oleh Alpiadi Prawiraningrat
Menarik apa yang
ditulis oleh John L. Esposito dalam bukunya Islam
and Politics. Mengawali bukunya, dia mengungkapkan bahwa, Islam terbukti merupakan
sebuah keimanan yang kedudukannya sebagai agama mampu menjadi pengendali
terhadap kekuasaan politik. [1] Ungkapan tersebut serupa dengan pendapat
beberapa ahli yang mengungkapkan bahwa Islam bukanlah semata agama (a religion), namun juga sebuah sistem
politik (a political system).[2] Islam lebih dari sekedar agama karena
mencerminkan teori perundang-undangan dan politik.[3] Hal ini mungkin dikarenakan pembangunnya
adalah seorang Nabi, yang juga seorang politikus bijaksana ataupun seorang
negarawan.[4]
Memahami tulisan John
L. Espsito tidak terlepas dari konsep politik yang dianggap sebagai usaha
mencapai suatu tatanan sosial yang baik dan berkeadilan[5] atau sebagai upaya perebutan kekuasaan,
kedudukan, dan kekayaan untuk kepentingan diri sendiri.[6]
Namun demikian, perlu dipahami pula bahwa politik berkaitan dengan upaya
mencapai keputusan-keputusan bersifat kolektif dan mengikat melalui usaha untuk
mendamaikan perbedaan di antara anggotanya[7]
dengan tujuan membuat, mempertahankan dan mengamademen peraturan-peraturan umum
yang mengatur kehidupannya, yang berarti tidak dapat terlepas dari gejala
konlik dan kerjasama.[8]
Berkaitan dengan Islam,
Esposito menjelaskan bahwa sejak masa khalafur-Rasyidin maupun pada masa
Umayyah serta masa Abbasiah, Islam telah menjadi dasar ideologi bagi masyarakat
maupun negara. Meskipun terkesan rumit dan telah lahir
berabad-abad, gagasan yang terkandung dalam Islam tetap memiliki kewenangan
serta mampu dipahami oleh generasi muslim yang mewarisi pemahaman Islam sebagai
agama yang romantic dan idealistic,[9] sehingga mengilhami setiap generasi dalam membangkitkan
semangat agama dalam mengejar keterbelakangan dan merealisir perpaduan politik
dan agama sepanjang ajaran Islam dalam aktivitas aktivis politik Islam dewasa ini.[10]
John L. Esposito juga
mengungkapkan bahwa Revivalisme Islam (kebangkitan Islam) pada abad ke-18 dan
abad ke-19, Islam sebagai
kekuatan politik dan kultural di berbagai belahan dunia, baik itu di dunia
Islam sendiri maupun di dunia non Islam, tengah mengalami intensitas
peningkatan cukup signifikan, yang tercirikan dengan makin tumbuh suburnya
gerakan-gerakan Islam, dari yang berkarakter moderat hingga radikal.
Berbeda dengan gerakan
modernisme Islam, motivasi gerakan Revivalisme mengkhususkan terhadap kelemahan intern dibandingkan ancaman kolonialisme
dan memberikan warisan kepada gerakan modernisasi Islam, baik ideologi maupun
metodelogi.[11] Meski ada perbedaan-perbedaan khas dalam hal
interpretasi, kerangka ideologis umum revivalisme Islam mencakup
enam keyakinan.[12] Pertama,
Islam adalah pegangan hidup yang lengkap dan total. Kedua,
kegagalan masyarakat Muslim disebabkan penyimpangan dari jalan lurus Islam dan
mengikuti jalan sekuler Barat, dengan ideologi dan nilai-nilai yang
sekuler-materialistis. Ketiga, pembaruan masyarakat
mensyaratkan kembali pada Islam, sebuah reformasi atau revolusi religio-politik
yang mengambil inspirasinya dari Al Quran dan gerakan besar Islam pertama yang
dipimpin oleh Nabi Muhammad. Keempat, untuk memulihkan kekuasaan
Tuhan dan meresmikan tatanan sosial Islam sejati, hukum-hukum berinspirasi
Barat harus digantikan dengan hukum Islam, yang merupakan satu-satunya cetak
biru yang bisa diterima bagi masyarakat Muslim.
Kelima, meski westernisasi
masyarakat dikecam, modernisasi tidak. Ilmu pengetahuan dan teknologi diterima,
tapi keduanya harus ditundukkan di bawah akidah dan nilai-nilai Islam, demi
menjaga dari westernisasi dan sekulerisasi masyarakat Muslim. Keenam,
proses Islamisasi, atau lebih tepatnya, re-Islamisasi, memerlukan
organisasi-organisasi atau serikat-serikat Muslim yang berdedikasi dan
terlatih, yang dengan contoh dan kegiatan mereka, mengajak orang lain untuk
lebih taat dan organisasi orang-orang Muslim yang ingin berjihad melawan
korupsi dan ketidakadilan sosial.
Revivalisme Islam menginginkan
kembalinya Islam sebagai mercusuar dunia seperti yang pernah dialami di masa
lalu, dalam segala bidang, baik itu agama, politik, ekonomi, budaya, bahkan
sains dan teknologi. Namun, pandangan kaum
revivalis Islam radikal yang terlalu memfokuskan pada upaya bagaimana menjadi
penguasa tunggal di muka bumi dan mengira itu jalan satu-satunya mengubah
tatanan dunia dan masyarakatnya membuat kebangkitan Islam tidak mengakar kuat
di ranah akar rumput (kultural), sehingga menciptakan gap yang lebar. Kalangan
moderat Muslim kemudian lebih memilih jalur perjuangan gerakan Islam kultural
yang lebih menyentuh dengan persoalan-persoalan ril yang dihadapi masyarakat
Muslim, seperti ketidakadilan, kemanusiaan, toleransi, kebebasan, hak-hak asasi
manusia, kesetaraan, dan seterusnya. Jadi, kebangkitan Islam adalah bagaimana
gerakan Islam mampu memberdayakan masyarakat Muslim sendiri.
Samuel P Huntington dalam bukunya, The Clash of Civilizations and The Remaking
of World Order (1996) menyebutkan bahwa pasca Perang Dingin dan runtuhnya
komunisme, salah satu kekuatan dunia yang bakal menciptakan benturan antar
peradaban adalah Islam.[13]
Apakah peradaban Islam yang dimaksud Huntington adalah peradaban seperti yang dibayangkan
oleh kaum revivalis radikal Islam sebagai sebuah kekuatan super power, seperti
Dinasti Umayah atau Dinasti Abasiyah di masa lalu? Sebuah peradaban yang secara
politis bakal ‘mencaplok’ beberapa negara di dunia dalam satu penguasa
(khilafah)? Jika melihat arus gerakan Islam di tubuh umat Islam sendiri yang
beragam, serta makin kuatnya simpul-simpul politik kebangsaan, rasanya terlalu
terburu-buru menyebut revivalisme Islam sebagai kebangkitan untuk menjadi
penguasa tunggal dunia.
Interpretasi kaum
modernis berbeda dengan para pemuka revivalis radikal. Kaum modernis berupaya menyelaraskan ajaran Islam
kepada kondisi-kondisi yang berubah pada masyarakat modern. Kaum tradisional mengecam perubahan tersebut sebagai
bid’ah yang tidak dapat dipertanggungjawabkan
dan akomodatisme yang membuka pintu bagi praktek-praktek Kristen Barat yang
berlawanan dengan Islam serta melakukan infiltrasi ke dalam Islam.[14]
Semangat kaum modernis
Islam memberikan sumbangan besar bagi perkembangan gerakan emansipaasi wanita. Warisan modernis Islam diperlakukan dalam
merancang dan membenarkan reformasi perundang-undangan. Gerakan revivalis Islam dan modernis Islam
memberikan ragam approach terhadap
kalangan Muslim untuk membangkitkan kembali semangat masyarakat muslim yang
lemah dan pasrah.[15] Warisan reformis memiliki keterkaitan dengan
perkembangan nasionalisme di Arab Timur, Arab Barat (Afirika Utara), dan anak
benua India.
Berkaitan dengan
nasionalisme, evolusi nasionalisme dalam dunia Islam telah memperlihatkan peranan
Islam dalam mobilisasi massa dan sosio-politis.[16] Sejarah kekuasaan Islam selama berabad-abad menunjukan
bahwa Islam memainkan peran penting dalam reaksi pihak Muslim dan jawabannya
terhadap tantangan imperalialisme Barat.
Hal tersebut mengilhami perkembangan modernisme Islam serta memberikan
sumbangan bagi gerakan nasionalimse muslim dan kemerdekaannya. Tokoh-tokoh pembaharu Islam berikhtiar
membangkitkan kebanggaan muslim dan kepercayaan terhadap diri sendiri untuk merevitalisasi
masyarakat baik sosial maupun politik yang berdasarkan “re-interpretasi” dan
“re-formulasi” ajaran agama Islam yang menegaskan kompatibilitas Islam dan
modernitas; mengukuhkan komperhenshif dan relevansi ideologi Islam terhadap
politik, hukum dan masyarakat modern.[17] Namun, bagi generasi muda yang merupakan tokoh-tokoh
nasionalis berpendidikan modern, Islam merupakan jalan bukan suatu tujuan.[18] Apabila kemerdekaan politik telah dicapai, Islam
cenderung untuk dikesampingkan dari kehidupan umum ketika golongan elite
dihadapkan pada proses pembangunan bangsa.
Sesudah memperoleh
kemerdekaan, negara-negara muslim yang baru muncul menghadapai tugas yang luar
biasa, yaitu proses pembentukan bangsa modern (modern nation building) yang masih mengikuti dominasi politik dan
militer kolonial Barat beserta keterkaitan ekonomi.[19] Bagi lapisan elite modern, warisan Islam yang
meskipun masih berlaku dalam kehidupan kerohanian dinilai sudah tidak relevan
dengan kebutuhan dan tuntutan politik dan masyarakat modern. Hal tersebut menimbulkan masalah identitas
dan ideologi nasional. Perkembangan lembaga-lembaga pemerintahan dan hukum
tetap berkelanjutan, meskipun belum sepenuhnya memadai.
Aktivitas-aktivitas
Islam mempergunakan Islam sebagai tolak ukur terhadap apakah pemerintah yang
berkuasa itu otokratis dalam pelaksanaan kekuasaannya, korup sepanjang politik,
pincang secara ekonomi, kosong sepanjang spiritual dan moral. Di bawah payung Islam, terorganisir pihak-pihak
yang saling berlawanan. Mereka
melancarkan kecaman-kecamannya beserta agenda pembaharuan dengan berbagai upaya
seperti pertemuan-pertemuan, pemogokan, demonstrasi hingga tindakan kekerasan,
serta teroris dan pembunuhan. Sekitar
tahun tujuhpuluhan dapatlah dipandang sebagai tempo pembaharuan kekuasaan dan
kebanggaan Islam, appeal terhadap
Islam dan bentuk alternative Islam sendiri memperlihatkan pengertian yang
beragam.[20] Begitupun implementasi pilihan Islam pada
negera seperti Libya, Pakistan, dan Iran yang membangkitkan banyak permasalahan.
Dalam sekian banyak
ranah dunia Islam, pihak Muslim berada pada persimpangan jalan. Sekalipun sudah merupakan negara-negara
merdeka sejak beberapa dekade silam, akan tetapi legitimasi politik dari
kebanyakan pemerintahan Muslim masih jauh dari kesan baik. Pemerintahan yang dipimpin oleh para ulamapun
gagal memberikan kepuasaan politik dan ekonomi bagi masyarakatnya dalam menempuh jalan modernisasi yang
terpandang peka terhadap warisan Islam.
Mereka tetap dalam posisi yang tak tentu hingga stabilitas lebih banyak
didasarkan pada kekuasaan otoriter dan militer.
Jikalau pemerintahan pihak Muslim berjuang mencapai sinthesa baru yang
memberikan suatu kontinuitas antara tuntutan moderenisasi dengan tuntutan
tradisi Islam maka perdamaian dan keselarasan antara Islam dan modernisasi
dapat terwujud.[21] Selagi hasilnya memang
beragam antara satu negeri dengan negeri lain tergantung pada variabel dalam
bidang politik dan sosial dan ekonomi, maka proses situ sendiri tidak dapat
dielakkan sebab hal itu melibatkan identitas nasional beserta pemahaman dan
komitmen keagamaan.[22]
Secara keseluruhan,
dapat diambil beberapa simpulan dari tulisan tersebut. Pertama, Islam terbukti merupakan sebuah keimanan yang kedudukannya
sebagai agama mampu menjadi pengendali terhadap kekuasaan politik. Kedua, penulis telah objektif dalam
menilai dan menganalisa mengenai berbagai persoalan yang mendukung teori yang
disajikan dan hal ini dapat dilihat dari pemberian contoh dengan berbagai kasus
yang terjadi di abad ini sehingga mudah dipahami oleh reader. Walaupun, penulis belum mengemukakan apakah tujuan
penulisannya sudah tercapai atau belum, tetapi tulisan ini akan sangat berguna
bagi mahasiswa yang sedang menempuh kuliah pada studi ilmu politik, dan
khususnya kepada reviwer yang sedang menempuh mata kuliah pemikiran
politik Islam akan dapat menambah wawasan serta memberikan suatu wacana
baru terhadap berbagai pemikiran politik di dunia.
Daftar Pustaka
Bacaan Utama:
Esposito, John L. 1985. Islam and Politics. New York: Syracuse University Press.
Bacaan
Pendukung:
Esposito,
John L. 1988. Islam: The Straight. New York: Syracuse University Press.
Black,
Antony. 2001. The
History of Islamic Political Thought:
From the Prophet to the Present. Edinburgh University Press.
Budiardjo,
Miriam. 2010. Dasar-Dasar
Ilmu Politik. Jakarata: PT Gramedia Pustaka Utama.
Hague,
Rog et al., 1998. Comparative
Government and Politics. London:
Macmillan Press.
Heywood,
Andrew. 1997. Politics. London: Macmillan Press.
Huntington, Samuel P,
1996. The Clash of Civilizations and The Remaking of World Order.
Merkl, Peter H. 1967. Continuity and Change . New York: Harper and Row.
Mintaredja,
Syafaat, H. M, SH. 1971. Islam
dan Politik Islam dan Negara di Indonesia. Jakarta: UI Press.
Rais,
Dhiauddin. Dr. M.
2001. Teori Politik Islam.
Jakarta: Gema Insani Press.
Thaqiq,
Nanang. 2004. Politik
Islam. Jakarta: Prenada Media.
[1] John L. Esposito. 1985. Islam and Politics. New York: Syracuse University Press, hlm 42.
[2] Dr. V. Fitzgerald dalam Muhammaden Lah, ch I, p.1.
[3] Dr. Schacht dalam Encyclopedia Of Social Sciences, vol. VIII, p. 333.
[4] Prof. R.
Strothman dalam The Encylopedia Of
Islam, IV, p.350.
[5] Peter H. Merkl, Continuity and Change (New York:
Harper and Row, 1967), hlm. 13 “politics,
at its best is a noble quest for a good order and justice”
[6] Ibid., hlm. 13.
[7] Rod Hague et al., Comparative Government and Politics
(London: Macmillan Press, 1998) hlm. 3. “politics
is the activity by which groups reach binding collective decisions through
attempting to reconcile differences among their members.”
[8] Andrew Heywood, Politics (London: Macmillan Press,
1997) hlm. 4. “politics
is the activity which a people make, preserve and amend the general rules under
which they live and as such is inextricably linked to the phenomen of conflict
and cooperation.”
[9] John L. Esposito. 1985. Islam and
Politics. New York: Syracuse
University Press, hlm 42.
[10] Esposito, Ibid., hlm 42.
[11] Esposito, Ibid., hlm 55.
[12] John L. Esposito. 1988. Islam:
The Straight. New York: Syracuse
University Press.
[13] Samuel P Huntington . 1996. The Clash of Civilizations and The Remaking
of World Order.
[14]
John L. Esposito. 1985. Islam
and Politics. New York: Syracuse
University Press, hlm 78.
[15] John L. Esposito. 1985.
Islam and Politics. New York: Syracuse University Press, hlm 80.
[16] Esposito, Ibid., hlm. 130.
[17] Esposito, Ibid., hlm. 130.
[18] Esposito, Ibid., hlm. 131
[19] Esposito, Ibid., hlm. 210.
[20] John L. Esposito. 1985. Islam and Politics. New York: Syracuse University Press, hlm.
293.
[21] Esposito, Ibid., hlm. 334.
[22] Esposito, Ibid., hlm. 335.