Teori-teori
mengenai asal-usul terbentuknya suatu negara dapat dikategorisasikan menjadi
dua kategori utama, yaitu pertama,
teori-teori yang spekulatif dan kedua,
adalah teori-teori yang historis atau teori-teori yang revolusionistis.
Teori perjanjian
masyarakat atau teori kontrak sosial merupakan salah satu dari teori-teori
spkulatif.
Teori perjanjian masyarakat atau teori kontrak sosial menganggap perjanjian
sebagai dasar negara dan masyarakat.
Teori ini dipandang tertua dan terpenting. Setiap perenungan mengenai negara dan
masyarakat, mau tidak mau akan menghasilakn paham-paham yang mendasarkan adanya
negara dan masyarakat itu pada persetujuan anggota-anggotanya. Persetujuan tersebut dapat dinyatakan secara
tegas (expressed) atau dianggap telah diberikan secara
diam-diam (tacitly assumed).
Salah satu tokoh
yang paling berpengaruh mengenai konsep perjanjian masyarakat atau kontrak
sosial adalah Thomas Hobbes. Seorang tokoh penganjur absolutisme demi
kebaikan dan ketertiban dan pendukung ajaran desakralisasi kekuasaan atas dasar
agama.
Thomas Hobbes dilahirkan di Malmesbury
pada tanggal 3 April tahun 1588 dan meninggal pada tanggal 4 Desember tahun
1669 di Hardwick Hall, Debyshire, Inggris.
Karena lahir di Malmesbury, Hobbes juga disebut sebagai “Filsuf dari
Malmesbury”. Hobbes bukan seorang
negarawan atau politikus, ia seorang filsof yang mencurahkan perhatiannya pada
masalah-masalah falsafah politik.
Karya-karya politiknya dimuat antara lain dalam buku-buku: The Elements of Law, Natural and Political,
1640, De Cive, 1642 dan terutama
serta paling termasyhur ialah Leviathan
atau Commonwealth yang ditulis dalam
tahun 1651. Bukunya ini menunjukan dengan nyata bagaimana manusia dan pergaulan
dalam hidupnya sebagai suatu mekanisme, serta manusia sebagai subjek yang penuh
rasa takut dan hanya bertindak berdasar kepentingan diri.
Ketiga buku ditulis dengan motif-motif politik tertentu, umpamanya ”Leviathan” ditulis untuk membenarkan dan
memberi dasar hukum pada kekuasann raja Charles I yang bertakhta sebagai raja
Inggris selama periode 1625-1649.
Thomas Hobbes temasuk seorang penyokong
teori Divine Right yang dianut oleh
golongan Torries di Inggris. Unsur-unsur
teori ini,
ialah: 1) Kekuasaan raja besifat mutlak; 2) Raja
merupakan kepala keluarga yang besar; 3).
Kerajaan adalah kehendak Tuhan; 4) Hanya dalam monarkhi terdapat
kekebasan beragama; 5) Parlemen hanya sebagai penasehat. Unsur –unsur dari teori Divine Right ini akan jelas terlihat mempengaruhi pemikiran Hobbes
terutama dalam konsep Negara Leviathan
yang kelak diuangkapkannya.
Untuk menyelami falsafah politik Hobbes
patutlah diketahui keadaan- keadaan politik di Inggris semasa hidupnya. Karena Hobbes adalah anak dari zamanya dan
teorinya hanya dapat dimengerti jika ditinjau dengan latar belakang historis
dari zamannya tersebut.
Ketika Hobbes dilahirkan dalam tahun
1588, seluruh penduduk kepulauan Inggris terancam oleh bahaya, yaitu armada laut
yang tidak terkalahkan dari Spanyol yang berada di bawah pimpinan laksaman
Medina Sidonia. Ketakutan akan ancaman
armada laut Spanyol ini meresap pada setiap kalbu orang Inggris. Hobbes
kemudian mengalami sendiri perang saudara yang menimpa penduduk Inggris, yakni
pertikaian antara Long Parliment dan
Charles I (1642-1651) yang mengakibatkan terpenggalnya kepala Charles I. Dengan latar belakang yang menakutkan dan
mengerikan tersebut Hobbes lahir dan dibesarkan. Oleh karena itu falsafah politiknya
menampakkan adanya unsur-unsur ketakutan yang menurut Hobbes menjadi peranan
utama dari pada kemajuan manusia.
Beranjak kepada pemikirannya, Thomas
Hobbes membedakan Natural Law dengan Natural Right. Natural
Right ialah hak kekuasaan yang dimiliki setiap orang untuk berbuat apa saja
untuk mempertahankan hidupnya. Dan Natural Right yang mengakibatkan
timbulnya konflik atau perkelahian tersebut, disebabkan tidak ada aturan yang
membatasi.
Thomas Hobbes mempergunakan sebagai
titik pangkal dalam ajarannya bahwa manusia sejak dilahirkan telah membawa
hak-hak asasinya, seperti hak untuk hidup, kemerdekaan dan hak milik. Hak-hak ini termasuk dalam hukum alam (natuurrecht). Akan tetapi tidak ada jaminan bahwa seorang
dapat menikmatinya secara utuh karena orang lain juga menghendaki kesenangan
tersebut. Untuk mengatasi atau
mendapatkan jaminan Hobbes bekata bahwa pencapaian harus dilakukan dengan
mengikuti hukum-hukum alam tersebut. Pertama,
bahwa setiap orang harus berusaha menciptakan damai, bila ingin mendapat
kedamaian. Kedua, bahwa setiap orang atas kemauan bersama menyerahkan haknya
menjadi hak bersama dalam bentuk suatu kemerdekaan yang besar menghadapi semua
orang termasuk mereka yang menyerahkan haknya.
Kedua prinsip inilah yang menjadi landasan Teori Perjanjian masyarakat
atau kontrak sosial dari Hobbes.
Berkaitan
dengan proses tercapainya kontrak sosial. Hobbes mengikuti jalan pikiran teori
kontrak sosial pada umumnya tentang kehidupan manusia yang terpisah dalam dua
zaman itu, yakni masa selama belum ada negara (status naturalis atau state
of nature) dan kedaan bernegara.
Bagi Hobbes keadaan alamiah saat belum ada negara atau lebih sering
dikenal dengan istilah status naturalis
atau state of nature, sama sekali
bukan keadaan yang aman senatosa, adil dan makmur. Tetapi sebaliknya, keadaan alamiah merupakan
suatu keadaan sosial yang kacau, tanpa hukum yang dibuat oleh manusia secara
sukarela dan tanpa pemerintah, tanpa ikatan-ikatan sosial antara individu itu
masing-masing, sebagaimana keadaan
keadaan di hutan rimba raya di mana yang kuatlah yang berkuasa. Manusia seakan-akan merupakan bintang yang senantiasa
berada dalam keadaan bermusushan, terancam oleh sesamanya dan menjadi mangsa
dari manusia lebih kuat dari padanya.
Keadaan ini dilukiskan dalam istilah ”homo homini lupus”, manusia yang satu merupakan binatang buas bagi
manusia yang lain. Dalam keadaan ini,
manusia saling bermusuhan, beradu terus menerus dalam keadaan peperangan yang
satu melawan yang lain. Keadaan inilah
dikenal sebagai “bellum ominum contra
omnes” (perang antara semua melawan semua).
Bukan perang dalam arti peperangan terorganisis, tetapi perang dalam
arti keadaan bermusushan yang terus menerus antara individu dengan individu
lainnya.
Karena itu, dalam keadaan alamiah ”There is no place for industry, because the
fruit there of is uncertain and consequently no culture of the earth, no navigation,
nor use of the commodities that may imported by sea, no commodious building, no
instruments of moving, and removing such things as require much force, no
knowledge of the face of the earth, no account of time, no letters, no society
and which is worst of all, continual fear and danger of violent death. And the life of man, solitary, poor, nasty,
bruitsh and short.
Maka dari itu, keadaan alamiah tidak
dapat berlangsung terus. Manusia dengan
akalnya mengerti dan menyadari bahwa demi kelanjutan hidup mereka sendiri,
keadaan alamiah harus diakhiri dan hal ini dilakukan dengan mengadakan
perjanjian bersama dalam istilah Hobbes adalah covenant, di mana individu-individu yang tadinya hidup dalam
keadaan alamiah berjanji akan menyerahkan semua hak-hak yang dimilikinya kepada
seorang atau sebuah badan (semacam dewan rakyat) dan tidak akan mencabut lagi. Di sinilah letak kaitan antara teori hukum
alam dengan teori perjanjian. Inilah
yang dipahami Hobbes bahwa perjanjian sendiri hanya ada satu yakni pactum subjectionis atau perjanjian
pemerintahan dengan cara segenap individu yang berjanji menyerahkan semua hak-hak
kodrat mereka yang dimiliki ketika hidup dalam keadaan alamiah, kepada seorang
atau sekelompok orang yang ditunjuk untuk mengatur kehidupan mereka sebagaimana
dijelaskan di atas.
Adapun teknik perjanjian masyarakat yang
dikonstruir oleh Hobbes adalah sebagai berikut:
Setiap individu mengatakan kepada individu lainnya bahwa: “I
authorise and give up my right of Governing myself, to this Man, or to this
Assembely of men, on this condition, that thou give up theyy right to him and
Authorise all his Actions in like manner”. Dengan kata-kata seperti itu terbentuklah
negara yang dianggap dapat mengakhiri anarkhi yang menimpa individu dalam
keadaan alamiah. Dengan perjanjian
seperti itu terbentuklah “that great
Leviathan atau commonwealth or rather
to speak more reverently of that Mortal God, to which we owe under the Immortal
God, our peace and defence” pihak yang memperoleh kekuasaan akan mewakili
mereka yang telah berjanji tadi. Jadi
bagi Hobbes, isi perjanjian bersama ini mengandung dua segi: pertama, perjanjian antara sesama
sekutu, sehingga tercipta sebuah persekutuan dan kedua, perjanjian menyerahkan hak dan kekuasaan masing-masing
kepada seorang atau majelis secara mutlak. Dalam
perjanjian itu juga disepakati untuk saling menyerang dan hidup mematuhi
undang-undang. Hanya ada satu hak yang
tidak diserahkan kepada negara, hak untuk mempertahankan diri.
Peerlu ditegaskan bahwa perjanjian itu
terjadi antara individu dengan individu, bukan antara individu dengan
negara. Maka, menurut Hobbes yang
terikat sepenuhnya perjanjian adalah individu-individu itu sendiri. Negara sendiri itu bebas, tidak terikat oleh
perjanjian. Ia berada di atas
individu. Negara bebas melakukan apapun
yang dikehendakinya, terlepas apakah sesuai atau tidak dengan kehendak
individu. Negara versi Hobbes ini juga
tidak memiliki tanggung jawab apapun terhadap rakyat. Maka dari itu, Negara
harus diberikan pula kekuasaan, karena “Convenants
without the Sword, are but Words, and of no strength so secure a man at all”.
Negara harus berkuasa penuh sebagaimana
halnya dengan binatang buas “Leviathan”
yang dapat menaklukan segenap binatang buas lainnya. Negara harus diberikan kekuasaan mutlak
sehingga kekuasaan negara tidak dapat ditandingi dan disaingi oleh kekuasaan
apapun atau Non est potestas Super Terram
quae Comparatur ei. Sehingga rakyat tidak dapat menentang
pemegang kuasa, meskipun kekuasaan yang dipergunakan bersifat zalim, kecuali dalam
satu hal yaitu hak yang disebut: “hak selfpreservation”, yakni hak untuk memlindungi
diri sendiri. Apabila hak selfpreservation ini tidak dapat lagi
dilindungi oleh body politik yang
merupakan common power itu, maka
barulah rakyat mengambil tindakan. Dalam
hal ini, Schmid mengurai pikiran Hobbes ini sebagai berikut.
“Sang
daulat tak mungkin melanggar perjanjian, karena ia tidak mengikat perjanjian
itu, jadinya ia tidak melepaskan hak-haknya.
Karena itu ia tak mungkin bertindak tidak adil tehadap rakyatnya. Memang ia dapat bertindak tidak sepatutnya,
tetapi ia tak mungkin bertindak berlawanan dengan hukum. Jadi rakyatnyapun tak dapat menuduh bahwa ia
telah berbuat demikian atauu telah melanggar perjanjian, selebihnya rakyat juga
tak dapat menyatakan kehendak mereka untuk melakukan perlawanan. Kedaulatan ialah kekuasaan tanpa batas untuk
kepentingan-kepentingan tujuan negara.”
Penadapat Hobbes ini harus dipahami oleh
latar belakang keadaan Inggris pada waktu itu.
Perang saudara sedang berkecamuk.
Penduduk sangat menderita. Mengahadapi semua ini, wajarlah bila Hobbes
berpikiran bahwa tanpa ada kekuatan yang besar yang bisa memaksakan kehendaknya
pada masyarakat, keadaan kacau ini akan terus terjadi tanpa ada hentinya. Kekuasaan itu adalah negara, yang diwakili
oleh seoarng raja yang berkekuasaan mutlak.
Individu harus rela menyerahkan hak-haknya supaya kepentingannya,
keamanannya dan perdamaian jangka panjang dapat dijamin. Kalau tidak, tidak
akan ada kekuasaan politik yang bersifat efektif. Inilah negara dengan kekuasaan besar, yang
oleh dijelaskan di atas disebut Leviathan.
Berkaitan dengan konsep kekuasaan mutlak
dan bentuk negara, Hobbes sendiri tidak mengemukakan secara jelas
pereferensinya mengenai bentuk negara terbaik.
Bagi Hobbes, semua bentuk negara baik, asal kekuasaan negara itu tidak
terbagi-bagi. Namun, dia menjelaskan bahwa Monarkhi absolut dengan hanya
memiliki seorang penguasa adalah bentuk negara terbaik. Sebab, negara dengan seorang penguasa akan
bisa tetap konsisten dengan kebijakan-kebijakan yang ditetapkannya, sedangkan
bila negara dikuasai oleh sebuah dewan besar kemungkian kebijakan negara akan
mudah berubah. Seorang penguasa monarkhi
menurut Hobbes memiliki hak-hak istimewa. Di antaranya, hak menetapkan seorang
pengganti, jika dia berhalanag atau telah meninggal dunia. Pengganti tersebut bebas untuk dipilih dari
pihak manapun, bahkan dari pihak keluarga sekalipun. Yang terpenting adalah penguasa penggatinya
mampu melakukan kewajibannya sebagai penguasa ataukah tidak.
Dengan teori perjanjian seperti terlukis
di atas tidaklah mengeherankan bahwa Hobbes meletakan dasar-dasar falsafah dari
negara mutlak, teristimewa negara kerajaan absolut. Hobbes adalah seorang royalist yang
berpendirian bahwa hanya negara yang berbentuk negara kerajaan yang mutlaklah dapat
menjalankan pemerintahan dengan baik.
Beberapa sifat kodrat manusia dianggap
oleh Hobbes sebagai faktor-faktor yang menentukan nasib manusia. Manusia adalah makhluk yang hanya
mengutamakan dirinya sendiri (selfish),
egoistis dan tindakan-tindaknnya tidak dituntun oleh akal atau inteleknya, tetapi
oleh keinginan, hasrat dan nafsu.
Manusia membentuk negara dan masyarakat sipil karena ia sadar bahwa
hidup bernegaralah yang dapat menjamin kelanjutan hidup mereka secara damai dan
tentram. Jadi manusia bernegara demi
kelanjutan hidupnya sendiri (self-preservation).
Hobbes juga menyinggung perihal peran
agama dalam kehidupan sosial. Hobbes lebih jauh berpendapat bahwa agama turut
berperan sebagai sarana kontrol sosial yang juga mencakup tipu muslihat dan
angan-angan yang menyesatkan dalam rupa rangsangan terhadap rasa takut atau
takhayul. Agama bersumber dari rasa takut manusia, maka bisa berfungsi
memperbesar rasa takut itu untuk menciptakan ketertiban. Dengan fungsi ini,
agama harus orthodox, dan menurut Hobbes mengajarkan sebuah ajaran bi’dah adalah
sebuah kejahatan, sebab akan memunculkan anarki. Bersama Machiavelli, dia
setuju bahwa agama dapat dipakai sebagai instrumen politik.
Namun demikian berkaitan dengan teori
perjanjian masayarakat atau kontrak sosial tersebut tidak terlepas dari
tinjauan keberatan-keberatan dan kebaikan-kebaikan teori itu sendiri sebagai
formula politik. Dalam abad ke 19 teori
ini sudah sama sekali ditinggalkan, tanpa penganut-penganut baru. Gilchirst menulis bahwa teori perjanjian
masyarakat ditinggalkan karena beberapa hal,
yakni: 1) timbulnya ajaran dan metode historis dalam
politik yang merubah sikap mental dunia kesarjanaan dari sikap spekulatif ke
sikap yang positif. Montesquieu di
Prancis dan Burke di Inggris adalah pelopor-pelopor aliran historis ini. 2)
timbulnya teori evulosionistis dari Drawin yang mengaggap pertumbuhan
evolusioner sebgai hukum dari semua makhluk hidup dan lembaga-lembaga politik. 3)
Adanya unsur-unsur yang sehat mengenai kedaulatan politik beserta
diakuinya pemisahan antara negara dengan pemerintah, 4)
keburukan-keburukan teori ini sendiri yang menyebbakan kematiannya.
Kelemahan pertama ialah sifat tidak
historisnya keadaan alamiah itu. Tidak
pernah dapat dibuktikan adanya suatu zaman alamiah dalam sejara umat
manusia. Tidak pernah umat manusia
mengenal suatu zaman tanpa ikatan-ikatan sosial apapun, tanpa organisasi dan
pimpinan. Hukum kodrat yang dianggap
mengatur keadaan alamih itu pun tidak pernah dapat dibuktikan. Hal ini mengingatkan kita pada apa yang
dikatakn Prof. Van Apeldoorn megenai hukum kodrat, yaitu bahwa hukum kodrat itu
suatu kepercayaan yang dapat dianut, tapi tidak dapat dibuktikan.
Manusia senantiasa merupakan makhluk
sosial, zoon politikon, makhluk yang
bernegara, tidak pernah manusia hidup diluar sesuatu jenis kekuasaan
apapaun. Sebagaimana dikatakan oleh
Prof. Mac Iver: “Goverment is a phenomenon that emerges within the socisl life, inherent
in the nature of sosial order man’s social nature is a complex system of
responses and of need. In the relation
of man to man everywhere there is the seed of government”.
Penyelididkan enthologis tentang
kebudayaan-kebudayaan lama juga membuktikan, bahwa manusia selalu hidup dalam
ikatan-ikatan antara sesamanya. Hal ini
berarti bahwa manusia tidak pernah hidup di luar perkelompokan. Hukum-hukum yang mengatur kehidupan manusia
terutama ditujukan kepada persekutuan dan tidak kepada individu, hukum-hukum lama
lebih bersifat kommunal dari pada individual.
Sebagaimana dikatakan Prof. Maine, hukum-hukum lama “are binding not on individuals but on
families. The movement of progressive societies has been one of status to one
of contract”.
Kecaman lainnya yang lazim dilontarkan
terhadap teori –teori kontrak sosial itu ialah berhubungan dengan sifat
mengikatnya perjanjian tersebut bagi generasi kemudian. Jika dikatakan bahwa negara dibentuk dengan
persetujuan tertentu, maka logislah bahwa generasi yang menutup perjanjian itu
seharusnya menaati ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam perjanjian itu. Pacta
Suni servanda. Akan tetapi bagaimana dengan generasi-generasi
kemudian? tidaklah logis, jika mereka juga harus mentaati apa yang telah
diadakan oleh nenek moyang mereka, tanpa persetujuan mereka sendiri.
Tetapi, di samping kelemahan-kelemahan
tersebut di atas, teori perjanjian masyarakat atau kontrak sosial juga ada kebaikan
atau kelebihannya. Jika tidak demikian,
maka mustahilah teori ini dapat bertahan berabad-abad lamanya. Kebaikan pertama doktrin ini ialah bahwa
negara dijadikan produk manusia sendiri dan bukan karunia makhluk-makhluk
supranatural atau dewa-dewa yang suci.
Dengan perjanjian masyarakat, negara dikembalikan ke bumi, kepada
manusia. Doktrin ini dengan tepat
melihat dasar kekuasaan negara pada persetujuan rakyat. Rakyatnya yang menjadi potensi dan sumber
kekuasaan, rakyat pulalah yang berdaulat.
Nilai dan teori perjanjian selanjutnya terletak pada aspeknya sebagai
rasonalisasi dari hubungan pemerintah dan yang diperintah. Sebagaimana diungkapkan oleh Bertram Morris
dalam karangannya yang merupakan sumbanagn kepada Prof. George Holland
Sabine. “it (teori perjanjian masyarakat) is a principle which a state must embody it is to be justified morally,
and justification is, in essence, the consent of the goverment in the affairs
of state”
Gilchrist, R. N. Principles of political science. (New York: Long Mans Green and Co, 1921), hlm. 65-66.