Dalam
artikelnya yang berjudul Kapitalisme, Kelas Menengah dan Negara:
Sebuah Catatan Penelitian yang di tulis oleh Farchan Bulkin menjelaskan
mengenai berbagai hal terkait dengan perkembangan kelas mengenah baik dari segi
sejarah hingga eksistensinya di Indonesia.
Mengawali tulisanya, Farchan mengungkapkan bahwa studi politik Indonesia
dihadapkan kepada tantangan untuk mencermikan suatu peta penjelas dari saling
hubungan yang rumit antara struktur sosial dan ekonomi, ideologi dan negara. Sehingga untuk mencari pendekatan tersebut, penjelas
terhadap saling hubungan yang dinamik antara negara dan masyarakat sipil dalam
struktur masyarakat post-kolonial dapat digunakan tiga aliran pikiran itu
menghasilkan tiga perspektif teoritis: 1) Teori mengenai negara dalam
masyarakat pinggiran; 2) Konsep dan model rezim yang birokratik dan otoriter;
dan 3) Statisme organik sebagai suatu model pemerintahan.[1]
Cukup menarik tentang apa yang
diungkapkan oleh Farchan bahwa gejala kelas menengah dan sektor swasta tidak
bisa dipahami dan dianalisa tanpa pemahaman dan analisa kapitalisme. Kelahiran kelas
menengah di Indonesia tidak dapat terlepas dari kebangkitan kelas menengah di
Eropa yang telah memperkenalkan suatu tata susunan berpikir, masyarakat,
ekonomi dan sosial baru yang tidak pernah dikenal sebelumnya,[2] seperti dilahirkannya negara yang disahkan
sebagai lembaga umum yang pada esensinya mempertahankan kelangsungan mekanisme
kapitalisme, tempat kelas ini berpijak dan memperkuat dirinya.
Menarik
memahami hal tersebut, karena mencoba menunjukan bagaimana pembentukan negara
oleh kelas menengah di Eropa tidak lain adalah sebagai upaya untuk melindungi
kapitalis atau pemilik modal. Hal ini
mendasarkan bahwa pembentukan negara hanyalah diperuntukan kepada segelintir
orang yang menguasai sektor ekonomi.
Ungkapan Farchan di atas sebetulnya memiliki korelasi dengan apa yang
diungkapkan oleh David Harvey bahwa neoliberal yang
didalamnya terkandung kapitalisme telah menjadi ide yang memungkinkan pasar
bebas untuk mengambil alih peran pemerintah.
Akan tetapi, intervensi pemerintah dalam perekonmian tetap digunakan
hanya ketika hal itu akan menguntungkan para elit ekonomi, di mana intervensi
pemerintah buruk jika itu akan melindungi tenaga kerja atau lingkungan, tetapi
intervensi pemerintah baik jika itu akan membantu elit ekonomi. Keduanya
berupaya menunjukan bagaimana negara hanyalah alat yang digunakan kelas
menengah untuk melindungi kepentingannya dalam hal ekonomi.
Sebetulnya
apa yang menyebabkan kelas menenangah begitu pentingya[3]?
Pertama, kelompok ini baik di zaman
kolonial maupun pasca-kolonial telah menjadi pusat-pusat masyarakat untuk
berperanan dalam kegiatan negara dan dalam mengartikulasikan serta merumuskan
ideologi untuk masyarakat secara keseluruhan. Kedua, kelompok golongan
menengah memiliki wawasan dan kesadaran pada kondisi yang diperlukan untuk
mengejar kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi mereka. Ketiga, golongan menengah adalah
kelompok yang secara cepat dan kelihatan segera, betapa mereka dipengaruhi oleh
kondisikondisi struktur sosial dan ekonomi, yang mendominasi Indonesia baik di
zaman kolonial maupun pasca-kolonial.
Namun,
apakah semudah itu menggunakan negara untuk kepentingan ekonomi kelas menengah?
Ternyata tidak demikian, menurut Farhan struktur kapitalisme periferal ternyata
telah menghalangi secara keras usaha kelas menengah untuk memperkuat kedudukan
ekonominya. Hal ini dikarenakan bahwa
manifestasi struktur kapitalisme periferal ini adalah ketergantungan pendapatan
negara pada impor dan ekspor dan akan mengalaim dislokasi dan stagnansi jika
hubungan dengan pusat diputuskan.
Hal
menarik lainnya dari tulisan Farchan adalah bagaimana menunjukan struktur
kapitalisme periferal yang ada di negara dunia ketiga, khususnya di Indonesia
tidak melahirkan kekuatan-kekuatan ekonomi dan kemasyarakatan seperti yang
dikenal di Eropa, tetapi telah memunculkan kekuatan-kekuatan yang
dimanifestasikan oleh kapitalisme negara, kapitalisme imperial (kapitalisme
asing), dan bureaucratic capitalism
dan client capitalism, yang mana
menunjukan bahwa kelas menengah Indonesa tidak mampu atau tidak bisa memiliki
potensi ideologis dan politik seperti halnya kelas menengah di Eropa.[4] Lebih jauh lagi, contoh yang diungkapkan oleh
Farhan ini dalam konteks Indoneisa dapat dilihat pada
tulisan Syarif Hidayat, Pilkada, Money Politics
and The Dangers of Informal Governance Practices yang
menunjukan bagaimana kaitannya dengan ancaman informal governance yang didominasi
kelas mennegah di tingkat lokal yang dikenal dengan istilah shadow regims yang memiliki karakter,
aliansi para birokrat, pembisnis, militer dan preman. Sehingga yang terjadi
adalah penguasaan sumber daya oleh pihak-pihak swasta dan alinsi politik
tertentu tanpa memberikan dampak yang positif terhadap masyarakat karena
lemahnya institusi formal pemerintah.
. Dua tulisan
karya Harvey ini secara keseluruhan sudah
mendeskripsikan unsur-unsur penting dari kapitalisme, kelas menengah
dan negara. Nilai lebih dari tulisan ini menjadi stimulan yang menarik bagi pembaca untuk memahami lebih
mendalam mengenai peran kelas menengah dan korelasinya dengan kapitalisme serta
negara. Sedangkan di sisi lain, akan
jauh lebih baik jika tulisan tersebut juga memuat analisis terhadap contoh kasus yang dipaparkan, dan memuat
informasi rinci yang dapat dipergunakan bagi praktisi. Informasi-informasi
tersebut berupa data ataupun komparasi
kelebihan dan kelemahan masing-masing pendekatan dalam memahami kelas menengah
dalam konteks kapitalisme periferal. Informasi tersebut tentunya sangat berguna
bagi pembaca untuk lebih memahami lebih mendalam mengenai kompleksitas kapitalisme, kelas menengah dan negara.
Referensi:
Bulkin, Farhan. Kapitalisme,
Kelas Menengah dan Negara: Sebuah Catatabn Penelitian. Dimuat dalam Prisma,
no. 2, Feburari, 1984.
Bulkin, Farchan Pokok-Pokok Pikiran Kelas Menengah: Makalah untuk PAIS (Percakapan
Ahli Ilmu-Ilmu Sosial), 3-4 Oktober 1984.
Harvey, David. The Brief History of
Neo-liberalism. New York: Oxford
University Press, 2005.
Hidayat,
Syarif. Pilkada, Money Politics and The
Dangers of Informal Governance Practices, hlm. 125-143.
[1] Lihat Hamzah
Alavi, “The State in Post-Colonial Societies: Pakistan and Bangladesh”, New
Left Review, 74 (July-August, 1972), John S. Saul, “The State in Post Colonial
Societies: Tanzania,” The Socialist Regester (1974) dan “The Unsteady State:
Uganda, Obote and General Amin”, Review of African Political Economy, 5
(January-April, 1976), dan Colin Leys, “The Overdeveloped Post Colonial State:
A Reevaluation”, Review of African Political Economy, 5 (January-April, 1976),
Lihat juga David Collier, ed., The New Authoritarianism in Latin America (New
Jersey: Princeton University Press, 1978); Phillipe Schmitter, “Still the
Century of Corporatism?” dalam Frederick B. Pike and Thomas Stritch, eds., The
New Corporatism: Social-Political Structure in the Iberian World
(NotreDame-London: University of Notre-Dame Press, 1970) dalam Farhan
Bulkin. Kapitalisme, Kelas Menengah dan Negara: Sebuah Catatabn Penelitian.
Dimuat dalam Prisma, no. 2, Feburari, 1984. Hlm. 5.
[2] Farchan Bulkin. Pokok-Pokok
Pikiran Kelas Menengah: Makalah untuk PAIS (Percakapan Ahli Ilmu-Ilmu
Sosial, 3-4 Oktober 1984), hlm. 1.
[3] Farhan Bulkin. Op.
Cit., hlm. 8.
[4] Farhan Bulkin. Op.
Cit., hlm. 7.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar