oleh Alpiadi Prawiraningrat
Tulisan
ini berdasarkan pengamatan terhadap fenomena yang dialami saya pribadi di kota
kelahiran Purwakarta, yang terjadi setiap liburan semester perkuliahan
tiba. Ya, liburan semester bagi mahasiswa
daerah seperti saya, kerap kali dimanfaatkan sebagai kesempatan untuk pulang ke
kampung halaman yang diisi dengan kegiatan bertemu dengan keluarga ataupun teman-teman
dengan kegiatan ngumpul bareng atau bahasa anak jaman sekarang kongkow ataupun liburan, karena sudah
tidak berjumpa selama berbulan-bulan lamanya.
Akan
tetapi, disamping aktivitas menyenangkan tersebut kerap kali ajang silaturahmi yang dilakukan bersama
teman-teman terganggu dengan arogansi individu terhadap sesuatu hal yang
dibanggakannya, yang kerap kali muncul ditengah obrolan menyenangkan. Beberapa diantara
teman-teman mahasiwa mungkin pernah mendengar atau mengalami bagaimana sahabat
kita mulai menceritakan kesibukannya di kampus, seperti:
“Iya nih gue emang jarang pulang, maklumlah gue lagi sibuk banget di
kampus. Secara gitu gue kan lagi ikutan kepanitiaan A, B dan C, belum lagi
acara himpunan yang gak bisa banget gue tingalin, kalau lo sendiri gimana?.”
Banyaknya tugas dan kerennya universitas atau institut
tempat dirinya kuliah karena masuk peringkat perguruan tinggi terfavorit di
Indonesia bahkan dunia:
“Iya sama banget, gue juga banyak banget tugas ampe begadang terus gue
ngerjain tugas, belum lagi laporan terus
persentasi mata kuliah X, Y dan Z, harus praktek ke laboratorium lah, tapi
maklumlah kampus gue kan masuk kategori universitas terfavorit TOP 10 di
Indonesia cuy, jadi pastilah banyak tugas, ga kaya Universitas Y yang
mahasiwanya santai-santai aja tuh.”
Membandingkan
kota tempat dirinya kuliah dan kota kelahiranya hingga menceritakan aktivitas
ke-gaul-an bersama teman-teman di universitasnya:
“Habis males gue balik ke sini, kaga ada apa-apa. Mendingan di tempat
gue kuliah, kalau mau kongkow bareng temen, tinggal ke Mall B deket, mau ke
tempat nongkrong L bisa banget, belum lagi tempat gue di sana dingin, sejuk
enak banget. Nah disini panas banget, males banget gue.”
Atau
dengan sangat emosi mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah dan mulai
mengajak berdebat, bahkan yang diungkapkan dengan berbagai kalimat, seperti di
bawah ini:
“Baru aja gue ninggalin beberapa bulan doang
kok jadi sering macet sih nih kota, pemerintah tuh gimana sih, katanya kota istimewa,
istimewa macetnya sih iya. katanya mengistimewakan rakyatnya, tapi masa macet
aja gak diperhatiin, pengusaha kecil industri keramik di kecamatan P aja dicuekin,
ga ada perhatianya, ga peduli sama rakyat malah ngehias-hias kota lagi ga ada
kerjaan banget sih.”
Sangat
disayangkan, tindakan ataupun ucapan tersebut yang muncul atas arogansi
individu, terkadang terlihat sebagai keinginan untuk menunjukan eksistensi dirinya
sebagai individu yang sangat aktif di kampusnya ataupun individu yang kritis,
ditambah statusnya sebagai mahasiswa menjadi semacam legalitas untuk berbicara
dan mengkritisi seenaknya.
Memang,
tindakan atau ucapan di atas tidak sepenuhnya salah, di sisi lain hal tersebut
masih menunjukan rasa peduli terhadap berbagai fenomena disekitarnya. Akan tetapi nampaknya jauh lebih bijaksana
apalagi sebagai seorang mahasiswa yang diyakini sebagai salah satu aktor yang
berperan terhadap perubahan bangsa, ungkapan kebanggaan atas aktivitas,
kesibukan, kecintaan terhadap universitas kritikan yang dikemukakan dibarengi
dengan solusi-solusi praktis atas dasar analitis dengan data-data yang empris disertai
dengan aksi nyata terhadap pembangunan daerahnya. Sehingga, mahasiswa
Purwakarta tidak hanya dinilai sebagai individu yang tong kosong nyaring bunyinya tapi juga mampu memberikan solusi dan
kontribusi nyata untuk pembangunan Purwakarta. Misalkan bersama-sama mahasiswa asal
Purwakarta dari berbagai universitas bekerjasama mengadakan festival perguruan
tinggi untuk memberikan informasi dan motivasi seputar cara masuk perguruan
tinggi kepada adik-adik siswa/i SMA di Purwakarata ataupun bersama teman-teman
dari universitas yang sama melakukan bakti sosial bahkan penelitian
pengembangan potensi daerah yang hasilnya dapat publikasikan kepada pemerintah
daerah ataupun masyarakat sebagai bahan acuan perumusan kebijakan pemerintah
selanjutnya. Karena kalau hanya mengkritik dan berkoar-koar tanpa memberikan
solusi dan aksi nyata, (maaf) kasarnya tukang
becak dan preman pasar yang tidak sekolahpun dapat dengan mudah melakukanya.
Nah,
kita sebagai generasi muda dengan label mahasiswa, seharusnya mulai mengurangi
dan berhenti mengisi obrolan dalam aktivitas liburan pulang kampung dengan
tindakan dan ucapan arogan yang hanya ingin menunjukan kehebatan pribadi dan
merendahkan orang lain, apalagi mengkritisi dengan tanpa solusi dan
implementasi. Karena orang-orang disekitar kita tidak butuh mahasiswa yang
membanggakan dirinya, kesibukanya, universitasnya bahkan kritikan-kritikan
tanpa solusi yang mampu diberikanya tapi tindakan nyata yang memberikan dampak
positif untuk daerahnya. Karena masyarakat kota kita Purwakarta tidak peduli
warna jaket alamamter-mu tapi solusi dan kontribusi nyatamu sebagai generasi
muda bernama mahasiswa. Oleh karena itu, jadilah mahasiswa asal Purwakarta yang
tidak hanya pandai mengkritisi tapi juga dapat memberikan solusi dan kontribusi.
Cag!
SEMANGAT
PURWAKARTA, SEMANGAT INDONESIA..!!!!