oleh Alpiadi Prawiraningrat
Bagaimanakah perkembangan demokrasi
di Myanmar? Berhasilkah gerakan demokratisasi di Myanmar dengan tokoh Aung
San Suu Kyi? Kenapa beberapa pihak berpendapat bahwa gerakan demokratiasai
meruntuhkan rezim militer di Myanmar tidak berhasil? Pertanyaan tersebut
menjadi pemicu kali ini. Didasarkan pada tulisan Min Zin dan Brian Joseph berjudul The Opening in Burma: The Democrats
Opportunity[1]
tulisan ini berusaha menjelaskan mengenai perkembangan demokrasi di Myanmar dan
menarik untuk melihat kesempatan Myanmar mengimplementasikan demokrasi di masa
yang akan datang dengan tidak terlepasnya militer sebagai salah satu aktor
dalam politik Myanmar.
Militer
dipahamai sebagai satu kelompok orang-orang yang diorganisir dengan
disiplin untuk melakukan pertempuran, yang dibedakan dari orang-orang sipil.[2] Selain
itu, menurut Muhammad Hatta, tugas militer yang sebenarnya di dalam negara
ialah “melatih diri dan mengadakan perlengkapan untuk menghadapi musuh dari
luar, mereka atau golongan militer harus bertanggung jawab dalam berbagai
bidang keamanan dan keselamatan umum terhadap ancaman musuh dari luar. Jadi, “fungsi militer” dalam suatu negara
adalah untuk melakukan tugas pertahanan dan keamanan, sedangkan tugas diluar
itu merupakan “fungsi non-militer” yang tentu menjadi tugas golongan sipil.[3] Dalam konteks transisi demokrasi yang
merupakan proses perubahan
rezim dari rezim non-demokrasi (daam beberapa kasus dikuasai oleh militer)
menjadi rezim demokrasi seringkali disebut dengan transisi demokrasi atau
demokratisasi dan merupakan sebuah interval
atau jarak antara rezim politik non-demokrasi dengan rezim politik demokrasi.[4]
Dalam konteks politik di Myanmar sendiri, sebetulnya
telah berada dalam di bawah otoritas militer semenjak Maret 1962, baik secara
langsung maupun tidak langsung.[5]
Semenjak awal, sudah terlihat dengan jelas bahwa militer berambisi untuk
memegang kekuasaan secara terus-menerus. Terhitung semenjak Tatmadaw telah
berkuasa secara langsung, layaknya monarki mutlak atau kediktatoran, selama 35
tahun semenjak Maret 1962 (1962-1974, 1988-2011), dan secara tidak langsung
melalui mandat militer dan kontrol atas BSPP selama 14 tahun (1974-1988).
Pengaruh Tatmadaw (militer angkatan bersenjata Myanmar) telah berakar kuat di
dalam semua lapisan masyarakat. Mereka telah mengontrol semua jalur mobilitas
sosial. Mereka telah mendominasi ekonomi secara efektif, yang pertama melalui
BSPP, dan kemudian melalui kendali mereka atas sektor publik, juga melalui Myanmar
Economic Holdings Corporation dan Myanmar Economic Corporation (dua
badan usaha ekonomi militer) yang dibentuk dan dikelola oleh pihak militer, dan
melalui berbagai industri di bawah Office of Procurement of the Ministry of
Defence (suatu Biro ekonomi di bawah Kementerian Pertahanan Myanmar).
Sensor diterapkan terhadap semua media, buku-buku impor, dan beragam material
sebagai upaya menyeluruh untuk mengisolasi rakyat Myanmar dari
pengaruh-pengaruh luar yang dikhawatirkan akan memodernisasi masyarakat secara
politik.
Akan tetapi awal tahun 2011, politik
Myanmar dinilai mulai memasuki masa tranformasi. Thein Sein yang merupakan
mantan komandan militer sebagai presiden yang terpilih pada pemilihan umum yang
berlangsung diakhir tahun 2010 mulai menunjukan komitmenya terhadap
implementasi di Myanmar, salah satu contohnya adalah melalui penegakan Hak
Asasi Manusia (HAM) di negara tersebut, melalui pembebasan ratusan
tahanan politik dan menyambut baik pemimpin oposisi Aung San Suu Kyi dan partai
politik miliknya masuk dalam parlemen.[6] Pembebasan tahanan politik dinilai pentig
dalam konteks politik Myanmar, karena sebagai bagian dari upaya untuk
menghormati azas-azas politik dan memungkinkan mereka yang dibebaskan membantu
pembangunan bangsa.[7]
Sejauh ini masih ada sekitar 60 tahanan politik yang belum dibebaskan.[8]
Di samping itu,
reformasi politik demokratisasi di Myanmar juga dengan dikuranginya peran
militer secara perlahan-lahan sebagaiamna dikemukakan oleh Presiden
Myanmar, Thein Sein[9]
dalam pidato
di parlemen untuk menandai tiga tahun pemerintahan sipil sebagai penanda reformasi
politik dan ekonomi. Dalam pandangan Thein Sein, bagaimanapun
militer secara praktis masih memiliki kekuatan politik dengan memiliki hak veto
di parlemen dan seperempat kursi di parlemen diberikan kepada anggota dari
militer yang tidak dipilih lewat pemilihan umum.
Militer memang
memiliki peranan sangat penting dalam konteks politik Myanmar bahkan konstitusi
juga memposisikan militer sebagai aktor politik yang memiliki peran penting
dalam konteks politik Myanmar.[10]
Sebagai contoh semenjak 1993 pertemuan nasional yang disponsori oleh
pemerintah, sangat jelas merupakan upaya rekayasa pemerintah untuk
menformulasikan panduan terhadap konstitusi yang baru, dari awal sudah
direncanakan sebagai wadah untuk mengesahkan Tatmadaw (militer angkatan bersenjata
Myanmar) sebagai pemimpin di dunia politik. Hal ini dijabarkan di dalam
konstitusi yang menyatakan (Pasal 6): “Tujuan konsisten Negara persatuan adalah
… (butir f) memungkinkan partisipasi anggota militer di dalam kepemimpinan
politik nasional.” (lihat juga Pasal 20). Hal ini disetujui dengan suara bulat
ala Stalin pada tahun 2008 (mungkin dipacu oleh trauma yang disebabkan oleh
“revolusi saffron” saat para biksu berdemonstrasi menentang pemerintah pada
tahun 2007). Berdasarkan konstitusi tersebut militer akan menduduki berbagai
posisi politik yang strategis, 25 persen dari semua anggota dewan perwakilan,
baik lokal maupun nasional, yang akan diduduki oleh personel militer aktif,
mereka akan ditunjuk oleh Menteri pertahanan, yang juga harus merupakan birokrat
aktif, layaknya Menteri dalam negeri (memegang kontrol atas kepolisian) dan
menteri yang bertanggung jawab atas daerah-daerah minoritas. Komandan angkatan
bersenjata dapat mengambil alih pemerintahan pada saat situasi darurat. Tidak
satupun kerabat dekat dari seorang calon presiden atau calon wakil presiden
(presiden dan wakil presiden ditunjuk secara tidak langsung oleh Dewan
perwakilan) yang diperbolehkan untuk beraliansi dengan kekuatan asing.
Pemisahan diri daerah tertentu dari Republik Persatuan Myanmar tidak
diperbolehkan. Karena amandemen terhadap konstitusi membutuhkan persetujuan
dari 75 persen dari seluruh anggota dewan, militer dapat mengontrol upaya-upaya
yang menuntut perubahan secara langsung tanpa perlu menggunakan Union
Solidarity and Development Party (Partai Pembangunan dan Solidaritas
Persatuan, USDP) yang dikuasai oleh militer dan merupakan mayoritas di
parlemen.
Kuatnya peran
militer di Myanmar inilah yang melahirkan Partai oposisi Liga Nasional
Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi yang melancarkan kampanye untuk
mengubah konstitusi yang memberikan posisi istimewa terhadap militer namun
hingga saat ini belum terwujud. Terdapat
beberapa alasan belum terwujudnya perubahan konstitusi Myanmar tersebut, yang
selalu dikoreasikan dengan belum optimalnya gerakan deomkratisasi di Myanmar,
diantaranya:[11] bahwa kelemahan yang paling
mendasar dan krusial dari gerakan pro demokrasi di Myanmar adalah, Aung San Suu
Kyi itu sendiri secara riil politik belum bisa dianggap sebagai pemimpin
alternatif yang menjadi simbol pemersatu dari seluruh elemen gerakan
kekuatan sipil, terutama pada saat penentangan rezim militer pimpinan Jenderal
Than Shwe.
Selanjutnya, meskipun
Agama Buddha dianut oleh 89 persen warga Myanmar dan ada semacam kesepakatan umum
di Myanmar bahwa para biksu atau tokoh spiritual Agama Buddha merupakan sumber
kekuatan moral yang yang cukup potensial untuk memobilisasi penyikapan
masyarakat terhadap rezim militer, pada kenyataannya Myanmar tidak mempunyai
pemimpin gerakan yang mampu memobilisasi para Biksu menjadi sebuah kekuatan
moral yang aktual dan efektif seperti yang pernah dilancarkan oleh tokoh
pergerakan India Mahatma Gandhi melalui gerakan Ahimsa dan gerakan anti
kekerasan ketika melawan pemerintahan kolonial Inggris pada dekade
1930-an. sehingga, gerakan menuntut
penggusuran rezim militer khususnya pada kasus pimpinan Jenderal Than Shwe yang
bermula dari gerakan menentang kebijakan pemerintahan militer menaikkan harga
Bahan Bakar Minyak, pada perkembangannya menjadi gerakan pro demokrasi yang
bertumpu pada seorang pemimpin bernama Aung San Suu Kyi, namun tanpa kejelasan
kepemimpinan dan strategi yang tepat sasaran.
Hal tersebutlah yang menjadi sisi
rawan dari gerakan pro demokrasi pimpinan Suu Kyi yang terperangkap dalam ilusi
bahwa gerakan NLD yang dia pimpin merupakan sebuah kekuatan rakyat yang solid,
terorganisasi dengan rapih dan memiliki basis sosial-budaya yang kuat dan
mengakar di kalangan masyarakat Myanmar. Karena secara faktual gerakan pro
demokrasi NLD pada hakekatnya tidak memiliki basis sosial dan budaya yang
mengakar di Myanmar, gerakan pro demokrasi Suu Kyi dan NLD pada umumnya, secara
sadar atau tidak akhirnya masuk dalam skema dan agenda kekuatan-kekuatan negara
asing seperti Amerika Serikat, Jepang dan Uni Eropa. Dengan kata lain, gerakan
demokratisasi pimpinan Suu Kyi pada perkembangannya telah dirancang berdasarkan
sistem demokrasi ala Amerika atau Uni Eropa. Meskipun dalam perjalananya, Aung
San Suu Kyi mengatakan, Myanmar harus membangun bentuk demokrasinya sendiri,
dan bisa jadi tidak akan seperti yang ada di Amerika.[12]
Bahkan dalam
gerakan demonstrasi memprotes kenaikan harga BBM pada 23 September silam yang
pada hakekatnya merupakan isu ekonomi, oleh para elemen NLD dan NCG telah
digeser isu sentralnya menjadi gerakan menuntut pemindahan kekuasaan segera
dari rezim militer ke pemerintahan sipil. Sehingga tidak heran jika Jenderal
Shwe memanfaatkan celah ini dengan menuding Aung San Suu Kyi dan gerakan NCG
sebagai gerakan pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah.
Lalu sebetulnya,
bagaimanakah perkembangan demokrasi Myanmar di masa yang akan datang? Teori dan
praktek pemerintahan modern di negara-negara Barat menyebutkan bahwa
pemerintahan yang baik adalah suatu bentuk pemerintahan sipil (rakyat) yang
melakukan kontrol atas militer. Di negara-negarakomunis pun, partai politik
diharapkan memegang kontrol sementara pihak militer menuruti komando sambil
tetap berpegang pada ideologi negara, sekalipun di dalam kondisi yang tidak
memungkinkan.[13]
Dalam konteks Myanmar, meskipun
militer memiliki peranan penting dalam ranah politik dan posisinya yang dinilai
masih superior nampaknya jalan menuju demokrasi semakin terbuka, meskipun
partai milik pemerintah secara efektif didominasi oleh para pensiunan militer.
Masyarakat sipil sekarang menjadi lebih bebas, universitas-universitas telah
menghapus sensor dan kekakuan intelektual walaupun proses belajar pola
menghafal masih mendominasi. Kehidupan akademik telah bangkit kembali. Karir di
bidang militer tetap merupakan profesi idaman, dan hal tersebut sepertinya
tidak akan berubah, dan nama baik militer mungkin dapat dikembalikan lagi.
Hubungan yang lebih dekat di antara militer dan warga sipil mungkin dapat
menciptakan rasa saling menghargai yang telah pudar setelah bertahun-tahun
Tatmadaw (militer angkatan bersenjata Myanmar) mencibir politisi sipil sebagai
buruk, korup, dan tidak efektif.
Hal terpenting lainnya, dari keterbukaan
jalan demokrasi Myanmar adalah terbukanya peran dari media dan pers di Myanmar.[14]
Tema-tema
yang semula dinilai tabu, sekarang bisa diangkat ke publik. Misalnya isu
tentang militer, pelanggaran hak asasi manusia dan konflik dengan kelompok
etnis. Namun demikian, masih berlakunya undang-undang yang membatasi kebebasan
berpendapat dan belum adanya undang-undang yang menjamin kebebasan pers dan
melindungi pekerjaan jurnalis masih menjadi kekhawatiran tersendiri bagi
kalangan jurnalis Myanmar dan perlunya Masyarakat dan pemerintah masih harus mengembangkan
kesadaran tentang pers yang bebas, setelah puluhan tahun ada sensor, terutama memahami tugas dan peran media dalam
masyarakat. Apalagi menjelang pemilihan
umum Myanmar tahun 2015 mendatang, diperlukan fasilitas dalam menyampaikan dan
memperoleh informasi yang netral kepada masyarakat Myanmar.
Di sisi lain,
hal yang perlu menjadi perhatian Myanmar apabila hendak mengoptimalkan
demokrasi sebagai sistem politik negaranya adalah profesionalime militer. Sebagaimana
yang dikemukakan oleh Yahya Muhaimin bahwa dalam konteks negara demokrasi peran
militer harus profesional, yaitu bahwa militer hanya memainkan peran pertahanan keamanan
saja sehingga keahlian teknis mereka di perketat. Selain itu orientasi peran
politiknya diberikan pada negara. Ciri-ciri peran militer pada tipe ini adalah
peran politik yang minimal dan intervensi politik yang rendah, serta peran
masyarakat sipil yang kuat. Oleh
karena itu, sebagaimana diungkapkan oleh David I. Steinberg, meskipun
militer Myanmar telah merancang suatu sistem yang menjamin keberlangsungan
kekuasaan dan otoritas militer, kemungkinan besar sistem tersebut akan
mengalami erosi sedikit demi sedikit. Hal ini akan membuka kesempatan yang
lebih luas bagi mayoritas masyarakat Myanmar termasuk bagi wanita. Tetapi,
warga minoritas, baik secara etnis atau agama harus disadarkan tentang
pluralisme dan ini membutuhkan upaya nyata dari pemerintah yang belum terlihat
sampai pada saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Utama:
Zin, Min and
Brian Joseph. The Opening in Burma: The Democrats Opportunity. Journal od
Democracy; October 2012, Volume 23,
Number 4, hlm. 1-17.
Sumber Buku:
Yahya A.
Muhaimin. Perkembangan Militer dalam
Politik Indonesia 1945-1966. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 2002.
O’Donnell,
Guillermo dan Phillippe C. Schmitter. Transitions
From Authoriarian Rule: Tentative Conclusions About Uncertain Democracies. London: The Johns Hopkins University
Press, 1986.
Sumber Website:
Ebbighausen, Rodion. Era Baru Bagi Pers di Myanmar dalam http://www.dw.de/era-baru-bagi-pers-di-myanmar/a-16785558 diakses
pada Jumat, 28 Maret 2014; Pukul 22.13 WIB.
Fisher, Jonah. Myanmar Bebaskan 69 Tahanan Politik dalam http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2013/11/131115_myanmar_tahanan_politik.shtml diakses pada Jumat, 28 Maret 2014; Pukul 20.57 WIB.
Steinberg, David
I. Myanmar yang Bergerak: Masa Depan Kedudukan Penting Militer
[terjemahan] dalam
http://kyotoreview.org/issue-14/myanmar-yang-bergerak-masa-depan-kedudukan-penting-militer/ diakses pada
Jumat, 28 Maret 2014; Pukul 19.24 WIB.
Tanpa Nama. Myanmar Janji Bebaskan Seluruh Tahanan Politik dalam http://www.dw.de/myanmar-janji-bebaskan-seluruh-tahanan-politik/a-16953058 diakses pada Jumat, 28 Maret 2014; Pukul 20.47 WIB.
Tanpa Nama. Peran Politik Militer Myanmar akan Dikurangi dalam http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2014/03/140326_myanmar_militer.shtml diakeses pada Jumat, 28 Maret 2014; Pukul 19.21 WIB..,
Tanpa Nama. Aksi Destablisasi di Myanmar dalam http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=93&type=3 diakses pada
Jumat, 28 Maret 2014; Pukul 21.35 WIB.
Tanpa Nama. Suu Kyi: Demokrasi ala Myanmar dalam http://www.dw.de/suu-kyi-demokrasi-ala-myanmar/a-16280493 diakses pada
Jumat, 28 Oktober 2013; Pukul 21.46 WIB.
[1] Min Zin dan Brian Joseph. The
Opening in Burma: The Democrats Opportunity. Journal od Democracy; October 2012, Volume 23, Number 4, hlm. 1-17.
[2]
Yahya A. Muhaimin. Perkembangan
Militer dalam Politik Indonesia 1945-1966 (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2002), hlm. 1.
[3] Yahya A. Muhaimin. Ibid.,
[4] Guillermo O’Donnell dan
Phillippe C. Schmitter. Transitions From
Authoriarian Rule: Tentative Conclusions About Uncertain Democracies (London:
The Johns Hopkins University Press, 1986), hlm. 6.
[5] David I. Steinberg. Myanmar yang Bergerak: Masa Depan Kedudukan Penting Militer [terjemahan] dalam http://kyotoreview.org/issue-14/myanmar-yang-bergerak-masa-depan-kedudukan-penting-militer/ diakses pada Jumat, 28 Maret 2014; Pukul 19.24 WIB.
[6] Tanpa nama. Myanmar Janji Bebaskan Seluruh Tahanan Politik dalam http://www.dw.de/myanmar-janji-bebaskan-seluruh-tahanan-politik/a-16953058 diakses pada Jumat, 28 Maret 2014; Pukul 20.47 WIB.
[7] Jonah Fisher. Myanmar Bebaskan 69 Tahanan Politik dalam http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2013/11/131115_myanmar_tahanan_politik.shtml diakses pada Jumat, 28 Maret 2014; Pukul 20.57 WIB.
[8] Jonah Fisher. Ibid.,
[9] Tanpa nama. Peran Politik Militer Myanmar akan Dikurangi dalam http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2014/03/140326_myanmar_militer.shtml diakeses pada Jumat, 28 Maret 2014; Pukul 19.21 WIB.
[10] David I. Steinberg. Op. Cit.,
[11] Dikutip langsung dari artikel Aksi Destablisasi di Myanmar dalam http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=93&type=3 diakses pada Jumat, 28 Maret
2014; Pukul 21.35 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar