oleh: Alpiadi Prawiraningrat
Mengapa
upaya menciptakan kesetaraan sosial dan ekonomi tidak terjadi bersamaan dengan demokratisasi?
Pertanyaan tersebut menjadi pemicu kali ini. Dalam artikel The Paradoxes of Contemporary
Democracy. Formal, Participatory, and Social Dimensions yang ditulis oleh Huber, Rueschemeyer dan Stephens mengawali tulisanya
dengan membagi demokrasi menjadi tiga jenis utama, yaitu: formal, partisipatif
dan sosial demokrasi. Mereka mengidentifikasi bahwa masalah utama demokrasi
adalah distribusi kekuasaan. Oleh karena itu, mereka melakukan analisis
terhadap promosi setiap bentuk demokrasi di Amerika Latin yamg didasarkan atas
tiga cluster kekuasaan yang membentuk
kondisi dan penciptaan demokrasi, yaitu: kekuatan kelas, negara dan masyarakat
sipil, dan internasional atau struktur kekuasaan transnasional. Sebelumnya, telah
diungkapkan oleh para penulis bahwa pada kondisi sejarah yang sama yang dipromosikan
demokrasi formal, yaitu pergeseran keseimbangan kekuatan kelas dalam masyarakat
sipil akan membantu kemajuan kesetaraan sosial dan ekonomi, akan tetapi relitasnya tidak demikian.
Sebgaiamna diungkapkan:
“the
current historical conjuncture strides toward introducing and consolidating
formal democracy in Latin America and eastern Europe appear to be combined with
movements away from more fully participatory democracy and equality”[1]
"Sejarah saat langkah
konjungtur dalam memperkenalkan dan mengkonsolidasikan demokrasi formal di
Amerika Latin dan Eropa Timur tampaknya dikombinasikan dengan tindakan yang jauh
dari demokrasi partisipatif dan kesetaraan."
Huber,
Rueschemeyer dan Stephens mendefinisikan demokrasi formal sebagai suatu sistem politik
yang menggabungkan empat aspek utama, yaitu:
“regular
free and fair elections, universal suffrage, accountability of the states
administrative organs to the elected representatives and effective guarantees
for freedom of expression and association as well as protection against
arbitrary state action.”[2]
“Pemilihan berkala yang bebas dan
adil, hak pilih universal, akuntabilitas administrasi negara untuk para wakil
terpilih dan jaminan efektif untuk kebebasan berekspresi dan berserikat serta
perlindungan terhadap tindakan negara yang sewenang-wenang.”
Akan
tetapi, mereka cenderung menyoroti bahwa label demokrasi sering digunakan
luntuk mewakili setiap negara yang telah melakukan pemilihan secara bebas,
namun di dalamnya terjadi praktek kecurangan. Sehingga Huber, Rueschemeyer dan
Stephens melihat bahwa kerap kali demokrasi formal tidak melahirkan kesetaraan,
bahkan jika semua empat persyarat terpenuhi, sebuah negara masih mungkin masih
jauh dari kesetaraan dalam proses pembuatan keputusan kolektif atau distribusi
kekuasaan politik.
Berdasarkan
argumen di atas saya setuju, karena kerap kali dalam implementasinya demokrasi
yang tujuanya melahirkan kesetaraan dan distribusi kekuasaan dalam masyarakat,
justru dalam hal kekuasaan dalam pembuatan kekuasaan hanya dikuasai oleh
segelintir individu yang notabennya adalah para pemilik modal. Sehingga, pihak lain yang tidak memiliki modal
sebagai mayoritas nampaklah tidak memiliki kekuasaan dan terjadi
ketidakmerataan distribusi kekuasaan di masyarakat.
Selanjutnya,
penulis juga mengungkapkan berkaitan dengan demokrasi partisipatoris
mensyaratkan kriteria yang telah diungkapkan di atas, ditambah tingkat partisipasi
yang tinggi tanpa perbedaan kategori sosial (misalnya kelas, etnis, gender).
Sedangkan sosial demokrasi menunjukkan sistem politik yang menggabungkan lima
kriteria pertama serta meningkatkan kesetaraan dalam hal sosial dan ekonomi .
Telah
diungkapkan sebelumnya bahwa Huber, Rueschemeyer dan Stephens menyoroti
meskipun demokrasi formal yang jatuh jauh dari cita-cita yang terkait dengan
konsepsi demokrasi sosial, akan tetapi mereka juga mengungkapkan bahwa pembentukan
demokrasi formal adalah titik awal yang berguna dalam perkembangan menuju
demokrasi sosial tetap. Bagaimanapun demokrasi
formal membuka kemungkinan dan merupakan syarat untuk kemajuan ke arah
demokrasi partisipatif dan sosial.
Para
penulis mengungkapkan perlunya menggarisbawahi bahwa hubungan antara struktur
negara dan negara serta masyarakat adalah sangat penting untuk terciptanya
demokrasi. Hal tersebut dikarenakan: 1) Setiap dasar utama kebijakan menuju
demokrasi sosial memerlukan kapasitas peran negara yang sangat signifikan; 2) Negara
harus kuat dan cukup otonom untuk memastikan aturan hukum atau menghindari
kekuasaan dominan elit tertentu; 3) Kekuatan negara perlu counterbalances dengan kekuatan organisasi masyarakat sipil yaitu
masyarakat sipil tidak boleh dikuasai oleh negara sehingga dapat tercipta
akuntabilitas; 4) Hubungan kekuasaan internasional juga sama pentingnya dengan
perubahan dalam politik dan ekonomi dunia, karena dapat berpengaruh terhadap struktur
dan kapasitas negara, perdebatan yang dihadapi oleh negara dalam pembuatan
kebijakan, hubungan negara-masyarakat dan bahkan keseimbangan kekuasaan dalam
masyarakat; 5) Struktur transnasional kekuasaan juga memainkan peran penting, karena
cukup menguntungkan untuk mempromosikan demokrasi formal dengan implementasi
pemilu yang teratur sehingga berimplikasi terhadap partisipatif dan sosial
demokrasi.
Dengan
demikian, sebagaimana diungkapkan bahwa: “Thus,
the political side of current transnational structures of power, while supporting
the expansion of formal democracy, has worked against the promotion of
participatory and social democracy because it has closed of consideration of
alternative social democratic policy and, by closing off alternatives, has made
popular mobilisation and participation less meaningful.”[3]
Namun,
penulis menjelaskan bahwa banyak negara di Amerika Latin gagal memenuhi kriteria
lain dari demokrasi formal yang didefinisikan di awal, karena: 1) Lemahnya
akuntabilitas (misalnya kuatnya peran presiden dan lemahnya peran legislatif dan
lembaga peradilan ), terjadinya fragmentasi dan kelemahan salah satu lembaga
negara menjadikanya sulit untuk menegakkan akuntabilitas; 2) tidak meratanya
perlindungan politik dalam masyarakat sipil; disamping itu, 3) Tekanan utang yang
terus menguat yang diperkuat oleh kecenderungan untuk memusatkan kekuasaan di
eksekutif, melindungi para pembuat kebijakan ekonomi dan pemerintah.
Jika
dikaitkan dengan demokrasi partisipatif, kegagalan dapat dilihat dari berbagai
aspek: 1) Partai politik, partai-partai
politik gagal membangun atau memelihara hubungan dengan kelas bawahan dan
mengartikulasikan tuntutan mereka secara efektif; 2) Partisipasi politik rakyat, sedikit ruang untuk partisipasi rakyat;
3) Desentralisai politik, dalam
banyak kasus, pelsaksanaan desentralisasi politik justru memperkuat posisi
elite lokal dan jaringan klien penguasa; 4) Sistem
internasional, berbeda dengan efek positif dari sistem internasional pada
promosi demokrasi formal, dalam kasus Amerika Latin sistem internasional telah
memiliki dampak yang menekan partisipasi warga. Sebagaimana diungkapkan bahwa:
“Economic
problems rooted in the international system, most prominently continuing debt
pressures but also growing internationalization of capital, have also weakened
a critical part of the infrastructure of participation, political parties and
party systems.”
"Masalah ekonomi yang berakar
dalam sistem internasional, yang paling mencolok adalah tekanan utang yang
terus tumbuh tetapi juga internasionalisasi modal telah melemahkan bagian
penting dari infrastruktur partisipasi, partai politik dan sistem
kepartaian."
Sedangkan
dalam hal demokrasi sosial, para penulis menjelaskan bahwa kegagalan terjadi
karena: 1) Pergeseran kekuasaan karena reformasi neoliberal mengakibatkan kelemahan
partai politik dalam demokrasi dan efek kekuasaan militer dan diktator telah
berdampak kegagalan untuk mengatasi masalah distribusi kekuasaan. Jika ada, kebijakan penyesuaian neoliberal
telah secara signifikan memperburuk ketimpangan sosial ekonomi. Sebagaimana diungkapkan:
“The
beneficiaries of neoliberal reforms, then, have become very powerful
constituencies and obstacles to the pursuit of social democratic policies.”
2) Melemahnya
intervensi negara untuk memperbaiki konsekuensi egaliter dari pasar; 3) berkurangya ruang kekuasaan pemerintah untuk
melakukan manuver dengan munculnya globalisasi. Sebagaimana diungkapkan:[4]
“Increasing
internationalization of financial operations and production chains has reduced
government’s room to manoeuvre even more in developing than in advanced
industrial countries”
"Peningkatan internasionalisasi operasi keuangan dan rantai produksi telah mengurangi ruang pemerintah untuk mengembangkan manuver lebih dalam daripada di negara-negara industri maju.”
"Peningkatan internasionalisasi operasi keuangan dan rantai produksi telah mengurangi ruang pemerintah untuk mengembangkan manuver lebih dalam daripada di negara-negara industri maju.”
Berdasarkan
penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Huber, Rueschemeyer dan Stephens
menyoroti kontradiksi antara kemajuan dalam demokrasi formal dan hambatan dalam
upaya peningkatan demokrasi yang lebih partisipatif dan berorientasi
sosial. Mereka berpendapat hal ini
dikarenakan bahwa keseimbangan kekuatan kelas yang tidak menguntungkan untuk memajukan
demokrasi partisipatif, meskipun disisi lain agak menguntungkan bagi keberlangsungan
demokrasi formal. Sebagai dasar organisasi penting untuk mobilisasi kelas bawah
ke partisipasi politik telah dirusak oleh
meningkatnya kekuatan modal yang disebabkan oleh reformasi neoliberal.
Disamping
itu, mereka mengungkapkan bahwa lemahnya partai politik dalam mewakili kepentingan
kelas bawah telah mengakibatkan lemahnya
akuntabilitas dalam pemerintahan.
Ditambah tidak berkembangnya hubungan antara struktur negara dan masyarakat,
sangat jelas tidak menguntungkan bagi upaya melahitkan demokrasi partisipatif
dan sosial demokrasi yang baik. Selain itu, melemahnya otonomi negar dan
intervensi struktur kekuasaan internasional juga memberikan pengaruh terhadap
perkembangan demokrasi partisipatif dan demokrasi sosial.
Secara keseluruhan Huber, Rueschemeyer dan Stephens telah mendeskripsikan unsur-unsur penting dari demokrasi
formal, demokrasi partisipatif dan demokrasi sosial. Nilai lebih dari tulisan ini menjadi
stimulan yang menarik bagi pembaca untuk memahami lebih mendalam mengenai demokrasi
dan bagaimana faktor ekternal seperti halnya struktur politik internasional
juga ikut berperan dalam pengimplementasian demokrasi tersebut. Sedangkan di sisi lain, akan jauh lebih baik jika tulisan
tersebut juga memuat analisis terhadap
contoh kasus yang dipaparkan, dan memuat informasi rinci yang dapat
dipergunakan bagi praktisi. Informasi-informasi tersebut berupa data ataupun
komparasi kelebihan dan kelemahan dari ,asing-masing
model demokrasi serta bagaimana mekanisme pengaruh yang diberikan oleh faktor
eksternal, seperti struktur intenasional mempengaruhi jalannya masing-masing.
Daftar Putsaka
Huber, E., Rueschemeyer, D. and
Stephens, J. 1997. The Paradoxes of
Contemporary Democracy. Formal, Participatory, and Social Dimensions, Comparative Politics, Vol. 29, No. 3, pp.
323-342.
[1] Huber, E., Rueschemeyer, D. and
Stephens, J. 1997, ‘The Paradoxes of Contemporary Democracy. Formal,
Participatory, and Social Dimensions’, Comparative Politics, Vol. 29, No. 3, p.
323
[2] Huber, E., Rueschemeyer, D. and
Stephens, J. Ibid.,
[3] Huber, E., Rueschemeyer, D. and
Stephens, J. Ibid., hlm. 330.
[4] Huber, E., Rueschemeyer, D. and
Stephens, J. Ibid., hlm. 337.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar