oleh: Alpiadi Prawiraningrat
Salah
satu tulisan dalam buku "Dinamika Kekuasaan Ekonomi Politik Indonesia
Pasca-Soeharto". Vedi R. Hadiz memfokuskan analisanya terhadap persoalan
yang berkaitan dengan proses desentralisasi khususnya di Indonesia dengan
menyertakan faktor-faktor kekuasaan, persaingan dan kepentingan, yang berusaha
membantah penjelasan kaum Neo-institusionalis yang cenderung bergerak di
wilayah imajiner yang bebas politik dan bebas nilai agar masuk akal. Lebih
jauh, penulis memaparkan upaya alternatif untuk memahami kegagalan
desentralisasi dalam mencapai tujuan yang diharapkanya. Berdasarkan pengalaman yang ada di Indonesia
dan menghubungkannya dengan gagasan lembaga-lembaga demokrasi dapat direbut dan
dirampas oleh serangkaian kepentingan uang dalam prosesnya boleh jadi justru
menyisihkan mereka yang mendukung pandangan dunia ‘rasionalis-teknokratis’.
Desentralisasi yang dipahami sebagai
pemindahan kekuasaan politik, fiskal, dan administratif dari pemerintah pusat ke
pemerintah daerah dan merupakan bagian dari wacana
dan teori pembangunan, telah menjadi sebuah fenomena global dan regional serta menjadi salah satu
tema dalam kerangka pembangunan kaum neo-institusionalis yang diproduksi dari
organisasi pembangunan dunia seperti, Bank Dunia dan USAID (United States
Aid for International Development).
Desentralisasi menjadi isu yang
menarik dibicarakan dalam literatur pembangunan Neo-Institusionalis sebagai
aliran pemikiran pembangunan dari berbagai macam institusi (pasar, keluarga,
hukum, dan sebagainya) berdasarkan asumsi-asumsi teori ekonomi neoliberal
dengan fokus perhatiannya pada hal desentralisasi dan demokrasi serta
hubungannya, partisipasi, pertanggungjawaban, dan pemeliharaan civil
society atau modal sosial
dengan menekankan unsur pilihan, maksudnya adalah bahwa konsep desentralisasi
bagi negara-negara atau daerah tertentu dapat disesuaikan berdasarkan kebutuhan,
karakteristik, dan ketercapaian nilai-nilai yang diharapkan. Dengan begitu,
sangat diperhatikan sekali sebuah jalannya pemerintahan lokal atau daerah yang
bersifat teknokratis, bebas dari konflik, dan hubungan kesetaraan dalam
pemerintahan, agar kebijakan yang dihasilakan dapat efektif, efisien,
akuntabel, dan rasional, di mana dapat terealisasi praktik pemerintahan yang
baik dan partisipasi masyarakat yang lebih luas.
Namun, yang menjadi persoalan
adalah apakah konsep desentralisasi tersebut benar-benar bebas nilai dan bisa
diimplementasikan dengan asumsi-asumsinya yang apolitis? pada kenyataannya tidak,
sebagai contoh Indonesia pasca runtuhnya rezim Soeharto, yang mana masyarakat
lokal penuh dengan kontestasi dan perebutan kekuasaan untuk menjadi orang nomor
satu di daerahnya. Realita tersebut menimbulkan perdebatan dan kritik-kritik
terhadap perspektif Neo-Institusionalis, jika kita melihat berbagai hal yang
kontradiktif dengan praktik lapangan di Indonesia. Pembangunan sosial dengan
perspektif ini lebih jauh menurunkan lagi konsep-konsep yang saling berkaitan,
mulai dari perlunya civil society di dalam masyarakat, hubungan
saling percaya antara rakyat dan pemerintah maupun di kalangan aktor itu
sendiri sebagai modal sosial, good governance, dan desentralisasi sendiri
yang terfokus pada partisipasi lokal dalam pembuatan kebijakan.
Badan pembangunan internasional
nampaknya terlalu memanjakan konsep Neo-Institusionalisme dan terlalu memuji
negara-negara berkembang dalam hal desentralisasi, sebagai contoh Indonesia.
USAID misalnya, mengatakan bahwa Indonesia dengan cepat telah bergerak dari
masa-masa kontrol pusat yang begitu kuat menuju suatu sistem pemerintahan lokal
yang jauh lebih terdesentralisasi dan otonom. Jelas pernyataan ini tidaklah
begitu sesuai dengan kenyataan yang ada di lapangan masyarakat Indonesia saat
ini.
Kelemahan lain yang diungkapkan
oleh penulis berkaitan dengan Neo-Institusionalis adalah kenyataan bahwa terdapat
berbagai kepentingan yang bersaing dalam civil society sendiri,
bahkan bisa jadi kelompok-kelompok civil society yang menonjol
sangat antidemokrasi dan antibarat. Berdasarkan pemaparan tersebut dapat kita
lihat bahwa civil society sebenarnya sangatlah syarat dengan konflik
dan kepentingan, dan hal tersebut rupanya tidak diamati oleh Bank Dunia dan
USAID.
Meskipun dalam literatur World
Bank Group dikatakan bahwa desentarlisasi mungkin akan dapat
meminimalisir kemacetan dalam pembuatan keputusan yang seringkali disebabkan
oleh perencanaan dan kontrol pemerintah pusat atas kegiatan ekonomi dan sosial
dan sering juga dihubungkan dengan kebijakan-kebijakan seperti inovasi,
kreatifitas, serta penyediaan wadah seperti eksperimentasi lokal alam
pemerintahan yang efektif. Namun, Perlu
diamati bahwa proses desentralisasi di Indonesia telah dibajak oleh berbagai
kepentingan. Meskipun desain desentralisasi sejak semula cacat, hal ini bukan
alasan utama yang membuat proses tersebut merosot menjadi suatu gelanggang bagi
sifat predatoris para aktor lokal yang juga ikut
terdesentralisasi bersamaan dengan kekuasaan dari pusat ke daerah. Inovasi dan eksperimentasi pemerintahan lokal
bisa ditafsirkan berbeda dan disalahgunakan. Contohnya adalah tumbuh kembangnya
para “Raja-raja lokal” yang terjerat kasus korupsi yang banyak menjerat para
pejabat daerah, hal itu dimungkinkan karena luasnya kekuasaan dan kewenangan
untuk mengelola anggarannya sendiri, terlebih didukung oleh para preman-preman
dan bandit lokal di dalam pemerintahan daerah.
Sebagai perbandingan, penulis
menyuguhkan agar kita juga dapat melihat dan memahami bagaimana gagalnya
pemerintahan lokal dan desentralisi yang diterapkan di Afrika. Bahkan di Filipina
ada yang disebut “Bos Politik Lokal”, yang uniknya mereka dapat
dikategorisasikan sebagai kelas teknokrat atau kelas menengah, sebab meski
merupakan keturunan lokal yang menguasai suatu daerah tertentu, mereka mengenyam
pendidikan di Barat dan cukup dekat dengan model pemerintahan yang teknokratis. Fakta-fakta yang diungkapkan di atas
menunjukan bahwa meskipun kaum neo-institusionalis
menekankan aspek-aspek teknis dalam perencanaan kebijakan desentralisasi yang
efektif, namun kasus yang terjadi di lapangan sebenarnya memperlihatkan adanya
perebutan kekuasaan yang mempunyai dampak yang lebih besar dalam sebuah
desentralisasi dibandingkan hanya sebuah kebijakan teknis yang terencanakan.
Menurut Vedi Hadiz, dalam
realitas yang terjadi di Indonesia saat ini bahwa keseimbangan yang sebenarnya
antara otoritas pusat dan regional jauh kurang berkenaan dengan pembagian kerja
dan seperti yang telah disebutkan sebelumnya, lebih merupakan perebutan nyata
atas sumberdaya-sumberdaya politik dan ekonomi. Akhirnya sebagai sebuah kesimpulan dapat
dikataan bahwa kemenangan kepentingan-kepentingan predator dalam perebutan kekuasaanlah
yang memiliki implikasi yang paling penting bagi desentralisasi dan demokrasi
di Indonesia. Hal ini ditandai dengan keberhasilan membangun kembali diri
mereka (predator) dalam demokrasi baru. Dengan demikian,
desentralisasi tidak mungkin menghasilkan suatu jenis pemerintahan teknokratis
yang baik sebagaimana yang diidealkan dalam kerangka Neo-Institusionalis.
Daftar Pustaka
Sumber Bacaan Utama:
Hadiz, Vedi R. 2005. “Desentarlisasi
dan Demokrasi di Indonesia: Sebuah Kritik terhadap Perspektif
Neo-Institusionalis” dalam Dinamika
Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto. Jakarta: LP3ES. Hlm
272-304.
Kaum institusionalis akan setuju dengan asumsi inkeles, tetapi mereka akan menerapkannya pada lembaga politik maupun lembaga social, arah tujuan institusionali mebangun faslitas pendidikan, jaringa perdagangan, dan pegawai negeri merupakan bagian dari disain untuk mendirikan infrastruktur utama bagi pembangunan, pada gilirannya hal-hal ini menjadi dari bagi pemerintahan KONSTRUKTIVIS INSTITUSIONALIS POKER
BalasHapus