Pages

Jumat, 27 Desember 2013

“Kebijakan Luar Negeri Australia” Implementasi Kebijakan Travel Warning Australia dan Dampaknya terhadap Indonesia tahun 2002-2012



Abstract
This paper will describe the implementation Australian government's policy about travel warning for Indonesia after the first Bali bomb in periode 2002-2012. In addition, it will be explained about the direction of Australian foreign policy as well as the impact on tourism in Indonesia. Beside it, by using the theory of international relations such as coercive diplomacy and national interests is interesting to see that the implementation of the stated travel warning by the Australian government is an attempt to control Indonesia goverment.
Key Words: Travel Warning, Coercive Diplomacy

Pemilihan umum di Australia pada 24 November 2007 lalu telah mengakhiri masa kepemimpinan John Howard dari koalisi Partai Liberal dan Nasional. Hasil pemilu telah menunjukan kemenangan mutlak Partai Buruh di bawah pimpinan Kevin Rudd dengan perolehan 83 kursi dari 150 kursi parlemen yang diperebutkan.[1]   Ironisnya, bagi Howard yang sering disebut oleh media masa dan pengamat politik Australia sebagai deputi sheriff Amerika Serikat di Pasifik, kursinya di parlemen yang telah didudukinya selama 33 tahun lepas dengan kekalahannya di daerah pemilihan Sydney.
Kini Australia memasuki nuansa baru dengan pemerintahan yang dipimpin oleh Partai Buruh, khususnya dalam hal kebijakan-kebijakan terutama politik. Selain itu, sebagai tradisi dan kebijakan umum Partai Buruh yang menganut pendekatan geografis yaitu mengutamakan hubungan baik dengan negara-negara tetangga khususnya dan Asia pada umumnya, kemenangan Kevin Rudd akan mempengaruhi hubungan Indonesia-Australia.
Setelah setahun lebih pemerintah Partai Baru berjalan, Perdana Menteri Australia Kevin Rudd menganggap Indonesia merupakan negara yang penting bagi Australia dalam menghadapi tantangan bersama di tingkat regional dan global serta signifikasi kerjasama bilateral bagi masa depan kedua bangsa. Rudd menginginkan Indonesia semakin penting perannya sebagai mitra bagi Australia. Kerjasama kedua negara juga akan ditingkatkan, termasuk ekonomi, kebudayaan dan pendidikan. Peningkatan kerjasama kedua negara dimulai pada 2005, lewat pernyataan bersama tentang kemitraan komprehensif Indonesia dan Australia. Selain mengatur soal kerjasama ekonomi dan keamanan, kedua negara sepakat memperkuat hubungan “people-to-people”, atau yang sering dikenal sebagai “diplomasi total”.[2]
Akan tetapi, dalam perjalananya terdapat salah satu hal yang menarik dari pemerintahan Kevin Rudd adalah tetap dipertahankanya kebijakan travel warning yang dikeluarkan oleh pemerintah Australia sebagai respon terhadap ketidakstabilan kondisi keamanan Indonesia saat itu, travel warning yang dikemukakan Pemerintah Australia merupakan peringatan terhadap warganya dalam melakukan perjalanan ke Indonesia, terutama Bali yang dianggap masih menjadi target utama terorisme. Selain masalah terorisme, Berkaitan dengan pernyataan World Health Organization (WHO) mengenai berkembangnya virus flu burung di Indonesia dan juga rabies di Bali, Pemerintah Australia juga mengingatkan kembali warganya apabila ingin berkunjung ke Indonesia.[3] 

Arah Kebijakan Politik Australia pada Masa Kepemimpinan John Howard dan Kevin Rudd
   Sebelum melanjutkan lebih luas terhadap implementasi kebijakan travel warning pemerintah Australia terhadap Indonesia, terlebih dahulu kita perlu memahamai arah kebijakan luar negeri yang diimplementasikan oleh dua pimpinan pemerintahan yang berbeda, yaitu masa John Howard dan Kevin Rudd di Asutralia.
Sejak awal  pemerintahannya, John Howard terlihat bingung dengan arah kebijakan luar negeri  Australia.[4] Meskipun setelah pelantikan John Howard sebagai Perdana Menteri, dia mengatakan bahwa pemerintahan koalisi Liberal akan melanjutkan kebijakan pemerintahan Buruh sebelumnya yang dipimpin oleh Paul Keating, yaitu memiliki hubungan yang kuat dengan Asia. Akan tetapi, Howard dinilai tidak memberikan perhatian secara khusus kepada kebijakan luar negeri Australia.
Stagnasi kebijakan luar negeri di awal pemerintahan Howard dikarenakan pada  saat pertama menjabat sebagai Perdana Menteri, Howard hanya memiliki sedikit kontak internasional dan tidak memiliki jaringan dengan regional serta  memiliki kecurigaan terhadap pengaruh Hawke dan Keating pada Departemen  Luar Negeri dan Perdagangan.[5] Selain itu, Howard juga kurang memahami tentang  konsep kebijakan luar negeri dan memiliki empati yang sedikit dengan Asia.  Memperkuat argumen sebelumnya, berbeda dengan pasangan Keating dan Evans dari pemerintahan Buruh, Perdana menteri Howard dan Menteri Luar Negerinya Downer kurang memiliki antusiasme dalam politik luar  negeri serta cenderung “inward looking” dengan memberikan skala prioritas utama pada berbagai persoalan domestik.[6] Oleh sebab itu, di awal pemerintahannya, politik luar negeri Australia mengalami sejumlah kemunduran  terutama dengan Asia yang semakin lama semakin menjauh.
   Setelah tujuh belas bulan menjabat sebagai Perdana menteri, pemerintahan Partai koalisi Liberal mulai mengeluarkan serangkaian kebijakan baru yang menyangkut masalah politik luar negeri, pertahanan dan perdagangan. Kebijakan tersebut meliputi: White Paper on Foreign and Trade Policy yang dikeluarkan pada Agustus 1997 dan  Australia Strategic Policy pada Desember 1997, kedua dokumen yang dikeluarkan pemerintahan Howard adalah upaya untuk mencoba meredefinisi kepentingan masa depan Australia di bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan serta perdagangan, yakni dengan  melakukan penyesuaian diri dari perkembangan regional dan internasional.[7] Didalam dokumen tersebut, pemerintahan Howard menetapkan prioritas dari kebijakan luar negerinya untuk mencapai kepentingan nasionalnya, yakni sebagai berikut :
Pertama, “Australia’s commitment to the region as its highest foreign policy priority” (komitmen Australia kepada region sebagai prioritas tertinggi kebijakan luar negerinya); kedua, “Working to enhance Australia’s security” (melakukan peningkatan keamanan Australia);  ketiga, “Strengthening Australia’s broader global links”(menguatkan perluasan ikatan-ikatan global Australia); keempat, “Australia’s human and principled foreign policy” (prinsip kemanusiaan pada kebijakan luar negeri Australia ).[8]
   Khusus terhadap Indonesia, Howard tetap menilai Indonesia adalah negara yang penting bagi Australia. Terbukti bahwa di dalam buku putih tahun 1997 yang dikeluarkan pemerintahan Howard tertulis jika “hubungan Australia-Indonesia akan selalu penting”.  Hal ini dikarenakan posisi strategis Indonesia yang merupakan rute utama perdagangan Australia, dengan populasi dan posisinya di Asia tenggara dan pembangunan serta diversifikasi kemitraan bilateralnya merupakan hal-hal yang patut diperhitungkan. Selain itu, perlu juga diingat bahwa Indonesia merupakan negara tetangga terdekat yang dari dan di mana ancaman bagi Australia berasal.[9]
Sedangkan Australia dibawah kepemimpinan Kevin Rudd memiliki arah kebijakan tersendiri, yaitu: aliansi dengan Amerika Serikat, kenggotaan negeri itu di Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), dan pelibatan komprehensif di kawasan Asia Timur dan Asia Pasifik yang lebih luas.[10]
Kunjungan Rudd di atas mewakili tiga garis besar kebijakan luar negeri Australia, yaitu tetap pentingnya kerja sama strategis Australia dengan AS, pentingnya kerangka hubungan multilateral, dan pentingnya kerja sama Australia dengan negara-negara Asia.  Seperti dinyatakan Rudd dalam kampanyenya bahwa politik luar negeri Australia di bawah pemerintannya akan tetap menjaga tradisi hubungan strategis dan historis Australia dengan AS (selain dengan Eropa). Namun, berbeda dengan kebijakan Howard, Rudd akan menarik pasukan Australia dari Irak, setelah melakukan konsultasi mendalam dengan pihak AS. Presiden AS George W Bush pada waktu itu menyatakan pengertiannya mengenai keputusan Rudd menarik pasukan Australia dari Irak.
Penerimaan Bush cukup menarik dicermati mengingat Bush selama ini tidak menyembunyikan kedekatannya secara politik maupun personal dengan John Howard. Bush tampaknya menyadari bahwa era Howard di Australia telah lewat dan di akhir masa jabatannya sebagai Presiden AS, suka atau tidak, harus menerima Rudd sebagai PM Australia, salah satu sekutu paling dekat AS di Asia Pasifik. Rudd secara hati-hati dan elegan menunjukkan kepada Bush bahwa ia meneruskan tradisi pemimpin Australia yang senantiasa menempatkan AS selaku sekutu utama. Namun juga mengirim isyarat jelas kepada Bush maupun kepada masyarakat Australia bahwa berbeda dengan Howard, Rudd bukan pendukung membabi buta terhadap apa pun kebijakan luar negeri AS. Sebagaimana di negara-negara Barat lainnya, Perang Irak semakin tidak populer di mata sebagian besar warga Australia.
Dalam kunjungan Rudd ke AS juga sekaligus menemui Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Ban Ki- moon dan menyatakan niat Australia mencalonkan diri untuk menduduki salah satu kursi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB (UN Security Council) tahun 2013-2014. Pernyataan Rudd tersebut menunjukkan komitmennya terhadap kebijakan multilateral dan penghargaannya terhadap PBB. Rudd ingin membuat kontras dengan Howard yang kerap kali tampak menyepelekan PBB (khususnya dalam kasus Perang Irak).
Pernyataan Rudd juga mengisyaratkan tekadnya menunjukkan Australia sebagai kekuatan menengah (middle power) di dalam percaturan politik internasional. Rudd secara lihai menggabungkan niatnya menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan dengan pembicaraan mengenai pemanasan global dan Protokol Kyoto, yang telah Australia ratifikasi. Kesediaan Australia di bawah Rudd meratifikasi Protokol Kyoto adalah salah satu langkah paling awal Rudd untuk membedakan dirinya dari Howard. Selain kedua masalah tersebut, Rudd mendiskusikan masalah krisis keuangan global dengan Ban Ki-moon. Pertemuan Rudd dengan Ban Ki-moon membahas ketiga topik strategis itu mendukung tekad Rudd untuk menempatkan kembali kerja sama multilateral sebagai kerangka penting politik luar negeri Australia, yang agak tergerus di era Howard.
Pertemuan Rudd dengan Sekjen PBB setelah menemui Presiden AS menunjukkan bahwa Australia tidak memosisikan secara kontradiktif tradisi aliansi AS-Australia dengan kebijakan multilateral dan penghargaan Australia terhadap PBB. Setelah menemui Presiden AS dan Sekjen PBB, Rudd melakukan lawatan ke Eropa mengunjungi Belgia, Romania, dan Inggris. Di Belgia, Rudd bertemu dengan presiden dan para anggota senior Komisi Eropa. Sementara di Bucharest, Romania, Rudd menghadiri KTT kepala pemerintahan negara-negara anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). KTT NATO itu, antara lain, akan memutuskan cara-cara meningkatkan efektivitas strategi dan misi Pasukan Bantuan Keamanan Internasional (ISAF) di Afganistan, di mana Australia juga menyumbangkan pasukan. Di Inggris, Rudd akan menemui PM Gordon Brown dan sejumlah anggota senior kabinet Brown. Kunjungan ke Eropa secara tradisional menjadi ritual bagi setiap PM Australia yang baru terpilih mengingat kedekatan historis, politik, dan strategis Australia dengan Eropa. 
Kunjungan ke Cina juga menjadi momentum keterkaitan Australia dengan negara-negara besar di Asia. Sesaat setelah diumumkan memenangi pemilu tahun lalu, Rudd mengisyaratkan tekadnya untuk meningkatkan fokus Australia terhadap kerja sama dengan negara-negara di kawasan Asia Pasifik, khususnya lewat tiga negara kunci, yakni Indonesia, China, dan India.[11]
Pemaparan di atas telah menunjukan bagaimana terdapat perspektif kebijakan luar negeri di masa Kevin Rudd dan John Howard, pada masa John Howard kebijakan lebih ditekankan dalam ligkup dalam negeri, sedangkan di masa Kebin Rudd kebijakan luar negeri Australia didasarkan pada kerjasama dengan negara-negara lain di dunia.  Australia telah mengimplementasikan ketiga pilar yang menjadi landasan hubungan luar negeri Australia. 

Implementasi Kebijakan Travel Warning ke Indonesia periode 2002-2012.
Terjadinya Peristiwa 9/11 menjadi titik tolak perubahan pola interaksi dalam hubungan internasional, ditambah dengan konteks dalam perang melawan terorisme. Para akademisi, pembuat kebijakan, serta individu dari berbagai kelompok lebih mengenal terminologi tersebut, walaupun pada kenyataannya tidak ada satupun definisi yang kuat tentang terorisme yang dapat diterima luas.[12] Selain itu, negara-negara dengan masyarakat yang mayoritas adalah muslim seolah-olah menjadi kambing hitam” bagi negara Barat karena pelakunya yang merupakan kelompok Al-Qaeda, yang juga merupakan muslim.
Indonesia juga mengalami dampaknya, karena selain negara dengan jumlah Muslim terbesar, juga dinilai sebagi ancaman Barat. Bersamaan dengan peristiwa 9/11, Indonesia diminta Pemerintah Amerika Serikat untuk menanggulangi terorisme, mengingat pernah terjadi tragedi bom seperti di Kedutaan Besar Filipina tahun 2000, bom di malam natal pada tahun yang sama, dan sebelumnya pernah terjadi di Masjid Istiqlal. Namun Indonesia yang saat itu dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri pada saat itu tidak menyatakan sikap secara jelas dalam perang melawan terorisme seperti yang diinginkan Amerika Serikat.
Hal ini menimbulkan kekecewaan bagi Amerika Serikat kepada Indonesia, karena seharusnya menjadi teman kerja untuk Amerika Serikat untuk melawan terorisme karena memiliki populasi muslim terbesar di dunia, dengan segera terpinggirkan dan dicap sebagai ras paria dalam konteks koalisi global melawan terorisme[13], meski sebenarnya ada kerjasama antara Indonesia dan Australia untuk memerangi terorisme global dengan Memorandum of Understanding Combating International Terrorism[14] yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal Hubungan Sosial, Budaya, dan Penerangan Departemen Luar Negeri Abdurrachman Mattaliti mewakili RI dan Duta Besar Australia untuk Indonesia Richard Smith, di Kementerian Luar Negeri, Jakarta, Kamis, 7 Februari 2002.[15]
Meskipun telah dibuat MOU antara Australia dan Indonesia sebagai upaya untuk memerangi berbagai bentuk terorisme, akan tetapi Indonesia tidak mampu mengantisipasi atau memprediksi peristiwa yang akan terjadi berikutnya.  Tidak ada yang menyangka bahwa akan terjadi serangan bom Bali pada tanggal 12 Oktober 2002 (tepatnya di Paddy’s Café dan Sari Club), dan di tempat yang sama, pada bulan yang sama tiga tahun kemudian. Selang antara tiga tahun tersebut terjadi ledakan bom di Hotel JW Marriot tahun 2003; dan di Kedutaan Besar Australia pada tahun 2004.
Setelah peristiwa Bom Bali I, maka sebagai tindak lanjut sekaligus reaksi Pemerintah Australia terhadap berbagai ancaman yang mereka rasakan dari berbagai serangan teror terhadap kepentingan mereka di Indonesia, maka keluarlah berbagai kebijakan reaktif dari Pemerintah Australia terhadap Indonesia. Beberapa kebijakan Pemerintah Australia yang muncul cenderung menunjukkan ketidakpercayaan terhadap Pemerintah Indonesia, khususnya dalam menjaga keamanan dan kenyamanan warga negara lain yang berada di wilayah kedaulatannya.
Berangkat dari rasa ketidakpercayaan itu, maka wajarlah jika kemudian Pemerintah Australia mengeluarkan kebijakan larangan berkunjung (Travel Warning) bagi warganya ke Indonesia. Tindakan atau kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Australia tersebut tanpa memperhatikan pertimbangan bahwa Indonesia sangat dibutuhkan oleh Australia, khususnya dalam kepentingan geostrategisnya.
Secara harfiah, travel warning atau larangan berkunjung adalah himbauan untuk tidak pergi ke suatu negara yang di anggap tidak aman. Biasanya di keluarkan pemerintah suatu negara untuk melindungi warganya dari ancaman yang mungkin terjadi di negara yang di cekal tersebut. Menurut definisi Macmillan Dictionary, pengertian  travel warning adalah sebagai berikut :
an official notice in which a government warns its citizens not to travel to a particular country or region because it is dangerous[16]
Atau dalam terjemahan bahasa Indonesia adalah pernyataan resmi di mana pemerintah memperingatkan warganya untuk tidak melakukan perjalanan ke suatu negara atau wilayah tertentu karena berbahaya. Kebijakan ini berjalan cukup lama, setidaknya sampai tahun 2012. 
Bagi Australia, hal tersebut merupakan hal yang wajar mengingat Australia pada masa itu masih berada di bawah pemerintahan Partai Koalisi Liberal – Nasional pimpinan PM John Howard. Pemerintahan Partai Koalisi seperti yang kita ketahui selalu berkiblat ke Eropa dan Amerika dalam menjalankan politik luar negerinya. Sementara itu dengan Asia, hubungannya cenderung dijaga, bahkan kadang konfrontatif. Hal tersebut juga berlaku dan dilaksanakan oleh PM Howard selama berkuasanya. Di bawah Howard, Australia masih tetap terkesan menjaga jarak dengan Asia. Dengan dominasi sivilisasi barat, Australia seperti enggan mendekat dan mengambil sikap yang cenderung berpihak ke Barat, terutama AS dan Eropa.
Kebijakan tersebut diteruskan oleh Perdana Menteri Australia selanjutnya, Kevin Rudd yang tetap memberlakukan travel warning karena situasi di Indonesia yang masih belum aman bagi warga negara Australia. PM Rudd tidak ingin mengenyampingkan hasil penilaian Pusat Penilaian Ancaman Nasional (NTAC) sebagai badan independen yang hasil masukannya kemudian dipublikasi Departemen Luar Negeri dan Perdagangan (DFAT) Australia.[17]
Hal ini dikritik oleh pemimpin oposisi dari Partai Liberal, Tony Abbott, saat memberikan sambutan di acara makan siang kenegaraan untuk menyambut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, di Gedung Parlemen di Canberra, di Gedung Parlemen Australia, Rabu 10 Maret 2010.[18]  Dalam sambutannya Tony Abbott merujuk kepada kebijakan Pemerintah Australia, yang kerap memberlakukan peringatan berkunjung (travel warning) ke Indonesia dengan alasan keamanan, terutama ancaman bom. Kebijakan ini pun masih diberlakukan di masa pemerintahan Partai Buruh, yang dipimpin Rudd kendati dia memuji prestasi Indonesia dalam melumpuhkan jaringan teroris.
Sementara itu bagi Indonesia, kebijakan travel warning yang dikeluarkan oleh Pemerintah Australia jelas merugikan. Hal ini menjadi sebuah pukulan telak, karena merupakan wujud ketidakpercayaan negara lain seperti yang telah dibahas sebelumnya. Pihak Indonesia jelas merugi mengingat pada masa itu kunjungan wisatawan Australia ke Indonesia sedang meningkat. Pemerintah Indonesia menginginkan agar Pemerintah Australia segera mencabut kebijakan travel warning ke Indonesia yang diberlakukan kepada warganya.
Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai langkah dan upaya, baik itu upaya diplomasi ke luar negeri maupun upaya security building dari dalam negeri untuk memperoleh respon positif dari Pemerintah Australia dalam masalah travel warning tersebut. Pada awal Mei 2012 Australia menurunkan level dari travel warning menjadi rravel advisory. Secara umum travel advisory merupakan peringatan berkunjung, dan satu tingkat lebih rendah dibandingkan travel warning. Tidak lama kemudian kebijakan tersebut dicabut oleh Pemerintah Australia sehingga warga negara Australia dapat bepergian ke wilayah Indonesia dengan tenang, walau Pemerintah Australia tetap meminta kewaspadaan dari tiap warganya.
Sebelum penurunan dan pencabutan kebijakan travel advisory pada awal Mei tahun 2012, Australia sudah menyatakan bahwa Indonesia sudah aman pasca Bom Bali II, khususnya setelah penggerebekan teroris di wilayah Jawa Timur, dengan tewasnya DR. Azahari, pada tanggal 9 November 2005. Namun itu tidak serta-merta membuat Australia mencabut travel advisor y terhadap Indonesia, karena pada tahun 2008 dilakukannya eksekusi mati terhadap terpidana Bom Bali I, yaitu Amrozi, Imam Samudera dan Mukhlas. Australia hanya menurunkan ke level empat dari lima level peringatan yang diberlakukannya, yaitu ‘avoid all travel to part(s) of country’[19] atau kepada warga negara Australia diharapkan mempertimbangkan kembali kunjungan ke Indonesia, khususnya di beberapa bagian negara yang rawan konflik.
Tahun berikutnya, tepatnya pada tahun 2009, terjadi ledakan bom di Hotel Ritz Carlton dan JW Marriot yang membuat Australia kembali memberlakukan travel warning kepada Indonesia, dan menaikkan level peringatan ke level tertinggi yaitu larangan berkunjung ke seluruh bagian negara Indonesia. Meski dua bulan setelahnya teroris yang paling dicari Noordin M. Top tewas dalam penggerebekan di wilayah Solo, Jawa Tengah[20], namun itu tidak serta-merta membuat Australia mencabut kebijakan travel warning, dan hanya diturunkan ke level yang cukup rendah pada tahun 2012 ini.
Menurut British Foreign and Commonwealth Office, Indonesia dinyatakan “No restrictions in this travel advice[21], atau dikatakan aman untuk dikunjungi secara keseluruhan. Pernyataan lain dinyatakan oleh Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia yang menempatkan Indonesia dalam kategori “exercise a high degree of caution” atau melakukan perjalanan dengan tingkat hati-hati yang tinggi” untuk Indonesia secara keseluruhan, dan “reconsider your need to travel” untuk wilayah Indonesia Timur seperti Sulawesi Tengah, Maluku, Papua dan Papua Barat masyarakat Australia diminta untuk tetap berhati-hati karena kekerasan komunal dan sektarian.[22]
Melihat kondisi hubungan bilateral antara Indonesia dan Australia, ada banyak hal yang bisa dianalisa dalam hal ini. Pertama, Australia mencoba berada pada posisi yang aman dan tidak mengambil resiko, karena bagaimanapun juga pihak Australia masih berada dalam trauma kasus terorisme yang beberapa kali menyerang kepentingan mereka di Indonesia. Sementara itu, Pemerintah Indonesia, dalam hal ini agen keamanannya tidak memberikan peringatan dini tentang ancaman yang akan mereka dapat. Hal inilah yang kemudian membuat Pemerintah Australia masih belum berani mengambil resiko dengan mencabut kebijakan travel warning bagi warganya untuk berkunjung ke Indonesia. Masalahnya kemudian bukan lagi terletak pada ketidakpercayaan Australia terhadap keamanan Indonesia yang kian membaik, tetapi pada sikap yang tidak mau disalahkan jika terjadi sesuatu terhadap warganya di Indonesia.
Kebijakan travel warning ini tidak lepas dari kritik. Selain kritik dari oposisi Australia yang telah dibahas diawal, dari pihak Indonesia menilai bahwa kebijakan ini tidak rasional. Menurut Ketua Komisi VI DPR Airlangga Hartarto, hanya Australia satu-satunya negara yang masih menerapkan travel warning kepada Indonesia terkait isu terorisme, karena Amerika Serikat telah mencabut kebijakan tersebut dari Indonesia sejak beberapa tahun lalu dan berpendapat bahwa kebijakan ini juga akan merugikan Australia sendiri jika ingin meningkatkan kerjasama bilateral.[23]
Sementara itu, pakar hukum internasional dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Jawahir Thontowi SH, Phd menilai bahwa pemberlakuan travel warning[24] tersebut justru mengarah pada langkah politis, terkait hubungan yang kurang harmonis antara negara-negara Barat dengan negara-negara Islam.[25] Ia berpendapat ini erat kaitannya dengan keras respon negara-negara Muslim atas penempatan tentara Amerika  Serikat (yang merupakan sekutu dekat Australia) di Guantanamo, dan merugikan Australia yang bertetangga dengan negara-negara Muslim Asia.

Dampak Kebijakan Travel Warning terhadap Indonesia
            Tidak dapat dipungkiri bahwa wisatawan Australia adalah wisatawan yang banyak berkunjung ke Indonesia khusunya Bali, perdagangan dan bantuan luar negeri.  Data menunjukan sepanjang tahun 2008-2012 jumlah wisatawan dari Australia mencapai 2.990.221 orang yang setiap tahunya mengalami peningkatan.  Hal ini tentunya memberikan dampak positif terhadap pendapatan masyarakat dan negara Indonesia. 
Berdasarkan tabel di atas menunjukan, pasca terjadinya bebrbagai peristiwa pengeboman di beberapa wilayah di Indonesia dan dikeluarkanya kebijakan travel warning pada masa kepemimpinan pemerintahan Kevin Rudd, terjadi penurunan jumlah wisatawan yang berkunjung ke Bali, yang pada tahun sebelumnya 2002 mencapai 1.285.842 orang. Tahun 2003 menjadi 995.272 orang.  Data tersebut menunjukan bagaimana kondisi keamanan Indonesia dan pengimplmenetasian travel advisory memberikan dampak negatif terhadap perkembangan pariwisata Indonesia.
Identifikasi Pengimplementasian Kebijakan Travel Warning Australia ke Indonesia Pasca Serangan Bom di Indonesia periode 2002-2012.
Dalam implementasinya bahwa kebijakan travel aarning tersebut nampaknya syarat akan muatan paksaan, karena Australia memberlakukan travel warning selama bertahun-tahun terhadap Indonesia dan disinyalir sebagai upaya agar pemerintah Indonesia tunduk dan patuh terhadap kepentingan Australia. Travel warning dijadikan Australia sebagai alat coercive diplomacy untuk Indonesia. Coercive Diplomacy  adalah upaya untuk mendapatkan target, baik Negara atau kelompok ataupun kelompok dalam Negara bahkan  seorang individu bukan Negara, sebagai upaya untuk mengubah perilaku yang dinilai merugikan baik ancaman kekerasan atau penggunaan kekuatan secara terbatas".[26] Istilah ini juga mengacu pada diplomasi dalam penggunaan atau ancaman penggunaan kekuatan militer untuk mencapai tujuan politik.[27] serta berada di bawah teori pemaksaan sebagai alat kebijakan luar negeri.
Daniel Byman dan Matthew Waxman dalam bukunya Dynamics of Coercion: American Foreign Policy and the Limits of Military Might, menjelaskan bahwa diplomasi koersif adalah upaya yang dilakukan lawan yang bertindak dengan cara tertentu melalui apa pendek dari kekerasan, musuh masih harus memiliki kapasitas kekerasan terorganisir, tetapi memilih untuk tidak latihan itu "strategi Pemaksaan". bergantung pada ancaman kekuatan militer masa depan untuk mempengaruhi keputusan musuh membuat tetapi juga dapat mencakup penggunaan terbatas kekuatan yang sebenarnya."[28]
 Diplomasi koersif pada dasarnya adalah sebuah strategi diplomasi, salah satu upaya yang bergantung pada ancaman kekerasan daripada penggunaan kekuatan. Jika kekuatan harus digunakan untuk memperkuat upaya diplomatik dalam persuasi, itu digunakan dengan cara yang teladan, dalam bentuk aksi militer sangat terbatas, untuk menunjukkan resolusi dan kemauan untuk meningkat ke tingkat tinggi aksi militer jika diperlukan. Dalam konteks Australia, kebijakan travel warning ini bertujuan untuk menundukkan Indonesia dihadapan pemerintah Australia karena dianggap sebagai ancaman bagi warga negara Australia dan Indonesia dituntut untuk menyelesaikan kasus terorisme yang ada sesegera mungkin.
Dari semua pemaparan tersebut, penulis mencoba untuk menganalisa dari kerangka teori Hubungan Internasional. Dilihat dari perspektif neorealisme, menurut Kenneth Waltz dalam bukunya yang berjudul Theory of International Politics ada beberapa klaim yang diajukan oleh neorealisme, diantaranya adalah struktur dari sistem adalah penentu yang dominan terhadap tingkah laku suatu negara. Struktur tersebut memainkan peranan penting terhadap kebijakan-kebijakan starategis yang akan diambil oleh suatu negara, apakah negara itu akan bekerjasama dalam mencapai kepentingan nasionalnya, atau self help system (survival).
Menurut neo realis negara merupakan aktor yang rasional, negara akan memilih kebijakan yang strategis untuk memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan kerugian. Dalam konteks hubungan antara Australia dengan Indonesia, Australia bisa dikatakan rasional untuk memberlakukan kebijakan Travel Warning terhadap Indonesia karena untuk mencegah kerugian (dalam hal ini immateriil berupa korban yang lebih banyak lagi dalam tragedi Bom Bali I) yang lebih banyak lagi. Walau pada kenyataannya tetap saja banyak warga negara Australia yang menjadi korban karena meski Australia memberlakukan kebijakan tersebut, namun itu tidak dapat mencegah tiap warga negara Australia untuk bepergian kemana saja, termasuk ke Indonesia sekalipun.
Neorealis melihat bahwa kebijakan luar negeri suatu negara tidak hanya dipengaruhi oleh kebijakan luar negeri suatu negara, tapi juga dipengaruhi oleh interaksi negara tersebut. Untuk konteks hubungan Australia-Indonesia, kebijakan travel warning yang dikeluarkan oleh Pemerintah Australia terhadap Indonesia tidak hanya dipengaruhi oleh kebijakan domestik Australia yang merasa terancam oleh keadaan Indonesia, namun juga dipengaruhi oleh hubungan antara Australia dan Amerika Serikat.
Kita semua tahu bahwa Australia adalah sekutu dekat dari Amerika Serikat, negara adidaya yang mengeluarkan War Against Terrorism pasca serangan 11 September 2001. Untuk melancarkan perang tersebut Amerika Serikat membutuhkan dukungan dari para sekutunya, salah satunya adalah Australia. Menarik dicatat bahwa Amerika Serikat juga meminta Indonesia untuk melakukan hal yang sama, seperti yang telah diulas dibagian awal.
Jika dianalisa lebih lanjut, ada variabel yang menonjol dalam konteks hubungan Australia-Indonesia. Tidak seperti realisme yang hanya satu variabel saja yang muncul, neorealisme memunculkan dua variabel. Variabel pertama yaitu variabel independen, dalam hal ini adalah Australia, dengan kebijakan travel warning yang dijadikan sebagai alat Coercive Diplomacy terhadap Indonesia, yang menjadi variabel kedua yaitu variabel dependen. Indonesia memang menjadi dependen atau bergantung kepada Australia karena dengan kebijakan travel warning tersebut Indonesia menjadi ‘patuh’ terhadap kemauan Australia, dengan Coercive Diplomacy yang dilakukan Australia.  Hal tersebut nampaknya dikarenakan bahwa banyaknya jumlah wisatawan Australia yang berkunjung ke Australia, khususnya Bali.  Implementasi kebijakan travel warning  tentu berpengaruh terhadap jumlah wisatawan Australia yang menurun dan berimplikasi terhadap menurunnya pendapatan masyarakat Bali, juga negara Indonesia.
Berdasarkan pemaparan di atas dapat terlihat  jika Indonesia tidak terus didesak oleh Australia untuk memberantas terorisme di dalam negerinya, maka citra Indonesia akan menjadi buruk dan Australia akan terus memberlakukan travel warning selama yang diinginkan, sehingga berpengaruh terhadap kondisi makroekonomi Indonesia secara tidak langsung. Sektor ekonomi yang berpengaruh yaitu sektor pariwisata dimana cukup banyak wisatawan mancanegara dari Australia yang berkunjung ke Indonesia, kemudian investasi asing yang datang dari Australia, serta bantuan dana baik berupa hibah maupun pinjaman lunak.




Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa meskipun secara geografis letak kedua negara berdekatan, akan tetapi hubungan bilateral antara Australia dan Indonesia kerap kali menimbulkan pertentangan. Diberlakukanya  travel warning kepada Indonesia sejak jaman John Howard hingga masa baru kepemimpinan Kevin Rudd sebagai respon atas kondisi keamanan Indonesia yang diwarnai dengan peristiwa peledakan Bom disejumlah wilayah di Indonesia dinilai dapat mengancam keselamatan warga negara Australia. Hal yang menarik dari pengimplementasian kebijakan travel warning yang diberlakukan Australia terhadap Indonesia ternyatameruakan suatu upaya  untuk membuat Indonesia patuh terhadap Australia, terlebih lagi dengan cara ‘paksaan’ terhadap Indonesia untuk memberantas terorisme di Indonesia yang  hanya untuk kepentingan Australia sendiri, yang ingin memperluas dan memperkuat power dan influence di wilayah Pasifik Selatan, dan bukan tidak mungkin lagi untuk memperluas dua hal tersebut hingga ke wilayah Asia Tenggara.
Di sisi lain fenomena ini merupakan konsekuensi ketidakpekaan pemerintah Indonesia menanggapi perubahan geopolitik dunia Internasional, sehingga terlambat mengatisipasi serangkaian peristiwa peledakan bom di beberapa tempat di Indonesia.  Seanadainya jika Indonesia cepat tanggap atas perubahan yang terjadi maka akan  mungkin dapat mengantisipasi adanya gerakan-gerakan bawah tanah yang mencoba mengacau dan memberikan ketidaknyamanan di wilayah Indonesia.
Selain itu, kurang kuatnya posisi Indonesia dibandingkan dengan Australia membuat Indonesia seakan menjadi ‘robot’ yang dikendalikan oleh Australia. Australia tidak sepenuhnya salah dalam membuat kebijakan travel warning terhadap Indonesia karena sebagai entitas negara Australia berhak untuk melakukan apa saja untuk menjaga keamanan masyarakatnya. Namun melihat situasi Indonesia yang relatif kondusif, mungkin memang sudah saatnya bagi pemerintah Australia untuk, setidaknya, menurunkan level peringatan kunjungan ke Indonesia, tanpa perlu tahu masalah domestik di Indonesia. Kalaupun ingin menjaga keamanan dan kenyamanan warganya, Australia tidak perlu terlibat terlalu banyak dalam masalah domestik di Indonesia. Australia sebagai negara tetangga cukuplah menjadi pengingat bagi Indonesia untk menjamin keselamatan dan kenyamanan warga asing manapun, termasuk dari Australia yang berkunjung ke Indonesia.   

Daftar Pustaka
Sumber Buku:
Art, Robert J. and Patrick M. Cronin, The United States and Coercive Diplomacy. Washington DC United States: Institute of Peace Press, 2003.
Byman, Daniel and Matthew Waxman. The Dynamics of Coercion: American Foreign Policy and the Limits of Military Might.  New York: Cambridge University Press, 2002.
Jr, Paul A. Smith and Richard G. Stilwell, in Barnett and Lord, eds., Political Warfare and Psychological Operations. National Defense University Press, 1989.
Kelly, Paul.  Howard’s Decade, Lowy Institute for International Policy paper 15.  Sydney: Longueville, 2006.
Mar’iyah, Chusnul. Indonesia-Australia: Tantangan dan Kesempatan dalam Hubungan Politik Bilateral.  Jakarta: Granit, 2004.
Wuryandari, Ganewati. Gaya dan Substansi Politik Luar Negeri Australia 1996-2001 dalam Kebijakan Luar Negeri dan Pertahanan Australia 1996-2001, eds. Jakarta: LIPI, 2001.

Sumber Journal:
Trood, Russell. Perspective on Australian Foreign Policy Australian Journal of International Affairs, Vol. 52, No. 2, 1997.


Sumber Skripsi:
Puteri, Christa Mc Auliffe Suryo. Kebijakan Luar Negeri Australia terhadap Indonesia Pemerintahan John Howard dari Partai Koalisi Liberal (1996-2007) dan Pemerintahan Kevin Rudd Dari Partai Buruh (2007-2010). Jakarta, UIN Syarif Hidayatullah, 2011.

Sumber Tabel:
Tabel I.1: Banyaknya Wisatawan Mancanegara yang Datang Langsung ke Bali Menurut Kebangsaan Tahun 2008 – 2012 dalam http://bali.bps.go.id/tabel_detail.php?ed=611002&od=11&id=11 diakses pada Sabtu, 7 Desember 2013; Pukul 12.09 WIB.
Tabel I.2: Data Jumlah Wisatawan Mancanegara ke Bali tahun 1990-2011 dalam http://bali.bps.go.id/series_data/tampil_data_series.php diakses pada Sabtu, 7 Desember 2013; Pukul 12.11 WIB.

Sumber Website:
Downer, Alexander. Australia’s Foreign Policy: Advancing Our National Interest, speech to the Joint Services Staff College, Canberr, 1998 dalam http://www.foreignminister.gov.au/speeches/1998/jssc5mar98.html diakses pada Sabtu, 7 Desember 2013; Pukul 08.28 WIB.
Ferdian, Rafdi. Rudd Harapan Baru Indonesia http://m.inilah.com/read/detail/3000/rudd-harapan-baru-indonesia/ diakses pada Sabtu, 7 Desember 2013; Pukul 16.33 WIB.
Kawilarang, Renne R.A. Bos Oposisi Australia Kritik Travel Warning dalam http://dunia.news.viva.co.id/news/read/135578-bos_oposisi_australia_kritik_travel_warning pada hari Rabu, 14 Desember 2013; Pukul 10.58 WIB.
Kawilarang, Renne R.A dan Nezar Patria. PM Australia: Politik RI Berjalan Dinamis kedua negara sepakat memperkuat hubungan “people-to-people” atau antar warga http://nasional.vivanews.com/news/read/31917-australia_politik_ri_berjalan_dinamis diakses pada Minggu, 8 Desember 2013; Pukul 22.34 WIB.
Kertapati, Didit Tri.  Kronologi Pengepungan Noordin di Solo  http://news.detik.com/read/2009/09/17/162357/1205956/10/kronologi-pengepungan-noordin-di-solo?881103605 diakses pada Minggu, 15 Desember 2013; Pukul 11.00 WIB.
Marulli, Aditia. Media Australia Soroti Salah Penerjemahan Seputar isu "Travel Warning" Dikutip dari http://www.antaranews.com/berita/1213447180/media-australia-soroti-salah-penerjemahan-seputar-isu-travel-warning pada Sabtu, 14 Desember 2013; Pukul 10.58 WIB.
Tanpa Nama. Pengamat: “Travel Warning” Australia Tidak Rasional www.merdeka.com/politik-nasional/pengamat-travel-warning-australia-tidak-rasional-yjw7zu2.html diakses pada Senin, 16 Desember 2013; Pukul 11.02 WIB. 
Tanpa Nama. http://www.smartraveller.gov.au/zw-cgi/view/advice/Indonesia  diakses pada Senin, 9 Desember 2013; Pukul 10.18 WIB.
Tanpa Nama. http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/04/02/00363941 diakses pada Jumat, 13 Desember 2013; Pukul 10.56 WIB.
Tanpa Nama. www.kjrihkg.org.hk/penerangan/nasional-12.html 2002 dan diakses pada Sabtu, 14 Desember 2013; Pukul 10.57 WIB.
Tanpa Nama. http://www.macmillandictionary.com/dictionary/british/travel-warning diakses pada Sabtu, 7 Desember 2013; Pukul 09.52 WIB.
Tanpa Nama. Diakses dari http://www.fco.gov.uk/en/travel-and-living-abroad/travel-advice-by-country/asia-oceania/indonesia1  diakses pada Minggu, 15 Desemer 2013; Pukul 10.59 WIB.  .
Tanpa Nama. http://www.fco.gov.uk/en/travel-and-living-abroad/travel-advice-by-country/asia-oceania/indonesia1  diakses pada Minggu, 15 Desemer 2013; Pukul 10.59 WIB. 
Tanpa Nama. http://www.smartraveller.gov.au/zw-cgi/view/Advice/Indonesia pada hari Senin, 16 Desember 2013.
Tanpa Nama. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4dae9d4b9e550/dpr-desak-australia-cabut-travel-warning diakses pada Senin, 16 Desember 2013; Pukul 11.01 WIB.




[1] Rafdi Ferdian. Rudd Harapan Baru Indonesia http://m.inilah.com/read/detail/3000/rudd-harapan-baru-indonesia/ diakses pada Sabtu, 7 Desember 2013; Pukul 16.33 WIB.

[2] Renne R.A Kawilarang dan Nezar Patria. PM Australia: Politik RI Berjalan Dinamis kedua negara sepakat memperkuat hubungan “people-to-people” atau antar warga http://nasional.vivanews.com/news/read/31917-australia_politik_ri_berjalan_dinamis diakses pada Minggu, 8 Desember 2013; Pukul 22.34 WIB.

[3] http://www.smartraveller.gov.au/zw-cgi/view/advice/Indonesia  diakses pada Senin, 9 Desember 2013; Pukul 10.18 WIB.
[4] Ganewati Wuryandari. Gaya dan Substansi Politik Luar Negeri Australia 1996-2001 dalam Kebijakan Luar Negeri dan Pertahanan Australia 1996-2001, eds. (Jakarta: LIPI, 2001), hlm. 50-51.
[5] Paul Kelly.  Howard’s Decade, Lowy Institute for International Policy paper 15 (Sydney: Longueville, 2006), hlm. 5.
[6] Russell Trood. Perspective on Australian Foreign Policy Australian Journal of International Affairs, Vol. 52, No. 2, 1997. Hlm. 185.
[7] Paul Keally. Op.Cit., hlm. 15
[8] Alexander Downer. Australia’s Foreign Policy: Advancing Our National Interest, speech to the Joint Services Staff College, Canberr, 1998 dalam http://www.foreignminister.gov.au/speeches/1998/jssc5mar98.html diakses pada Sabtu, 7 Desember 2013; Pukul 08.28 WIB.
[9] lihat In The National Interest, hlm 61 dalam Richard Chauvel.  Hubungan Bertetangga Dua Negara Demokratis: Indonesia dan Australia dalam Chusnul Mar’iyah, Indonesia-Australia: Tantangan dan Kesempatan dalam Hubungan Politik Bilateral (Jakarta: Granit, 2004), hlm. 34.
[10] Dalam skripsi Christa Mc Auliffe Suryo Puteri. Kebijakan Luar Negeri Australia terhadap Indonesia Pemerintahan John Howard dari Partai Koalisi Liberal (1996-2007) dan Pemerintahan Kevin Rudd Dari Partai Buruh (2007-2010). (Jakarta, UIN Syarif Hidayatullah, 2011) , hlm. 66-77.
[11] http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/04/02/00363941 diakses pada Jumat, 13 Desember 2013; Pukul 10.56 WIB.
[12] Chusnul Mar’iyah. Indonesia-Australia: Tantangan dan Kesempatan dalam Hubungan Politik Bilateral (Jakarta: Granit, 2004), hlm. 31.
[13] Ibid. hlm. 38
[14] Memorandum of Understanding (MOU) merupakan perjanjian yang mengatur pelaksanaan teknis suatu operasional perjanjian induk. Sepanjang materi yang diatur bersifat teknis, Memorandum of Understanding dapat berdiri sendiri dan tidak memerlukan adanya perjanjian induk. Jenis perjanjian ini umumnya dapat segera berlaku setelah adanya penandatanganan tanpa memerlukan pengesahan
[15] Dikutip dari www.kjrihkg.org.hk/penerangan/nasional-12.html 2002 dan diakses pada Sabtu, 14 Desember 2013; Pukul 10.57 WIB.
[16] http://www.macmillandictionary.com/dictionary/british/travel-warning diakses pada Sabtu, 7 Desember 2013; Pukul 09.52 WIB.

[17] Aditia Marulli. Media Australia Soroti Salah Penerjemahan Seputar isu "Travel Warning" Dikutip dari http://www.antaranews.com/berita/1213447180/media-australia-soroti-salah-penerjemahan-seputar-isu-travel-warning pada Sabtu, 14 Desember 2013; Pukul 10.58 WIB.

[18] Renne R.A Kawilarang. Bos Oposisi Australia Kritik Travel Warning dalam http://dunia.news.viva.co.id/news/read/135578-bos_oposisi_australia_kritik_travel_warning pada hari Rabu, 14 Desember 2013; Pukul 10.58 WIB.

[19] Diakses dari http://www.fco.gov.uk/en/travel-and-living-abroad/travel-advice-by-country/asia-oceania/indonesia1  diakses pada Minggu, 15 Desemer 2013; Pukul 10.59 WIB.  Ada lima level tingkatan travel advice yang diberlakukan oleh Australia, dan level tertinggi adalah larangan berkunjung ke seluruh bagian negara atau ‘avoid all travel to whole country’.

[20] Didit Tri Kertapati.  Kronologi Pengepungan Noordin di Solo  http://news.detik.com/read/2009/09/17/162357/1205956/10/kronologi-pengepungan-noordin-di-solo?881103605 diakses pada Minggu, 15 Desember 2013; Pukul 11.00 WIB

[21] Diakses dari http://www.fco.gov.uk/en/travel-and-living-abroad/travel-advice-by-country/asia-oceania/indonesia1  diakses pada Minggu, 15 Desemer 2013; Pukul 10.59 WIB. 
[22] Diakses dari http://www.smartraveller.gov.au/zw-cgi/view/Advice/Indonesia pada hari Senin, 16 Desember 2013. Pernyataan ini merupakan update terbaru dari Pemerintah Australia melalui microweb tersebut mengenai kondisi di wilayah Indonesia.
[23] Diakses dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4dae9d4b9e550/dpr-desak-australia-cabut-travel-warning diakses pada Senin, 16 Desember 2013; Pukul 11.01 WIB. Dijelaskan dalam artikel tersebut bahwa Ketua Komisi VI DPR bertemu  dengan Menteri Perdagangan Australia saat itu, Craig Emerson, dan meminta penghapusan kebijakan Travel Warning jika ingin meningkatkan perdagangan bilateral. Karena menurut Hartanto, Travel Warning yang diberlakukan oleh Australia lambat laun akan merugikan Australia sendiri.
[24] Dalam pemaparannya, Travel Warning yang diberlakukan Australia saat itu atas dasar menyebarnya wabah polio di beberapa wilayah di Indonesia.

[25] Tanpa Nama. Pengamat: `Travel Warning` Australia Tidak Rasional www.merdeka.com/politik-nasional/pengamat-travel-warning-australia-tidak-rasional-yjw7zu2.html diakses pada Senin, 16 Desember 2013; Pukul 11.02 WIB. 

[26] Robert J. Art and Patrick M. Cronin, The United States and Coercive Diplomacy (Washington DC: United States Institute of Peace Press, 2003), hlm.49.
[27] Carnes Lord. The Psychological Dimension in National Strategy dengan komentar oleh Paul A. Smith, Jr., and Richard G. Stilwell, in Barnett and Lord, eds., Political Warfare and Psychological Operations (National Defense University Press, 1989). Hlm. 89.
[28] Daniel Byman and Matthew Waxman. The Dynamics of Coercion: American Foreign Policy and the Limits of Military Might (New York: Cambridge University Press, 2002), hlm. 32.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar