PENDAHULUAN
I.1 Latar
Belakang
Secara
geografis letak Indonesia sangat dekat dengan Australia. Kedekatan letak geografis
kedua negara menjadi salah satu faktor pertimbangan arah kebijakan luar negeri
masing-masing negara, khususnya Australia.
Pertimbangan yang didasarkan letak geografis adalah suatu upaya yang
dilakukan dalam mencapai kepentingan nasional setiap negara.
Sejak
1998, sasaran kebijakan luar negeri Australia terhadap Indonesia tampaknya ada
4 hal, yaitu:[1] Pertama, menciptakan suatu stabilitas dan prediktabilitas dalam hubungan kedua
Negara; Kedua, upaya untuk menciptakan dan mempertahankan saluran-saluran
dialog terbuka dan terus terang dengan Indonesia, untuk memperkuat saling
percaya dan pengertian antara kedua bangsa yang sangat berbeda sistem politik, hukum, sejarah,
bahasa dan budayanya; Ketiga ialah
kerja sama dengan Indonesia di arena politik dan ekonomi, khususnya yang berkaitan dengan
isu-isu regional Asia Tenggara dan Asia Pasifik; Keempat, apa yang disebut oleh Australia sebagai "multi-dimentional approach" atau
"broadening the relationship"
jauh dari penekanan hanya kepada masalah
politik ke penekanan-penekanan baru pada kerja sama ekonomi, sosial-budaya dan
pertahanan-keamanan.
Australia
memandang Indonesia sebagai sesama "middle
power" (kekuatan menengah) di
Asia Tenggara yang bisa diajak untuk menggalang kekuatan dan bekerja sama dalam
menjaga serta mempromosikan stabilitas keamanan di kawasan Asia Tenggara dan
peningkatan ekonomi negaranya. Sebaliknya bagi Indonesia, Australia juga bisa
menjadi mitra yang alamiah untuk meningkatkan kemampuan tidak hanya dalam
bidang pertahanan tapi juga ekonomi Indonesia.
Sasaran
kebijakan luar negeri Australia terhadap Indonesia memiliki korelasi dengan daya
tarik yang dimiliki masing-masing negara seperti sumber daya alam penunjuang
pariwisata yang ada di Indonesia dan fasilitas pendidikan yang sangat modern
yang dimiliki oleh Australia memungkinkan untuk setiap tahun, ratusan bahkan
ribuan orang Indonesia datang atau dikirim ke Australia untuk belajar. Sebaliknya,
puluhan atau ratusan orang Australia juga datang ke Indonesia untuk pertukaran
pelajar atau melakukan penelitian. Ini belum terhitung yang saling berkunjung
sebagai wisatawan. Adanya lalu-lintas orang semacam itu sebenarnya bisa memberi
kontribusi bagi perbaikan hubungan kedua negara, dengan meningkatkan saling
pengertian antara kedua-belah pihak. Indonesia tetap dipandang sebagai mitra
politik dan pertahanan yang baik bagi Australia.
Mobilisasi yang
terjadi antara masyarakat Australia dan Indonesia tersebut akhirnya
menginisiasi kedua negara melakukan kerjasama dalam bidang tranportasi
penerbangan sebagai upaya memfasilitasi warga negaranya untuk berpergian ke
masing-masing negara. Salah satu bentuk
kerjasama tersebut adalah yang dilakukan Menteri Perhubungan E.E. Mangindaan dan Menteri Infrastruktur dan
Transportasi Australia, Antony Albanese dengan menandatangani Persetujuan
Pelayanan Angkutan Udara (Air Service
Agreement) Indonesia dan Australia di Gedung Parlemen Australia yang
mencakup penunjukan, pemberian izin, pembatalan perusahaan penerbangan, hak
angkut, pengakuan sertifikat, penerapan standar keselamatan, keamanan
penerbangan, penerapan tarif, dan kapasitas.[2]
Salah satu
implementasi dari kerjasama tranportasi udara tersebut adalah direalisasikanya
kebijakan penerbangan langsung (direct
flight) antara Australia dan Indonesia dengan beberapa kota di Indonesia
khusunya Bali dan Lombok, sebagai tempat destinasi utama masyarakat Australia.
Menarik
untuk menganalisa implementasi kebijakan tersebut, karena hubungan luar negeri
yang terjalin di antara masing-masing negara tidak terlepas dari konteks lokasi
geografis yang saling berdekatan.
Kebijakan luar negeri yang didasarkan letak geografis juga tidak dapat
dipisahkan dari kepentingan nasional yang dimiliki Indonesia khususnya
Australia. Oleh karena itu, berbagai cara dilakukan untuk melindungi bahkan
memenuhi kepentingan nasional masing-masing negara, salah satunya adalah
melalui diplomasi dan kerjasama sebagai bagian dari sof power untuk mempengaruhi negara lain dalam konteks hubungan
luar negeri. Oleh karena itu, makalah ini akan menganalisa Kebijakan Penerbangan Langsung (Direct Flight) antara Australia dan
Indonesia tahun 2011-2013 dalam hubungan bilateral di antara kedua negara.
I.
2. Rumusan
Masalah
Berdasarkan pada latar belakang
diatas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut.
“Bagaimanakah implementasi
kebijakan penerbangan langsung (Direct Flight) antara Australia dan Indonesia
dalam konteks kerjasama bilateral dibidang
transportasi udara tahun 2011-2013?”
I.3 Kerangka Teori
Dalam makalah
ini digunakan beberapa teori, di antaranya geostrategi, kepentingan nasional
dan soft power sebagai pisau analisa
dalam membahas implementasi kerjasama direct
flight antara Australia dan Indonesia.
Geostrategi merupakan bagian dari
geopolitik dan kebijakan luar negeri yang didasarkan pada faktor geografi.
Lebih jelasnya, segala kegiatan politik luar negeri dan perencanaan militer
dalam geostrategi lebih mengedepankan faktor-faktor geografi. Sama seperti
konsep kebijaksanaan luar negeri lainnya, Geostrategi adalah sebuah konsep yang
terkait dengan SDA suatu negara (baik secara luas maupun terbatas) dan juga
dengan objek geopolitik (baik itu lokal, regional maupun global). Menurut Karl
Haushofer geostrategi merupakan strategi dalam memanfaatkan kondisi geografi
negara untuk menentukan tujuan serta kebijakan. Geostrategi merupakan
pemanfaatan lingkungan untuk mencapai tujuan politik.[3]
Geostrategi juga sangat relevan untuk
dipakai disemua hal atau masalah yang membutuhkan pendekatan dari geostrategi,
seperti salah satunya adalah kepentingan nasional suatu negara, sebagaimana
yang diungkapkan oleh Hans J. Morgenthau yang menyatakan bahwa geostrategi
sebagai strategi diplomasi harus didasarkan pada kepentingan nasional, bukan
pada alasan-alasan moral, legal dan ideologi yang dianggapnya utopis bahkan
berbahaya. Kepentingan nasional ini menurut
Roy Olton dan Jack C. Plano, untuk mencapai tujuan nasional luar negeri, perlu
dipertimbangkan juga kekuatan nasional yang dimiliki. Adapun elemen-elemen dari
kepentingan nasional mencakup pertahanan diri (self preservation),
kemandirian (independence), integritas teritorial (territorial
integrity), keamanan militer, dan kemakmuran ekonomi (economic
wellbeing).[4]
Morgentau juga menyatakan bahwa
kepentingan setiap negara adalah mengejar kekuasaan (power), yaitu apa saja yang bisa membentuk dan mempertahankan
pengendalian suatu negara atas negara lain. Hubungan kekuasaan atau
pengendalian ini bisa diciptakan melalui teknik-teknik paksaan maupun
kerjasama.[5] Pendapat
Morgentau mengenai kekuasaan (power) memiliki
korelasi dengan pandangan Joseph S. Nye yang
menyatakan bahwa kekuasaan (power) merupakan kekuatan atau kemampuan mempengaruhi pihak lain untuk mendapatkan hasil
yang diinginkan[6]. Power ini terbagi menjadi dua spektrum perilaku yang berbeda, yaitu hard power termasuk dalam spektrum perilaku command
power, yang merupakan kemampuan untuk mengubah apa
yang pihak lain lakukan (what others do)
dan soft power yang termasuk
dalam spektrum perilaku co-optive power, yang merupakan kemampuan yang digunakan sehingga dapat mempengaruhi
dan membentuk apa yang pihak lain inginkan
(what others want)[7]. Co-optive power diperoleh melalui dua cara,
yaitu:[8] a) agenda setting, dengan cara memanipulasi
agenda pilihan politik sehingga pihak lain gagal mengekspresikan suatu
preferensi politik tertentu karena merasa preferensi tersebut terlihat tidak
realistis yang bersumber pada institusi; dan b) attraction, didasarkan pada daya tarik yang
bersumber pada budaya, nilai-nilai serta kebijakan luar negeri yang dimiliki.
Selanjutnya Soft power dijelaskan Nye sebagai suatu kekuatan atau
kemampuan yang digunakan untuk mempengaruhi
pihak lain sebagai upaya mendapatkan hasil yang
diinginkan (power) melalui penggunaan daya tarik daripada penggunaan kekerasan (coercion) atau imbalan (payment)[9]. Nye memaparkan bahwa soft power suatu negara
utamanya berasal dari tiga sumber, yaitu[10]: a) kebudayaan (culture), sehingga membuat negara tersebut menarik bagi pihak lain; b) nilai politik (political values) yang dianut negara tersebut di dalam maupun luar negeri; dan c). kebijakan luar negeri (foreign
policies) yang membuat negara memiliki
legitimasi dan otoritas moral.
Menurut Nye, kebijakan
luar negeri sebagai bagian dari sumber soft
power suatu negara tidak dapat dipisahkan dengan aktor-aktor yang terlibat dalam pembentukan soft power itu sendiri yang
diistilahkan sebagai “referees” dan “receivers” soft power[11]. “Referees” soft power” dipahami
sebagai pihak yang menjadi sumber
rujukan legitimasi dan kredibilitas soft
power. Sedangkan “receivers” soft power adalah target yang dituju
sebagai sasaran penerima soft power[12].
1.3
Metode Penulisan
Metode penelitian yang dilakukan
adalah penelitian kualitatif yang bertujuan mengambarkan atau melukiskan
keadaan subjek dan objek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat dan
lain-lain).[13]
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang datanya adalah data-data
kualitatif, umumnya dalam bentuk narasi.[14] Menurut Lofland dan Lofland
sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah seperti dokumen dan
lain-lain.[15]
Adapun dalam penyusunan makalah
ini menggunakan studi kasus atau penelitian kasus yang merupakan penelitian
yang berkenaan dengan suatu fase spesifik atau khas dari keseluruhan
personalitas.[16] Studi
kasus dari lokasi penyusunan makalah ini berkaitan dengan implementasi
kebijakan penerbangan langsung (direct
flight) antara Australia dan Indonesia.
Keterbatasan dari makalah ini ada
pada minimnya data dan informan sebagai sumber data primer dalam analisa
masalah. Sehingga kesulurahan data dan
informasi yang terdapat dalam makalah ini didasarkan pada sumber sekunder,
berupa buku teks, journal, skripsi dan website.
PEMBAHASAN
II.1 Kerjasama Penerbangan
Langsung (Direct Flight) Australia
Indonesia tahun 2011-2013
Penerbangan Langsung (direct flight) adalah suatu istilah yang digunakan untuk
menjelaskan proses mobilisasi indvidu dengan menggunakan transportasi udara
atau pesawat dari suatu tempat ke tempat lain dalam lingkup nasional (dalam
negeri) maupun internasional (luar negeri).
Penerbangan langsung (direct
flight) adalah suatu upaya yang dilakukan untuk mempermudah mobilisasi
masyarakat ke suatu tempat yang dituju, termasuk tempat wisata.
Pada perjalananya penerbangan langsung (direct flight) ini difasilitasi oleh
negara sebagai bagian dari kerjasama bilateral negara. Implementasinya penerbangan langsung (direct flight) ini tidak dapat terlepas
dari kebijakan luar negeri negara-negara tertentu yang didasarkan pada kondisi
geografis negara dan keuntungan yang dapat diperolehnya melalui implementasi
kebijakan tersebut, khususnya dalam hal
ekonomi sebagai bagian dari kepentingan nasional yang hendak dicapai.
Letak geografis antara Australia dan Indonesia
menjadi juga menjadi pertimbangan kerjasama direct
flight antara Australia dan Indonesia.
Dalam hal direct flight ke
Lombok misalnya dapat dipahami sebagai implementasi geostrategi Australia yang memanfaatkan
kondisi geografi negara untuk menentukan tujuan serta kebijakan politiknya, yaitu memperoleh keuntungan
ekonomi.
"Lombok
itu sangat dekat dengan Australia. Kita akan usahakan ada penerbangan langsung
dari sana. Dengan dibangunnya Bandara di Lombok maka kami minta agar Australia
menambah penerbangan ke Lombok, begitu pula sebaliknya,
Australia-Lombok-Australia."[17]
Seperti halnya yang dikemukakan oleh akademisi
Australia yang mengungkakan bahwa Australia melihat Indonesia sebagai pasar
yang menguntungakn Australia.[18] Dalam perspektif pemerintah Indonesia terealisasinya
kerjasama bilateral ini diharapkan dapat meningkatakan popularitas pariwisata Lombok
oleh turis Australia dan berimplikasi terhadap kunjungan wisatawan asal
Australia yang mencapai 769 ribu, di mana pada tahun 2011, sampai Juni lalu
kunjungan dari Australia sudah mencapai 398 ribu. Dari jumlah itu mayoritas
tujuan kunjungannya adalah Bali.[19]
Sementara Martin Ferguson mengungkapkan Lombok
merupakan salah satu destinasi wisata yang menarik untuk dikunjungi setelah
Bali. Dibukannya penerbangan langsung dari Australia ke Lombok diharapkan
sebagai sarana dalam membawa seni dan budaya ke Australia dan memfasilitasi
banyak wisatawan Indonesia yang berkunjung ke Australia.[20]
Selanjutnya perkembangan kerjasama penerbangan
langsung (direct flight) antara
Australia dan Indonesia juga berlanjut hingga penandatangaan Persetujuan
Pelayanan Angkutan Udara (Air Service
Agreement) antra Australia dan Indoneisa di Gedung Parlemen Australia,
Canberra, Australia pada bulan februari tahun 2011 silam yang dilaksanakan oleh
Menteri Perhubungan E.E. Mangindaan dan Menteri Infrastruktur dan Transportasi
Australia, Antony Albanese.[21] Selain itu, kedua menteri transportasi juga
menandatangi Annex II dari Memorandum of Understanding yaitu Arrangement Between The Minisry of
Transportation of the Republic of Indonesia and the Department of Infrastrcture
and Transport of Australia on Transport Security Cooperation sebagai landasan
hukum dalam pelaksanaan perjanjian hubungan antara kedua negara yang dituangkan
dalam perjanjian teknis yang mengatur secara rinci kapasitas hak angkut,
frekuensi dan tipe pesawat maskapai penerbangan masing-masing negara.
Lingkup Persetujuan Pelayanan Angkutan Udara (Air Services Agreement/ASA) antara lain
mencakup penunjukan, pemberian izin dan pembatalan perusahaan penerbangan, hak
angkut, pengakuan sertifikat, penerapan standar keselamatan, keamanan
penerbangan, penerapan tarif, kapasitas, peluang melakukan usahakan penerapan
hukum persaingan usaha, termasuk penerbangan langung (direct flight) Australia-Indonesia.
Berdasarkan Memorandum of Understanding (MoU) Hubungan Udara Australia dan
Indonesia, kedua negara sepakat untuk meningkatkan kapasitas hak angkut tiap
jurusan dari/ke Sidney, Melbourne (termasuk Avalon), Brisbane dan Perth.
Persetujuan tersebut membebaskan batasan kapasitas, frekuensi dan tipe pesawat
dari/ke poin lainnya di Asutralia selain Sidney, Melbourne (termasuk Avalon),
Brisbane dan Perth.[22] Persetujuan
tersebut juga menyepakati tambahan 2.500 kursi/Minggu pada tiap tujuan Sidney,
Melbourne (termasuk Avalon), Brisbane dan Perth. Dengan demikian maskapai
penerbangan kedua negara dapat mengangkut sampai 27.500 penumpang setiap minggu
untuk tujuan Sydney, Perth, Brisbane dan Melbourne.
Sementara untuk dari dan ke kota lain selain
keempat kota tersebut, tidak terdapat pembatasan kapasitas, frekuensi dan tipe
pesawat. Guna mendorong penerbangan kargo, Pemerintah Australia dan Indonesia
juga membuka peluang bagi perusahaan penerbangan Nasional Indonesia dan
perusahaan penerbangan Australia dengan membuka poin Jakarta, Medan, Surabaya,
Denpasar, dan Makassar ke semua point
di Australia tanpa batasan frekuensi dan kapasitas.
Dalam hubunganya dengan kebijakan penerbangan
langsung (direct flight), tidak dapat
dipisahkan dari maskapai penerbangan yang terlibat di antara kedua negara, di
antaranya adalah Lion Air, Garuda Indonesia, Qantas dan Virgin Australia.[23] Di mana untuk Lion Air sendiri sudah
menyatakan kesanggupannya untuk menerbangi rute Kupang, Indonesia-Darwin,
Australia, serta menyanggupi permintaan Nadjib Riphat, Duta Besar RI di
Australia untuk menerbangi rute Adelaide-Denpasar. Saat ini kapasitas angkut yang sudah digunakan
Indonesia sebanyak 12.000 kursi dan pihak Australia sudah menggunakan sebanyak
17.100 kursi/minggu. Rute dan maskapai yang menerbangi Indonesia-Australia
adalah PT. Garuda Indonesia dengan rute Denpasar-Perth, Denpasar-Sidney,
Denpasar-Melbourne, Jakarta-Sidney dan Denpasar-Melbourne. Sementara di pihak Australia melalui maskapai Qantas
menerbangi rute Sidney-Jakarta, Qantas code
share dengan Jetstar melayani rute Sidney-Denpasar, Melbourne-Denpasar dan
Perth-Denpasar. Selanjutnya maskapai Virgin Australia melayani rute Adelaide-Denpasar.
Jika kita mengkaitakan penjelasan kerjasama direct flight di atas dengan teori
kekuasan menurut pandangan Joseph S. Nye pada dasarnya
kebijakan direct flight antara
Australia dan Indonesia adalah merupakan bagian dari soft power yang dimiliki oleh pemerintah Australia. Soft
power ini digunakan oleh pemerintah Australia sebagai upaya dalam
meningkatkan kunjungan dari wisatawan asing khusunya Indonesia agar dapat
berkunjung ke Australia dan mengenalkan kebudayan Indoensaia. Implementasai dari soft power ini pada dasarnya tidak dapat terlepas dari geotstrategi
pemerintah Australia yang didasarakan pada letak geografis Australia dan
Indonesia yang saling berdekatan dan pandangan Australia yang melihat Indonesia
sebagai pasar yang potensial dalam menarik wisatawan Indonesia menjadi bagian
dari pertimbangan implementasi soft power
dalam kerjasama bilateral antara Australia dan Indonesia.
Disamping itu,
Kerjasma bilateral dalam hal penerbangan langsung (direct flight) antara Australia dan Indonesia sebagai bagian dari
kebijakan luar negeri Australia dapat dikatakan sebagai bentuk dari
implementasi attraction yang
dikemukakan oleh Joseph S. Nye. Selain itu, daya tarik masing-masing negara
dalam hal destinasi pariwisata yang dimiliki setiap negara, khususya Asutralia
menjadi salah satu landasan yang dapat diasumsikan sebagai pengimplementasian soft power dalam kerjasama bilateral
Australia dan Indonesia. Karena tidak
dapat dipungkiri bahwa masing-masing negara memiliki destinasi wisata sebagai
daya tarik yang dapat menarik minat wisatawan asing, misalnya Indonesia dengan
keindahan alam pantai Bali dan Lomboknya serta Australia dengan kemodernitas-an
berbagai fasilitas yang dimilikinya menjadi faktor pendorong wisatawan
Indonesia berkunjung ke Australia.
Alasan untuk berlibur merupakan faktor paling
tinggi tujuan wisatawan Indonesia datang ke Australia. Dari tahun 2008 hingga
tahun 2012, jumlah wisatawan Indonesia yang datang untuk berlibur di Australia
semakin meningkat. Para pengunjung dari Indonesia yang datang untuk berlibur di
Australia menjadi segmen pasar terbesar Australia, sehingga semakin menjaga
konsistensi Australia untuk terus mengarah kepada Indonesia sebagai pasar utama
bagi pariwisata Australia.
Sedangkan jika
dikaitakan dengan aktor-aktor yag terlibat dalam implementasi soft power ini Menurut Nye. Referess dalam kasus ini terlihat tidak
hanya pemerintah Australia saja, tapi juga pemerintah Indonesia yang ikut
memfasilitasi pengimplementasian kebijakan direct fight antara Australia dan
Indoneisa. Sedangkan dalam receivers dapat dipahami sebagai
pemerintah dan masyarakat Indonesia, hal ini didasarkan pada asumsi bahwa
selain dari tujuan peningkatan kerjasama bilarteral di antara kedua negara
tujuan dari direct flight ini adalah
membuka kesmpatan untuk meningkatkan pendapatan ekonomi Australia.
II.2 Manfaat
Kerjasama Penerbangan Langsung (Direct
Flight) Australia dan Indonesia tahun 2011-2013
Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya,
bahwa dalam kebijakan luar negeri yang didasarkan letak geografis tidak dapat
dipisahkan dari kepentingan nasional yang dimiliki negara-negara yang terlibat,
termasuk dalam kasus ini adalah kepentingan nasional Australia. Salah satu
kepentingan nasional itu adalah kepentingan ekonomi. Oleh karena itu, berbagai
cara dilakukan untuk melindungi bahkan memenuhi kepentingan nasional
masing-masing negara, salah satunya adalah melalui diplomasi dan kerjasama
sebagai bagian dari soft power guna
mempengaruhi negara lain dalam konteks hubungan luar negeri. Adanya kebijakan direct flight ini tentu tidak dapat
dilepaskan dari kepentingan nasional salah satunya yaitu kepentingan ekonomi
yang didiukung dengan memberikan dampak pada berbagai sektor, khususnya
pariwisata, sebagai contoh adalah berkaitan dengan jumlah wisatawan asing yang
berkunjung ke Indonesia dan wisatawan Indonesia yang berkunjung ke Australia.
Jumlah wisatawan Indonesia yang berkunjung ke
Australia mengalami kenaikan yang signifikan. Semenjak diimplementasikanya
kebijakan direct flight pada tahun 2011 ke beberapa wilayah Australia jumlah
wisatawan Indonesia yang berkunjung ke Australia mencapai 140.000 orang
wisatawan. Sebagai suatu upaya peningkatan kembali jumlah wisatawan yang pernah
mengalami penurunan jumlah di antara tahun 1996 dan tahun 2000 dialami
Australia karena pasca terjadinya krisis ekonomi yang melanda Indonesia dan
wilayah Asia lainnya, hal ini tentu berdampak pada penurunan jumlah wisatawan.
Namun antara tahun 2002 hingga 2012, ada kenaikan sebesar 5 persen. Pasca tahun
2008, jumlah wisatawan Indonesia yang berkunjung ke Australia mengalami
kenaikan signifikan, hal ini dikarenakan adanya peningkatan kapasitas
penerbangan dan adanya pertumbuhan ekonomi di wilayah Indonesia.
Sedangkan dalam hal dampaknya terhadap daerah
yang menjadi subjek dari kebijakan direct flight ini sepert Bali misalnya,
keuntungan yang dapat diperoleh dapat dilihat melalui tabel di atas bahwa semenjak
dioptimalkanya kebijakan direct flight ini terjadi peningkatan jumlah wisatawan
dari tahun sebelumnya. Tahun 2011 jumlah
wisatawan Australia yang berkunjung ke Bali sebanyak 788.664 orang dan
mengalami peningkatan hanya di tahun 2012 sebanyak 799.897 orang. Hal ini tentu
merupakan jumlah yang besar dan tentu semakin nyata bahwa Bali merupakan
destinasi utama wisatawan Australia. Membandingkan dengan tabel sebelumnya, bahwa
wisatawan Indonesia yang berkunjung ke Australia pada tahun 2012 hanya sebanyak
141.000 orang. Hal ini tentu berbanding jauh dengan jumlah wisatawan Australia,
yang hanya ke Bali saja, berjumlah 799.897 orang.
Selain dari jumlah wisatawan, implementasi kebijakan ini di sisi lain
diharapkan dapat meningkatkan kapasitas penerbangan negara Australia yang jauh
tertinggal dengan Garuda Indonesia yang juga merupakan salah satu faktor
terpenting bagi industri pariwisata. Semakin banyak kapasitas penerbangan yang
tersedia, tentu akan berimplikasi terhadap meningkatkan jumlah kunjungan
wisatawan.
Di sisi lain
kebijakan direct flight ini tidak
hanya menekankan tujuan pada upaya Australia dalam ketertarikanya terhadap seni
dan budaya ke Australia dan memfasilitasi banyak wisatawan Indonesia yang
berkunjung ke Australia sebagaimana diungkapkan oleh Martin Ferguson[24] tapi sebagai
upaya dalam meningkatkan kapasitas penerbangan beberapa maskapai yang dimiliki
oleh Australia yang tertinggal jauh dengan maskapai Garuda yang dimiliki
Indonesia. Sebagaimana diagram di atas menunjukan bahwa kapasitas penerbangan
Garuda Indonesia mencapai 45% dibandingkan dengan Qantas yang hanya mencapai
14%.
Australia tentu berkompetisi dengan
negara-negara lain untuk menguasai pasar Indonesia sebagai negara tetangganya.
Indonesia merupakan target pasar yang nyata, yang diincar oleh Australia. Seperti
halnya yang dikemukakan oleh akademisi Australia yang mengungkakan bahwa
Australia melihat Indonesia sebagai pasar yang menguntungakn Australia.[25]
Indonesia sebagai pasar potensial dalam
mengkonsumsi pariwisata Australia tidak terlepas dari data yang menunjukan
bahwa Australia berada di urutan ke-5 (lima) sebagai perferensi tujuan
wisatawan Indonesia. Sehingga diharapkan
bahwa banyaknya wisatawan Indonesia yang
berkunjung ke Australia dapat meningkatkan pendapatan negara Australia.
Di samping
itu, selain kepentingan ekonomi Australia-pun mendukung percepatan pariwisata
Kawasan Timur Indonesia (KTI) sebagai upaya menjaga keamanan negaranya.[26] Tujuan bantuan Australia adalah pengurangan
kemiskinan dengan bantuan yang melalui dua aliran: a) memperbaiki Pemerintahan
termasuk administrasi pemerintah, lembaga perbankan, keuangan dan keadilan; b) pengembangan
sumber daya manusia masyarakat yang miskin dengan memperbaiki pendidikan; c) kesehatan,
khususnya ibu dan anak serta pengendalian HIV/AIDS; dan penyediaan air minum. Banyak
sumbangan Australia yang diarahkan ke Indonesia bagian timur, terutama ke Nusa
Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan Irian Jaya sebab daerah-daerah ini merupakan
daerah yang paling miskin dan paling ketinggalan di Indonesia. Kebanyakan
bantuan Australia berbentuk program pendidikan dan pelatihan.[27] Sebagai contoh dari bantuan Australia terhadap kawasan
Timur Indonesia ini adalah berita yang menginformasikan, bahwa:
“The West Nusa Tenggara (NTB) provincial administration has received grants
from the Australian government worth A$12.2 million (US$11 million) for the
improvement and upkeep of road infrastructure in the province, through the
Provincial Road Improvement and Maintenance (PRIM) program for the 2013-2015
period.”[28]
“Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara
Barat (NTB) telah menerima hibah dari pemerintah Australia senilai A$
12.200.000 (US$ 11 juta) untuk perbaikan dan pemeliharaan infrastruktur jalan
di provinsi tersebut, melalui program untuk Perbaikan Jalan Provinsi dan
Pemeliharaan ( PRIM ) periode 2013-2015.”
Hal ini
mengingat letak geografis kawasan timur Indonesia yang sangat dekat dengan
Australia. Kedekatan secara geografis dan populasi
yang besar menjadi penilaian tersendiri yang teramat penting bagi Asutralia,[29]
karena secara geografis sektor utara Australia yang bedekatan dengan wilayah
Timur Indonesia dianggap paling rawan terhadap ancaman militer langsung, hal
ini didasarkan pada pengalaman selama Perang Dunia II ketika Jepang menggunakan
Indonesia dan Papua New Guinea (PNG) untuk melancarkan serangan ke daratan
Australia. Atas dasar inilah Kepulauan
Indonesia Timur menjadi prioritas utama karena mampu bertindak sebagai perisai
bagi pertahanan terutama ancaman dari sektor Utara Australia. Selain itu dikhawatirkan jika terjadi konflik
di Indonesia, khususnya Indonesia Timur dapat mengancam keamanan tidak hanya
Australia, tapi juga Singapura, Malaysia dan Papua New Guinea (PNG) sebagai
negara yang letak geografisnya berdekatan.[30]
Sehingga berdasarkan pemaparan manfaat
kerjasamana direct flight antara
Australia dan Indonesia di atas nampaknya terdapat agenda setting yang dirancang Asutralia sebagai upya meningkatkan
perekonomian negaranya. Asumsi itu muncul karena didasarkan pada fakta
yang menunjukan bahwa dibangunya kerjasamana direct flight antara Australia dan Indonesia tidak hanya didasrkan
pada upaya peningkatan kerjasama bilateral di antara kedua negara yang
didasarkan pada pertimbangan letak geografis dan ketertarikan akan seni dan
budaya Indonesia. Tapi lebih mendalam, disepakatinya kebijakan ini adalah
sebagai upaya Australia dalam memaksimalkan potensi Indonesia sebagai pasarnya.
Dan sebagai upaya dalam meningkatkan kapasitas penerbangan maskapai Australia
yang tertinggal oleh Indonesia. Di sisi lain, dukungan Australia terhadap
percepatan pembangunan Indonesia Timur, sebagai upaya menjaga keamanan
perbatasan Asutralia dengan Indonesia Timur.
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya
kerjasama bilateral antara Australia dan Indonesia dalam bidang tranportasi
udara yaitu direct flights antara
Australia dan Indonesia merupakan suatu bentuk implementasi soft power dalam hubungan luar negeri
Australia dan Indonesia. Soft power dapat dilihat dari cara
Australia melakukan kerjasama diplomasi dengan Indonesia sebagai upaya mencapai
kepentingan nasional negaranya terutama dalam bidang ekonomi. Implementasi soft power dalam kerjasma bilateral antara Australia dan Indonesia
juga tidak dapat terlepas dari geostrategis yang merupakan pertimbangan
kebijakan luar negeri yang didasarkan letak geografis kedua negara yang
beredekatan. Letak geografis ini menjadi
pertimbangan disepakatinya kerjasama direct
flight, karena Australia melihat Indonesia sebagai pasar yang potensiala
dalam mendukung peningkatan perekonomian Australia. Lebih dalam, sebetulnya menarik melihat
implementasi kebijakan direct flight
antara Australia dan dan Indonesia ternyata tidak hanya didasrakan pada upaya
menjaga hubungan kerjasama di antara kedua negara, akan teteapi sebgai bagian
dri agenda setting Australia dalam upayanya eningkatkan kunjungan wisatawan
Indonesia ke Australia dan sebagai usaha untuk meningkatkan kapasitas penerbangan
maskapai negara Asutralia yang jauh tertinggal dengan maskapai Indonesia
sebagai salah satu faktor terpenting bagi industri pengembangan industri pariwisata
di masing-masing negara. Selain itu, dukungan Australia terhadap percepatan pembangunan Indonesia Timur,
sebagai upaya menjaga keamanan perbatasan Asutralia dengan Indonesia Timur
Daftar
Pustaka
Sumber
Buku:
Bungin,
Burhan. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2001.
Kountur,
Ronny Metode Penelitian untuk Penulisan
Skripsi dan Tesis. Jakarta: PPM, 2003.
Mas’oed,
Mohtar. Ilmu Hubungan Internasional Disiplin dan Metodologi. Jakarta:
LP3ES, 1990.
Moleong,
Lexy J.. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002. Nasir,
Moh.. Metode Penelitian. Jakarta: Galia Indonesia, 1998.
Nasution,
Dahlan. Konsep Politik Internasional.
Jakarta: Bina Cinta, 1983.
Nye, J.S. ‘Public Diplomacy and Soft Power’, THE ANNALS of the American Academy of
Political and Social Science; 616;94-109, 2008.
Plano,
Jack C and Roy Olton. The International Dictionary. New York: Wentern Michigan University, 1973.
Sumber
Artikel
Dibb, Paul and Richard Brabi. Indonesia In Australian Defence Planning. Security
Challenges, Vol 3, no.4, November 2007.
Dibb, Paul. Indonesia: The Key of South-East Asia’s Security. Editorial, Sydney Morning Herald, 29 May
2001. Hlm. 829-842.
Nye, J.S. Soft
Power and Higher Education’, Forum for the Future of Higher Education, 2005 diunduh dari http://www.educause.edu/Resources/SoftPowerandHigherEducation/158676, Senin, 18 November 2013; Pukul 07.41 WIB.
Sumber Tabel
Indonesia Market Profile 2013 dalam http://www.tourism.australia.com/documents/Markets/MP-2013_INDO-Web.pdf
diakses pada Sabtu, 30 Desember 2013; Pukul 14.54 WIB.
Australian Bureau of Statistics, Overseas
Arrivals & Departures http://www.abs.gov.au/ausstats/abs@.nsf/mf/3401.0/
diakses pada Sabtu, 30 Desember 2013; Pukul 14.53 WIB.
Badan Pusat Statistik Provinsi Bali dalam http://bali.bps.go.id/index.php?reg=par_full
diakses pada Jumat, 29 November 2013; Pukul 03.56 WIB.
Sumber
Website:
Nn. NTB gets grants for roads
from Oz. http://www.thejakartapost.com/news/2013/12/09/ntb-gets-grants-roads-oz.html diakses pada Senin, 9 Desember 2013; Pukul 09.53 WIB.
from Oz. http://www.thejakartapost.com/news/2013/12/09/ntb-gets-grants-roads-oz.html diakses pada Senin, 9 Desember 2013; Pukul 09.53 WIB.
Nn. Indonesia-Australia Sepakat Kerjasama Pelayanan
Angkutan Udara http://beritatrans.com/2013/02/07/indonesia-australia-sepakat-kerjasama-pelayanan-angkutan-udara/
diakses pada Selasa, 26 November 2013; Pukul 20.16 WIB.
Nn. http://www.google.com/Malkian
Elvani/ Geostrategi/ Diakses Selasa, 5 November 2013; Pukul 19.33 WIB.
Nn. PENERBANGAN: RI-Australia teken kerja sama
pelayanan angkutan udara dalam http://industri.bisnis.com/read/20130207/98/135357/penerbangan-ri-australia-teken-kerja-sama-pelayanan-angkutan-udara
diakses pada Kamis, 28 November 2013; Pukul 23.24 WIB.
Nn. RI-Austrtalia teken Air Service
Agreement dalam http://whatindonews.com/id/post/668
diakses pada Senin, 25 November 2013; Pukul 23.26 WIB.
Nn. Australia Sepakat Dongkrak Kunjungan Wisman
http://www.suarapembaruan.com/home/indonesia-australia-sepakat-dongkrak-kunjungan-wisman/9806
diakses pada Selasa, 26 November 2013; Pukul 00.42 WIB.
Nn. RI-Australia Teken Kejasama Angkutan Udara
dalam http://www.indii.co.id/upload_file/201302130905220.RI%20Australia%20Teken%20Kerja%20Sama%20Angkutan%20Udara.pdf
diakses pada Jumat, 29 November 2013; Pukul 23.29 WIB.
Nn. Menhub E.e. Mangindaan Tanda Tangani Persetujuan Pelayanan Angkutan Udara
Indonesia - Australia Dalam http://m.dephub.go.id/read/berita/berita-umum/menhub-ee-mangindaan-tanda-tangani-persetujuan-pelayanan-angkutan-udara-indonesia-australia-56344
diakses pada sabtu, 30 November 2013; Pukul 23.31 WIB.
www.dfat.gov.au/aii/publications/bab11/index.html diakses
pada Sabtu, 29 November 2013; Pukul 20.00 WIB.
http://www.google.com/www.suarapembaruan.com/
Geostrategi dari Globalisasi/(2007)/Daoed Joesoef/ Diakses pada Selasa,
5 November 2013; Pukul 19.34 WIB.
[1] www.dfat.gov.au/aii/publications/bab11/index.html diakses pada Sabtu, 29 November 2013;
Pukul 20.00 WIB.
[2] Nn. Indonesia-Australia Sepakat Kerjasama Pelayanan Angkutan Udara http://beritatrans.com/2013/02/07/indonesia-australia-sepakat-kerjasama-pelayanan-angkutan-udara/ diakses pada Selasa, 26 November 2013; Pukul 20.16 WIB.
[3] http://www.google.com/Malkian Elvani/
Geostrategi/ Diakses Selasa, 5 November 2013; Pukul 19.33 WIB.
[4] Jack C Plano and Roy Olton. The
International Dictionary (New York: Wentern Michigan University, 1973),
hlm. 217.
[5] Mohtar Mas’oed. Ilmu
Hubungan Internasional Disiplin dan Metodologi (Jakarta: LP3ES, 1990), hlm.
140.
[6] Nye, J.S. (2008), ‘Public Diplomacy and Soft Power’, THE ANNALS of the American Academy of
Political and Social Science; 616;94-109, hlm. 94.
[7] Nye, J.S. (2005), ‘Soft Power and Higher
Education’, Forum for the Future of Higher Education, diunduh dari http://www.educause.edu/Resources/SoftPowerandHigherEducation/158676, Senin, 18 November 2013; Pukul 07.41 WIB.
[8] Ibid.,
[9] Nye, J.S. (2008), Op. Cit.,
[10] Ibid.,
hlm. 96
[11] Merupakan pengistilahan yang digunakan dalam
tulisan Joseph S. Nye, Ibid.,
[12] Ibid., hlm.
107.
[13] Bungin, Burhan. Metodologi
Penelitian Kualitatif (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 8
[14] Ronny Kountur. Metode Penelitian untuk Penulisan Skripsi dan Tesis (Jakarta: PPM,
2003), hlm. 16.
[15] Lexy J. Moleong. Metodelogi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2002), hlm. 112.
[16] Moh. Nasir. Metode Penelitian (Jakarta: Galia Indonesia, 1998), hlm. 51.
[17]Nn. RI-Austrtalia teken Air Service Agreement dalam http://whatindonews.com/id/post/668 diakses pada Senin, 25 November 2013; Pukul 23.26 WIB.
[18] Mr. Kevin Evans selaku akademisi asal
Australia dan pendiri serta pengelola situs pemiluasia.com dalam kelas politik
di Australia pada kamis, 21 November 2013.
[19] Menteri Kebudayaan dan
Pariwisata Jero Wacik Ibid.,
[21]Nn. RI-Australia
Teken Kejasama Angkutan Udara dalam http://www.indii.co.id/upload_file/201302130905220.RI%20Australia%20Teken%20Kerja%20Sama%20Angkutan%20Udara.pdf
diakses pada Jumat, 29 November 2013; Pukul 23.29 WIB.
[22] Ibid.,
[23] Nn. Menhub E.e.
Mangindaan Tanda Tangani Persetujuan Pelayanan Angkutan Udara Indonesia -
Australia Dalam http://m.dephub.go.id/read/berita/berita-umum/menhub-ee-mangindaan-tanda-tangani-persetujuan-pelayanan-angkutan-udara-indonesia-australia-56344
diakses pada sabtu, 30 November 2013; Pukul 23.31 WIB.
[24] Nn. RI-Austrtalia
teken Air Service Agreement dalam http://whatindonews.com/id/post/668
diakses pada Senin, 25 November 2013; Pukul 23.26 WIB.
[25] Mr. Kevin Evans selaku akademisi asal
Australia dan pendiri serta pengelola situs pemiluasia.com dalam kelas politik
di Australia pada kamis, 21 November 2013.
[26]Nn. PENERBANGAN: RI-Australia teken kerja sama pelayanan angkutan udara dalam http://industri.bisnis.com/read/20130207/98/135357/penerbangan-ri-australia-teken-kerja-sama-pelayanan-angkutan-udara diakses pada Kamis, 28 November 2013; Pukul 23.24 WIB.
[27] http://www.dfat.gov.au/aii/publications/bab11/index.html
diakses pada Rabu, 4 Desember 2013; Pukul 13.49.
[28] Nn. NTB gets grants for roads
from Oz. http://www.thejakartapost.com/news/2013/12/09/ntb-gets-grants-roads-oz.html
diakses pada Senin, 9 Desember 2013; Pukul 09.53 WIB.
[29] Paul Dibb and
Richard Brabi. Indonesia In Australian Defence Planning.
Security Challenges, Vol 3, no.4, November 2007, pp. 71.
[30] Paul Dibb. Indonesia:
The Key of South-East Asia’s Security.
Editorial, Sydney Morning Herald, 29 May 2001. Hlm. 837.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar