PENDAHULUAN
I.1 Latar
Belakang
Hubungan
Indonesia dengan Perancis semakin baik. Hal tersebut ditunjukan dengan kunjungan
Perdana Menteri Prancis Francois Fillon ke Indonesia pada Juli 2011 merupakan
tonggak baru dalam kerja sama bilateral kedua negara. Apalagi sejak saat itu,
kedua negara sepakat untuk meningkatkan tingkat hubungan bilateral menjadi
hubungan kemitraan strategis atau
strategic partnership. Kemitraan strategis yang mencakup bidang perdagangan
dan investasi, pendidikan, industri pertahanan, kebudayaan dan pariwisata,
serta perubahan iklim ini telah memberikan peluang besar bagi terjalinnya
hubungan yang saling menguntungkan antar kedua negara. Setidaknya hal ini ditandai dengan terus
meningkatnya hubungan perdagangan kedua negara meski Eropa sedang didera krisis
ekonomi. Jumlah wisatawan Prancis ke Tanah Air juga terus bertambah meski belum
ada direct flight Jakarta-Paris, akan
tetapi pariwisata sebagai salah satu sektor yang menjadi fokus perhatian dalam
kemitraan strategis ini menjadi suatu kajian analisa yang menarik sebagai
bentuk kerjasama bilateral di antara Perancis dan Indonesia.
Tidak
dapat dipungkiri, Perancis merupakan negara tujuan wisata nomor satu dunia,[1]
yang dikunjungi 83 juta wisatawan mancanegara
setiap tahunnya. Dengan demikian, Perancis tetap memimpin di peringkat pertama dunia, sementara sektor pariwisata, yang menghasilkan surplus dan
dinamis, bertransformasi dengan cepat berkat dampak gabungan dari munculnya
wisatawan baru dan penawaran wisata internasional yang semakin meluas. Sejak tahun 1999, sektor ini menjadi sektor pertama yang menghasilkan surplus
neraca pembayaran. Belanja
neraca pariwisata meningkat secara signifikan hingga mencapai sekitar 13 miliar euro di tahun 2012, sementara
pada tahun 2011 hanya mencapai 7,5 miliar euro. Perpanjangan masa tinggal dan
penambahan waktu menginap dapat meningkatkan pengeluaran wisatawan mancanegara
di Perancis hingga mencapai 35,8 miliar
euro.[2]
Berbagai
kebijakan publik di sektor pariwisata diterapkan sebagai upaya menciptakan
industri pariwisata yang berkualitas di Perancis, seperti halnya kebijakan Sustainable
Tourism dengan
beberapa program yaitu Excellence in Energy for the Tourism Industry,
Green Passport, Quality Tourism, Qualité Tourism dan The National Holiday Vouchers Agency (ANCV) adalah
upaya Perancis dalam menarik minat wisatawan asing untuk berkunjung dan
menikmati pariwisata di Perancis dan menjadikan implementasi kebijakan dalam
sektor pariwisata tersebut menjadi daya tarik dalam politik luar negeri Perancis
untuk melakukan kerjasama bilateral dengan beberapa negara, termasuk dengan
Indonesia.
Oleh karena
itu, dengan menggunakan teori soft power
yang dikemukakan oleh Joseph S. Nye yang salah satu aspeknya menekankan kepada daya
tarik yang dimiliki suatu negara, termasuk daya tarik pariwisata sebagai suatu
alat diplomasi kerjasama luar negeri.
Makalah ini akan mencoba menganalisa bagaimanakah implementasi kebijakan
sektor pariwisata di Perancis, yaitu Sustainable Tourism sebagai daya tarik kerjasama bilateral
Perancis dan Indonesia serta pengaruhnya terhadap kepentingan ekonomi negara
Perancis.
II. 1 Rumusan
Masalah
“Bagaimanakah
Implementasi Kebijakan Sektor Pariwisata Negara Perancis dan Peranya sebagai ‘Soft Power’ dalam Kerjasama Bilateral dengan Indonesia
serta Pengaruhnya terhadap Kepentingan Ekonomi Negara Perancis?”
III.1.2
Kerangka Teori
III.1.2.1 Kebijakan
Publik
Dalam bukunya, Thomas R. Dye
mengungkapkan bahwa:
“public policy is whatever
government choose to do or not to do” (Thomas R. Dye)
Satu kutipan diatas adalah satu
pendefinisian yang populer di kajian kebijakan politik, yang secara lugas
menjelaskan bahwa kebijakan publik adalah keputusan untuk bertindak ataupun tidak,
yang dipilih oleh pemerintah.[3]
Anderson mengartikan kebijakan publik sebagai serangkaian tindakan yang
mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh pelaku atau
sekelompok pelaku guna memecahkan masalah tertentu.[4]
Menurut Thomas R Dye proses
kebijakan publik meliputi beberapa hal; 1) Identifikasi masalah kebijakan, dimana
sekaligus mencari unsur demands atas tindakan pemerintah. Bagaimanapun,
tanpa perumusan masalah yang jelas maka akan sulit menentukan kebijakan seperti
apa yang perlu disusun, dan ketidakjelasan masalah juga mempersulit penentuan
efektifitas dari kebijakan itu nantinya.
2) Penyusunan agenda yang menyangkut perhatian pada para pejabat publik
dan media massa atas keputusan yang akan diambil terhadap masalah tertentu. Hal
ini menyangkut bagaimana agenda setting merangkai masalah menjadi isu
politik lalu menjadi agenda sistemik dan agenda institusional.[5] 3) Perumusan
kebijakan atau yang sering disebut formulasi kebijakan merupakan tahapan
pengusulan rumusan kebijakan melalui inisiasi dan penyusunan usulan kebijakan
melalui organisasi perencanaan kebijakan, kelompok kepentingan, birokrasi
pemerintah, presiden dan lembaga legislatif.[6] 4) Implementasi kebijakan.
Tahapan ini dianggap menjadi tahapan yang crucial sebab menjadi pembukti
sebagaimana maksimal dan efektif tahap-tahap sebelumnya telah dijalankan.
Webster dan Wahab menilai bahwa implementasi berarti menyediakan sarana untuk
melaksanakan suatu kebijakan dan dapat menimbulkan dampak terhadap sesuatu
tertentu.[7] 4) Evaluasi
kebijakan adalah kegiatan untuk menilai keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan
kebijakan publik. Selain itu juga bertujuan untuk mengukur tingkat kinerja
pelaksanaan kebijakan publik yang terkait.[8]
III.1.2.2 Teori
Soft Power
Dalam
pandangan Joseph S. Nye, power merupakan kekuatan atau
kemampuan mempengaruhi pihak lain untuk mendapatkan hasil yang diinginkan[9]. Di mana, power ini terbagi menjadi dua spektrum perilaku yang berbeda, yaitu hard power termasuk dalam spektrum perilaku command
power, yang merupakan kemampuan untuk mengubah apa
yang pihak lain lakukan (what others do)
dan soft power yang termasuk
dalam spektrum perilaku co-optive power, yang merupakan kemampuan yang digunakan sehingga dapat mempengaruhi
dan membentuk apa yang pihak lain inginkan
(what others want)[10]. Co-optive power diperoleh melalui dua cara,
yaitu:[11] a) agenda setting, dengan cara memanipulasi
agenda pilihan politik sehingga pihak lain gagal mengekspresikan suatu
preferensi politik tertentu karena merasa preferensi tersebut terlihat tidak
realistis yang bersumber pada institusi; dan b) attraction, didasarkan pada daya tarik yang
bersumber pada budaya, nilai-nilai serta kebijakan yang dimiliki.
Selanjutnya Soft power dijelaskan Nye sebagai suatu kekuatan atau
kemampuan yang digunakan untuk mempengaruhi
pihak lain sebagai upaya mendapatkan hasil yang
diinginkan (power) melalui penggunaan daya tarik daripada penggunaan kekerasan (coercion) atau imbalan (payment)[12]. Nye memaparkan bahwa soft power suatu negara
utamanya berasal dari tiga sumber, yaitu[13]: a) kebudayaan (culture), sehingga membuat negara tersebut menarik bagi pihak lain; b) nilai politik (political values) yang dianut negara tersebut di dalam maupun luar negeri; dan c). kebijakan luar negeri (foreign
policies) yang membuat negara memiliki
legitimasi dan otoritas moral.
Di samping
itu, dalam memahami implementasi soft
power perlu juga memperhatikan aktor yang terlibat dalam
pengimplementasianya. Menurut Nye, aktor-aktor
yang terlibat dalam pembentukan soft
power diistilahkan sebagai “referees”
dan “receivers” soft power.[14] “Referees” soft power” dipahami
sebagai pihak yang menjadi sumber
rujukan legitimasi dan kredibilitas soft
power. Sedangkan “receivers” soft power adalah target yang dituju
sebagai sasaran penerima soft power
III.2.1.2 Teori
Kepentingan Nasional
Kepentingan nasional ini menurut Roy Olton
dan Jack C. Plano, untuk mencapai tujuan nasional luar negeri, perlu
dipertimbangkan juga kekuatan nasional yang dimiliki. Adapun elemen-elemen dari
kepentingan nasional mencakup pertahanan diri (self preservation),
kemandirian (independence), integritas teritorial (territorial
integrity), keamanan militer, dan kemakmuran ekonomi (economic
wellbeing).[15]
Morgentau juga
menyatakan bahwa kepentingan setiap negara adalah mengejar kekuasaan (power), yaitu apa saja yang bisa
membentuk dan mempertahankan pengendalian suatu negara atas negara lain.
Hubungan kekuasaan atau pengendalian ini bisa diciptakan melalui teknik-teknik
paksaan maupun kerjasama.[16]
Sedangkan
Evans mengatakan bahwa kepentingan nasional merupakan starting point atau titik
awal dari kebijakan luar negeri.[17] Senada
dengan Evans, Frankel dalam Malhotra[18] memandang bahwa
kepentingan nasional adalah konsep yang
paling penting dalam hubungan internasional dan merupakan kunci dalam kebijakan
luar negeri karena kepentingan nasional adalah
materi dasar bagi para pembuat kebijakan luar negeri. Di dalam
merumuskan kebijakan luar negeri
tersebut, para pembuat kebijakan dipandu oleh perspektif kepentingan nasional
mereka yang bertujuan untuk mencapai dan melindungi kepentingan nasional
tersebut. Untuk kepentingan analisa, dalam makalah ini akan berfokus kepada
kepentingan nasional dalam konteks kemakmuran ekonomi (economic wellbeing) sebagai salah satu tujuan Perancis mengimplementasikan
kebijakan pariwisata yang berkualitas di negaranya.
III.1. 3 Metodelogi
Penelitian
Metode penelitian yang dilakukan
adalah penelitian kualitatif yang bertujuan mengambarkan atau melukiskan
keadaan subjek dan objek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat dan
lain-lain).[19]
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang datanya adalah data-data
kualitatif, umumnya dalam bentuk narasi.[20] Menurut Lofland dan Lofland
sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah seperti dokumen dan
lain-lain.[21]
Adapun dalam penyusunan makalah
ini menggunakan studi kasus atau penelitian kasus yang merupakan penelitian
yang berkenaan dengan suatu fase spesifik atau khas dari keseluruhan
personalitas.[22] Studi
kasus dari lokasi penyusunan makalah ini berkaitan dengan implementasi
kebijakan pariwisata di Prancis dan kerjasama Perancis dengan Indonesia dalam
bidang Pariwisata.
Keterbatasan dari makalah ini ada
pada minimnya data dan informan sebagai sumber data primer dalam analisa
masalah. Sehingga kesulurahan data dan
informasi yang terdapat dalam makalah ini didasarkan pada sumber sekunder,
berupa buku teks, journal, skripsi dan website.
PEMBAHASAN
“Implementasi Kebijakan Pariwisata
di Prancis dan Pengaruhnya terhadap Kerjasma Bilateral dengan Indonesia di
Bidang Pariwisata”
Saat ini, masyarakat
dunia telah terbentuk sebagai suatu komunitas global yang difasilitasi oleh
perkembangan komunikasi dan tranportasi yang semakin modern dan menciptakan
ruang dan waktu menjadi serasa tanpa batas dan tidak menjadi suatu persoalan
yang penting. Ruang dunia seolah menjadi menyatu dan seperti yang diungkapkan David
Harvey, dunia menjadi global village. Pada situasi dan kondisi semacam
ini, maka salah satu aspek atau sektor yang merasakan dampak adalah pariwisata
dunia, hal ini dikarenakan bahwa sudah bukan menjadi suatu persoalan dan
kesulitan untuk melakukan mobilisasi atau perjalanan keluar batas negara.
Intensnya aktifitas wisatawan dari satu tempat ke tempat lain menjadikan pariwisata
sebagai sektor yang memberikan keuntungkan bagi perekonomian masyarakat suatu
negara, maka dari itu tidak mengherankan jika akhirnya beberapa pemerintahan di
suatu negara serius untuk mendukung dan
meningkatkan kualitas dari sektor pariwisata tersebut. Berdasarkan pemaparan di atas, maka
diangkatlah analisa kebijakan publik di sektor pariwisata. Negara Perancis dipilih mengingat bahwa negara
ini memiliki popularitas kualitas
pariwisata terbak di dunia. Di samping itu, menarik untuk melihat implementasi
sektor pariwisata di Perancis sebagai suatu soft
power daya tarik dalam melakukan kerjasama luar negeri dan pengaruhnya
terhadap perekonmian Perancis.
II.1 Implementasi Kebijakan Sustainable Tourism Pariwisata di
Perancis
Pengembangan
industri pariwisata yang dilakukan oleh pemerintah Perancis didasarkan pada
kenyataan bahwa Perancis telah sejak lama menjadi tujuan pariwisata yang paling
diminati di dunia dan posisi Perancis sebagai negara teratas survey tujuan yang diminati sebagai
destinasi pariwisata. Dengan 81.9 juta
turis asing tahun 2007, Perancis menduduki posisi pertama sebagai
tujuan turis terbaik di dunia, di atas dengan angka 58.5 juta
dan dengan angka 51.1 juta.[23]Jumlah 81.9 juta ini tidak
termasuk orang yang menetap kurang dari 24 jam di Perancis, seperti orang Eropa
Utara yang melintasi Perancis dalam perjalanan ke Spanyol atau Italia selama
Musim Panas.[24] Terdapat
hal yang menarik dari fenomena di atas adalah bagaimana Perancis dapat tetap konsisten
untuk mempertahankan daya tarik wisatawan dunia terhadap pariwisatanya. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika
setiap tahun selalu mengalami peningkatan yang signifikan.[25] Terdapat beberapa aspek
yang dilakukan oleh pemerintah Perancis secara
konsisten sebagai upaya mempertahankan kualitas dari pariwisata Perancis, yaitu
memperkuat Perancis dari segi internal agar dapat meningkatkan kunjungan
wisatawan, memperhatikan permintaan dari para wisatawan secara umum, serta
memperbaiki promosi wisata terkhusus dihari libur.[26]
Salah satu upaya
nyata dari pemerintah Perancis dalam pengembangan sektor pariwisata dapat dilihat dari pengambilan
kebijakan pariwisata yang memang berasal dari kebutuhan yang diinginkan publik.
Terdapat beberapa cara Perancis dalam memajukan pariwisatanya, salah satu yang
populer adalah diberlakukanya Sustainable Tourism.[27] Kebijakan pariwisata
Perancis ini dilakukan oleh kementerian negara, kementerian perekonomian dan
kementerian pemberdayaan tenaga kerja, dimana kolaborasi beberapa kementerian
ini dianggap pilihan yang terbaik untuk menghasilkan kinerja yang efektif dan
menyeluruh dalam sektor pariwisata Perancis. Kebijakan publik dalam sektor
pariwisata Perancis ini mengikutkan isu lingkungan hidup yang memang menjadi
perhatian banyak pihak, yang dalam kisaran tujuannya mengharapkan adanya wisata
Perancis yang berorientasi ramah lingkungan. Sebelum tahun 2006, kebijakan
pariwisata Perancis lebih bersifat umum, yang berkiblat pada Maison de la
France, satu rangkaian mekanisme yang sudah terbentuk sejak 1987.
Kebijakan Sustainable
Tourism yang dilakukan oleh Perancis tersebut didasarkan dari dua hal
utama, yaitu pertama adalah
berdasarkan fakta bahwa walaupun Perancis telah menduduki peringkat pertama
dalam pariwisata dunia, namun secara ekonomi pendapatan yang diperoleh masih
kalah berada di urutan ketiga (lihat tabel I.1),[28]sehingga dengan dimplementasikanya
kebijakan Sustainable Tourism ini diharapkan dapat meningkatakan daya
tarik serta simpati wisatawan dunia secara luas serta berdampak terhadap
peningkatan pendapatan negara; Kedua
adalah bagaimana mekanisme Uni Eropa yang memposisikan dirinya sebagai pihak
‘polisi dunia’ dalam isu lingkungan hidup[29] memberikan tuntutan untuk negara-negara
anggotanya, termasuk Perancis untuk memperhatikan lebih serius terkait dengan
isu lingkungan hidup. Sustainable Tourism hanyalah salah satu cara dan
kebijakan pemerintah diantara banyak kebijakan yang lain. Kebijakan Pariwisata
Perancis yang lain adalah launching semacam standar dan pelabelan “Qualité
TourismeTM” dan juga kebijakan pemberlakuan Voucher Libur
Nasional.[30]
Tabel I.1[31]
International
Tourism Earnings
Rank in 1995
|
Rank in 2007
|
Destination
|
2007 receipts (US$ bilions)
|
% 2007/2006 (US$)
|
1
|
1
|
United States
|
96.7
|
12.8
|
4
|
2
|
Spain
|
57.8
|
13.1
|
2
|
3
|
France
|
54.2
|
17.0
|
3
|
4
|
Italy
|
42.7
|
12.0
|
10
|
5
|
China
|
41.9
|
23.4
|
5
|
6
|
United Kingdom
|
37.6
|
12.4
|
6
|
7
|
Geremany
|
36.0
|
9.9
|
14
|
8
|
Australia
|
22.2
|
24.4
|
7
|
9
|
Austria
|
18.9
|
13.5
|
21
|
10
|
Turkey
|
18.5
|
9.8
|
II. 2 Analisa Kebijakan Publik
Sektor Pariwisata Sustainable
Tourism di Perancis
Studi dari
Oxford University menjelaskan bahwa analisa dari kebijakan pariwisata suatu
negara menjadi layak untuk dilakukan sebab pariwisata di hari-hari ini semakin
banyak mempengaruhi perekonomian suatu negara secara signifikan. Sejauh ini,
studi tersebut memperlihatkan bahwa kesuksesan sektor pariwisata satu negara
sangat dipengaruhi oleh komitmen negara dalam menerapkan kebijakan-kebijakan
yang dapat mendukung dan memajukan sektor tersebut. Pendekatan yang tepat
digunakan adalah pendekatan empiris dimana mengarahkan pada kondisi nyata yang
ada, baik sebelum dan paska penerapan kebijakan.[32] Namun lebih jauh, harus
dipahami bagaimana analisa kebijakan publik secara umum.
Jika
dikembalikan pada beberapa langkah dari kebijakan publik secara umum, maka
kebijakan publik Perancis dalam bidang pariwisata ini telah mencapai tahap
evaluasi sehingga selain memberikan pandangan secara menyeluruh akan kebijakan
ini, akan disertakan pula fokus khusus analisanya yang diarahkan pada bagaimana
ada hasil dan dampak yang muncul setelah penerapan dari kebijakan tersebut,
terutama dalam hal keuntungan ekonomi. Dalam kasus kebijakan publik sektor
pariwisata ini ada beberapa hal yang khas dan berusaha diungkap adalah
bagaimana kebijakan itu efektif mendatangkan banyak wisatawan luar, bagaimana
kebijakan itu juga memberi pengaruh pada investor asing, dan bagaimana
pemerintah memanfaatkan media massa untuk melakukan kebijakannya.[33] Berangkat
dari paparan Langbein,[34]
analisa kebijakan publik di tahap evaluasi dibagi menjadi dua macam yaitu riset
proses dan riset hasil. Dalam riset proses akan digunakan metode deskriptif
yang berusaha menjawab apakah implementasi kebijakan sesuai dengan perencanaan
yang telah disusun dengan matang sebelumnya. Sedangkan dalam riset hasil,
digunakan metode kausal yaitu bagaimana ada hasil signifikan yang ditemukan
serta didalami seberapa tepat hasil tersebut sesuai dengan perencanaan.
Pembahasan disini akan menggunakan pilihan riset hasil dengan metode kausal
yang lebih menekankan pada hasil signifikan dan tepat tidaknya hasil tersebut
dengan perencanaan.
Dalam kasus
kebijakan pariwisata Perancis, baik yang tergabung dalam Sustainable Tourism,
dan juga kebijakan-kebijakan lain, terdapat beberapa program dan bentuk nyata
kebijakan pemerintah yang masing-masingnya memiliki tujuan khusus, yaitu: Pertama, program “Excellence in
Energy for the Tourism Industry” yang memberlakukan aturan bagi pelaku
bisnis pariwisata Perancis terkhusus hotel, destinasi wisata dan pemangku
bisnis dibalik layar yang dituntut memberikan pasokan barang dengan orientasi
ramah lingkungan. Masalah pendapatan yang sempat dibahas sebelumnya mulai
terjawab melalui kebijakan ini, sebab dengan memberlakukan program ini maka
pengeluaran energy dapat ditekan dan sekaligus memperbesar pemasukan negara,
selain itu berdampak pula pada wisatawan yang menggunakan layanan tersebut; Kedua, Program “Green Passport”[35] yaitu
sebuah kampanye berbasis Internet yang bertujuan meningkatkan kesadaran isu
lingkungan hidup serta sekaligus mengambil simpatik bagi mereka untuk memilih
Perancis sebagai destinasi wisata yang memang ramah lingkungan. Ide awal paspor
hijau ini dicetuskan oleh UNEP (United Nations Environment Programme)
diadopsi oleh Perancis namun dengan kekhasan khusus, yaitu penekanan dalam
keanekaragaman hayati. Langkah strategis nyata yang dilakukan oleh perancis
adalah penyebarluasan semacam poster, di bandara internasional dan secara
privat semacam selebaran bagi penumpang pesawat yang memiliki destinasi menuju
Perancis;[36] Ketiga,
Untuk kebijakan penerapan label “Qualité TourismeTM ”
menunjukkan dampak yang signifikan sebab sejak di tahun 2006 diberlakukan,
terdapat peningkatan kepercayaan wisatawan bagi tempat-tempat yang telah berlabel
“Qualité TourismeTM ” sehingga kini telah mencapai lebih dari
2600 perusahaan yang telah menggunakan label ini guna menarik wisatawan dengan
jaminan kualitas yang lebih dipercaya oleh para wisatawan tersebut;[37] Keempat, Kebijakan yang juga
diberlakukan oleh pemerintah Perancis adalah The National Holiday Vouchers
Agency (ANCV) atau Agen Voucher Hari Libur, yang merupakan satu bentuk
pariwisata. Kebijakan ini mengikutsertakan aktor-aktor penting di setiap kota.
Bentuk kebijakannya adalah memberikan layanan khusus bagi manula, orang cacat,
dan keluarga miskin. Hal ini menjadi bentuk dedikasi pemerintah untuk
menyediakan anggaran khusus.
Berdasarkan
pemaparan kebijakan tersebut, sebagian besar dapat dinilai berhasil dan
terimplementasi dengan baik. Akan
tetapi, terdapat pula yang tidak sesuai dengan perencanaan, diantaranya
lahirnya kebijakan pariwisata di Perancis diluar Sustainable Tourism adalah berlandaskan pada kebutuhan akan tingkat
pemasukan yang diharapkan dapat semakin maksimal. Akan tetapi berdasarkan hal
tersebut dapat diamati bahwa kebijakan pemberlakuan ANVC atau Agen Voucher Hari
Libur kurang sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai, hal ini dikarenakan
kebijakan tersebut tidak secara spesifik menjawab bagaimana tenaga kerja dapat
diserap dan bagaimana pemasukan ekonomi negara dapat meningkat. Jika lebih
ditelaah kebijakan ANVC ini lebih berfokus dan mengarah pada kebijakan sosial
dibandingkan untuk dikategorikan sebagai kebijakan pariwisata, sebab poin
penekanan yang muncul adalah tentang dedikasi bagi golongan yang kurang
beruntung. Lagipula dengan penambahan layanan khusus dan anggaran dana khusus,
maka semakin tidak sejalan dengan tujuan utama semula yaitu peningkatan
ekonomi.
Keberhasilan
beberapa kebijakan pariwisata Perancis dapat dilihat sebagai bentuk hasil
kerjasama secara optimal dan menyeluruh yang dilakukan oleh beberapa aktor,
baik kementerian, pemerintah kota bahkan memanfaatkan ide yang berasal dari
luar pemerintahan, seperti UNEP dan Uni Eropa. Keunggulan lain yang dimiliki
oleh Perancis adalah bagaimana negara ini peka terhadap isu-isu yang
diprediksikan mampu menambah daya tarik wisatawan. Keseluruhan program kerja di
bidang pariwisata Perancis akhirnya membuahkan beberapa hal, yaitu:[38] Pertama, terdapat Pengaturan-pengaturan
khusus. Seperti standar khusus pelayanan (harus dipenuhi sebelum mendapatkan “Qualité
TourismeTM”) serta memunculkan mekanisme dan sertifikasi; Kedua, melahirkan suatu gerakan
kesadaran kolektif yang merupakan suatu hal penting yang tidak terabaikan dari
pemerintah Perancis karena tidak hanya berfokus pada upaya-upaya teknis namun
juga memberikan satu pemahaman umum yang sama, bahwa pariwisata Perancis adalah
tanggung jawab bersama dan akan membawa keuntungan bersama bagi masyarakat
Perancis; Ketiga, sebagai upaya
mengimplementasiakan poin kedua diatas merupakan suatu upaya yang efektif. Oleh karena itu, pemerintah Perancis tidak
lupa menyediakan e-learning khusus
bagi pemangku kepentingan bisnis wisata di perancis untuk memahami apa-apa saja
yang perlu dikembangkan dalam sektor pariwisata di Perancis; Kelima, pemanfaatan Corporate Social
Responsibility (CSR). Pemerintah Perancis memberlakukan dan menganjurkan
para perusahaan mengalihkan rencana CSR dalam bentuk transformatif yaitu CSER (Corporate
Social Environment Responsibility). Hal ini menurut penulis secara pribadi,
salah satu langkah yang strategis sebab dapat memanfaatkan pihak luar untuk
bergerak sesuai dengan kepentingan publik; Keenam
adalah terfasilitasinya pembentukan jaringan relasi melalui promosi pariwisata. Konsen pemerintah melalui kebijakannya secara
langsung memfasilitasinya dengan penguatan jaringan. Dari media internet,
pariwisata Perancis termuat dalam www.franceguide.com dan untuk promosi pariwisata berbasis lingkungan
melalui situs www.veilleinfotourisme.fr/taskforce. Jaringan kerja sama selain
internet yang dibentuk oleh pemerintah Perancis adalah dengan partnership dengan
beberapa negara, salah satunya Indonesia.
II.3
Kebijakan di Sektor Pariwisata Negara Perancis dan Peranya sebagai ‘Soft Power’ dalam Kerjasama Bilateral
dengan Indonesia
Berbagai kerjasama bilateral antara Perancis
dan Indonesia telah dilakukan, di antaranya pertemuan Sylvia
Pnel, Menteri Kerajinan, Perdagangan, dan Pariwisata Perancis dengan Mari Elka
Pangestu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia, di Kementerian
Ekonomi dan Keuangan Perancis, Bercy.[39] Dalam kesempatan pertemuan tersebut, Sylvia
Pinel dan Mari Elka Pangestu memutuskan untuk membentuk beberapa kelompok kerja
bersama, yang akan membahas terutama permasalahan pembangunan pariwisata
berkelanjutan (Sustainable Tourism), peningkatan
penyediaan pelatihan, promosi daerah dan peningkatan kerjasama antar-pelaku
swasta. Pembentukan kelompok-kelompok kerja tersebut mewujudkan kesepakatan
yang telah ditandatangani pada tahun 2011, guna mempererat kerjasama Perancis
dan Indonesia di bidang pariwisata. Selain itu, bentuk kerjasama juga dilakukan
Perancis dengan menawarkan kerjasama pendidikan dan pariwisata kepada
pemerintah kota (Pemkot) Yogyakarta. Perancis menawarkan kerjasama ini, saat
duta besar (dubes) Perancis untuk Indonesia Mrs. Corinne Breuzé melakukan
kunjungan ke pemkot Yogyakarta pada 2 juli 2013.[40] Diadakan kerjasama ini didasarkan pada
alasan bahwa Yogyakarta menjadi pusat pendidikan dan budaya di Indonesia.
Karena itu, guna mengenal lebih lanjut tentang Yogyakarta, Perancis berharap
bisa melakukan kerjasama di bidang tersebut.
Begitupun dalam konteks sosialisasi
pengelolaan kerjasama Sustinable Tourisme,
kerjasama dilakukan dimana sejumlah akademisi asal Perancis membagi pengalaman
soal pengelolaan eco-cultural heritage di negaranya yang mampu
meningkatkan perkembangan sektor pariwisata negara pusat mode itu.[41] Eco-cultural heritage adalah
pembangunan kebudayaan dan tradisi lokal yang berbasis pada ekologi lingkungan
masyarakat dengan harapan mampu menumbuhkan sektor pariwisata secara tidak
langsung dan mengimbas pada pertumbuhan ekonomi. Kerjasama ini didasarkan bahwa Perancis merupakan
negara yang sangat menaruh perhatian terhadap preservasi budayanya
hingga dapat dijadikan destinasi pariwisata yang menarik. Terkait dengan eco-cultural
heritage Perancis, segala hal yang terkait dengan pengembangan budaya dan
pariwisata sangat tergantung pada pemerintah daerah. Sampai saat ini, Perancis
merupakan salah satu target pasar pariwisata Indonesia dan pada 2009 sebanyak
138.000 turis Perancis melancong ke Indonesia.
Jika kita mengkaitakan penjelasan beberapa
bentuk dan kegiatan kerjasama di bidang pariwisata antara Perancis dan
Indonesia di atas dengan teori kekuasan menurut pandangan Joseph S. Nye, pada
dasarnya kebijakan kerjasama bilateral di bidang pariwisata antara Perancis dan
Indonesia adalah merupakan bagian dari soft
power yang dimiliki oleh pemerintah Perancis. Soft
power ini digunakan oleh pemerintah Perancis sebagai upaya dalam
meningkatkan kunjungan dari wisatawan asing khusunya Indonesia agar dapat
berkunjung ke Perancis dan memberikan keuntungan ekonomi terhadap Perancis.
Disamping itu,
kerjasama bilateral dalam sektor pariwisata antara Perancis dan Indonesia
sebagai bagian dari kebijakan luar negeri Perancis dapat dikatakan sebagai
bentuk dari implementasi attraction
yang dikemukakan oleh Joseph S. Nye yang menekankan salah satunya kepada daya
tarik yang dimiliki Perancis dalam hal ini adalah daya tarik pariwisata
berkualitas dunia. Selain itu, daya tarik masing-masing negara dalam hal
destinasi pariwisata yang dimiliki setiap negara, khususya Perancis menjadi
salah satu landasan yang dapat diasumsikan sebagai pengimplementasian soft power dalam kerjasama bilateral
Perancis dan Indonesia. Karena tidak
dapat dipungkiri bahwa masing-masing negara memiliki destinasi wisata sebagai
daya tarik yang dapat menarik minat wisatawan asing, misalnya Indonesia dengan
keindahan alam pantai Bali dan Lomboknya serta Perancis dengan kemodernitas-an
berbagai lokasi wisata seperti yang dimilikinya menjadi faktor pendorong
wisatawan Indonesia berkunjung ke Perancis.
Sedangkan jika
dikaitakan dengan aktor-aktor yag terlibat dalam implementasi soft power ini menurut Nye. Referess dalam kasus ini terlihat tidak
hanya pemerintah Perancis saja, tapi juga pemerintah Indonesia yang ikut
memfasilitasi pengimplementasian kebijakan luar negeri dalam hal kerjasama
bilateral kedua negara dalam sektor pariwisata antara Perancis dan
Indoneisa. Begitupun dengan peran media seperti
internet, yang memiliki peran sebagai aktor yang mempromosikan pariwisata
Perancis termuat dalam beberapa situs seperti www.franceguide.com dan untuk
promosi pariwisata berbasis lingkungan melalui situs www.veilleinfotourisme.fr/taskforce. Sedangkan
dalam receivers dapat dipahami
sebagai pemerintah dan masyarakat Indonesia, hal ini didasarkan pada asumsi
bahwa selain dari tujuan peningkatan kerjasama bilarteral di antara kedua
negara tujuan dari kerjasama ini adalah membuka kesempatan untuk peningkatan
pendaptan ekonomi negara Perancis.
II. 4 Kepentingan Ekonomi Perancis dalam Implementasi Kebijakan
Pariwisata
Seperti yang
dikemukakan oleh Evans yang mengatakan bahwa kepentingan nasional merupakan starting point atau titik awal dari kebijakan luar negeri.[42] Senada
dengan Evans, Frankel dalam Malhotra[43] memandang bahwa
kepentingan nasional adalah konsep yang
paling penting dalam hubungan internasional dan merupakan kunci dalam kebijakan
luar negeri karena kepentingan nasional adalah
materi dasar bagi para pembuat kebijakan luar negeri. Begitupun dalam
konteks kerjasama Perancis dengan Indonesia di bidang pariwisata pada dasarnya
salah satunya adalah sebagai upaya mencapai kepentingan nasional dalam hal
ekonomi. Hal ini mengingat bahwa sektor
pariwisata memberikan keuntungan bagi pendapatan negara Perancis.
Sebagaimana dikutip dalam situs resmi pemerintah Perancis terkait dengan
keuntungan ekonomi yang diproleh dari sektor pariwisata bahwa:
“Tourism is an essential sector of the French economy, both in terms of
contribution to GDP and employment. An activity boosted by the key sites, theme
parcs and France's natural heritage. With 74.2
million visitors and despite a slight slowdown compared to 2008, France
remained the number one tourism destination in the world in 2009 ahead of Spain
and the United States, with a market share of 16 % in Europe. The total
spending of French and foreign tourists represented € 36 billion, that's almost
6.5 % of France's GDP, which makes the country third in the world in terms of revenue
from tourism. The tourism sector assures the livelihood of more than 900,000
people, representing 4.3 % of the working population, 72 % in the restaurant
and catering industry, 15.5 % in the hotel industry, 4 % in travel agencies, 1.5 % in outdoor
accommodation (campsites, mobile homes, etc.) and 4.5 % in thermal spas.”[44]
Berdasarkan
kutipan di atas, bahkan beberapa tahun sebelum Perancis dan Indonesia sepakat
untuk meningkatkan tingkat hubungan bilateral menjadi hubungan kemitraan
strategis atau strategic partnership dapat
diperoleh informasi bahwa sektor pariwisata merupakan sektor penting dari
perekonomian Perancis, baik dari segi kontribusi terhadap PDB dan lapangan pekerjaan. Hal ini didasarkan pada jumlah kunjungan
wisatawan Suatu kegiatan didorong oleh situs kunci, tema parcs dan warisan alam
Perancis. Dengan 74.200.000 pengunjung pada tahun 2008, Prancis tetap nomor
satu tujuan wisata di dunia pada tahun 2009 di atas Spanyol dan Amerika
Serikat, dengan pembagian pasar sebesar 16% di Eropa. Total pengeluaran turis
Perancis dan asing terhadap pendapatan negara Perancis mencapai diwakili €36
miliar atau hampir menyumbangkan sekitar 6,5% dari PDB Perancis, yang
menjadiakan Perancis menempati posisi ketiga negara di dunia dalam hal
pendapatan dari sektor pariwisata. Sektor pariwisata menjamin kehidupan lebih
dari 900.000 orang, yang mewakili 4,3% dari penduduk yang bekerja, 72% di
restoran dan industri katering, 15,5% di industri perhotelan, 4% di agen-agen
perjalanan, 1,5% untuk penginapan di luar ruangan (tempat perkemahan, rumah
mobil, dll) dan 4,5% di spa termal. Sementara,
pembelanjaan sektor pariwisata menunjukkan angka positif sebanyak €13 milyar setiap tahun. Penduduk Perancis yang
keluar negeri membelanjakan 27 milyar, sedangkan turis yang datang
membelanjakan €40 milyar. Sekitar 80 juta orang
berkunjung ke Perancis per tahun. Perancis adalah salah satu tujuan turis di
dunia dan bisnis di sektor turisme mempekerjakan 850.000-900.000 pegawai.[45]
Sedangkan
meskipun tidak dapat ditunjukan secara lagsung, setelah meningkatkan kerjasama
dengan Indonesia belanja neraca pariwisata meningkat secara signifikan hingga
mencapai sekitar 13 miliar euro
di tahun 2012, sementara pada tahun 2011 hanya mencapai 7,5 miliar euro.
Perpanjangan masa tinggal dan penambahan waktu menginap dapat meningkatkan
pengeluaran wisatawan mancanegara di Perancis hingga mencapai 35,8 miliar euro.[46]
Secara tidak langsung negara Indonesia telah ikut berpartisipasi dalam
peningkatan ekonomi Perancis. Sehingga
jika dikaitkan dengan teori kepentingan nasional menurut Roy Olton dan Jack
C. Plano yang salah satu aspeknya adalah kemakmuran ekonomi (economic
wellbeing) menunjukan bahwa implementasi kebijakan pariwisata Perancis dan
dilakukannya peningkatan kerjasma bilateral antara Perancis dan Indonesia
adalah sebagai upaya dalam meningkatkan pendapatan ekonomi negara Perancis
dengan pariwisata sebagai daya tarik diplomasinya.
KESIMPULAN
Sebagai negara yang maju, Perancis
ternyata tidak menganggap remeh sektor pariwisata. Salah satu alasan adalah
karena sektor pariwisata merupakan satu pemasukan besar bagi negara ini. Satu
hal yang perlu diapresiasi adalah bahwa pemerintah Perancis tidak sekedar
‘emnunggu’ pemasukan mengalir, namun dengan serius menggarap sektor ini. Hal
yang dilakukan oleh pemerintah Perancis pertama adalah menemukan masalah serta
target yang hendak dicapai. Masalah utama yang ditemukan dalam apriwisata
Perancis adalah kurangnya pemaksimalan layanan dan mulai bermunculannya
destinasi negara lain yang tidak kalah menarik. Untuk mengatasi hal itu
lahirnya beberapa kebijakan sehingga dapat diartikan bahwa pemerintah
menetapkan kebijakan-kebijakan dalam suatu ‘paket’ menyeluruh. Hal lain yang
juga patut diteladani adalah kerja sama antar kementerian di satu negara untuk
mengerjakan misi pariwisata ini. Dalam prosesnya, memang tidak semua berjalan
mulus, namun bagaimanapun harus diakui bahwa Perancis unggul dalam merangkai
kepentingan-kepentingan bahkan yang ada diluar pemerintahan, seperti program
CSR dan juga ide dari Uni Eropa serta UNEP.
Belajar dari Perancis, Indonesia perlu melihat bagaimana cara bukan
hanya untuk menarik wisatawan untuk datang berkunjung namun benar-benar
menyumbangkan pemasukan yang signifikan. Selain itu, Indonesia harus mulai peka
dan terampil untuk memanfaatkan aktor-aktor berkepentingan lain, semisal dengan
menggandeng organisasi internasional dan juga mengangkat satu tema khusus.
DAFTAR
PUSTAKA
Sumber Buku:
Bungin, Burhan. Metodologi
Penelitian Kualitatif. Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2001.
Evans,
Gareth. Australia’s Foreign Relations.
Melbourne: Melbourne University Press, 2004.
Kountur, Ronny. Metode Penelitian untuk Penulisan Skripsi
dan Tesis. Jakarta: PPM, 2003.
Malhotra, VK. International
Relations. New Delhi: Anmol Publications Pvt Ltd, 2004.
Mas’oed, Mohtar. Ilmu Hubungan
Internasional Disiplin dan Metodologi. Jakarta: LP3ES, 1990.
Moleong,
Lexy J.. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002..
Moh.
Nasir. Metode Penelitian. Jakarta: Galia Indonesia, 1998.
Nye, J.S. Soft Power: The Means to Success in World Politics, 1st ed. New York: Public Affairs, 2004.
Plano, Jack C and Roy Olton. The
International Dictionary. New York:
Wentern Michigan University, 1973.
Widodo, Joko. Analisis
Kebijakan Publik: Konsep dan Aplikasi Analisis Proses Kebijakan Publik. Malang:
Bayumedia Publishing, 2007.
Winarno, Budi. Kebijakan
Publik: Teori dan Proses. Yogyakarta:
Media Pressindo, 2007.
Website (Berita):
Kedutaan
Besar Perancis di Jakarta. Perancis,
Negara Tujuan Wisata Nomor Satu di Dunia dalam http://www.ambafrance-id.org/Satu-angka-satu-fakta-tentang,1449
diakses pada Selasa, 19 November 2013; Pukul 14.20 WIB.
Kedutaan
Besar Perancis di Jakarta. Perancis dan Indonesia Menggiatkan Kembali Kerjasama Kedua Negara di Bidang
Pariwisata dalam
http://www.ambafrance-id.org/Perancis-dan-Indonesia-Menggiatkan
diakses pada Rabu, 20 November 2013; Pukul 21. 49 WIB.
Kementerian
Luar Negeri Indonesia. Profile Negera
Kerjasama. http://www.kemlu.go.id/rome/Pages/CountryProfile.aspx?IDP=2&l=id
diakses pada Rabu, 13 November 2013; Pukul 06.50 WIB.
Ministère
des Affaires étrangères et européennes /
Ministry of Foreign and European
Affairs. La
France a La Loupe. http://www.consulfrance-losangeles.org/IMG/pdf/Tourism_11_2007-2.pdf
hlm. 2. Diakses pada Rabu, 13 November 2013; Pukul 07.34 WIB.
Oxford
Economics Company. Tourism Economic An Oxford Economics Company. http://www.tourismeconomics.com/services-policy-analysis.php
diakses pada Rabu, 13 November 2013; Pukul 19.50 WIB.
International
Union for Conservation of Nature. Green passport for sustainable tourism in France overseas http://iucn.org/about/union/secretariat/offices/oceania/?9119/Green-passport-for-sustainable-tourism-in-France-overseas
diakses pada Rabu, 13 November 2013; Pukul 07.09 WIB.
Setiyawan,
Priyo. Perancis
Ajak Yogya Kerjasama Pendidikan & Pariwisata dalam http://daerah.sindonews.com/read/2013/07/02/22/756653/perancis-ajak-yogya-kerjasama-pendidikan-pariwisata
diakses pada Rabu, 20 November 2013; Pukul 21 56 WIB.
The Official Website of France. France Remains the World's Number One Tourism
Destination
dalam http://www.france.fr/en/overview/article-old/france-remains-worlds-number-one-tourism-destination diakses pada Rabu, 20 November 2013; Pukul 12.53
WIB.
Tanpa Nama. Indonesia
dan Prancis Kerjasama Bidang Pariwisata dalam http://www.pelita.or.id/baca.php?id=70165 diakses pada Senin, 25 november 2013; Pukul 09.59
WIB.
Tanpa
Nama. Perancis Bagi Pengalaman Soal
"Eco-Cultural Heritage" dalam http://www.antaranews.com/print/179093/
diakses pada Rabu, 20 November 2013; Pukul 01. 07 WIB.
Sumber Website (PDF)
Nye, J.S. (2008), ‘Public Diplomacy and Soft Power’, THE ANNALS of the American Academy of Political and Social Science; 616;94-109.
Nye,
J.S. (2005) Soft Power and Higher Education’, Forum for the Future of Higher
Education, diunduh dari http://www.educause.edu/Resources/SoftPowerandHigherEducation/158676, Senin, 18 November 2013; Pukul 07.41 WIB.
United Nations Environment Programme. A Three-Year Journey for Sustainable Tourism
http://www.unep.org/resourceefficiency/Portals/24147/scp/tourism/activities/taskforce/pdf/TF%20REPORT_FINAL.pdf
hlm. 12. Diakses pada Rabu, 13 November 2013; Pukul 19.37 WIB.
World
Tourism Organization. Key Fact of Tourism
2008 Edition dalam http://www.dgcis.gouv.fr/files/files/directions_services/etudes-et-statistiques/stats-tourisme/chiffres-cles/chiffres_cles08_gb.pdf
hlm. 8. diakses pada Rabu, 13 November 2013; Pukul 06.52 WIB.
Sumber
Skripsi:
Suryani, Putu Elvina. Korean Wave sebagai Soft Power dalam Memperoleh Keuntungan Ekonomi bagi
Korea Selatan. Depok: Universitas Indonesia, 2012.
Sumber Gambar:
http://ezytravel.co.id/blog/wp-content/uploads/2012/08/wisata-perancis.jpg diakses pada
Selasa, 5 November 2013; Pukul 09.40 WIB.
http://justranandaa.files.wordpress.com/2012/05/wisata-indonesia8.jpg diakses pada
Rabu, 11 Desember 2013; Pukul 13.20 WIB.
http://www.indonesia.travel/public/media/images/upload/article/cover-france.jpg diakses pada
Rabu, 11 Desember 2013; Pukul 13. 27 WIB.
[1] Kedutaan Besar Perancis di
Jakarta. Perancis, Negara Tujuan Wisata
Nomor Satu di Dunia dalam http://www.ambafrance-id.org/Satu-angka-satu-fakta-tentang,1449 diakses pada Selasa, 19 November
2013; Pukul 14.20 WIB.
[2] Ibid.,
[3] Joko Widodo. Analisis Kebijakan Publik: Konsep dan Aplikasi Analisis Proses
Kebijakan Publik (Malang: Bayumedia Publishing, 2007), hlm. 10.
[4] Joko Widodo. Ibid., hlm 12.
[5] Joko Widodo. Ibid.,
hlm. 17
[6] Joko Widodo. Ibid., hlm. 57.
[7] Joko Widodo. Ibid., hlm. 86.
[9] Nye, J.S. (2008), ‘Public
Diplomacy and Soft Power’, THE ANNALS of
the American Academy of Political and Social Science; 616;94-109, hlm. 94.
[10] Nye, J.S. Soft Power and Higher Education, Forum for the Future of Higher
Education, 2005. diunduh dari http://www.educause.edu/Resources/SoftPowerandHigherEducation/158676,
Senin, 18 November 2013; Pukul 07.41 WIB.
[11] Ibid.,
[12] Nye, J.S. (2008), Op. Cit.,
[13] Ibid., hlm. 96
[14] Merupakan pengistilahan yang
digunakan dalam tulisan Joseph S. Nye, Ibid.,
[15] Jack C Plano
and Roy Olton. The International Dictionary (New York: Wentern Michigan
University, 1973), hlm. 217.
[16] Mohtar Mas’oed.
Ilmu Hubungan Internasional Disiplin dan Metodologi (Jakarta: LP3ES,
1990), hlm. 140.
[17], Gareth Evans. Australia’s
Foreign Relations (Melbourne: Melbourne University Press, 1991), hlm. 33.
[19] Burhan Bungin. Metodologi
Penelitian Kualitatif (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 8.
[20] Ronny Kountur. Metode Penelitian untuk Penulisan Skripsi
dan Tesis (Jakarta: PPM, 2003), hlm. 16.
[21] Lexy J. Moleong. Metodelogi Penelitian Kualitatif
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), hlm. 112.
[22] Moh. Nasir. Metode Penelitian (Jakarta: Galia Indonesia, 1998), hlm. 51.
[23] Kementrian Luar Negeri
Indonesia. Profil Negera Kerjasama. http://www.kemlu.go.id/rome/Pages/CountryProfile.aspx?IDP=2&l=id diakses pada Rabu, 13 November
2013; Pukul 06.50 WIB.
[24] Ministère des Affaires étrangères
et européennes / Ministry of Foreign and European Affairs. Loc. Cit.,
[25] Ibid., hlm. 3
[26] Ibid.,
[27] United Nations Environment Programme. A Three-Year Journey for Sustainable
Tourism http://www.unep.org/resourceefficiency/Portals/24147/scp/tourism/activities/taskforce/pdf/TF%20REPORT_FINAL.pdf hlm. 12. Diakses pada Rabu, 13
November 2013; Pukul 19.37 WIB.
[28] World Tourism Organization. Key Fact of Tourism 2008 Edition dalam http://www.dgcis.gouv.fr/files/files/directions_services/etudes-et-statistiques/stats-tourisme/chiffres-cles/chiffres_cles08_gb.pdf hlm. 8. diakses pada Rabu, 13
November 2013; Pukul 06.52 WIB.
[30] Ministère des Affaires étrangères
et européennes / Ministry of Foreign and European Affairs. Loc. Cit.,
[31]
World Tourism Organization.
Loc. Cit.,
[32] Oxford Economics Company. Tourism
Economic An Oxford Economics Company. http://www.tourismeconomics.com/services-policy-analysis.php diakses pada Rabu, 13 November
2013; Pukul 19.50 WIB.
[33] Ministère des Affaires étrangères et
Européennes or Ministry of Foreign and European Affairs. Loc. Cit.,
[35] International Union for Conservation of Nature. Green passport for sustainable tourism in France overseas http://iucn.org/about/union/secretariat/offices/oceania/?9119/Green-passport-for-sustainable-tourism-in-France-overseas diakses pada Rabu, 13 November 2013; Pukul 07.09 WIB.
[36] International Union for Conservation of Nature. Ibid.,
[37] Ministère des Affaires étrangères et
européennes / Ministry of Foreign
and European Affairs. Loc.
Cit.,
[38] A Three-Year Journey for Sustainable Tourism http://www.unep.org/resourceefficiency/Portals/24147/scp/tourism/activities/taskforce/pdf/TF%20REPORT_FINAL.pdf diakses pada
Rabu, 13 November 2013; Pukul 07.04 WIB.
[39] Kedutaan Besar Perancis. Loc. Cit.,
[40] Priyo Setiyawan. Perancis Ajak Yogya Kerjasama Pendidikan & Pariwisata dalam http://daerah.sindonews.com/read/2013/07/02/22/756653/perancis-ajak-yogya-kerjasama-pendidikan-pariwisata diakses pada Rabu, 20 November 2013; Pukul 21 56 WIB.
[41] Tanpa Nama. Perancis Bagi Pengalaman Soal "Eco-Cultural Heritage" dalam http://www.antaranews.com/print/179093/ diakses pada Rabu, 20 November 2013; Pukul 01. 07 WIB.
[42], Gareth Evans. Australia’s
Foreign Relations (Melbourne: Melbourne University Press, 1991), hlm. 33.
[44] The Official Website of France. France Remains the World's Number One Tourism Destination dalam http://www.france.fr/en/overview/article-old/france-remains-worlds-number-one-tourism-destination diakses pada Rabu, 20 November 2013; Pukul 12.53 WIB.
[45] Tanpa Nama. Indonesia dan Prancis Kerjasama
Bidang Pariwisata dalam http://www.pelita.or.id/baca.php?id=70165 diakses pada Senin, 25 november
2013; Pukul 09.59 WIB.
[46] Ibid.,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar