Jumat, 27 Desember 2013

“Memahami Korelasi Neoliberalisme dan Post-Modernitas dalam Perspektif David Harvey”



Terdapat dua artikel yang akan menjadi pemicu dalam tulisan ini, yaitu The Brief History of Neo-liberalism dan The Condition of Post-Modernity yang mana kedua artikel tersebut ditulis oleh David Harvey.  Menarik dari kedua artikel tersebut karena selain menjelaskan kepada pembaca mengenai sejarah singkat Neoliberalisme dalam keterkaitannya dengan ekonomi politik juga memberikan pemahaman mengenai kontradiksi sekarang globalisme dari segi ekonomi, politik bahkan sudut pandang moral, ditambah korelasi antara kapitalisme dan postmodernisme.
Dalam The Brief History of Neo-liberalism, Harvey mencoba memaparkan aspek modal global internasional ke dalam studi kasus negara-negara yang telah mencoba mengiplementasikan neoliberalisme dari mulai Inggris, Chile, Argentina, Meksiko, China dan juga Amerika Serikat. Menurutnya, dalam memahami neoliberalisme dibutuhkan pengenalan prinsip dasar '”kebebasan” karena hal tersbut merupakan dari dasar neoliberalisme yang menunjukkan ketidakpercayaan intervensi pemerintah seperti kontrol terpusat ekonomi. 
Selain itu, neoliberalisme juga memiliki kecenderungan untuk bebas terhadap kekuasaan dalam sistem pengaturan negara, karena adanya regulasi negara mengakibatkan hilangnya esesni dari kebebasan tersebut. Sebagaimana diungkapkan bahwa:
Planning and control are being attacked as a denial of freedom.  Free enterprise and private ownership are declared to be  essentials of freedom.  No society built on other foundations is said to deserve to be called free.  The freedom that regulation creates is denounced as unfreedom; the justice liberty and welfare it offers are described as a camouflage of slavery.”[1]
Untuk Harvey neoliberalisme pada dasarnya adalah tentang pemulihan kekuasaan oleh elit kelas ekonomi global. Jadi neoliberalisme dalam prakteknya belum “utopian project to realize a theoretical design for the reorganization of international capitalism."[2] tetapi proyek politik praktis dimaksudkan untuk mengembalikan kekuatan elit ekonomi. Oleh karena itu, saya sependapat dengan perspektif Harvey ini, karena relita menunjukan bagaimana neoliberalisme melalui kapitalisme yang terjadi saat ini terutama di negara-negara berkembang lebih terfokus kepada upaya penguatan elit-elit ekonomi lokal dibandingkan dengan usaha meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dalam literatur lain, perpektif Harvey ini memiliki korelasi dengan hipotesis Martin S. Lipset yang menjadi salah satu acuan orde baru dalam membangun fondasi ekonominya mengalami pembusukan dikarenakan keserakahan dan kebrandalan jalinan kelompok oligarki yang hidup di masa itu. Ia menilai, negara yang berhasil mencapai kehidupan demokrasi liberal yang stabil adalah bangsa-bangsa yang sudah menimati tingkat pertumbuhan tinggi seperti negara-negara Barat.[3] Negara Indonesia di bawah orde baru mencoba mengdopsi teori tersebut, namun ketika pembangunan ekonomi telah mencapai pada pertumbuhannya yang tinggi, logika kekuasaan yang sebelumnya tidak dibayangkan mulai muncul, seperti sebuah ungkapan terkenal oleh Amien Rais bahwa seseorang yang telah memimpin terlalu lama ia akan mudah mengalami ketumpulan visi, dan ini dialami oleh Soeharto. Juga munculnya elit-elit lokal yang menguasai sektor ekonomi. Akhirnya demokrasi liberal dan kesejahteraan yang diidam-idamkan tidak kunjung datang.
Namun demikian, apakah neoliberalisme tidak memerlukan peran pemerintah dalam negara? Harvey mengungkapkan bahwa neoliberal telah menjadi ide yang memungkinkan pasar bebas untuk mengambil alih peran pemerintah.  Akan tetapi, intervensi pemerintah dalam perekonmian tetap digunakan hanya ketika hal itu akan menguntungkan para elit ekonomi, di mana intervensi pemerintah buruk jika itu akan melindungi tenaga kerja atau lingkungan, tetapi intervensi pemerintah baik jika itu akan membantu elit ekonomi.
Dalam memberikan sejarah singkat tentang neoliberalisme, Harvey menyentuh beberapa poin menarik, di antaranya adalah bagaiamana neoliberal mampu menemukan basis elektoral dengan menyelaraskan diri dengan kelompok agama konservatif, khususnya Christian Right di Amerika Serikat. Dia juga menyebutkan Partai Nasionalis Hindu di India yang menggunakan sentimen agama dan nasionalis untuk memenangkan pemilu, setelah itu melakukan reformasi ekonomi neoliberal. Berdasarkan kasus tersebut, Harvey menunjukan simetri menarik antara pendekatan ekonomi, negara neoliberal dan pendekatan sosial.  Bagimana neoliberalisme dapat masuk dengan memanfaatkan situasi dan kondisi lingkungan yang ditempatinya.
Lalu bagaimana pandangan Harvey mengenai postmodernisme? Dalam artikelnya The Condition of Post-Modernity bahwa menurut Harvey hal pertama yang harus dilakukan apabila ingin memahami postmodernitas adalah harus memahami modernitas terleih dahulu, dan dibandingkan dengan menolak perkembangan postmodernitas, Harvey percaya mereka mewakili paradigma baru pemikiran dan budaya praktek yang membutuhkan perhatian serius. Harvey tidak terlalu kritis atau perayaan terhadap postmodernisme. Dia mengkritik postmodernisme karena terlalu nihilistik.  Akan tetapi, saya kurang dapat menangkap maksud Harvey berkaiatan dengan nihilistik tersebut.
Di sisi lain, aspek yang paling menarik dan penting dari buku Harvey adalah usahanya untuk menempatkan postmodernisme dalam logika kapitalisme. Postmodernisme merupakan salah satu aspek kunci dari rezim kapitalisme karena meningkatkan inovasi komersial, teknologi, dan organisasi.  Dalam hal inilah dapat kita lihat korelasi antara kedua artikel tersebut.  Bagaimana Harvey menunjukan bahwa terdapat korelasi dari kelahiran neoliberalisme dan postmodernisme.
Secara keseluruhan, artikel kedua dari Harvey ini mencangkup ruang lingkup interdisipliner berbagai bidang, termasuk seni, arsitektur, perencanaan kota, filsafat, teori sosial , dan ekonomi politik. Akan tetapi saya melihat terdapat kekurangan dalam tulisan Harvey yang kedua ini yaitu terkait implikasi postmodernisme dengan  ekologi dan politik . Setelah mengembangkan analisis yang mengungkap tujuan modernis dari penaklukan rasional alam dan ruang sosial, sangat disayangkan bahwa Harvey tidak mengeksplorasi implikasi ekologis dari modernisme, juga tidak mempertimbangkan hubungan praktek teoritis dan budaya postmodern terhadap lingkungan.
Dua tulisan karya Harvey ini secara keseluruhan sudah mendeskripsikan unsur-unsur penting dari neoliberalisme dan postmodernisme.  Nilai lebih dari tulisan ini menjadi stimulan yang menarik bagi pembaca untuk memahami lebih mendalam mengenai sejarah neoliberalisme, postmodernisme dan korelasi di antara keduanya. Sedangkan di sisi lain, akan jauh lebih baik jika tulisan tersebut juga memuat analisis terhadap contoh kasus yang dipaparkan, dan memuat informasi rinci yang dapat dipergunakan bagi praktisi. Informasi-informasi tersebut berupa komparasi kelebihan dan kelemahan masing-masing ideologi.  Informasi tersebut tentunya sangat berguna bagi pembaca untuk lebih memahami lebih mendalam mengenai kompleksitas neoliberalisme dan post-moderenitas, serta korelasi di antara keduanya.

Referensi:
Harvey, David. The Brief History of Neo-liberalism.  New York: Oxford University Press, 2005.
Harvey, David.  The Condition of Post-Modernity.  Cambridge: Blackwell Publisher, 1989.
Mas’oed, Mohtar.  Negara, Kapital dan Demokrasi.  Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994.





[1] David Harvey. The Brief History of  Neoliberalisme (New York: Oxford University Press, 2005), hlm. 37.
[2] David Harvey.  Ibid., hlm. 19.
[3] Mohtar Mas’oed.  Negara, Kapital dan Demokrasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994),  hlm. 32

Tidak ada komentar:

Posting Komentar