Jumat, 27 Desember 2013

“ Memahami Kapitalisme, Kelas Menengah dan Negara dalam Perspektif Farchan Bulkin”



Dalam artikelnya yang berjudul  Kapitalisme, Kelas Menengah dan Negara: Sebuah Catatan Penelitian yang di tulis oleh Farchan Bulkin menjelaskan mengenai berbagai hal terkait dengan perkembangan kelas mengenah baik dari segi sejarah hingga eksistensinya di Indonesia.  Mengawali tulisanya, Farchan mengungkapkan bahwa studi politik Indonesia dihadapkan kepada tantangan untuk mencermikan suatu peta penjelas dari saling hubungan yang rumit antara struktur sosial dan ekonomi, ideologi dan negara.  Sehingga untuk mencari pendekatan tersebut, penjelas terhadap saling hubungan yang dinamik antara negara dan masyarakat sipil dalam struktur masyarakat post-kolonial dapat digunakan tiga aliran pikiran itu menghasilkan tiga perspektif teoritis: 1) Teori mengenai negara dalam masyarakat pinggiran; 2) Konsep dan model rezim yang birokratik dan otoriter; dan 3) Statisme organik sebagai suatu model pemerintahan.[1]
            Cukup menarik tentang apa yang diungkapkan oleh Farchan bahwa gejala kelas menengah dan sektor swasta tidak bisa dipahami dan dianalisa tanpa pemahaman dan analisa kapitalisme. Kelahiran kelas menengah di Indonesia tidak dapat terlepas dari kebangkitan kelas menengah di Eropa yang telah memperkenalkan suatu tata susunan berpikir, masyarakat, ekonomi dan sosial baru yang tidak pernah dikenal sebelumnya,[2]  seperti dilahirkannya negara yang disahkan sebagai lembaga umum yang pada esensinya mempertahankan kelangsungan mekanisme kapitalisme, tempat kelas ini berpijak dan memperkuat dirinya. 
Menarik memahami hal tersebut, karena mencoba menunjukan bagaimana pembentukan negara oleh kelas menengah di Eropa tidak lain adalah sebagai upaya untuk melindungi kapitalis atau pemilik modal.  Hal ini mendasarkan bahwa pembentukan negara hanyalah diperuntukan kepada segelintir orang yang menguasai sektor ekonomi.  Ungkapan Farchan di atas sebetulnya memiliki korelasi dengan apa yang diungkapkan oleh David Harvey bahwa neoliberal yang didalamnya terkandung kapitalisme telah menjadi ide yang memungkinkan pasar bebas untuk mengambil alih peran pemerintah.  Akan tetapi, intervensi pemerintah dalam perekonmian tetap digunakan hanya ketika hal itu akan menguntungkan para elit ekonomi, di mana intervensi pemerintah buruk jika itu akan melindungi tenaga kerja atau lingkungan, tetapi intervensi pemerintah baik jika itu akan membantu elit ekonomi. Keduanya berupaya menunjukan bagaimana negara hanyalah alat yang digunakan kelas menengah untuk melindungi kepentingannya dalam hal ekonomi. 
Sebetulnya apa yang menyebabkan kelas menenangah begitu pentingya[3]? Pertama, kelompok ini baik di zaman kolonial maupun pasca-kolonial telah menjadi pusat-pusat masyarakat untuk berperanan dalam kegiatan negara dan dalam mengartikulasikan serta merumuskan ideologi untuk masyarakat secara keseluruhan. Kedua, kelompok golongan menengah memiliki wawasan dan kesadaran pada kondisi yang diperlukan untuk mengejar kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi mereka.  Ketiga, golongan menengah adalah kelompok yang secara cepat dan kelihatan segera, betapa mereka dipengaruhi oleh kondisikondisi struktur sosial dan ekonomi, yang mendominasi Indonesia baik di zaman kolonial maupun pasca-kolonial.
Namun, apakah semudah itu menggunakan negara untuk kepentingan ekonomi kelas menengah? Ternyata tidak demikian, menurut Farhan struktur kapitalisme periferal ternyata telah menghalangi secara keras usaha kelas menengah untuk memperkuat kedudukan ekonominya.  Hal ini dikarenakan bahwa manifestasi struktur kapitalisme periferal ini adalah ketergantungan pendapatan negara pada impor dan ekspor dan akan mengalaim dislokasi dan stagnansi jika hubungan dengan pusat diputuskan.
Hal menarik lainnya dari tulisan Farchan adalah bagaimana menunjukan struktur kapitalisme periferal yang ada di negara dunia ketiga, khususnya di Indonesia tidak melahirkan kekuatan-kekuatan ekonomi dan kemasyarakatan seperti yang dikenal di Eropa, tetapi telah memunculkan kekuatan-kekuatan yang dimanifestasikan oleh kapitalisme negara, kapitalisme imperial (kapitalisme asing), dan bureaucratic capitalism dan client capitalism, yang mana menunjukan bahwa kelas menengah Indonesa tidak mampu atau tidak bisa memiliki potensi ideologis dan politik seperti halnya kelas menengah di Eropa.[4]  Lebih jauh lagi, contoh yang diungkapkan oleh Farhan ini dalam konteks Indoneisa dapat dilihat pada tulisan Syarif Hidayat, Pilkada, Money Politics and The Dangers of Informal Governance Practices yang menunjukan bagaimana kaitannya dengan ancaman informal governance yang didominasi kelas mennegah di tingkat lokal yang dikenal dengan istilah shadow regims yang memiliki karakter, aliansi para birokrat, pembisnis, militer dan preman. Sehingga yang terjadi adalah penguasaan sumber daya oleh pihak-pihak swasta dan alinsi politik tertentu tanpa memberikan dampak yang positif terhadap masyarakat karena lemahnya institusi formal pemerintah.
. Dua tulisan karya Harvey ini secara keseluruhan sudah mendeskripsikan unsur-unsur penting dari kapitalisme, kelas menengah dan negara.  Nilai lebih dari tulisan ini menjadi stimulan yang menarik bagi pembaca untuk memahami lebih mendalam mengenai peran kelas menengah dan korelasinya dengan kapitalisme serta negara. Sedangkan di sisi lain, akan jauh lebih baik jika tulisan tersebut juga memuat analisis terhadap contoh kasus yang dipaparkan, dan memuat informasi rinci yang dapat dipergunakan bagi praktisi. Informasi-informasi tersebut berupa data ataupun komparasi kelebihan dan kelemahan masing-masing pendekatan dalam memahami kelas menengah dalam konteks kapitalisme periferal.  Informasi tersebut tentunya sangat berguna bagi pembaca untuk lebih memahami lebih mendalam mengenai kompleksitas kapitalisme, kelas menengah dan negara.


Referensi:
Bulkin, Farhan.  Kapitalisme, Kelas Menengah dan Negara: Sebuah Catatabn Penelitian. Dimuat dalam Prisma, no. 2, Feburari, 1984.
Bulkin, Farchan Pokok-Pokok Pikiran Kelas Menengah: Makalah untuk PAIS (Percakapan Ahli Ilmu-Ilmu Sosial), 3-4 Oktober 1984.
Harvey, David. The Brief History of Neo-liberalism.  New York: Oxford University Press, 2005.
Hidayat, Syarif. Pilkada, Money Politics and The Dangers of Informal Governance Practices, hlm. 125-143.


[1] Lihat Hamzah Alavi, “The State in Post-Colonial Societies: Pakistan and Bangladesh”, New Left Review, 74 (July-August, 1972), John S. Saul, “The State in Post Colonial Societies: Tanzania,” The Socialist Regester (1974) dan “The Unsteady State: Uganda, Obote and General Amin”, Review of African Political Economy, 5 (January-April, 1976), dan Colin Leys, “The Overdeveloped Post Colonial State: A Reevaluation”, Review of African Political Economy, 5 (January-April, 1976), Lihat juga David Collier, ed., The New Authoritarianism in Latin America (New Jersey: Princeton University Press, 1978); Phillipe Schmitter, “Still the Century of Corporatism?” dalam Frederick B. Pike and Thomas Stritch, eds., The New Corporatism: Social-Political Structure in the Iberian World (NotreDame-London: University of Notre-Dame Press, 1970) dalam Farhan Bulkin.  Kapitalisme, Kelas Menengah dan Negara: Sebuah Catatabn Penelitian. Dimuat dalam Prisma, no. 2, Feburari, 1984. Hlm. 5.
[2] Farchan Bulkin.  Pokok-Pokok Pikiran Kelas Menengah: Makalah untuk PAIS (Percakapan Ahli Ilmu-Ilmu Sosial, 3-4 Oktober 1984), hlm. 1.
[3] Farhan Bulkin.  Op. Cit., hlm. 8.
[4] Farhan Bulkin.  Op. Cit., hlm. 7.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar