oleh Alpiadi Prawiraningrat
Tidak dapat
dipungkiri bahwa Taiwan dengan statusnya sebagai negara yang unik adalah merupakan
salah satu "negara" demokratis di Asia. Taiwan menggunakan dan
memiliki sistem politik yang berbeda dengan sistem politik di Republik Rakyat
Cina (RRC), karena sietem politik yang digunakan adalah demokrasi dan
liberalisme yang mayoritas digunakan oleh negara-negara Barat.[1]
Pada mulanya, di
dalam lingkup pemerintahan China yang komunis, Taiwan juga memberlakukan sistem
partai tunggal yakni Kuomintang (Pan Blue). Pada era tersebut, terjadi
pembatasan pers politik dan pebatasan partai oposisi lainnya yang juga
berpengaruh pada kehidupan masyarakat Taiwan. Namun setelah Chiang Kai Sek
lengser dan digantikan oleh putranya Chiang Ching Kuo dunia perpolitikan mulai
melunak dimana ada kebebasan pers dan mengemukakan pendapat. Situasi politik
Taiwan dengan Chinapun memanas pada masa kepemimpinan Lee Teng Hui[2] dari
partai DPP (Democratic Progressive Party) karena memproklamirkan
Taiwan, bukan Republik Cina. Pergantian presiden selanjutnya dipegang oleh Chen
Shui Bian yang berupaya menjadikan Taiwan memperoleh pengakuan Internasional sebagai
Taiwan yang independen melalui keanggotaanya di PBB yang didukung kondisi ekonomi
Taiwan yang kuat dan secara de facto Taiwan telah diakui oleh
29 negara.[3]
Reformasi
politik Taiwan dilakukan dengan mendesak Pusat agar mempercepat
demokratisasinya. Proses reformasi Taiwan melahirkan kekuatan lain dalam
politik yakni Parati Nasionalis Taiwan (Pan
Green) yang merupakan oposisi dari Kuomintang/KMT (Pan Blue). Pan Green
menilai KMT sebagai penjajah Taiwan yang telah masuk dalam pemerintahan dengan
dominasinya pada eksekutif, legislatif dan yudikatif.[4] Oleh
karena itu, Pan Green menuntut perlunya
kemerdekaan Taiwan. Dengan munculnya pihak oposisi menjadikan politik Taiwan
lebih kompleks dimana Pan Blue mengusung re-unifikasi sedangkan Pan
green mengusung pro-kemerdekan. Namun sengketa dua pandangan mengenai
re-unifikasi seperti Hongkong dan Makau dengan prinsip”one country two
system” maupun merdeka melalui perjuangan yang keras, harus mampu diselesaikan
melalui perudingan damai yang dilakukan oleh kedua pihak untuk
menginplementasikan nilai demokrasi Taiwan. Hal ini mulai terlihat setelah
terpilihnya Ma Ying Jeou di tahun 2008 semakin mengimplementasikan “One China”. Taiwan dan China
menandatangani berbagai kesepakatan di bidang ekonomi sehingga keduanya sangat
terlihat pada kegiatan investasi, kunjungan turis dan membuka penerbangan langsung
Cina-Taiwan. Adanya kesepakatan anatara Taiwan dan China menunjukkan bahwa
Taiwan terbuka terhadap kehidupan eksternal. Terlebih seperti yang dikatakan
oleh Overholt, dimana terdapat integrasi AS untuk mendukung Taiwan dan bahkan pemerintahan
sayap kanan di Jepang merupakan pihak yang mendorong Taiwan untuk meraih
kemerdekaannya sendiri.[5] Meskipun dipandang semkain menambah
kompleksipitas situasi politik Taiwan, hadirnya oposisi dalam sistem politik
Taiwan seperti dijelaskan diatas telah menujukan suatu implementasi dari check and balances yang merupakan
prinsip demokrasi di negara Taiwan.
Tidak dapat
disangkal bahwa Cina memegang peranan penting dalam pengukuhan eksistensi
Taiwan. Cina berusaha untuk menarik kembali Taiwan ke dalam RRC, atau
setidaknya untuk mencegah deklarasi independen Taiwan. Dalam hal ini, Cina
berusaha untuk menekan peran Taiwan di dunia internasional dan berusaha
mengisolasi politik luar negeri Taiwan.[6]
Penekanan Cina terhadap Taiwan ini menyebabkan Taiwan ingin menjadi pengatur
yang berlegitimasi di daratan Cina.[7]
Namun dalam perkembangannya, kemerdekaan yang tidak mungkin dimiliki Taiwan
menyebabkannya mau menerima kondisi keleluasaan yang diberikan Cina.
Taiwan
kehilangan pengakuan kedaulatannya dari negara-negara dunia dan hanya diklaim
sebagai provinsi dari Cina. Keadaan ini membuat terbentuknya tensi yang tinggi
antara China dan Taiwan, dimana Selat Taiwan menjadi tempat yang paling riskan
dan berbahaya atas gesekan militer selama beberapa tahun, Cina mengarahkan
ratusan misilnya ke arah Taiwan hingga akhirnya pada tahun 2005 Ciina
menyetujui pengurangan kekerasan dan deterrence dalam hubungan mereka.[8]
Hubungan antara Cina dan Taiwan kemudian dikenal dengan hubungan Taiwan
Strait.
Oleh karena
itu, kondisi dilematis yang dialami Taiwan memiliki pengaruh terhadap kebijakan
eksternal, terutama politik luar negeri Taiwan. Hal tersebut berimplikasi
terhadap politik luar negeri Taiwan berfokus pada upaya penggalangan dukungan
terhadap pengakuan eksistensinya sebagai negara yang berdaulat baik de jure maupun
de facto. Salah satu implementsi penggalangan dukungan internasional
dilakukan melalui vacation diplomacy yang dijalankan oleh mantan
Presiden Lee Teng-hui.[9]
Diplomasi dilakukan dengan cara penggunaan visa dalam kunjungan ke Taiwan,
serta mengadakan berbagai kunjungan diplomatik ke berbagai negara dan demokrasi
yang dianut Taiwan merupakan bargaining position untuk menarik simpati
internasional dan oleh karenanya berhak memperoleh kemerdekaan.[10]
Hubungan
diplomatik dengan negara-negara lain umumnya didasarkan pada kerjasama ekonomi
dan perdagangan, sekaligus menjadi saluran hubungan diplomatik tidak resmi.
Taiwan merupakan pintu gerbang para investor untuk melakukan investasi di
kawasan ini selain Hong Kong dan Singapura. Taiwan juga memperbesar
investasinya di Asia Tenggara dan berusaha menyakinkan bahwa perekonomian Cina
akan hancur dalam krisis Asia dan perdagangan dan investasi dengan Taiwan akan
lebih aman daripada dengan Cina.[11]
Perusahaan multinasional Taiwanpun terus dikembangkan di berbagai negara,
dengan kekuatan utama terletak pada pendirian perusahaan di Amerika Serikat
sehingga bisa mendanai kegiatan politik untuk menyebarkan pengaruh politik
Taiwan.[12]
Taiwan pun berusaha menjadi partner yang baik bagi Amerika dan
meyakinkan Amerika untuk membangun hubungan yang lebih dalam dengannya,
terutama dalam bidang ekonomi dan militer.[13]
Upaya
hubugan internatiosionalpun semakin meningkatkan nasionalisme Taiwan hingga
pemilihan umum di tahun 2008 yang menjadikan Ma Ying-Jeou sebagai presiden
Taiwan yang baru. Seperti yang dituliskan oleh pengamat politik Baohui Zhang,
pemilihan presiden ini membuat dinamika baru dalam hubungan Selat Taiwan/Taiwan
Strait. Baohui berpendapat bahwa apabila People Republic of Cina (PRC) tidak lagi memaksakan reunifikasi One China pada Taiwan, maka hubungan
non-kekerasan seperti saat ini akan tetap berlanjut, walaupun hal tersebut
berarti ketidakjelasan status Taiwan terus berlanjut.[14]
Kebijakan Satu
Cina atau One China, dengan
reunifikasi Taiwan ke Cina, terbukti tidak berhasil karena baik Cina maupun
Taiwan bersikukuh pada posisi masing-masing secara substantif.[15]
Taiwan menghendaki agar proses demokrasi, posisi otonomi yang dimilikinya,
serta perdagangan dan investasi yang terus meningkat dengan daratan tetap
terpelihara. Di sisi lain, Cina menghendaki prinsip “satu Cina atau One China” untuk menjamin situasi
internasional yang stabil guna menjaga laju pertumbuhan ekonomi. Dalam perkembangan
dinamika relasi Cina dan Taiwan saat ini menunjukan fakta bahwa hubungan kedua
negara diwarnai dengan tren untuk menjaga stabilitas perdamaian. Meskipun agenda
unifikasi Cina-Taiwan tetap tidak mungkin terjadi, akan tetapi Taiwan tetap
berkomitmen untuk tidak melakukan aksi separatisme dengan Cina, Taiwan ingin
melestarikan status quo yang
dimilikinya. Menanggapi ini, Cina kemudian menjamin bahwa Taiwan boleh
menjalankan sistem politiknya, menggunakan mata uangnya, dan bahkan
mempertahakan angkatan bersenjatanya sendiri. Hal ini berimplikasi pada international
space international yang memang diinginkan Taiwan. Di sisi lain, Saat ini Cina
pun mulai meredam tindakan agresifnya untuk menundukkan Taiwan. Walaupun agenda
unifikasi Taiwan-Cina masih menjadi tujuan utama Cina, namun untuk sementara
ini, pemerintah Cina cukup merasa puas dengan prestasi di bidang integrasi
budaya dan ekonominya dengan Taiwan.
Daftar Pustaka
Sumber Buku:
Overholt,
William H. Asia, America and Tranformation of Geopolitics. New York: Cambridge University Press, 2008.
Sutter, Robert G. Chinese Foreign Relation: Power
and Policy Since The Cold War. Maryland:
Rowman and Littlefield Publisher, Inc, 2008.
Rigger, Shelley. Taiwan Rising Rationalism: Generations,
Politics and “Taiwanese Nationalism”.
Washington: East-West Center, 2006.
Sumber Website:
Jiang, Rinto. Demokrasi
Taiwan: Kemajuan atau Kemunduran? dalam http://www.forums.apakabar.ws/viewtopic.php?f=1&t=21565&start=0 diakses pada Rabu, 18 Desember
2013; Pukul 06.28 WIB.
Yuliantoro, Nur Rachmat. Hubungan China-Taiwan dan Pandangan Asia
Tenggara dalam http://rachmat.staff.ugm.ac.id/artikel/China-Taiwan.pdf diakses pada Rabu, 18 Desember
2013; Pukul 06.31 WIB.
Sumber PDF:
Baohui, Zhang. Taiwan’s
Political Balancing Act. Global Asia Feature Essay Taiwan’s Presidential
Election. Vol 3. No 2. PDF version., hlm. 82-89.
[1] Rinto Jiang. Demokrasi Taiwan: Kemajuan atau
Kemunduran? dalam http://www.forums.apakabar.ws/viewtopic.php?f=1&t=21565&start=0
diakses pada Rabu, 18 Desember 2013; Pukul 06.28 WIB.
[2]
Ibid.,
[3]
Ibid.,
[4]
Ibid.,
[5]
William
H. Overholt. Asia, America and
Tranformation of Geopolitics (New York: Cambridge University Press, 2008),
hlm. 153.
[6]
Robert G. Sutter. Chinese Foreign
Relation: Power and Policy Since The Cold War (Maryland: Rowman and
Littlefield Publisher, Inc, 2008), hlm. 191.
[8]
Shelley Rigger. Taiwan Rising Rationalism: Generations, Politics and “Taiwanese
Nationalism” (Washington: East-West Center, 2006), hlm. 1.
[9]
William H. Overholt. Ibid., hlm. 147.
[10]
William H. Overholt. Ibid., hlm. 141
[11]
Robert G. Sutter. Op. Cit., hlm. 192
[12]
William H. Overholt. Op. Cit., hlm.
152
[13]
Robert G. Sutter. Op. Cit., hlm. 195
[14]
Zhang Baohui. Taiwan’s Political
Balancing Act. Global Asia Feature Essay Taiwan’s Presidential Election.
Vol 3. No 2. PDF version., hlm. 88.
[15]Nur
Rachmat Yuliantoro. Hubungan
China-Taiwan dan Pandangan Asia Tenggara dalam http://rachmat.staff.ugm.ac.id/artikel/China-Taiwan.pdf
diakses pada Rabu, 18 Desember 2013; Pukul 06.31 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar