oleh Alpiadi Prawiraningrat
Thomas R. Dye mengungkapkan bahwa kebijakan merupakan ”Whatever goverment chooses to do or not to
do.” Hal ini tidak berbeda jauh dengan pendapat yang diungkapkan G. C.
Rdwards III yang mengatakan bahwa kebijakan adalah ”what goverment say and do or don’t do.” Lebih jelas R.S Farker mengungkapkan bahwa
kebijakan adalah ” A particular objective
or set of principles, or course of action which goverment adopts at a given
period in relation to some subject or in response to some crisis.” Sehingga
dapat didefiniskan bahwa kebijakan sebagai tindakan atau keputusan pemerintah
mengenai hal-hal tertentu atau langkah yang diambil untuk
mengimplementasikannya dan penejlasan pemerintah mengenai apa yang
terjadi.
Menurut Plato, kebijakan pendidikan selalu beriringan
dengan kebijakan politik penguasa. Statmen ini menjadi sangat penting karena
sangat strategisnya fungsi politik dalam menentukan arah kebijakan pendidikan
di suatu negara atau daerah. Melalui tulisan ini, kelompok kami mencoba
memotret semaksimal mungkin kesinambungan program pendidikan yang dicanangkan
oleh Bupati Purwakarta Bapak H. Dedi Mulyadi S.H. sebagai upaya menciptakan
generasi kabupaten Purwakarta yang berkarakter.
Salah satu amanat yang menjadi substansi dalam UU Sistem pendidikan Nasional
yaitu, pemantapan iman dan takwa dalam pendidikan, desentralisasi pendidikan,
meleburnya dikotomi sekolah negeri dan swasta, partisipasi masyarakat, serta
keharusan anggaran pendidikan daerah sebanyak 20 persen yang berbasis
peningkatan mutu pendidikan itu sendiri. Sangat elegannya landasan
normatif di atas memberikan kesempatan
kepada pemerintah daerah untuk sehebat mungkin mendesain program pendidikan
bagi masyarakatnya. Namun sangat disayangkan, seringkali ada produksi kebijakan
yang tidak konsisten dan selaras untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
Problema mendasar dari pendidikan ujung-ujungnya adalah
”lemahnya akhlak karimah dan live skill
anak-anak bangsa”. Pendidikan merupakan tanggungjawab keluarga, sekolah,
masyarakat dan negara. Lemahnya produk tersebut merupakan simbolisasi dari
lemahnya empat komponen dasar pendidikan yaitu, pendidikan keluarga, kebijakan
negara, pendidikan masyarakat dan pendidikan di sekolah. Ketika kita
menyadari bahwa ambruknya dua kualitas tersebut, maka empat komponen tersebut
harus bertanggungjawab terhadapnya buruknya SDM anak-anak bangsa.
Di sisi lain para pelajar kita dihantam oleh ”badai
tsunami sosial” seperti, budaya hedonisme, pragmatisme, liberalisme, dan
konsumenisme.
Sehingga semakin lengkaplah ”komplikasi penyakit dunia pendidikan kita ”. Belum
lagi dibanjiri kebijakan oleh ” sang mesin pembunuh sisitematik ” pendidikan
yaitu, ujian nasional.
Belum lagi, tidak selarasnya antara kebutuhan skill dan karakter dunia kerja dengan
dunia pendidikan, maka semakin lengkaplah penderitaan nasib anak-anak bangsa.
Kondisi orang tua siswa terus digerogoti oleh kondisi ekonomi yang semakin
terpuruk, sehingga daya beli dan pendapatan masyarakat semakin melemah. Kondisi
sosial masyarakat yang semakin kurang menopang learning society ,
misalnya kemiskinan, pengangguran, konflik sosial, kriminalitas, narkoba,
tawuran dan free seks. Menjadi faktor
utama penopang bagi akselerasi keterpurukaan kualitas siswa-siswi kita. Maka
harus ada upaya revolusioner untuk mengembalikan pendidikan ke rel yang
sebenarnya.
Berkaitan
dengan persoalan di atas, baru-baru ini bupati Purwakarta bapak H. Dedi Mulyadi
S. H. mengeluarkan kebijakan yang berkaitan sebagai upaya menciptakan generasi
Purwakarta yang berkarakter. Rumusan
mengembangkan pendidikan karakter sendiri menurut bapak Dedi adalah dengan
mengedepankan nilai-nilai tradisi lokal dan modern secara beriringan.
Kebijakan
tersebut adalah penggunaan kebaya dan
pangsi atau kampret
(pakaian hitam-hitam khas masyarakat adat sunda) bagi siswa sekolah dasar setiap
hari rabu serta penggunaan eggrang ke Sekolah. Sebelumnya program itu sukses direalisasikan
di kalangan pegawai Pemkab Purwakarta. Maka
dari itu, setiap Rabu pelajar sekolah dasar laki-laki dianjurkan menggunakan
kampret (pangsi), sementara pelajar perempuan menggunakan baju kebaya.
Kebijakan
tersebut menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Ada yang setuju bahwa kebijakan tersebut direalisasikan
di sekolah. Namun, tidak sedikit pula
yang tidak setuju karena dinilai kebijakan tersebut kurang memiliki esensi dan
hanya menambah beban orang tua serta pihak sekolah.
Untuk lebih
memahami kebijakan di atas, kelompok kami melakukan observasi langsung ke
lapangan dengan mewawancari beberapa pihak terkait. Pihak yang pertama kami wawancara adalah bapak
Andre Chaerul selaku Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga kabupaten Purwakarta.
Menurut penjelasannya bahwa kebijakan
penggunaan kebaya dan pangsi bagi siswa Sekolah Dasar setiap hari Rabu di
kabupaten Purwakarta hanya bersifat imbauan. Dengan kata lain,
Pemerintah kabupaten tidak memaksakan wajib menggunakan kebaya atau pangsi. Bagi mereka yang mampu dan sudah punya diimbau untuk dipakai setiap hari
Rabu. Karena, hari Rabu untuk kabupaten Purwakarta
akan ditetapkan menjadi hari tradisi kedaerahan.
Masih menurut Pak Andre, digulirkannya
kebijakan hari tradisi ini, bukan hanya cara berpakaian saja. Bahasa dan
perilaku anak pun harus mencerminkan tradisi daerah (sunda). Hal ini di
dasarkan karena selama ini sudah banyak warga Purwakarta yang meninggalkan
tradisinya. Contohnya adalah bahasa Sunda. Sangat banyak anak-anak saat ini yang
tidak bisa dan mengerti Bahasa Sunda. Padahal, kedua orang tua mereka asli
Sunda.
Melalalui kebijakan ini sangat diharapkan
dengan adanya hari tradisi, pemerintah berupaya mengajak kembali masyarakat
untuk mencintai budaya dan tradisinya. Jangan
sampai, budaya dari luar justru diadopsi dan diterapkan di kehidupan
sehari-hari. Akan tetapi, budaya tradisi lokal justru ditinggalkan dan generasi
muda enggan untuk melestarikannya.
Sedangkan bapak
Dedi Mulyadi selaku bupati kabupaten Purwakarta, dikutip dari sebuah harian
surat kabar menyatakan bahwa kebijakan ini bersifat
imbauan. Pihaknya juga sudah menegaskan lagi ke semua kepala sekolah untuk
tidak mewajibkan anak-anak menggunakan kebaya dan pangsi. Terutama, anak-anak
dari keluarga tidak mampu.
Berkaitan dengan kebijakan penggunaan Egrang
dari rumah menuju sekolah. Menurutnya merupakan
upaya melestarikan kebudayaan tradisional.
Egrang sendiri memiliki filosofi tersendiri. Dengan bermain Egrang, berarti orang yang
bersangkutan sudah mampu menjaga keseimbangan tubuhnya. Beliau menambahkan bahwa kedepan, Egrang
tidak hanya menjadi permainan yang dimainkan setahun sekali. Melainkan
dibiasakan digunakan dalam kehidupan sehari-hari agar permainan ini tidak
mengalami kepunahan.
Menanggapi hal itu, Kepala SD Negeri
Cilandak, Purwakarta, Hj. Yeti Supriyati S.Pd, mengaku tidak keberatan dengan
kebijakan baru tersebut. Apalagi sifatnya tidak memaksa. Namun demikian, dibutuhkan sosialisasi yang
masif agar tidak terjadi salah persepsi di kalangan orang tua siswa. Menurutnya, penggunaan baju kampret bukan
saja mengandung nilai pelestarian budaya, juga lebih kaya makna filosofi dan
sosialnya.
Namun demikian, sejumlah orang tua murid kurang
setuju terhadap kebijakan tersebut. Salah
satunya adalah Susi Susilawati, yang menilai bahwa kebijakan tersebut sangatlah
tidak efektif dan efisien karena hanya menambah beban orang tua. Selain itu, siswapun terlihat tidak nyaman
menggunakan pakaian tersebut karena kegerahan.
Akibatnya, proses belajarpun tidak efektif dan konsentrasi anak dalam
belajar terganggu.
Ketidaksetujuan pihak orang tua murid mungkin
di dasarkan kurangnya sosialisasi dari pihak pemerintah. Oleh Karena itu,
penting bagi pemerintah kabupaten Purwakarta untuk melakukan sosialisasi yang
masif mengenai esensi dari kebijakan tersebut sehingga orang tua murid
mengetahui dan memahami maksud dan tujuan di adakan serta direalisasikanya
kebijakan penggunaan kebaya dan pangsi bagi
siswa Sekolah Dasar serta menggunakan egrang dari rumah menuju sekolah setiap
hari Rabu di kabupaten Purwakarta.
Menaggapi hal tersebut, Ketua Komisi IV DPRD
Purwakarta, Hj Dian Kencana, mengakui adanya keluhan dari sejumlah orang tua
terkait kebijakan tersebut. Namun,
mayoritas keluhan para orang tua muncul disebabkan banyak dari mereka yang
belum paham maksud, dan dasar dikeluarkannya kebijakaan penggunaan pangsi dan
kebaya itu. Padahal sejatinya, penggunaan seragam itu tak lain merupakan bagian
dari kampanye budaya.
Tahun 2013, lanjut Dian, Pemerintah kabupaten
Purwakarta berencana akan mengucurkan dana bantuan kepada orang tua, khusus untuk
pengadaan baju kampret dan kebaya. Dengan begitu, kendala finansial yang selama
ini sering menjadi alasan diharapkan dapat segera teratasi. Alhasil, penggunaan
baju kampret-kebaya yang merupakan bagian dari pendidikan berkarakter dapat
segera terwujud dan terealisasi di Purwakarta.
Secara terpisah Kiko Davario, siswa salah satu
sekolah dasar di kabupaten Purwakrta menyebutkan bahwa dirinya senang dengan
adanya kebijakan tersebut karena menurutnya unik dan senang melihat
teman-temanya berpaiakan yang belum pernah dia gunakan sebelumnya. Namun di sisi lain dirinya kurang betah
menggunakan pakaian kampret atau pangsi karena kegerahan sehingga kurang
nyaman jika sedang belajar di kelas.
Berkaitan dengan egrang, dia mengatakan tidak pernah menggunakanya karena
rumahnya cukup jauh dari sekolah sehingga dia biasanya menggunakan angkot. Sedangkan untuk teman-temanya yang rumahnya
dekat mereka sering menuruti anjuran untuk menggunakan Egrang tersebut.
Menanggapi berbagai pendapat di atas, kelompok kami menyimpulkan bahwa kebijakan
menggunakan kebaya dan pangsi atau kampret serta penggunaan egrang ke
sekolah bagi siswa Sekolah Dasar di
kabupaten Purwakarta, dari segi tujuaan sebagai upaya melestarikan kebudayaan sunda sehingga
generasi muda dapat menlestarikan budaya tradisional sehingga tidak hilang oleh
perkembanganjaman sangatlah baik. Namun,
pemerintah juga perlu memperhatikan dampak-dampak negatif yang dapat
ditimbulkan. Seperti ketidak nyamanan siswa
menggunakan pakain tersebut sehingga berdampak tidak konsentrasinya siswa dalam
proses belajar mengajar, serta ketidakmampuan orang tua yang memiliki ekonomi
rendah untuk membeli pakaian adat tersebut dan menambah beban mereka.
Selain itu, perlu juga dipahami bahwa sebuah kebijakan
harus didukung oleh infra sturktur sekolah yang harus menunjang bagi kebijakan
tersebut. Sehingga kebijakan yang dibuat tidak sekedar momentum semata
tetapi memiliki esensi dan mampu dipahami oleh setiap lapisan masyarakat
terutama siswa dan orang tua murid.
Hal-hal yang dapat dilakukan untuk meminimalisir munculnya
pendapat negtaif terhadap kebijakan di atas, di antaranya: Pertama,
pemerintah kabupaten Purwakarta harus mempunyai komitmen moral dan politik kuat
dan tinggi serta yang sama dengan legislatif bahwa kebijakan yang di ambil
merupakan untuk kepentingan masyarakat bukan kepentingan politis semata. Kedua, melakukan komunikasi yang
intensif dengan seluruh stakeholders
pendidikan di semua jenjang pendidikan, untuk menjaring dan mendeteksi masalah serta
masukan, kritik, dan saran yang diharapkan dalam kebijakan di dunia pendidikan kabupaten
Purwakarta. Ketiga, pelaksanaan kebijakan tersebut juga harus diiringi dengan
perencanaan strategis. Perlu diingat
pula bahwa masih banyak pekerjaan rumah dalam menata pendidikan di kabupaten Purwakarta,
seperti meningkatkan kualitas guru, meningkatkan pemerataan akses pendidikan
pada daerah-daerah terpencil, meningkatkan pengendalian mutu/kualitas
pendidikan, serta masalah yang sifatnya kriminalitas dikalangan pelajar
Purwakrata sepeti tawuran antar pelajar dan prilaku free seks. Keempat,
kontrol masif terhadap implementasi program secara efektif supaya
tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan kebijakan yang dilakukan dan
penenempatan orang birokrasi pendidikan berbasis ahklak dan managerial.
Pembersihan dinas pendidikan dari oknum-oknum birokrat yang menggerogoti
anggaran pendidikan.
Jika keempat point di atas dapat dilaksanakan secara konsisten. Kami meyakini bahwa kebijakan yang diambil
oleh pemerintah, khususnya pemerintah kabupaten Purwakarta dapat terealisasi
secara efektif dan efisien. Serta
harapan menciptakan generasi Purwakarta yang berkarakter sebagai upaya
meningkatkan mutu sumber daya generasi muda bangsa Indonesia dapat tercapai.
Referensi