama.[13]
Berbeda dengan pandangan banyak pengamat yang menganggap nasionalisme
adalah gejala politik, Plamenatz justru meletakkan nasionalisme dalam kerangka
budaya, walaupun ia sering mengambil bentuk politik. Kecuali itu, nasionalisme terkait dengan,
tetapi berbeda dari patriotisme dan kesadaran nasional, bahkan bertolak
belakang dengan patriotisme.[14]
Pandangan lain diutarakan oleh Snyder, bahwa nasionalisme merupakan satu
emosi yang kuat yang telah mendominasi pikiran dan tindakan politik kebanyakan
rakyat sejak Revolusi Perancis. Ia tidak bersifat alamiah, melainkan merupakan
satu gejala sejarah,
yang timbul sebagai tanggapan terhadap kondisi politik, ekonomi dan sosial tertentu.[15] Atau seperti dikemukakan
Gellner, nasionalisme terutama merupakan satu prinsip politik, yakni teori
legitimasi politik yang memerlukan batas etnis yang tidak melintasi politik.
Dengan kata Iain, nasionalisme adalah satu perjuangan untuk membuat budaya dan
"kepolitikan" menjadi bersesuaian. Lebih dari itu, nasionalisme
adalah pemaksaan umum satu budaya tinggi kehidupan masyarakat, di mana budaya
rendah sebelumnya telah mengang-kat kehidupan mayoritas dan dalam bebera-pa
kasus keseluruhan penduduk.[16]
Carlton J. Hayes, seperti dikutip Snyder, membedakan empat arti
nasionalisme:
a. Sebagai
satu proses sejarah aktual, yaitu proses sejarah pembentukan nasionalitas
sebagai unit-unit politik, pembentukan suku dan imperium kelembagaan negara
nasional modern.
b. Sebagai
satu teori, prinsip atau implikasi ideal dalam proses sejarah aktual.
c. Nasionalisme
menaruh kepedulian terhadap kegiatan-kegiatan politik, seperti kegiatan partai
politik tertentu, pengga-bungan proses historis dan satu teori politik.
d. Sebagai
satu sentimen, yaitu menunjukkan keadaan pikiran di antara satu nasionalitas.[17]
Gagasan yang terkait dengan nasionalitas ini meliputi kepribadian dan
karakter nasional, kedaulatan dan self-determinasi nasional, misi dan
tanggung jawab
nasional.[18]
Arti penting nasionalisme menurut Mazzini, adalah sebagai jembatan
persaudaraan manusia,[19] yang di dalamnya
terkandung revolusi
sosial, intelektual, dan
moral.[20] Dan dalam era kolonial, nasionalisme
mempunyai akar demokratis dibandingkan dengan negara yang tidak terjajah.[21] Kecuali itu, nasionalisme
merupakan satu ideologi untuk generasi muda.[22]
Menurut sudut pandang ilmuwan sosial dapat digolongkan menjadi dua sudut
peninjauan, yakni secara objektif dan secara subjektif.[23]
Jika ditinjau secara objektif maka nasionalisme dikaitkan dengan suatu
kenyataan objektif. Sebagai faktor objektif yang paling jelas dan lazim
dikemukakan, misalnya aspek atau faktor ras, bahasa, agama, peradaban (seperti
apa yang dikemukakan oleh para sarjana Anglo Saxon disebut sebagai “Civilization”), wilayah, negara, dan
kewarganegaraan. Meskipun demikian, pandangan seperti ini senantiasa tidak
terlepas dari kritikan, mereka berpendapat bahwa nasionalisme tidak selalu
ditentukan faktor objektif semata-mata. Bahwa agama, ras, dan peradaban, tidak
menentukan ada tidaknya nasionalisme itu. Sebagai contoh, kita ambil misalnya
faktor bahasa, sebagai faktor objektif. Bangsa Swiss, merupakan salah satu suku
bangsa yang tertua di Eropa dengan menggunakan empat bahasa resmi, yaitu bahasa
Jerman, Perancis, Italia, dan Rhacto-Romantik. Bangsa Kanada, menggunakan dua
bahasa resmi, yaitu bahasa Inggris dan bahasa Perancis. Agamapun, tidak
menentukan ada tidaknya nasionalisme dari sebuah bangsa itu. Lihat saja
misalnya bangsa Kanada yang terpisah ke dalam dua suku bangsa, yakni yang
masing-masing beragama Protestan dan Katolik. Di Indonesia, juga dikenal
sebagai bangsa yang mengalami hal serupa, yakni sebagai bangsa yang memiliki
multiagama.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa faktor-faktor objektif tersebut
merupakan faktor-faktor kausatif yang menentukan ada tidaknya suatu
nasionalisme yang secara khusus. Jadi, faktor-faktor objektif tersebut tidaklah
merupakan faktor yang bersifat konstan, yang membentuk nasionalisme, akan
tetapi lebih merupakan kondisi-kondisi yang memberikan corak secara khusus pada
nasionalisme sebagai suatu bangsa. Meskipun demikian, sebagai hal yang pokok
dan fundamental dalam pemahaman kita tentang nasionalisme adalah adanya
kesadaran yang tinggi atau dengan perkataan lain, nasionalisme merupakan
fomalisasi ataupun rasionalisasi daripada kesadaran nasional dan kesadaran
nasional itulah yang membentuk bangsa (natie), dalam pengertian politik berarti
sebagai negara nasional (nation state).
Definisi-definisi objektif tersebut, sudah sejak lama oleh Ernest Renan,
dalam suatu pamphlet yang dikenal dengan ungkapan Apakah Bangsa itu? Pada tahun
1882. Menurut pandangan Ernest Renan bahwa bangsa itu tidak selalu ditentukan
oleh ras, agama, bahasa, negara, peradaban, atau kepentingan ekonomi. Ide
nasional, didasarkan atas sejarah yang gilang-gemilang, adanya
pahlawan-pahlawan bangsa dan negara yang sungguh-sungguh mengabdi untuk nusa
dan bangsa. Bangsa (natie) terutama
dipersatukan oleh kesukaran-kesukaran, kesulitan-kesulitan
(penderitaan-penderitaan) yang dialami secara bersama. Oleh karena itu,
nasionalisme merupakan rasa kesadaran yang kuat dengan berlandaskan atas
kesadaran akan pengorbanan yang pernah diderita bersama-sama dalam sejarah dan
atas kemauan menderita dalam hal-hal serupa itu di masa depan.
Kemudian, jika ditinjau secara subjektif, nasiolisme adalah suatu
gerakan sosial atau sebuah aliran rohaniah yang mempersatukan rakyat ke dalam
suatu “natie” yang membangkitkan massa ke dalam keadaan politik dan sosial yang
aktif. Dengan nasionalisme seperti ini maka negara akan menjadi milik seluruh
rakyat, bukan lagi menjadi milik seorang Raja, atau milik kaum bangsawan, akan
tetapi menjadi milik rakyat sebagai keseluruhan dan rakyat dalam hubungan ini
akan menjadi suatu “natie”. Oleh karena itu, nasionalisme dapat dipandang
sebagai landasan ideal dari setiap negara nasional.
Selanjutnya, berdasarkan identifikasi diri pada
sub-bangsa dan negara-bangsa maka dapat dibedakan dua macam nasionalisme. Nasionalisme
atau rasa kebangsaan ini dibedakan menurut level
kebangsaan: (1) nasionalisme etnis (Etnhic
nastionalism), yaitu Nasionalisme yang merupakan ikatan kebangsaan yang
dibangun berdasarkan persamaan bahasa, kebudayaan, dan darah keturunan kelompok
etnis tertentu, misalnya: Catalan, Waloon, Wales, Aceh. Sedangkan (2)
Nasionaliisme sipil (Civic nationalism),
merupakan kebangsaan yang dibangun lewat adanya pengakuan dan kesetiaan pada
otoritas konstitusional dan kerangka perpolitikan dalam sebuah negara, selain
sejarah yang sama sebagai negara-bangsa dan digunakannya bahasa yang sama oleh
semua kelompok bangsa-bangsa. Atau dengan kata lain, ikatan yang dibangun
nasionalisme ini didasarkan atas kewarganengaraan di dalam sebuah wilayah
teritorial dan batas-batas yang berlaku bagi negara-bangsa. Sebagai contoh yang
relevan adalah nasionalisme yang tumbuh di antara rakyat negara-bangsa Spanyol,
Belgia, Inggris, atau Indonesia.[24]
Selanjutnya
Ignatieff membedakan antara nasionalisme sipil dengan Nasionalisme etnis dengan
memberikan label (cap) liberal atau illiberal (tidak liberal) pada kedua
nasionalisme tersebut. Nasionalisme etnis dicap sebagai nasionalisme yang
illiberal karena cara merumuskan keanggotaan nasionalnya mengikuti garis persamaan
bahasa, budaya, atau darah keturunan etnis, sedangkan nasionalisme sipil dicap
sebagai nasionalisme yang liberal karena nasionalisme sipil beroperasi dalam
kerangka demokrasi, penetapan keanggotaan nasional secara murni dilakukan mengikuti
prinsip-prinsip demokrasi.[25]
Dalam
tulisan lain disebutkan bahwa civic nationalism atau nasionalisme sipil
adalah ketika sebuah pemerintahan berdiri bukan semata-mata pada basis kesamaan
sejarah, etnisitas atau bahasa, tapi ide bahwa negara dan sekelompok masyarakat bersatu di bawah
perangkat hak dan kewajiban yang disediakan pemerintah. Dalam kondisionalitas
yang seperti itu, mustahil jika hukum dilandaslcan pada etnisitas, karena
perbedaan yang nyata antar kebudayaan dapat dengan mudah dilihat. Yang dapat
dilakukan kemudian adalah menyusun perangkat kewarganegaraan dan norma yang
berdasarkan identitas dan kesepakatan bersama. Sebuah faktor pemersatu (unifying
factor) mau tidak mau harus diciptakan agar negara dapat bertahan dan tidak
terpecah-belah.
Sementara
itu, ethnic nationalism atau nasionalisme etnis dapat kita temukan di
negara-negara dimana terdapat latar belakang sejarah dan identitas yang hampir
persis. Dalam kasus seperti ini, pembentukan negara terjadi secara ideal dan
pemerintahannya dijalankan dengan cara yang demikian pula. Dengan adanya
kesamaan norma atau etnisitas yang kuat, maka hukum yang mengatur tata
negara juga dapat disesuaikan. Prancis, misalnya, menjadikan sekularisme yang
sebagai identitas Prancis modern terbukti dengan hukum yang melarang simbol
keagamaan di ruang publik.[26]
Menurut
kami, nasionalisme etnis memiliki durabilitas yang jauh lebih lama karena
sifatnya yang netral dan alamiah. Meskipun demikian, praktiknya tidak semudah
itu, dan dalam kasus ini nasionalisme sipil memiliki kemungkinan implementatif
yang jauh lebih besar. Perbedaan utama antara nasionalisme sipil dan etnis
dapat dilihat sebagai berikut:[27]
Nasionalisme Sipil
|
Nasionalisme Etnis
|
Contoh
|
Hukum
|
Kesamaan asal (darah)
|
Kewarganegaraan
|
Pilihan
|
Warisan
|
"Dilahirkan dalam"
|
Ikatan rasional
|
Ikatan emosional
|
Pengadilan, bendera
|
Kesatuan berdasarkan
konsensus
|
Kesatuan berdasarkan askripsi
|
Town hall, tribe
|
Pluralisme demokratis
|
Mayoritas etnis berkuasa
|
CA, Singapura
|
Kebebasan
|
Persaudaraan
|
ALCU, kampung halaman
|
Individu membentuk bangsa
|
Bangsa membentuk individu
|
Mitos pembentukan
|
Nasionalisme
sipil dipercaya Ignatieff untuk lebih realistis sebagai sumber kepemilikan
daripada nasionalisme etnis. Etnisitas yang sama memang akan membuat sekelompok
orang bersatu, tetapi menjadi lemah terhadap perbedaan-perbedaan kecil yang
memungkinkan perpecahan yang lebih besar. Nasionalisme sipil mengajukan
kerangka berpikir dalam ruang rapat, partisipasi, serta kemungkinan legislatif
untuk menyatukan perpecahan. Meskipun demikian, Ignatieff masih mengakui bahwa
'bahasa primer' dunia hari ini masih berupa ethnic nation. Di bawah ini terdapat beberapa contoh kasus yang berkaitan dengan nasionalisme.
M. A. O. Alulo memiliki pendekatan lain dalam membedakan nasionalisme
etnis dan nasionalisme sipil. Menurutnya, nasionalisme etnis merupakan sebuah
fenomena sosial yang kompleks. Di satu sisi, ia dapat diartikan sebagai
seperangkat kepercayaan mengenai superioritas dan perbedaan antara sebuah
kelompok etnis serta melahirkan keinginan membela kepentingannya di atas hal-hal
lainnya. Pada saat yang bersamaan, istilah tersebut juga mengacu kepada
identifikasi individu terhadap kelompok etnis tertentu, kebudayaan,
kepentingan, serta tujuannya. Etnosentrisme lah yang memutuskan kesetiaan dari
hal-hal lain kecuali satu kelompok etnis.
Penjelasan terhadap ini diberikan oleh Hofstede (1994) yang mengatakan
bahwa setiap manusia memiliki tendensi kuat untuk memperjuangkan etnis atau
bahasanya sendiri sampai mendapatkan kemerdekaan atau setidaknya pengakuan
terhadap identitas mereka. Alih-alih penurunan, keecenderungan ini telah
menunjukkan peningkatan sejak abad ke-20 dimulai.
Stavenhagen (1994) kemudian berargumen bahwa nasionalisme etnis menjadi
sesuatu yang umum dalam masyarakat plural dan dapat dijelaskan dalam dua school
ofthoughts yang berbeda: primordialis dan instrumentalis. Kelompok pertama
melihat adanya 'primordial bond' yang menentukan identitas personal mereka dan
secara alamiah membentuk kelompok yang lebih matang dari bangsa atau sistem
kelas modern. Para instrumentalis, sementara itu, melihat identitas etnis
sebagai sebuah langkah bagi masyarakat—khususnya para pemimpin—untuk mengejar
tujuannya sendiri, seperti mobilisasi dan manipulasi kelompok untuk tujuan
politis.
Dalam opini Lijiphart (1984), seluruh bangsa multietnis
"...profoundly divided along religious, ideological, linguistic, cultural,
ethnic or racial lies." Apa yang disebutnya sebagai 'kebohongan'
dijelaskan oleh para antropolog modern sebagai instrumen stale-building. Dia
juga percaya bahwa dalam masyarakat yang tcrdiri dari berbagai sub-masyarakat
dengan kepentingan dan tujuan yang berbeda, fleksibilitas yang dibutuhkan untuk
sebuah demokrasi modern tidak mungkin tercipta. Dalam situasi yang seperti ini,
penggunaan aturan mayoritas bukan saja menjadi tidak demokratis tapi juga berbahaya
karena akan terjadi eksklusi terhadap kelompok minoritas yang mungkin berujung
pada usaha melawan pemerintahan.
Dalam kasus Nigeria dan berbagai negara Afrika serupa, terdapat pola
berulang sehubungan dengan masalah nasionalisme etnis di negaranya—antara lain
kesetiaan, komitmen, dan patriotisme dari warga negaranya. Menurut Ekeh (1975),
akar historis dari krisis tersebut berdasar pada fakta bahwa negara-negara
Afrika tidak lahir dari dalam masyarakatnya (seperti kebanyakan negara Eropa
Barat), tetapi dari luar—sebagai sebuah imposisi dari otoritas kolonial. Proses
penciptaan struktur asing ini berbasis pada formasi politik yang bersifat
artifisial dan menyatukan sub-nasionalisme yang berbeda di dalam teritori
tersebut secara semu, ketika sebenarnya kelompok tersebut masih merupakan dua
publik yang berbeda.
Publik yang pertama terisi dari pemerintah dan institusi modern yang
sifatnya instrumental bagi negara—militer, birokrasi, pengadilan, partai
politik dan sebagainya. Publik kedua adalah masyarakat primordial yang
terbentuk secara sosial selama berpuluh-puluh tahun, termasuk melalui proses
colonial yang tumbuh untuk memuaskan peimintaan personal dan kelompok yang
tidak dapat dipenuhi pemerintah kolonial maupun pos-kolonial. Publik ini yang
kemudian disebut Joseph (1987) sebagai nasionalisme etnis dan menjadi asal dari politik
prebedal di Nigeria. Prebendalisme secara sederhana dapat diartikan sebagai
proses untuk menggunakan posisi pemerintahan untuk mencapai kepentingan personal,
parokial, maupun kelompok—spektrum ekstrim dari pelaksanaan politik identitas.
Sayangnya, dualitas ini yang kemudian menjadi sumber masalah dan
ketidakstabilan politik di Nigeria.
Sehubungan dengan hal tersebut, Vladimir Fedorenko menyebutkan bagaimana
nasionalisme sipil, jika berhasil diadopsi di Asia Tengah, bukan hanya
berpotensi untuk menyatukan rakyat secara domestik tetapi lebih jauh
berkontribusi terhadap hubungan yang baik antara negara-negara tetangga.
Menjadi penting untuk diperhatikan bahwa masalah yang berkaitan dengan
identitas nasional tidak perlu dimulai dengan peraturan dan pengaturan hukum
serta peraturan de jure. Hampir seluruh konstitusi nasional menyebutkan
'kewarganegaraan' atau citizenship sebagai 'democratic' dan 'pluralistic.'
Negara-negara Asia Tengah telah menandatangani konstitusi yang
melindungi warga dari segala jenis diskriminasi ras, bahasa, gender, agama,
kelompok politik, dan sebagainya. Sayangnya, situasi de facto justru berlawanan
dengan fakta tersebut, dimana pembentukan mitos nasionai yang berbasis
etnisitas tidak hanya meningkatkan persepsi kepemilikan dan sense of pride,
tapi juga persepsi bahwa minoritas lain tidak harus dimiliki oleh bangsa ini.
Persepsinya memang tidak selalu dapat dilihat secara formal karena melawan
hukum, namun dalam relasi sehari-hari, perpecahan etnis dapat kita perhatikan
dan memang memiliki efek negatif terhadap relasi antarbangsa dalam negara
tersebut. Dengan kata lain, masalahnya tidak hanya terdapat sebagai sebuah
norma legal tapi juga praktek politik dan publik.
Nasionalisme sipil berasumsi bahwa identitas kolektif masyarakat dan
kedaulatan politik berdasarkan kepada kaitannya dengan nilai-nilai politik
ataupun teritori tertentu. Tidak seperti nasionalisme etnis yang mendahulukan
kelompok etnis tertentu dalam masyarakat, nasionalisme sipil mengakomodasi
seluruh populasi yang tinggal dalam sebuah negara.
Menurut Michael Ignatieff, nasionalisme sipil ".. .maintains that a
nation should be composed of all people—regardless of race, color, creed,
gender, language or ethnicity—who subscribe to the nation's political creed. n
Tipe nasionalisme ini disebut 'sipil' antara lain karena 'bangsa' dilihat
sebagai sebuah konsep egaliter dimana "...community of equal,
rights-bearing citizens united in patriotic attachment to a shared set of
political practices and values." Hal ini kemudian menandai sifatnya yang
demokratis. Nasionalisme sipil dapat dikatakan demokratis ketika: 1) setiap
warganegara diakui kedaulatannya, 2) terdapat klaim terhadap hak self-governing
serta 3) hak warga negaranya tetap dilindungi di negara lain.
Identitas nasional harus mewakili aspirasi utama dari populasi dan
disetujui oleh seluruh lapisan masyarakat—jika tidak, maka tujuan bersama tidak
akan terbentuk dan konflik bisa bermunculan. Hal ini yang harus disadari oleh
para negarawan di Asia Tengah. Nasionalisme etnis menciptakan batasan antara
in-group dan out-group bukan hanya di level domestik tapi juga
internasional—sehingga menimbulkan perpecahan di dalam dan antar negara. Karena
itu, etnosentrisme Asia Tengah harus digeser kepada nasionalisme sipil yang
berbasis pada nilai-nilai dan 'kampung halaman' yang sama. Daripada memberikan
tekanan pada akar historis, lebih baik pencapaian kontemporer dan rencana masa depan dari negara dijadikan sumber
solidaritas bangsa.
Menurut Jurgen Habermas, kedua nosi nasionalisme tersebut tetap berdasar
pada apa yang dia sebut sebagai 'logika komunikatif dari sebuah kelompok
masyarakat—terutama nasionalisme sipil. Peran bahasa, menurutnya, menjadi
instrumen utama yang sangat penting bagi terbentuknya nasionalisme, pelaksanaan
politik identitas, maupun kewarganegaraan. Sistem demokrasi secara spesifik memerlukan
sebuah bahasa bersama yang dapat bukan saja memfasilitasi proses politiknya,
tapi juga secara signifikan mempengaruhi hasil yang mungkin dicapai. Ruang
publik terbuka (atau lebih tepat 'dibuka') dengan manusia yang membentuk
jaringan-jaringan hubungan sosial serta intersubjektivitas yang berangkat dari
bahasa dan 'logika komunikasi' yang sebelumnya disebutkan. Komunikasi dikatakan
terdiri dari usaha menyetujui sebuah fakta atau kejadian di dunia—diskusi
sendiri dikaitkan dengan pertukaran alasan yang menilai validitas sebuah klaim
secara implisit maupun eksplisit dan dihadirkan oleh sebuah interlocutor. Hal
ini disadari oleh Ataturk dalam usahanya untuk menciptakan negara 'Turki' yang
berbasis sipil dan terlepas dari sifat-sifat keetnisan yang selama ini
digunakan pada masa Ottoman. Ataturk 'menciptakan' bahasa Turki untuk
memastikan berlangsungnya proses politik maupun sosial dengan ideal yang
kemudian menjadi basis bagi hak dan kewajiban warganegara adrninistratif yang
diatur oleh pemerintahan Turki.
Indonesia sendiri merupakan salah satu negara multietnis yang paling
problematis sejak pertama kali didirikan. Ide bahwa Indonesia merupakan sebuah
teritori yang kita ketahui hari ini tidak ada pada masa pra-kolonial, sampai
akhirnya Belanda mematok Sabang sampai Merauke sebagai wilayah koloninya
sebagai sebuah unit tunggal. Sayangnya, meskipun secara administratif
'lndonesia' ditangani dengan baik, kesetiaan dan relasi etnis sama sekali tidak
diperhatikan— bahkan dipecahbelah demi kepentingan dagang. Jika hari ini kita
masih dapat merasakan beberapa konflik sosial dan etnis, maka penyebabnya dapat
ditarik sejauh masa kekuasaan kolonial Belanda.
Seperti pada kasus Turki, bahasa Indonesia juga menjadi salah satu
instrumen utama untuk menyatukan bangsa yang dibayangkan para pendiri negara
ini.[32]
Usaha jangka panjang menuju penciptaan 'bangsa Indonesia' dimulai dari
perlawanan terhadap kolonialisme Belanda dan—dari situ—terciptalah berbagai
cita-cita mulia Indonesia sebagai sebuah satuan masyarakat. Sayangnya,
nasionalisme etnis Jawa pada awal perkembangan negara—yang dijustifikasi oleh
jumlahnya yang memang mayoritas—menjadi salah satu kelemahan usaha penyatuan
Bhineka Tunggal Ika ini. Politik Indonesia yang selama ini dikontrol orang Jawa
(pada masa Orde Baru) tidak mentoleransi perbedaan mendasar, non-konformitas,
serta alternatif regional. Ketidakinginan Jakarta pada masa itu untuk
mengabulkan hak politik dan ekonomi minoritas etnis memperbesar tensi dan
kekerasan antar-etnis yang sudah mulai berlangsung bahkan sejak tahun 1945.
Hasilnya, kebanyakan warga Indonesia masih sering mengidentifikasi dirinya sebagai
bagian dari etnis tersebut daripada dirinya sebagai 'bangsa Indonesia'.
*) Tulisan
dibuat dalam rangka Memenuhi Tugas Mata Kuliah Nasionalisme dan Resolusi
Konflik Etnis yang disampaikan oleh Prof. Dr. Burhan Djabier Magenda, M.A.
[1] L.L. Snyder, The Dynamic of
Nationalism, (Princeton: D. Van Nostrand Co. Inc., 1964), hlm. 25.
[2] E. Kedourie, Nationalism,
(London: Hutchinson University Library, 1996), hlm. 10.
[3] L.
Greenfeld and D. Chirot, “Nationalism and Agression”, dalam Theory and Society 23 (1), 1994: 79–130.
[4] K. R.
Minogue, Nationalism, (London:
Methuen, 1967), hlm. 21.
[5] R.
Emerson, From Empire to Nation,
(Cambridge: Harvard University Press, 1967), hlm. 188. Lihat juga H. Kohn, The Idea of Nationalism, (Toronto:
Collier Books, 1969), hlm. 11–183.
[6] Plamenatz,
J. Nationalism: The Nature and Evalution of an Idea, sebagaimana dikutip oleh
M. Rusli Karim, “Arti dan Keberadaan Nasionalisme”, dalam Analisis CSIS, 1996-2, hlm. 96.
[7] Ibid.
[8] W. Gungwu, Nationalism in Asia, dalam E.
Kamenka (ed.), Nationalism: The Nature and Evolution, (Canberra: ANU
Press, 1975).
[9] E.
Kedourie, op. cit., hlm. 9.
[10] C.
Nagengast, “Violence, Terror, and the Crisis of the State”, dalam Annual Review of Anthropology, 1994, 23:
109–136.
[11] A. D.
Smith, Nationalist Movement, (London:
The Macmillan Press, 1979), hlm. 1.
[12] K. R.
Minogue, op. cit., hlm. 25.
[13] A. D.
Smith, loc. cit.
[14] Plamenatz,
J., loc. cit.
[15] L.L.
Snyder, op. cit., hlm. 23.
[16] E.
Gellner, Nations and Nationalism, (Ithaca:
Cornell University Press, 1983), hlm. 1, 48–49.
[17] L.L.
Snyder, op. cit., hlm. 24.
[18] F.
Hertz, Nationality in History and
Politics, (London: Routledge and Kegan Paul, 1966), hlm. 233.
[19] R.
Emerson, op. cit., hlm. 387.
[20] Plamenatz,
J., op. cit., hlm. 36.
[21] R.
Emerson, op. cit., hlm. 238.
[22] K. R. Minogue,
op. cit., hlm. 8.
[24] Nuri
Soeseno, Kewarganegaraan: Tafsir, Tradisi, dan
Isu-isu Kontemporer, (Depok:
Departemen
Ilmu Politik FISIP UI, 2010), hlm. 102.
[25] Ibid., hlm. 106.
[26] Lihat Ethnic vs. Civic Nationalism",
dalam http://www.debate.Org/forums/politics/topic/2186/, diakses 21 September
2012, pkl. 11.33 WIB.
[27] Michael Ignatieff,
“Civic Nationalism & Ethnic Nationalism”, dalam https://www.msu.edu/user/hillrr/
161lec16.htm, diakses 21 September 2012, pkl. 11.44 WIB.
[28] M. A. O. Alulo, "Ethnic Nationalism and the Nigerian
Democratic Experience in the Fourth Republic" dalam Anthropologist, 5
(4), Kamla-Raj, 2003: 253–259, lihat http://www.krepublishers.com/02-Journals/T-Anth/Anth-05-0-000-000-2003-Web/Anth-05-4-217-303-2003-Abst-PDF/Anth-05-4-253-259-2003-106-Aluko-M-A-O/Anth-05-4-253-259-2003-106-Aluko-M-A-O-Text.pdf,
diakses 21 September 2012, pkl. 13.03 WIB.
[29] Vladimir Fedorenko, Central Asia: From Ethnic To Civic
Nationalism, (Washington D.C.: Rethink Institute, 2012), hlm. 21–22.
[30] Donald Ipperciel, "Constitutional Democracy And Civic
Nationalism," dalam Nations And Nationalism 13 (3), (2007), hlm. 395–416.
[31] Julius
Cesar I. Trajano,
"Ethnic Nationalism and Separatism in West Papua, Indonesia" dalam Journal
of Peace, Conflict, and Development, (16 November 2010), hlm. 13–14. Lihat http://www.peacestudiesjournal.org.uk/dl/iss_16_art_2.pdf,
diakses 21 September 2012, pkl. 13.13 WIB.
[32] Damien Kingsbury, "Diversity in Unity," dalam Damien
Kingsbury dan Harry Aveling (eds.), Autonomy and Disintegration in Indonesia,
(London: RoutledgeCurzon, 2004), hlm. 111.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar