Abstract
This
paper will describe the implementation Australian government's policy about travel
warning for Indonesia after the first Bali bomb in periode 2002-2012. In
addition, it will be explained about the direction of Australian foreign policy
as well as the impact on tourism in Indonesia. Beside it, by using the theory
of international relations such as coercive diplomacy and national interests is
interesting to see that the implementation of the stated travel warning by the
Australian government is an attempt to control Indonesia goverment.
Key Words: Travel Warning, Coercive
Diplomacy
Pemilihan umum di Australia
pada 24 November 2007 lalu telah mengakhiri masa kepemimpinan John Howard dari
koalisi Partai Liberal dan Nasional. Hasil pemilu telah menunjukan kemenangan
mutlak Partai Buruh di bawah pimpinan Kevin Rudd dengan perolehan 83 kursi dari
150 kursi parlemen yang diperebutkan.[1] Ironisnya, bagi Howard yang sering disebut
oleh media masa dan pengamat politik Australia sebagai deputi sheriff Amerika
Serikat di Pasifik, kursinya di parlemen yang telah didudukinya selama 33 tahun
lepas dengan kekalahannya di daerah pemilihan Sydney.
Kini Australia memasuki
nuansa baru dengan pemerintahan yang dipimpin oleh Partai Buruh, khususnya
dalam hal kebijakan-kebijakan terutama politik. Selain itu, sebagai tradisi dan
kebijakan umum Partai Buruh yang menganut pendekatan geografis yaitu
mengutamakan hubungan baik dengan negara-negara tetangga khususnya dan Asia
pada umumnya, kemenangan Kevin Rudd akan mempengaruhi hubungan Indonesia-Australia.
Setelah setahun lebih
pemerintah Partai Baru berjalan, Perdana Menteri Australia Kevin Rudd
menganggap Indonesia merupakan negara yang penting bagi Australia dalam
menghadapi tantangan bersama di tingkat regional dan global serta signifikasi
kerjasama bilateral bagi masa depan kedua bangsa. Rudd menginginkan Indonesia
semakin penting perannya sebagai mitra bagi Australia. Kerjasama kedua negara
juga akan ditingkatkan, termasuk ekonomi, kebudayaan dan pendidikan.
Peningkatan kerjasama kedua negara dimulai pada 2005, lewat pernyataan bersama
tentang kemitraan komprehensif Indonesia dan Australia. Selain mengatur soal
kerjasama ekonomi dan keamanan, kedua negara sepakat memperkuat hubungan “people-to-people”,
atau yang sering dikenal sebagai “diplomasi total”.[2]
Akan tetapi, dalam
perjalananya terdapat salah satu hal yang menarik dari pemerintahan Kevin Rudd
adalah tetap dipertahankanya kebijakan travel
warning yang dikeluarkan oleh pemerintah Australia sebagai respon terhadap ketidakstabilan
kondisi keamanan Indonesia saat itu, travel
warning yang dikemukakan Pemerintah Australia merupakan peringatan terhadap
warganya dalam melakukan perjalanan ke Indonesia, terutama Bali yang dianggap
masih menjadi target utama terorisme. Selain masalah terorisme, Berkaitan
dengan pernyataan World Health Organization (WHO) mengenai berkembangnya
virus flu burung di Indonesia dan juga rabies di Bali, Pemerintah Australia
juga mengingatkan kembali warganya apabila ingin berkunjung ke Indonesia.[3]
Arah
Kebijakan Politik Australia pada Masa Kepemimpinan John Howard dan Kevin Rudd
Sebelum melanjutkan lebih luas terhadap
implementasi kebijakan travel warning
pemerintah Australia terhadap Indonesia, terlebih dahulu kita perlu memahamai
arah kebijakan luar negeri yang diimplementasikan oleh dua pimpinan
pemerintahan yang berbeda, yaitu masa John Howard dan Kevin Rudd di Asutralia.
Sejak
awal pemerintahannya, John Howard
terlihat bingung dengan arah kebijakan luar negeri Australia.[4] Meskipun setelah pelantikan
John Howard sebagai Perdana Menteri, dia mengatakan bahwa pemerintahan koalisi
Liberal akan melanjutkan kebijakan pemerintahan Buruh sebelumnya yang dipimpin
oleh Paul Keating, yaitu memiliki hubungan yang kuat dengan Asia. Akan tetapi, Howard
dinilai tidak memberikan perhatian secara khusus kepada kebijakan luar negeri
Australia.
Stagnasi
kebijakan luar negeri di awal pemerintahan Howard dikarenakan pada saat pertama menjabat sebagai Perdana Menteri,
Howard hanya memiliki sedikit kontak internasional dan tidak memiliki jaringan
dengan regional serta memiliki
kecurigaan terhadap pengaruh Hawke dan Keating pada Departemen Luar Negeri dan Perdagangan.[5] Selain
itu, Howard juga kurang memahami tentang
konsep kebijakan luar negeri dan memiliki empati yang sedikit dengan
Asia. Memperkuat argumen sebelumnya,
berbeda dengan pasangan Keating dan Evans dari pemerintahan Buruh, Perdana
menteri Howard dan Menteri Luar Negerinya Downer kurang memiliki antusiasme
dalam politik luar negeri serta
cenderung “inward looking” dengan
memberikan skala prioritas utama pada berbagai persoalan domestik.[6] Oleh
sebab itu, di awal pemerintahannya, politik luar negeri Australia mengalami
sejumlah kemunduran terutama dengan Asia
yang semakin lama semakin menjauh.
Setelah tujuh belas bulan menjabat sebagai
Perdana menteri, pemerintahan Partai koalisi Liberal mulai mengeluarkan
serangkaian kebijakan baru yang menyangkut masalah politik luar negeri,
pertahanan dan perdagangan. Kebijakan tersebut meliputi: White Paper on Foreign and Trade Policy yang dikeluarkan pada
Agustus 1997 dan Australia Strategic Policy pada Desember 1997, kedua dokumen yang
dikeluarkan pemerintahan Howard adalah upaya untuk mencoba meredefinisi
kepentingan masa depan Australia di bidang politik luar negeri, pertahanan dan
keamanan serta perdagangan, yakni dengan melakukan penyesuaian diri dari perkembangan
regional dan internasional.[7] Didalam
dokumen tersebut, pemerintahan Howard menetapkan prioritas dari kebijakan luar
negerinya untuk mencapai kepentingan nasionalnya, yakni sebagai berikut :
Pertama, “Australia’s commitment to the region as its
highest foreign policy priority” (komitmen Australia kepada region sebagai
prioritas tertinggi kebijakan luar negerinya); kedua, “Working to enhance Australia’s security” (melakukan peningkatan
keamanan Australia); ketiga, “Strengthening Australia’s broader global
links”(menguatkan perluasan ikatan-ikatan global Australia); keempat, “Australia’s human and principled foreign
policy” (prinsip kemanusiaan pada kebijakan luar negeri Australia ).[8]
Khusus terhadap Indonesia, Howard tetap
menilai Indonesia adalah negara yang penting bagi Australia. Terbukti bahwa di
dalam buku putih tahun 1997 yang dikeluarkan pemerintahan Howard tertulis jika
“hubungan Australia-Indonesia akan selalu penting”. Hal ini dikarenakan posisi strategis
Indonesia yang merupakan rute utama perdagangan Australia, dengan populasi dan
posisinya di Asia tenggara dan pembangunan serta diversifikasi kemitraan
bilateralnya merupakan hal-hal yang patut diperhitungkan. Selain itu, perlu
juga diingat bahwa Indonesia merupakan negara tetangga terdekat yang dari dan
di mana ancaman bagi Australia berasal.[9]
Sedangkan Australia dibawah kepemimpinan Kevin Rudd memiliki arah
kebijakan tersendiri, yaitu: aliansi dengan Amerika Serikat,
kenggotaan negeri itu di Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), dan pelibatan
komprehensif di kawasan Asia Timur dan Asia Pasifik yang lebih luas.[10]
Kunjungan
Rudd di atas mewakili tiga garis besar kebijakan luar negeri Australia, yaitu
tetap pentingnya kerja sama strategis Australia dengan AS, pentingnya kerangka
hubungan multilateral, dan pentingnya kerja sama Australia dengan negara-negara
Asia. Seperti dinyatakan Rudd dalam
kampanyenya bahwa politik luar negeri Australia di bawah pemerintannya akan
tetap menjaga tradisi hubungan strategis dan historis Australia dengan AS
(selain dengan Eropa). Namun, berbeda dengan kebijakan Howard, Rudd akan
menarik pasukan Australia dari Irak, setelah melakukan konsultasi mendalam
dengan pihak AS. Presiden AS George W Bush pada waktu itu menyatakan
pengertiannya mengenai keputusan Rudd menarik pasukan Australia dari Irak.
Penerimaan
Bush cukup menarik dicermati mengingat Bush selama ini tidak menyembunyikan kedekatannya
secara politik maupun personal dengan John Howard. Bush tampaknya menyadari
bahwa era Howard di Australia telah lewat dan di akhir masa jabatannya sebagai
Presiden AS, suka atau tidak, harus menerima Rudd sebagai PM Australia, salah
satu sekutu paling dekat AS di Asia Pasifik. Rudd secara hati-hati dan elegan
menunjukkan kepada Bush bahwa ia meneruskan tradisi pemimpin Australia yang
senantiasa menempatkan AS selaku sekutu utama. Namun juga mengirim isyarat
jelas kepada Bush maupun kepada masyarakat Australia bahwa berbeda dengan
Howard, Rudd bukan pendukung membabi buta terhadap apa pun kebijakan luar
negeri AS. Sebagaimana di negara-negara Barat lainnya, Perang Irak semakin
tidak populer di mata sebagian besar warga Australia.
Dalam
kunjungan Rudd ke AS juga sekaligus menemui Sekretaris Jenderal Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) Ban Ki- moon dan menyatakan niat Australia mencalonkan diri
untuk menduduki salah satu kursi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB (UN Security Council) tahun 2013-2014.
Pernyataan Rudd tersebut menunjukkan komitmennya terhadap kebijakan
multilateral dan penghargaannya terhadap PBB. Rudd ingin membuat kontras dengan
Howard yang kerap kali tampak menyepelekan PBB (khususnya dalam kasus Perang
Irak).
Pernyataan
Rudd juga mengisyaratkan tekadnya menunjukkan Australia sebagai kekuatan
menengah (middle power) di dalam
percaturan politik internasional. Rudd secara lihai menggabungkan niatnya
menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan dengan pembicaraan mengenai
pemanasan global dan Protokol Kyoto, yang telah Australia ratifikasi. Kesediaan
Australia di bawah Rudd meratifikasi Protokol Kyoto adalah salah satu langkah
paling awal Rudd untuk membedakan dirinya dari Howard. Selain kedua masalah
tersebut, Rudd mendiskusikan masalah krisis keuangan global dengan Ban Ki-moon.
Pertemuan Rudd dengan Ban Ki-moon membahas ketiga topik strategis itu mendukung
tekad Rudd untuk menempatkan kembali kerja sama multilateral sebagai kerangka
penting politik luar negeri Australia, yang agak tergerus di era Howard.
Pertemuan
Rudd dengan Sekjen PBB setelah menemui Presiden AS menunjukkan bahwa Australia
tidak memosisikan secara kontradiktif tradisi aliansi AS-Australia dengan
kebijakan multilateral dan penghargaan Australia terhadap PBB. Setelah menemui
Presiden AS dan Sekjen PBB, Rudd melakukan lawatan ke Eropa mengunjungi Belgia,
Romania, dan Inggris. Di Belgia, Rudd bertemu dengan presiden dan para anggota
senior Komisi Eropa. Sementara di Bucharest, Romania, Rudd menghadiri KTT
kepala pemerintahan negara-negara anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara
(NATO). KTT NATO itu, antara lain, akan memutuskan cara-cara meningkatkan
efektivitas strategi dan misi Pasukan Bantuan Keamanan Internasional (ISAF) di
Afganistan, di mana Australia juga menyumbangkan pasukan. Di Inggris, Rudd akan
menemui PM Gordon Brown dan sejumlah anggota senior kabinet Brown. Kunjungan ke
Eropa secara tradisional menjadi ritual bagi setiap PM Australia yang baru
terpilih mengingat kedekatan historis, politik, dan strategis Australia dengan
Eropa.
Kunjungan
ke Cina juga menjadi momentum keterkaitan Australia dengan negara-negara besar
di Asia. Sesaat setelah diumumkan memenangi pemilu tahun lalu, Rudd
mengisyaratkan tekadnya untuk meningkatkan fokus Australia terhadap kerja sama
dengan negara-negara di kawasan Asia Pasifik, khususnya lewat tiga negara
kunci, yakni Indonesia, China, dan India.[11]
Pemaparan
di atas telah menunjukan bagaimana terdapat perspektif kebijakan luar negeri di
masa Kevin Rudd dan John Howard, pada masa John Howard kebijakan lebih
ditekankan dalam ligkup dalam negeri, sedangkan di masa Kebin Rudd kebijakan
luar negeri Australia didasarkan pada kerjasama dengan negara-negara lain di
dunia. Australia telah
mengimplementasikan ketiga pilar yang menjadi landasan hubungan luar negeri
Australia.
Implementasi
Kebijakan Travel Warning ke Indonesia
periode 2002-2012.
Terjadinya Peristiwa
9/11 menjadi titik tolak perubahan pola interaksi dalam hubungan internasional,
ditambah dengan konteks dalam perang melawan terorisme. Para
akademisi, pembuat kebijakan, serta individu dari berbagai kelompok lebih
mengenal terminologi tersebut, walaupun pada kenyataannya tidak ada satupun
definisi yang
kuat tentang terorisme yang dapat diterima
luas.[12]
Selain itu, negara-negara dengan masyarakat yang mayoritas
adalah muslim seolah-olah menjadi
“kambing
hitam” bagi negara Barat
karena pelakunya yang merupakan kelompok Al-Qaeda, yang juga merupakan muslim.
Indonesia juga mengalami dampaknya, karena selain negara dengan jumlah Muslim
terbesar, juga dinilai sebagi ancaman Barat.
Bersamaan dengan peristiwa 9/11, Indonesia diminta Pemerintah Amerika Serikat
untuk menanggulangi terorisme, mengingat pernah terjadi tragedi bom seperti di
Kedutaan Besar Filipina tahun 2000, bom di malam natal pada tahun yang sama,
dan sebelumnya pernah terjadi di Masjid Istiqlal. Namun Indonesia yang saat itu
dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri pada saat itu tidak
menyatakan sikap secara jelas dalam perang melawan terorisme seperti
yang diinginkan Amerika Serikat.
Hal ini menimbulkan kekecewaan bagi Amerika Serikat
kepada Indonesia, karena seharusnya menjadi teman kerja
untuk Amerika Serikat untuk melawan terorisme karena
memiliki populasi muslim terbesar di dunia, dengan segera terpinggirkan dan
dicap sebagai ras paria dalam konteks koalisi global melawan terorisme[13],
meski sebenarnya ada kerjasama antara Indonesia dan Australia untuk memerangi
terorisme global dengan Memorandum of
Understanding Combating International Terrorism[14]
yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal Hubungan Sosial, Budaya, dan
Penerangan Departemen Luar Negeri Abdurrachman Mattaliti mewakili RI dan Duta
Besar Australia untuk Indonesia Richard Smith, di Kementerian Luar Negeri,
Jakarta, Kamis, 7 Februari 2002.[15]
Meskipun telah dibuat MOU antara Australia dan
Indonesia sebagai
upaya untuk memerangi berbagai bentuk
terorisme, akan
tetapi Indonesia tidak mampu mengantisipasi
atau memprediksi peristiwa yang akan terjadi berikutnya. Tidak ada yang menyangka bahwa akan
terjadi serangan bom Bali pada tanggal 12 Oktober 2002 (tepatnya di Paddy’s Café dan Sari Club), dan di tempat yang sama, pada
bulan yang sama tiga tahun kemudian. Selang antara tiga tahun tersebut terjadi
ledakan bom di Hotel JW Marriot tahun 2003; dan di Kedutaan Besar Australia
pada tahun 2004.
Setelah peristiwa Bom Bali I, maka sebagai tindak lanjut
sekaligus reaksi Pemerintah Australia terhadap berbagai ancaman yang mereka
rasakan dari berbagai serangan teror terhadap kepentingan mereka di Indonesia,
maka keluarlah berbagai kebijakan reaktif dari Pemerintah Australia terhadap
Indonesia. Beberapa kebijakan Pemerintah Australia yang muncul cenderung
menunjukkan ketidakpercayaan terhadap Pemerintah Indonesia, khususnya dalam
menjaga keamanan dan kenyamanan warga negara lain yang berada di wilayah
kedaulatannya.
Berangkat dari rasa ketidakpercayaan itu, maka wajarlah jika kemudian
Pemerintah Australia mengeluarkan kebijakan larangan berkunjung (Travel Warning) bagi warganya ke
Indonesia. Tindakan atau kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Australia
tersebut tanpa memperhatikan pertimbangan bahwa Indonesia sangat dibutuhkan
oleh Australia, khususnya dalam kepentingan geostrategisnya.
Secara harfiah, travel
warning
atau larangan berkunjung adalah himbauan untuk tidak
pergi ke suatu negara yang di anggap tidak aman. Biasanya di keluarkan
pemerintah suatu negara untuk melindungi warganya dari ancaman yang mungkin
terjadi di negara yang di cekal tersebut. Menurut definisi Macmillan
Dictionary, pengertian travel warning adalah sebagai berikut :
“an official
notice in which a government warns its citizens not to travel to a particular
country or region because it is dangerous”[16]
Atau dalam terjemahan bahasa Indonesia adalah pernyataan resmi di mana pemerintah
memperingatkan warganya untuk tidak melakukan perjalanan ke suatu negara atau
wilayah tertentu karena berbahaya. Kebijakan ini berjalan cukup lama,
setidaknya sampai tahun 2012.
Bagi Australia, hal tersebut merupakan hal yang wajar
mengingat Australia pada masa itu masih berada di bawah pemerintahan Partai
Koalisi Liberal – Nasional pimpinan PM John Howard. Pemerintahan Partai Koalisi
seperti yang kita ketahui selalu berkiblat ke Eropa dan Amerika dalam
menjalankan politik luar negerinya. Sementara itu dengan Asia, hubungannya
cenderung dijaga, bahkan kadang konfrontatif. Hal tersebut juga berlaku dan
dilaksanakan oleh PM Howard selama berkuasanya. Di bawah Howard, Australia
masih tetap terkesan menjaga jarak dengan Asia. Dengan dominasi sivilisasi
barat, Australia seperti enggan mendekat dan mengambil sikap yang cenderung
berpihak ke Barat, terutama AS dan Eropa.
Kebijakan tersebut diteruskan oleh Perdana Menteri
Australia selanjutnya, Kevin Rudd yang tetap memberlakukan travel warning karena situasi di Indonesia yang masih belum aman
bagi warga negara Australia. PM Rudd tidak ingin mengenyampingkan
hasil penilaian Pusat Penilaian Ancaman Nasional (NTAC) sebagai badan
independen yang hasil masukannya kemudian dipublikasi Departemen Luar Negeri
dan Perdagangan (DFAT) Australia.[17]
Hal ini dikritik oleh pemimpin oposisi dari
Partai Liberal, Tony Abbott, saat memberikan sambutan di acara makan siang
kenegaraan untuk menyambut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, di Gedung
Parlemen di Canberra, di Gedung Parlemen Australia, Rabu 10 Maret 2010.[18] Dalam sambutannya Tony Abbott merujuk kepada
kebijakan Pemerintah Australia, yang kerap memberlakukan peringatan berkunjung
(travel warning) ke Indonesia dengan
alasan keamanan, terutama ancaman bom. Kebijakan ini pun masih diberlakukan di
masa pemerintahan Partai Buruh, yang dipimpin Rudd kendati dia memuji prestasi
Indonesia dalam melumpuhkan jaringan teroris.
Sementara itu bagi Indonesia, kebijakan travel warning yang dikeluarkan oleh Pemerintah Australia jelas
merugikan. Hal ini menjadi sebuah pukulan telak, karena merupakan wujud ketidakpercayaan
negara lain seperti yang telah dibahas sebelumnya. Pihak Indonesia jelas merugi
mengingat pada masa itu kunjungan wisatawan Australia ke Indonesia sedang
meningkat. Pemerintah Indonesia menginginkan agar Pemerintah Australia segera
mencabut kebijakan travel warning ke Indonesia yang diberlakukan kepada warganya.
Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai langkah
dan upaya, baik itu upaya diplomasi ke luar negeri maupun upaya security building dari dalam negeri
untuk memperoleh respon positif dari Pemerintah Australia dalam masalah travel warning tersebut. Pada awal Mei 2012 Australia menurunkan
level dari travel warning menjadi rravel advisory. Secara umum travel advisory merupakan peringatan berkunjung, dan satu tingkat
lebih rendah dibandingkan travel warning. Tidak lama kemudian kebijakan tersebut dicabut oleh
Pemerintah Australia sehingga warga negara Australia dapat bepergian ke wilayah
Indonesia dengan tenang, walau Pemerintah Australia tetap meminta kewaspadaan
dari tiap warganya.
Sebelum penurunan dan pencabutan kebijakan travel advisory pada awal Mei tahun 2012, Australia sudah
menyatakan bahwa Indonesia sudah aman pasca Bom Bali II, khususnya setelah penggerebekan teroris
di wilayah Jawa Timur, dengan tewasnya DR. Azahari, pada tanggal 9 November
2005. Namun itu tidak serta-merta membuat Australia mencabut travel
advisor y terhadap Indonesia, karena pada tahun 2008
dilakukannya eksekusi mati terhadap terpidana Bom Bali I, yaitu Amrozi, Imam
Samudera dan Mukhlas. Australia hanya menurunkan ke level empat dari lima level
peringatan yang diberlakukannya, yaitu ‘avoid
all travel to part(s) of country’[19] atau kepada warga negara
Australia diharapkan mempertimbangkan kembali kunjungan ke Indonesia, khususnya
di beberapa bagian negara yang rawan konflik.
Tahun berikutnya, tepatnya pada tahun 2009, terjadi ledakan bom di Hotel Ritz Carlton dan JW
Marriot yang membuat Australia kembali memberlakukan travel warning kepada Indonesia, dan
menaikkan level peringatan ke level tertinggi yaitu larangan berkunjung ke
seluruh bagian negara Indonesia. Meski dua bulan setelahnya teroris yang paling
dicari Noordin M. Top tewas dalam penggerebekan di wilayah Solo, Jawa Tengah[20],
namun itu tidak serta-merta membuat Australia mencabut kebijakan travel warning, dan hanya diturunkan ke level yang cukup rendah pada
tahun 2012 ini.
Menurut British
Foreign and Commonwealth Office, Indonesia dinyatakan “No restrictions in this travel advice“[21], atau dikatakan aman untuk
dikunjungi secara keseluruhan. Pernyataan lain
dinyatakan oleh Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia yang
menempatkan Indonesia dalam kategori “exercise
a high degree of caution” atau melakukan perjalanan dengan tingkat
hati-hati yang tinggi” untuk Indonesia secara keseluruhan, dan “reconsider your need to travel” untuk
wilayah Indonesia Timur seperti Sulawesi Tengah, Maluku, Papua dan Papua Barat masyarakat Australia diminta untuk tetap berhati-hati karena kekerasan komunal dan sektarian.[22]
Melihat kondisi hubungan bilateral antara Indonesia
dan Australia, ada banyak hal yang bisa dianalisa dalam hal ini. Pertama, Australia mencoba berada pada
posisi yang aman dan tidak mengambil resiko, karena bagaimanapun juga pihak
Australia masih berada dalam trauma kasus terorisme yang beberapa kali
menyerang kepentingan mereka di Indonesia. Sementara itu, Pemerintah Indonesia,
dalam hal ini agen keamanannya tidak memberikan peringatan dini tentang ancaman
yang akan mereka dapat. Hal inilah yang kemudian membuat Pemerintah Australia
masih belum berani mengambil resiko dengan mencabut kebijakan travel warning bagi warganya untuk berkunjung ke Indonesia.
Masalahnya kemudian bukan lagi terletak pada ketidakpercayaan Australia
terhadap keamanan Indonesia yang kian membaik, tetapi pada sikap yang tidak mau
disalahkan jika terjadi sesuatu terhadap warganya di Indonesia.
Kebijakan travel warning ini tidak lepas dari kritik. Selain kritik dari
oposisi Australia yang telah dibahas diawal, dari pihak Indonesia menilai bahwa
kebijakan ini tidak rasional. Menurut
Ketua Komisi VI DPR Airlangga
Hartarto, hanya
Australia satu-satunya negara yang masih menerapkan travel warning kepada
Indonesia terkait isu terorisme, karena Amerika Serikat telah
mencabut kebijakan tersebut dari Indonesia sejak beberapa tahun lalu dan berpendapat
bahwa kebijakan ini juga akan merugikan Australia sendiri jika ingin
meningkatkan kerjasama bilateral.[23]
Sementara itu, pakar hukum internasional dari
Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Jawahir Thontowi SH, Phd menilai
bahwa pemberlakuan travel warning[24] tersebut
justru mengarah pada langkah politis, terkait hubungan yang kurang harmonis
antara negara-negara Barat dengan negara-negara Islam.[25] Ia
berpendapat ini erat kaitannya dengan keras respon negara-negara Muslim atas
penempatan tentara Amerika Serikat (yang
merupakan sekutu dekat Australia) di Guantanamo, dan merugikan Australia yang
bertetangga dengan negara-negara Muslim Asia.
Dampak Kebijakan Travel Warning terhadap Indonesia
Tidak dapat dipungkiri bahwa wisatawan
Australia adalah wisatawan yang banyak berkunjung ke Indonesia khusunya Bali,
perdagangan dan bantuan luar negeri.
Data menunjukan sepanjang tahun 2008-2012 jumlah wisatawan dari
Australia mencapai 2.990.221 orang yang setiap tahunya mengalami
peningkatan. Hal ini tentunya memberikan
dampak positif terhadap pendapatan masyarakat dan negara Indonesia.
Berdasarkan
tabel di atas menunjukan, pasca terjadinya bebrbagai peristiwa pengeboman di
beberapa wilayah di Indonesia dan dikeluarkanya kebijakan travel warning pada masa kepemimpinan pemerintahan Kevin Rudd,
terjadi penurunan jumlah wisatawan yang berkunjung ke Bali, yang pada tahun
sebelumnya 2002 mencapai 1.285.842 orang. Tahun 2003 menjadi 995.272 orang. Data tersebut menunjukan bagaimana kondisi
keamanan Indonesia dan pengimplmenetasian travel advisory memberikan dampak
negatif terhadap perkembangan pariwisata Indonesia.
Identifikasi Pengimplementasian
Kebijakan Travel Warning Australia ke
Indonesia Pasca Serangan Bom di Indonesia periode 2002-2012.
Dalam implementasinya bahwa
kebijakan travel aarning tersebut nampaknya syarat akan
muatan paksaan, karena Australia memberlakukan travel warning selama bertahun-tahun terhadap
Indonesia dan
disinyalir sebagai upaya agar pemerintah Indonesia tunduk dan
patuh terhadap kepentingan Australia. Travel warning dijadikan
Australia sebagai alat coercive diplomacy
untuk Indonesia. Coercive Diplomacy adalah
upaya untuk mendapatkan target, baik Negara
atau kelompok ataupun kelompok dalam Negara bahkan seorang individu bukan Negara, sebagai upaya untuk mengubah perilaku
yang dinilai merugikan baik ancaman kekerasan
atau penggunaan kekuatan secara terbatas".[26]
Istilah ini juga mengacu pada diplomasi dalam penggunaan atau ancaman
penggunaan kekuatan militer untuk mencapai tujuan politik.[27] serta berada di bawah teori
pemaksaan sebagai alat kebijakan luar negeri.
Daniel Byman dan
Matthew Waxman dalam bukunya Dynamics of Coercion:
American Foreign Policy and the Limits of Military Might, menjelaskan
bahwa diplomasi koersif adalah upaya yang dilakukan lawan yang bertindak dengan cara
tertentu melalui apa pendek dari kekerasan, musuh masih harus memiliki
kapasitas kekerasan terorganisir, tetapi memilih untuk tidak latihan itu
"strategi Pemaksaan". bergantung pada ancaman kekuatan militer masa
depan untuk mempengaruhi keputusan musuh membuat tetapi juga dapat mencakup
penggunaan terbatas kekuatan yang sebenarnya."[28]
Diplomasi koersif pada dasarnya adalah sebuah
strategi diplomasi, salah satu upaya
yang bergantung pada ancaman kekerasan daripada penggunaan kekuatan.
Jika kekuatan harus digunakan untuk memperkuat upaya diplomatik dalam persuasi, itu digunakan dengan cara yang
teladan, dalam bentuk aksi militer sangat terbatas, untuk menunjukkan resolusi
dan kemauan untuk meningkat ke tingkat tinggi aksi militer jika diperlukan.
Dalam konteks Australia, kebijakan travel warning ini bertujuan untuk menundukkan Indonesia dihadapan
pemerintah Australia karena dianggap sebagai ancaman bagi warga negara
Australia dan Indonesia dituntut untuk menyelesaikan kasus terorisme yang ada
sesegera mungkin.
Dari semua pemaparan
tersebut, penulis mencoba untuk menganalisa dari kerangka teori Hubungan
Internasional. Dilihat dari perspektif neorealisme, menurut Kenneth Waltz dalam
bukunya yang berjudul Theory of
International Politics ada beberapa klaim yang diajukan oleh neorealisme,
diantaranya adalah struktur dari sistem adalah penentu yang dominan terhadap
tingkah laku suatu negara. Struktur tersebut memainkan peranan penting terhadap
kebijakan-kebijakan starategis yang akan diambil oleh suatu negara, apakah
negara itu akan bekerjasama dalam mencapai kepentingan nasionalnya, atau self help system (survival).
Menurut neo realis
negara merupakan aktor yang rasional, negara akan memilih kebijakan yang
strategis untuk memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan kerugian. Dalam
konteks hubungan antara Australia dengan Indonesia, Australia bisa dikatakan
rasional untuk memberlakukan kebijakan Travel
Warning terhadap Indonesia karena untuk mencegah kerugian (dalam hal ini
immateriil berupa korban yang lebih banyak lagi dalam tragedi Bom Bali I) yang
lebih banyak lagi. Walau pada kenyataannya tetap saja banyak warga negara
Australia yang menjadi korban karena meski Australia memberlakukan kebijakan
tersebut, namun itu tidak dapat mencegah tiap warga negara Australia untuk
bepergian kemana saja, termasuk ke Indonesia sekalipun.
Neorealis melihat
bahwa kebijakan luar negeri suatu negara tidak hanya dipengaruhi oleh kebijakan
luar negeri suatu negara, tapi juga dipengaruhi oleh interaksi negara tersebut.
Untuk konteks hubungan Australia-Indonesia, kebijakan travel warning yang dikeluarkan oleh Pemerintah Australia terhadap
Indonesia tidak hanya dipengaruhi oleh kebijakan domestik Australia yang merasa
terancam oleh keadaan Indonesia, namun juga dipengaruhi oleh hubungan antara
Australia dan Amerika Serikat.
Kita semua tahu bahwa
Australia adalah sekutu dekat dari Amerika Serikat, negara adidaya yang
mengeluarkan War Against Terrorism pasca serangan 11
September 2001. Untuk melancarkan perang tersebut Amerika Serikat membutuhkan
dukungan dari para sekutunya, salah satunya adalah Australia. Menarik dicatat
bahwa Amerika Serikat juga meminta Indonesia untuk melakukan hal yang sama,
seperti yang telah diulas dibagian awal.
Jika dianalisa lebih
lanjut, ada variabel yang menonjol dalam konteks hubungan Australia-Indonesia.
Tidak seperti realisme yang hanya satu variabel saja yang muncul, neorealisme
memunculkan dua variabel. Variabel pertama yaitu variabel independen, dalam hal
ini adalah Australia, dengan kebijakan travel warning yang dijadikan sebagai alat Coercive Diplomacy terhadap Indonesia, yang menjadi variabel kedua
yaitu variabel dependen. Indonesia memang menjadi dependen atau bergantung kepada Australia karena
dengan kebijakan travel warning tersebut Indonesia menjadi ‘patuh’ terhadap kemauan
Australia, dengan Coercive Diplomacy
yang dilakukan Australia. Hal tersebut nampaknya dikarenakan bahwa
banyaknya jumlah wisatawan Australia yang berkunjung ke Australia, khususnya
Bali. Implementasi kebijakan travel warning tentu berpengaruh terhadap jumlah wisatawan
Australia yang menurun dan berimplikasi terhadap menurunnya pendapatan
masyarakat Bali, juga negara Indonesia.
Berdasarkan pemaparan di atas dapat terlihat jika Indonesia tidak terus didesak oleh
Australia untuk memberantas terorisme di dalam negerinya, maka citra Indonesia
akan menjadi buruk dan Australia akan terus memberlakukan travel warning selama yang diinginkan, sehingga berpengaruh terhadap
kondisi makroekonomi Indonesia secara tidak langsung. Sektor ekonomi yang
berpengaruh yaitu sektor pariwisata dimana cukup banyak wisatawan mancanegara
dari Australia yang berkunjung ke Indonesia, kemudian investasi asing yang
datang dari Australia, serta bantuan dana baik berupa hibah maupun pinjaman
lunak.
Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan di atas dapat
disimpulkan bahwa meskipun secara geografis letak kedua negara berdekatan, akan
tetapi hubungan bilateral antara Australia dan Indonesia kerap kali menimbulkan pertentangan.
Diberlakukanya travel warning kepada Indonesia sejak jaman John Howard hingga masa baru kepemimpinan Kevin Rudd
sebagai respon atas kondisi keamanan Indonesia yang diwarnai dengan peristiwa
peledakan Bom disejumlah wilayah di Indonesia dinilai dapat mengancam
keselamatan warga negara Australia. Hal yang menarik dari pengimplementasian kebijakan travel warning yang diberlakukan Australia terhadap Indonesia
ternyatameruakan suatu upaya untuk membuat Indonesia patuh
terhadap Australia, terlebih lagi dengan cara ‘paksaan’ terhadap Indonesia
untuk memberantas terorisme di Indonesia yang hanya untuk kepentingan
Australia sendiri, yang ingin memperluas dan memperkuat power dan influence di
wilayah Pasifik Selatan, dan bukan tidak mungkin lagi untuk memperluas dua hal
tersebut hingga ke wilayah Asia Tenggara.
Di sisi lain fenomena ini merupakan konsekuensi ketidakpekaan pemerintah Indonesia menanggapi perubahan geopolitik
dunia Internasional,
sehingga terlambat mengatisipasi serangkaian peristiwa peledakan bom di
beberapa tempat di Indonesia. Seanadainya jika Indonesia cepat
tanggap atas perubahan yang terjadi maka akan mungkin dapat mengantisipasi adanya gerakan-gerakan bawah
tanah yang mencoba mengacau dan
memberikan ketidaknyamanan di wilayah Indonesia.
Selain itu, kurang kuatnya posisi Indonesia dibandingkan
dengan Australia membuat Indonesia seakan menjadi ‘robot’ yang dikendalikan
oleh Australia. Australia tidak sepenuhnya salah dalam membuat kebijakan travel warning terhadap Indonesia karena sebagai entitas negara
Australia berhak untuk melakukan apa saja untuk menjaga keamanan masyarakatnya.
Namun melihat situasi Indonesia yang relatif kondusif, mungkin memang sudah
saatnya bagi pemerintah Australia untuk, setidaknya, menurunkan level
peringatan kunjungan ke Indonesia, tanpa perlu tahu masalah domestik di
Indonesia. Kalaupun ingin menjaga keamanan dan kenyamanan warganya, Australia
tidak perlu terlibat terlalu banyak dalam masalah domestik di Indonesia.
Australia sebagai negara tetangga cukuplah menjadi pengingat bagi Indonesia untk menjamin keselamatan
dan kenyamanan warga asing manapun, termasuk dari Australia yang berkunjung ke Indonesia.
Daftar Pustaka
Sumber Buku:
Art, Robert J. and Patrick M. Cronin, The United
States and Coercive Diplomacy. Washington DC United States: Institute of
Peace Press, 2003.
Byman,
Daniel and Matthew Waxman. The Dynamics of Coercion: American Foreign Policy
and the Limits of Military Might.
New York: Cambridge University Press, 2002.
Jr,
Paul A. Smith and Richard G. Stilwell, in Barnett and Lord, eds., Political
Warfare and Psychological Operations. National Defense University Press,
1989.
Kelly,
Paul. Howard’s Decade, Lowy Institute for International Policy paper 15. Sydney: Longueville, 2006.
Mar’iyah, Chusnul. Indonesia-Australia: Tantangan dan
Kesempatan dalam Hubungan Politik Bilateral.
Jakarta: Granit, 2004.
Wuryandari,
Ganewati. Gaya dan Substansi Politik Luar
Negeri Australia 1996-2001 dalam Kebijakan
Luar Negeri dan Pertahanan Australia 1996-2001, eds. Jakarta: LIPI, 2001.
Sumber Journal:
Trood, Russell. Perspective on Australian Foreign Policy Australian Journal of
International Affairs, Vol. 52, No. 2, 1997.
Sumber Skripsi:
Puteri,
Christa Mc Auliffe Suryo. Kebijakan Luar Negeri Australia
terhadap Indonesia Pemerintahan John Howard dari Partai Koalisi Liberal
(1996-2007) dan Pemerintahan Kevin Rudd Dari Partai Buruh (2007-2010). Jakarta, UIN Syarif Hidayatullah,
2011.
Sumber Tabel:
Tabel I.1: Banyaknya Wisatawan Mancanegara
yang Datang Langsung ke Bali Menurut Kebangsaan Tahun 2008 – 2012 dalam
http://bali.bps.go.id/tabel_detail.php?ed=611002&od=11&id=11 diakses pada Sabtu, 7 Desember
2013; Pukul 12.09 WIB.
Tabel I.2: Data Jumlah Wisatawan Mancanegara ke Bali tahun 1990-2011 dalam http://bali.bps.go.id/series_data/tampil_data_series.php diakses pada Sabtu, 7 Desember
2013; Pukul 12.11 WIB.
Sumber Website:
Downer, Alexander. Australia’s Foreign Policy: Advancing Our
National Interest, speech to the Joint Services Staff College, Canberr, 1998 dalam
http://www.foreignminister.gov.au/speeches/1998/jssc5mar98.html diakses pada Sabtu, 7 Desember
2013; Pukul 08.28 WIB.
Ferdian, Rafdi. Rudd
Harapan Baru Indonesia http://m.inilah.com/read/detail/3000/rudd-harapan-baru-indonesia/
diakses pada Sabtu, 7 Desember 2013; Pukul 16.33 WIB.
Kawilarang, Renne R.A. Bos Oposisi Australia Kritik Travel Warning dalam http://dunia.news.viva.co.id/news/read/135578-bos_oposisi_australia_kritik_travel_warning pada hari Rabu,
14 Desember 2013; Pukul 10.58 WIB.
Kawilarang, Renne R.A dan Nezar Patria. PM Australia: Politik RI Berjalan
Dinamis kedua
negara sepakat memperkuat hubungan “people-to-people” atau antar warga http://nasional.vivanews.com/news/read/31917-australia_politik_ri_berjalan_dinamis
diakses pada Minggu, 8 Desember 2013; Pukul 22.34 WIB.
Kertapati, Didit Tri. Kronologi Pengepungan Noordin di Solo http://news.detik.com/read/2009/09/17/162357/1205956/10/kronologi-pengepungan-noordin-di-solo?881103605
diakses pada Minggu, 15 Desember 2013; Pukul 11.00 WIB.
Marulli, Aditia.
Media Australia Soroti Salah
Penerjemahan Seputar isu "Travel Warning" Dikutip dari http://www.antaranews.com/berita/1213447180/media-australia-soroti-salah-penerjemahan-seputar-isu-travel-warning
pada Sabtu, 14 Desember 2013; Pukul 10.58 WIB.
Tanpa Nama. Pengamat: “Travel Warning” Australia Tidak
Rasional www.merdeka.com/politik-nasional/pengamat-travel-warning-australia-tidak-rasional-yjw7zu2.html diakses pada Senin, 16 Desember
2013; Pukul 11.02 WIB.
Tanpa Nama. http://www.smartraveller.gov.au/zw-cgi/view/advice/Indonesia diakses pada Senin, 9 Desember 2013; Pukul
10.18 WIB.
Tanpa Nama. http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/04/02/00363941
diakses pada Jumat, 13 Desember 2013; Pukul 10.56 WIB.
Tanpa Nama. www.kjrihkg.org.hk/penerangan/nasional-12.html
2002 dan diakses pada Sabtu, 14 Desember 2013; Pukul 10.57 WIB.
Tanpa Nama. http://www.macmillandictionary.com/dictionary/british/travel-warning
diakses pada Sabtu, 7 Desember 2013; Pukul 09.52 WIB.
Tanpa Nama. Diakses
dari http://www.fco.gov.uk/en/travel-and-living-abroad/travel-advice-by-country/asia-oceania/indonesia1 diakses pada Minggu, 15 Desemer 2013; Pukul
10.59 WIB. .
Tanpa Nama. http://www.fco.gov.uk/en/travel-and-living-abroad/travel-advice-by-country/asia-oceania/indonesia1
diakses pada Minggu, 15 Desemer 2013;
Pukul 10.59 WIB.
Tanpa Nama. http://www.smartraveller.gov.au/zw-cgi/view/Advice/Indonesia
pada hari Senin, 16 Desember 2013.
Tanpa Nama. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4dae9d4b9e550/dpr-desak-australia-cabut-travel-warning
diakses pada Senin, 16 Desember 2013; Pukul 11.01 WIB.
[1] Rafdi Ferdian. Rudd Harapan Baru Indonesia http://m.inilah.com/read/detail/3000/rudd-harapan-baru-indonesia/
diakses pada Sabtu, 7 Desember 2013; Pukul 16.33 WIB.
[2] Renne R.A Kawilarang dan Nezar Patria. PM Australia: Politik RI Berjalan Dinamis kedua negara sepakat memperkuat hubungan “people-to-people” atau antar warga http://nasional.vivanews.com/news/read/31917-australia_politik_ri_berjalan_dinamis diakses pada Minggu, 8 Desember 2013; Pukul 22.34 WIB.
[3] http://www.smartraveller.gov.au/zw-cgi/view/advice/Indonesia diakses pada Senin, 9 Desember 2013; Pukul
10.18 WIB.
[4] Ganewati Wuryandari. Gaya dan Substansi Politik Luar Negeri
Australia 1996-2001 dalam Kebijakan
Luar Negeri dan Pertahanan Australia 1996-2001, eds. (Jakarta: LIPI, 2001),
hlm. 50-51.
[5] Paul Kelly. Howard’s
Decade, Lowy Institute for International Policy paper 15 (Sydney:
Longueville, 2006), hlm. 5.
[6] Russell Trood. Perspective on Australian Foreign Policy Australian Journal of
International Affairs, Vol. 52, No. 2, 1997. Hlm. 185.
[7] Paul Keally. Op.Cit., hlm. 15
[8] Alexander Downer. Australia’s Foreign Policy: Advancing Our
National Interest, speech to the Joint Services Staff College, Canberr, 1998 dalam
http://www.foreignminister.gov.au/speeches/1998/jssc5mar98.html diakses pada Sabtu, 7 Desember
2013; Pukul 08.28 WIB.
[9] lihat In The National Interest, hlm
61 dalam Richard Chauvel. Hubungan Bertetangga Dua Negara Demokratis:
Indonesia dan Australia dalam Chusnul Mar’iyah, Indonesia-Australia: Tantangan dan Kesempatan dalam Hubungan Politik
Bilateral (Jakarta: Granit, 2004), hlm. 34.
[10] Dalam skripsi
Christa Mc Auliffe Suryo Puteri. Kebijakan Luar Negeri Australia
terhadap Indonesia Pemerintahan John Howard dari Partai Koalisi Liberal
(1996-2007) dan Pemerintahan Kevin Rudd Dari Partai Buruh (2007-2010). (Jakarta, UIN Syarif Hidayatullah,
2011) , hlm. 66-77.
[11]
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/04/02/00363941 diakses pada Jumat, 13
Desember 2013; Pukul 10.56 WIB.
[12] Chusnul Mar’iyah. Indonesia-Australia:
Tantangan dan Kesempatan dalam Hubungan Politik Bilateral (Jakarta: Granit,
2004), hlm. 31.
[13] Ibid. hlm. 38
[14] Memorandum of Understanding (MOU) merupakan perjanjian yang
mengatur pelaksanaan teknis suatu operasional perjanjian induk. Sepanjang
materi yang diatur bersifat teknis, Memorandum
of Understanding dapat berdiri sendiri dan tidak memerlukan adanya
perjanjian induk. Jenis perjanjian ini umumnya dapat segera berlaku setelah
adanya penandatanganan tanpa memerlukan pengesahan
[15] Dikutip dari www.kjrihkg.org.hk/penerangan/nasional-12.html
2002 dan diakses pada Sabtu, 14 Desember 2013; Pukul 10.57 WIB.
[16] http://www.macmillandictionary.com/dictionary/british/travel-warning
diakses pada Sabtu, 7 Desember 2013; Pukul 09.52 WIB.
[17] Aditia Marulli. Media Australia Soroti Salah Penerjemahan Seputar isu "Travel Warning" Dikutip dari http://www.antaranews.com/berita/1213447180/media-australia-soroti-salah-penerjemahan-seputar-isu-travel-warning pada Sabtu, 14 Desember 2013; Pukul 10.58 WIB.
[18] Renne R.A Kawilarang. Bos Oposisi Australia Kritik Travel Warning dalam http://dunia.news.viva.co.id/news/read/135578-bos_oposisi_australia_kritik_travel_warning pada hari Rabu, 14 Desember 2013; Pukul 10.58 WIB.
[19] Diakses dari http://www.fco.gov.uk/en/travel-and-living-abroad/travel-advice-by-country/asia-oceania/indonesia1 diakses pada Minggu, 15 Desemer 2013; Pukul
10.59 WIB. Ada lima level tingkatan travel advice yang diberlakukan oleh
Australia, dan level tertinggi adalah larangan berkunjung ke seluruh bagian
negara atau ‘avoid all travel to whole
country’.
[20] Didit Tri Kertapati. Kronologi Pengepungan Noordin di Solo http://news.detik.com/read/2009/09/17/162357/1205956/10/kronologi-pengepungan-noordin-di-solo?881103605 diakses pada Minggu, 15 Desember 2013; Pukul 11.00 WIB
[21] Diakses dari http://www.fco.gov.uk/en/travel-and-living-abroad/travel-advice-by-country/asia-oceania/indonesia1 diakses pada Minggu, 15 Desemer 2013; Pukul
10.59 WIB.
[22] Diakses dari http://www.smartraveller.gov.au/zw-cgi/view/Advice/Indonesia
pada hari Senin, 16 Desember 2013. Pernyataan ini merupakan update terbaru dari Pemerintah Australia
melalui microweb tersebut mengenai kondisi di wilayah Indonesia.
[23] Diakses dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4dae9d4b9e550/dpr-desak-australia-cabut-travel-warning
diakses pada Senin, 16 Desember 2013; Pukul 11.01 WIB. Dijelaskan dalam artikel
tersebut bahwa Ketua Komisi VI DPR bertemu
dengan Menteri Perdagangan Australia saat itu, Craig Emerson, dan
meminta penghapusan kebijakan Travel
Warning jika ingin meningkatkan perdagangan bilateral. Karena menurut
Hartanto, Travel Warning yang
diberlakukan oleh Australia lambat laun akan merugikan Australia sendiri.
[24] Dalam pemaparannya, Travel Warning yang diberlakukan
Australia saat itu atas dasar menyebarnya wabah polio di beberapa wilayah di
Indonesia.
[25] Tanpa Nama. Pengamat: `Travel Warning` Australia Tidak Rasional www.merdeka.com/politik-nasional/pengamat-travel-warning-australia-tidak-rasional-yjw7zu2.html diakses pada Senin, 16 Desember 2013; Pukul 11.02 WIB.
[26] Robert
J. Art and Patrick M. Cronin, The United States and Coercive Diplomacy (Washington
DC: United States Institute of Peace Press, 2003), hlm.49.
[27] Carnes
Lord. The Psychological Dimension in
National Strategy dengan komentar oleh Paul A. Smith, Jr., and Richard G.
Stilwell, in Barnett and Lord, eds., Political Warfare and Psychological
Operations (National Defense University Press, 1989). Hlm. 89.
[28] Daniel
Byman and Matthew Waxman. The Dynamics of Coercion: American Foreign Policy
and the Limits of Military Might (New York: Cambridge University Press,
2002), hlm. 32.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar