oleh Alpiadi Prawiraningrat
Pertanyaan
mendasar yang mengawali tulisan ini adalah dimanakah Filipina? Sebuah
pertanyaan pemicu yang menitikberatkan bukan pada jawaban terhadap letak
geografis negara, akan tetapi identitas masyarakatnya, sebagai
konsekuensi percampuran berbagai negara melalui penjajahan, seperti Spanyol selama
kurang lebih tiga setengah abad. Selanjutnya memperoleh “pendidikan politik”
dalam kekuasaan Amerika Serikat, hingga pengaruh negara Jepang sebagai akibat
keikutsertaan dalam Perang Dunia ke-2 sampai akhirnya memperoleh kemerdekaan
pada tahun 1946. Berkaitan dengan hal tersebut, tulisan ini akan mencoba
menjelaskan mengenai masyarakat dan budaya politik Filipina sebagai sebuah
hasil cipta yang tidak dapat dilepaskan dari sejarah masa lalunya sebagai
negara yang mengalami penjajahan.
Membahas
mengenai identitas masyarakat Filipina, tidak dapat
dipisahkan dari keberagaman masyarakatnya, yang terdiri dari berbagai macam
jenis ras, etnis, agama dan suku yang didominasi oleh Melayu, Cina, Mestizo
serta pribumi yang tersebar secara tidak merata di antara 7.100 pulau, dengan
hanya 1.000 pulau berpenduduk dengan pulau Luzon sebagai tempat tinggal 45%
warga negara Filipina, karena lahan pulau tersebut yang sangat cocok digunakan
untuk bertani padi, yang berbeda dengan pulau-pulau lainnya berupa wilayah
pegunungan dan lembah sehingga menyulitkan pembangunan infrakstruktur dan pengembangan
komunitas masyarakat. Hal tersebut juga akhirnya melahirkan keberagaman
linguistik, dengan bahasa Tagalog sebagai bahasa nasional yang sebelumnya
merupakan bahasa daerah penduduk Pulau Luzon dan bahasa Inggris sebagai bahasa
kedua Filipina, karena 40 tahun dibawah pengaruh Amerika Serikat. Sedangkan
dalam konteks agama cenderung seragam dan mudah diidentifikasi, karena sekitar 85%
masyarakat Filipina beragama Katolik, sebagai pengaruh peran misionaris Spanyol
yang datang ke Filipina beberapa abad silam.
Di
sisi lain, terdapat dua jenis kehidupan yang terlihat dari pembagian warga kota
(urban dwellers) yang secara
eksklusif berdomisili di wilayah Ibukota Manila dan didominasi oleh kelas
menengah dengan kehidupan modern karena mayoritas dari institusi modern
universitas, kantor media, hingga pusat kegiatan politik berada di Manila dan kehidupan
desa di wilayah-wilayah pelosok Filipina yang didominasi oleh para petani dan
nelayan yang cenderung sederhana dan konservatif.
Keberagaman
identitas masyarakat Filipina tidak dapat dipisahkan dari sejarah yang
membentuknya. Sejarah merupakan salah satu aspek yang penting dalam pembentukan suatu
negara. Sejarah mempengaruhi bagaimana stabilitas, persatuan, dan keamanan negara
Filipina yang tidak terlepas dari kolonialisasi yang dilakukan Spanyol dan
Amerika Serikat serta penjajahan yang dilakukan oleh Jepang. Akan tetapi,
otoritariansime yang dilakukan oleh aktor politik Filipina, menjadikan persoalan
pencarian identitas menjadi terabaikan dan konstalasi polyik Filipina hanya
diwarnai oleh skandal korupsi, kolusi dan nepotisme.
Pada
tahun 1521 merupakan awal datangnya bangsa Spanyol di wilayah Filipina, dengan
penduduk asli wilayah Filipina yang diidentifikasikan sebagai komunitas Melayu
non-Islam yang tidak memiliki afiliasi dengan kerajaan-kerajaan Jawa dan
Sumatera, sehingga Spanyol tidak melihat bahwa Filipina sebagai suatu potensi
ancaman dari komunitas tersebut akibat jumlah mereka yang juga tidak terlalu
banyak.
Sektor
agrikultur sebagai karakteristik masyarakat di pedalam dan perdagangan sebagai
karakteristik masyarakat kota merupakan dua sektor yang berkembang pada saat
itu. Filipina telah berhasil memproduksi gula, abaca (pisang khas Filipina), dan tembakau untuk diperdagangkan di
pasar internasional dan membawa pengaruh besar terhadap struktur sosial negara dengan
memunculkan suatu kelas baru dalam masyarakat bernama caciques yang merupakan tuan tanah keturunan mestizo Cina yang berorientasi pada keuntungan komersial, berada
dan tersebar di kepulauan-kepulauan di Filipina dan berperan besar dalam
menciptakan desentralisasi dan pembagian struktur kekuasaan di Filipina sebagai
akibat absennya para aristokrat dan birokrat lokal, mereka berevolusi menjadi
kelas ekonomi elit yang independen dari kelas pengontrol yaitu Spanyol.
Namun
demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa Bangsa Spanyol mendominasi sektor
ekonomi domestik wilayah pelosok Filipina melalui sistem feodal. Para elit, biarawan dan pastur membeli tanah
luas kemudian mempekerjakan penduduk lokal untuk menggarap tanah tersebut
menjadi lahan pertanian. Sedangkan perekonomian wilayah perkotaan bergantung
pada perdagangan kapal perang khas Spanyol bernama Galleon yang dikonstruksikan oleh tenaga kerja lokal pula. Konsekuensi
dari hal tersebut adalah budaya yang diturunkan oleh para pastur dan biarawan lebih
bersifat sosial seperti menyebarkan nilai-nilai sosial yang bersumber dari
Alkitab, penyebaran nilai-nilai ini berhasil mengubah sejumlah besar masyarakat
Filipina menjadi penganut Katolik.
Sedangkan dalam konteks politik sendiri hanya berdasar pada institusi pemerintahan lokal di
berbagai wilayah Filipina, sehingga budaya politik serta tata cara birokrasi “model”
pemerintahan negara Spanyol tidak terlalu menurun pada masyarakat Filipina.
Di
sisi lain, revolusi pemberontakan penduduk lokal Filipina terhadap bangsa
Spanyol sendiri diawali pada tahun 1870 secara sembunyi-sembunyi dan kemudian
secara terbuka pada tahun 1896, namun sifat dari pemberontakan penduduk lokal
Filipina masih sangat terfragmentasi oleh perbedaan ideologi, kepentingan serta
persiteruan yang terjadi antara komunitas penduduk lokal. Akan tetapi dalam
implementasinya faktor penting keberhasilan dari revolusi pemberontakan
penduduk lokal Filipina terhadap bangsa Spanyol adalah terjadinya perang antara
Amerika Serikat dan Spanyol pada tahun 1898, yang kemudian dimenangkan oleh
Amerika Serikat yang kemudian secara resmi pada tahun yang sama mengambil alih
kolonialisasi Spanyol di wilayah Filipina.
Sebagai
salah satu upaya untuk mempertahankan status
quo dan menstabilkan kondisi sosial politik penduduk lokal Filipina,
Amerika Serikat akhirnya membentuk dewan legislatif pada tahun 1907 dengan
beberapa anggotanya berasal dari kaum elit Filipina. Namun demikian, kurangnya warga Amerika
Serikat di Filipina yang dapat dipekerjakan sebagai birokrat serta pejabat
pemerintah, pada tahun 1912 secara perlahan semakin mulai bertambah pos
pemerintahan yang diisi oleh elit Filipina yang sebelumnya pada masa pendudukan
Spanyol hanya berstatus sebagai tuan tanah dan tidak pernah menduduki posisi
yang memiliki legitimasi nasional. Hal tersebut mengakibatkan sebuah bentuk
“pendidikan politik” yang cukup unik, karena memberikan penekanan terhadap penggunaan
kemampuan terapan sebagai upaya mencapai keuntungan personal atau keluarga para
birokrattersebut dan bukan pada kemampuan terapan yang bersifat substantif. Konsekuensinya
birokrat yang tercipta bukanlah merupakan birokrat profesional seperti Administrative State, akan tetapi birokrasi
digunakan sebagai cara untuk memperoleh kekayaan dan kekuasaan terhadap
masyarakat, dan hal tersebut telah menjadi bagian dari budaya politik dan dinilai
masih mendominasi perpolitikan Filipina sampai sekarang ini yang selalu penuh
dengan janji dan visi misi yang terlalu idealistis, nepotisme dan korupsi.
Di
sisi lain, Perang Dunia II telah menjadi semacam paradoks bagi Filipina. Pada satu sisi, Filipina mengalami penjajahan
oleh Jepang. Di sisi lain, perang
tersebut juga membawa suatu hubungan dekat antara Filipina dan Amerika Serikat,
yang kemudian memperoleh kemerdekaannya pada tahun 1946. Akan tetapi hal
tersebut dinilai sebagai strategi Amerika Serikat untuk tetap terus mempertahankan
pengaruhnya yang didasarkan pada alasan bahwa Amerika Serikat gagal melakukan
rehabilitasi pasca perang dan sebagai upaya menciptakan kondisi perjanjian
ekonomi dan militer pasca perang yang berujung pada terciptanya suatu hubungan
neo-kolonialisme.
Konsekuensi
dari hubungan kerjasama antara Amerika Serikat dan Filipina tersebut adalah menimbulkan ketergantungan dan menyebabkan
ciri khas “kebudayaan” pasar di Filipina yang lebih memilih produk impor AS
ketimbang produk lokal, baik dalam pasar makanan, elektronik, industri
perfilman hingga kantor-kantor media. Konsekuensi lain akibat perang
adalah munculnya pandangan skeptis masyarakat Filipina terhadap para elit. Hal
ini akibat pandangan kontroversial dalam masyarakat yang mengatakan bahwa para
elit di Filipina berkolaborasi dengan Jepang selama masa penjajahan. Hal ini
menciptakan perpecahan dalam elit di Filipina dan ketidakpercayaan masyarakat.
Meskipun
nilai-nilai
Barat masuk ke Filipina, tetapi terdapat juga nilai-nilai tradisional yang
akhirnya menjadi budaya politik tradisonal di Filipina, di antaranya adalah
kekeluargaan yang diperkuat melalui kebiasaan, ditempelkan dalam ajaran Katolik,
dan diproklamirkan oleh Konstitusi 1987. Tali kekeluargaan di Filipina bahkan
bisa memasukkan orang di luar keluarga asli menjadi keluarga, yang biasa
digunakan untuk menciptakan suatu kondisi sosio-ekonomi yang setara atau
disebut dengan compadrazgo. Budaya
politik tradisional tersebut secara tidak langsung telah menciptakan pola
hubungan personalisme dan partikularisme. Masyarakat Filipina beranggapan bahwa
keputusan politikhanya ditentukan oleh sekelompok orang bersifat personalisme
dibandingkan sebagai hasil dari suatu sistem atau institusi. Akibatnya,
perdebatan mengenai ideologi dan institusi menjadi hal yang jarang di Filipina.
Selain itu, partikulturalisme dilakukan para pembuat kebijakan dengan menggunakan
kekuasaannya untuk menghasilkan keuntungan segelintir orang atau kelompoknya
dan menjatuhkan atau menyingkirkan kelompok lain yang berdampak pada peningkatkan
praktik nepotisme dan dinasti politik.
Budaya
politik Filipina juga diwarnai kesenjangan sosial yang cukup tinggi. Kelas
menengah atas di Filipina cenderung lebih aktif terlibat dalam kegiatan politik
akibat latar belakang pendidikan serta mudahnya akses ke dalam institusi
politik negara, sedangkan masyarakat Filipina yang tinggal di wilayah pedesaan
cenderung apolitis dan konservatif atau takut pada perubahan. Hal tersebut merupakan
suatu fenomena yang berbahaya karena para penduduk desa dapat dengan mudah
dikelabui oleh para politisi yang mayoritas merupakan kaum elit kota-kota besar
Filipina untuk dipengaruhi hak suara mereka dalam pemilihan umum.
Pemaparan di
atas, kembali mengingatkan pada berita politik yang cukup populer beberapa
waktu lalu, ketika Seorang pebisnis perempuan Filipina,
yang dituduh sebagai tokoh sentral dalam skandal korupsi, mengaku tidak
bersalah. Pengusaha bernama Janet Napoles itu dituding menggelapkan dana publik
sebesar $220 juta atau sekitar Rp2,4 triliun.[1]
Skandal
ini juga meretaskan protes masyarakat terhadap dewan legislatif dan presiden.
Anggota dewan di Filipina memang mendapat jatah anggaran negara, untuk
dimanfaatkan dalam proyek-proyek yang memajukan daerah pemilihannya. Masyarakat
setempat menyebut dana ini sebagai “gentong babi”. Pengungkap fakta, yang
terdiri dari keluarga dan mantan karyawan Napoles, menuduh pebisnis perempuan
itu sebagai tokoh sentral korupsi dan diduga terlibat dalam pembentukan
lembaga-lembaga fiktif yang menyedot dana bantuan itu. Kasus Napoles sudah
meluas hingga jejaring sosial. Para pengguna media sosial Filipina mulai
mengungkap kekecewaan berikut pandangan mereka.
Sebetulnya,
apabila lebih mendalam menelaah bahwa faktor kunci yang memberikan kontribusi
kelangsungan dinasti politik di Filipina adalah sistem partai politik yang
lemah. Partai politik besar seperti Partai Liberal yang berkuasa, Aliansi
Persatuan Nasionalis dan Partai Nacionalista hanya ada melalui aliansi yang
ditempa antara keluarga politik yang kuat. Para pemimpin partai dan kandidat
untuk jabatan publik yang direkrut tidak melalui proses kaku seleksi dalam
partai politik, tetapi melalui jaringan kekerabatan tradisional.Hal tersebut
akhirnya melahirkan pandangan skeptis terhadap pemerintah, hukum, dan keadilan
bahwa jabatan publik yang diperoleh tidak lain hanyalah untuk meningkatkan
kesejahteraan dan kekuasaan dari pemegang jabatan serta memberi keuntungan pada
anggota keluarganya. Sedangkan, masyarakat kalangan bawah tidak pernah
diperhatikan dan yang terjadi adalah skandal korupsi, kolusi dan nepotisme di
setiap level pemerintahan yang justru akhirnya semakin menambah pandangan
skeptis dalam masayrakat Filipina.
Masyarakat
Filipina juga terkenal dengan Pakikisama
yaitu penekanan terhadap keharmonisan hubungan inter-personal ketimbang harus
adanya kemunculan konflik demi pemecahan suatu permasalahan. Hal ini juga
memiliki dampak yang besar terhadap budaya politik di Filipina yang cenderung
mengutamakan image atau gambaran
seorang anggota pemerintahan dalam masyarakat serta hubungannya dengan para stakeholders ketimbang mengutamakan
substansi isu atau kepentingan rakyat yang seharusnya didahulukan.
Akan
tetapi, kasus Militer Filipina yang didukung artileri, menyerang gerilyawan Pejuang
Pembebasan Islam Bangsamoro (BIFF) di satu desa terpencil di pulau selatan
Mindanao,[2]
memicu pertempuran yang memaksa ratusan warga sipil melarikan diri menimbulkan
pertanyaan baru akan eksistensi Pakikisama. MILF telah memimpin pemberontakan di Filipina
selatan sejak 1970-an ditujukan untuk mencapai kemerdekaan atau otonomi untuk
minoritas Muslim negara itu di Mindanao,
yang mereka anggap sebagai tanah air leluhur mereka. Sekitar 150.000 orang
diperkirakan telah tewas dalam konflik. Setelah 18 tahun perundingan, MILF
Sabtu menyepakati bagian akhirdari perjanjian perdamaian yang akan memberikan warga
Muslim sebuah tingkat otonomi lebih besar di selatan, termasuk kendali atas
banyak sumber daya alam di wilayah itu. BIFF
memisahkan diri dari MILF secara bertahap setelah pemimpinnya, Ulama Ameril
Umbrakato yang dilatih di Arab Saudi, menuduh kelompok Muslim utama
mengkhianati keinginan wilayah itu untuk mencapai kemerdekaan.
Peritiwa
tersebut menunjukan, bahwa nampaknya Pakikisama
telah mulai luntur dalam kehidupan masyarakat Filipina. Berbagai skandal politik seperti korupsi,
kolusi dan nepotisme seperti yang telah dipaparkan di atas, ternyata tidak
hanya melahirkan pandangan skeptis di masyarakat. Akan tetapi, juga telah melunturkan nilai
tradisional masyarakat Filipina dalam menjaga keharmonisan dalam hubungan
masyarakat. Hal tersebut harusnya
menjadi refleksi bagi elit politik Filipina, yang harus segera menata dan
memperbaiki diri dihadapan masyarakat. Perbaikan tersebut, tidak hanya sebatas
pencitraan image semata, tetapi harus
menjadi substansi yang diimplemenasikan dalam aktivtas politik yang berpihak
pada kepentingan rakyat Filipina bukan hanya kepada segelintir elit atau
penguasa.
Berdasarkan
keseluruhan pemaparan di atas, apabila melihat latar belakang sejarahnya, sistem
otoriter telah terimplementasi di Filipina mulai dari zaman kolonialisasi
Spanyol hingga persemakmuran dan pendudukan Jepang pun demikian. Bahkan Benigno
Aquino yang menenatang pemerintahan Marcos mengatakan bahwa siapa pun yang
menjadi sukesesor Marcos, memerlukan kekuatan diktator untuk membangun ulang
kekuasaan.sehingga, tidaklah mengherankan apabila sering terjadi perdebatan
mengenai ketidaksesuaian di Filipina antara retorika demokrasi dan kesediaan
untuk mempraktikkan hal tersebut.
Masalah lain yang nampaknya menjadi persoalan di Filipina adalah nasionalisme
yang tidak tidak mencapai akhir bahagia, karena kaum nasionalis Filipina gagal
untuk mencapai suatu konsensus tentang apa itu kepentingan nasional dan bagaimana
cara mencapai hal tersebut.
Dalam
konteks lain, nampaknya dapat disimpulkan bahwa Filipina sebagai suatu entitas negara
masih belum dapat mandiri secara independen. Secara ekonomi dan militer masih
sangat bergantung pada Amerika Serikat, secara identitas kebudayaan sosial
memiliki perbedaan diantara negara-negara tetangganya, secara politik masih
menghadapi korupsi serta nepotisme dan fenomena dinasti keluarga pemilik modal
yang merupakan oligarki perekonomian dan politik domestik negara tersebut.
Namun
demikian, fenomena dinasti politik di Filipina tersebut menjadi refleksi bagi
Indonesia. Meskipun beberapa kasus di
Indoensia menunjukan sebuah dinasti politik seperti fenomena Dinati Politik
Ratu Atut di Provinsi Banten, temasuk dinasti politik Partai Demokrat akan
tetapi karena dinasti politik di Indonesia belum meluas seperti di Filipina,
masih ada banyak kesempatan bagi pihak berwenang Indonesia untuk membalikkan
kecenderungan kenaikan dinasti regional dalam rangka menghindari kekisruhan
politik seperti dialami oleh demokrasi Filipina. Lahirnya sebuah undang-undang
anti-dinasti dan peningkatan sistem partai politik tidak dapat dijadikan
satu-satunya langkah untuk proliferasi klan politik. Setiap stakeholders
termasuk masyarakat sendiri sebagai bagian dari aktor penting dalam politik
harus berpartisipasi aktif terhadap keberlangsungan sistem politik yang ada dengan
meneliti platform dan rekam jejak calon, bukan nama keluarga mereka. Sehingga diharapkan bahwa pengalam dinasti
politik yang telah menjadi benalu dan mengakar di Filipina tidak dialami oleh
negara Indonesia.
[1]Cris Larano. Sidang Skandal Politik Uang Filipina dalam
http://indo.wsj.com/posts/2013/11/08/sidang-skandal-politik-uang-filipina/
diakses pada Kamis, 23 April 2014; Pukul 16.07 WIB.
[2] Tanpa Nama. Militer Filipina Serang Pembelot Biff Garis Keras
dalam http://beritasore.com/2014/01/27/militer-filipina-serang-pembelot-biff-garis-keras/
diakses pada Rabu, 23 April 2014; Pukul 16.38 WIB.