Jumat, 27 Desember 2013

“KOALISI PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH KABUPATEN PURWAKARTA TAHUN 2012” “Studi kasus Koalisi Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), dan Partai Demokrasi Pembaharuan (PDP) dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Purwakarta tahun 2012”




I.     1  Latar Belakang
Kecenderungan umum dalam Pemilukada langsung adalah terbentuknya koalisi partai-partai politik untuk mengusung kandidat. Landasan koalisi salah satunya dapat berupa faktor teknis, karena kurang memenuhi syarat untuk dapat mengajukan kandidat sendiri. UU No. 32 Tahun 2004 mensyaratkan bahwa parpol yang hendak mengajukan calon memiliki minimal 15% suara atau kursi sebagaimana dikemukakan pada penjelasan sebelumnya. Syarat ini membuat banyak partai melakukan koalisi. Koalisi juga dibangun berdasarkan landasan untuk memenangkan kandidat yang diusung. Melakukan koalisi dengan banyak partai, diharapkan sumber dukungan terhadap calon akan besar.
Pelaksanaan Pemilukada Purwakarta tahun 2012 diikuti oleh 3 (tiga) pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati, yaitu Dedi Mulyadi dan Dadan Koswara dengan nama koalisi “Sahate”; Dudung B. Supardi dan Yogie Mochammad dengan nama koalisi “Dugi dan pasangan Burhan Fuad dan Onie S. Sandi dengan nama koalisi “Bomber”. Dari tiga pasang calon bupati tersebut, terdapat fenomena menarik yang sangat jarang terjadi dalam Pemilukada Purwakarta, yaitu pada pasangan nomor urut 2 yaitu Dedi Mulyadi dan Dadan Koswara. Dikatakan menarik karena calon tersebut maju dengan diusung oleh koalisi besar yang terdiri dari Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), dan Partai Demokrasi Pembaharuan (PDP).  Koalisi ini dapat dikatakan sebagai koalisi penuh warna, karena partai politik Islam berkoalisi dengan partai nasionalis. Selain itu, partai politik yang di tingkat nasional bersebarangan, di tingkat lokal justru beroposisi, seperti halnya Partai Golkar dan PDIP.
Selanjutnya ada beberapa fenomena lain yang membuat penulis tertarik melakukan penelitian ini, yaitu bahwa Kabupaten Purwakarta telah mengukirkan nama sebagai kabupaten dengan perumbuhan ekonomi dan pembangunan yang sangat pesat di provinsi Jawa Barat.  Peningkatan infrastruktur dengan berbasiskan kepada kearifan lokal yang dimiliki oleh setiap daerah di Purwakarta menjadikanya membutuhkan seorang figur kepala daerah yang sesuai dengan yang di harapkan dan dapat memberikan perubahan yang lebih baik untuk masyarakat daerah di Kabupaten Purwakarta.
Jika melihat jumlah kursi yang merepresentasikan perolehan suara Partai Golkar di DPRD Purwakarta, kekuatan politik Partai Golkar tidak bisa dipandang sebelah mata. Hal ini dikarenakan Partai Golkar memperoleh suara yang cukup besar dan sangat memungkinkan untuk mencalonkan sendiri kadernya menjadi calon Bupati dan Wakil Bupati, yaitu 11 (sebelas) kursi di DPRD Purwakarta atau sekitar 24,45 %. Akan tetapi dengan berbagai pertimbangan justru Partai Golkar yang mengusung Dedi Mulyadi yang merupakan partai pemerintah lebih memilih berkoalisi dengan PDIP untuk mengusung kadernya sebagai calon wakil bupati

I.     2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalah yang dipaparkan tersebut, maka yang menjadi masalah pokok dalam penelitian ini adalah:
Bagaimana proses koalisi partai yang terjalin antara Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), dan Partai Demokrasi Pembaharuan (PDP) dalam Pemilihan Kepala Daerah Bupati dan Wakil Bupati Purwakarta tahun 2012?”

I.     3 Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini tidak lain adalah untuk mengetahui bagaimana proses koalisi partai yang terjalin antara partai-partai pada pemilu kepala daerah di Purwakrata pada tahun 2012. Disamping itu menarik juga untuk melihat pola koalisi yang terbentuk , serta faktor-faktor yang mempengaruhi proses pembentukan koalisi partai tersebut, khususnya dalam kasus pemilihan kepala daerah kabupaten Purwakarta tahun 2012.  

I.     4  Kerangka Teori
Secara harfiah pengertian koalisi adalah penggabungan. Koalisi merupakan kelompok individu yang berinteraksi yang sengaja dibentuk secara independen dari struktur organisasi formal, terdiri dari keanggotaan yang dipersepsikan saling menguntungkan, berorientasi masalah atau isu, menfokuskan pada tujuan di luar koalisi, serta memerlukan aksi bersama para anggota. Dalam khazanah politik, koalisi merupakan gabungan dua partai atau lebih dengan tujuan untuk membentuk secara bersama satu pemerintahan. Koalisi merupakan suatu keniscayaan yang tak bisa dihindari dalam proses bangsa yang menganut sistem multipartai.[1]
Dalam sistem pemerintahan yang multi partai, koalisi adalah suatu keniscayaan untuk membentuk pemerintahan yang kuat. Hakekat koalisi sendiri adalah untuk membentuk pemerintahan yang kuat (strong), mandiri (autonomuos), dan tahan lama (durable). Namun sering kali koalisi yang dibangun membingungkan. Kompleksnya kekuatan politik, aktor dan ideologi menjadi faktor yang menyulitkan. Secara teoritis, koalisi partai hanya akan berjalan bila dibangun diatas landasan pemikiran yang realitis dan layak.[2]
Riker memaknai koalisi politik sebagai berikut:[3]
“.....three-ormore person games, the main activity of the players is to select not only strategies, but partners. Partners once they become such, then select a strategy”.
Pada saat para rekanan (partner) ini bergabung, dan bekerjasama hanya dengan sejumlah aktor lain, dan menghadapi aktor-aktor lain di luar mereka, setiap koalisi pada dasarnya mencari pengaruh diantara aktor-aktor tanpa adanya mediasai yang berbentuk material oleh karenya bersifat politis.
William Riker menjelaskan tentang koalisi politik melalui teorinya Minimal Winning Coalitions (disingkat MWC)[4] atau kemenangan minimum.  Menurut Riker, pemerintahan seharusnya dibentuk dengan koalisi yang menjamin kemenangan minimum. Asumsi Teori MWC Partai politik berkepentingan untuk memaksimalkan kekuasaan mereka. Dalam sistem parlementer misalnya, kekuasaan berarti partisipasi dalam kabinet dan kekuasaan yang maksimum (maximum power) berarti memegang posisi dalam kabinet sebanyak mungkin. Maka koalisi antar partai politik diperlukan untuk memaksimalkan kekuasaan, baik dalam kabinet maupun parlemen. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan MWC adalah diperlukannya jumlah kursi tertentu untuk mencapai kemenangan yang minimal (cukup 50% + 1) di parlemen.   Teori ini menekankan bahwa cukup membutuhkan koalisi dua atau lebih partai politik yang dapat mengontrol kursi parlemen, tetapi “minimal” dalam arti mereka tidak memasukkan partai-partai yang “tidak perlu” untuk mencapai kemenangan. Koalisi ini cukup menguasai mayoritas minimal kursi parlemen dengan mengeluarkan partai-partai yang memiliki kursi kecil.
Akan tetapi teori Riker tersebut mendapatkan kritikan salah satunya adalah teori MWC cenderung mengabaikan preferensi kebijakan partai padahal hal tersebut tidak dapat diabaikan.[5] Terkadang partai tidak selalu ingin memaksimalkan kekuasaan tetapi bagaimana mencapai kebijakan politik tertentu.  Kritik terhadap MWC tersebut memunculkan variasi teori tentang koalisi politik. Diantaranya yang penting adalah Minimum Connected Winning (MCW) dari Robert Axelrod,[6] menurutnya koalisi dibentuk secara “connected” yaitu terdiri dari partai-partai yang sama dalam skala kebijakan dan meniadakan partner yang tidak penting. Asumsi Teori MCW Partai-partai terlebih dahulu akan mencoba bergabung dengan “tetangga dekat” mereka, lalu jika diperlukan menambah dengan partai-partai lainnya hingga koalisi mayoritas terbentuk.  Tujuannya partai-partai ingin membentuk pemerintahan yang dapat meminimalkan konflik kepentingan dalam sesama anggota koalisi yang akan memerintah. Maka membentuk koalisi atas dasar kesamaan tujuan kebijakan lebih penting dan stabil daripada atas dasar jumlah semata.
Sehingga dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa, jika Riker dengan koalisi “minimal winning” menekankan bahwa partai politik bersifat “office seeking” (memaksimalkan kekuasaan), maka Axelrod dengan koalisi “minimum connected” menekankan partai politik sebagai “policy seeking” (mewujudkan kebijakan sesuai kepentingan partai).
Tabel 1.1[7]
Perbandingan Teori
Minimal Winning Coalitions (disingkat MWC) dan Minimum Connected Winning (MCW)
Policy-blind coalition theory
Policy-based coalition theory
Menekankan prinsip ukuran atau jumlah kursi
Menekankan kesamaan dalam preferensi kebijakan
Minimal winning coalitions dari William Riker (1962)
Minimal connected coalitions dari Robert Axelrod (1970)
Asumsi partai bertujuan “office seeking
Asumsi partai bertujuan “policy seeking
Loyalitas peserta koalisi sulit dijamin
Loyalitas peserta koalisi secara minimal diikat oleh kesamaan tujuan kebijakan
Sulit diprediksi jika range ukuran partai-partai sangat beragam.
Koalisi bisa sangat “gemuk” dengan melibatkan partai-partai yang tidak perlu (oversized) agar tujuan kebijakan mendapat dukungan mayoritas di parlemen

Akan tetapi menurut Geoffrey Pridham,[8] baik teori MWC Riker dan MCW Axelrod cenderung bersifat memprediksi koalisi yang akan terbentuk daripada menjelaskan koalisi tersebut. Dalam arti di luar model matematika game theory yang diadopsi oleh Riker maupun kedekatan skala kebijakan yang diajukan Axlerod, kedua pemikiran ini belum dapat menjelaskan dinamika dan proses koalisi politik yang terbentuk. 
Di mana dalam konteks proses koalisi tersebut, partai politik cenderung mempertimbangkan beberapa faktor, yang terdapat dalam beberapa dimensi yang digunakan oleh Pridham dalam memahami konteks koalisi tersebut, di mana dimensi yang digunakan dalam makalah ini, yaitu:[9] a) Dimensi Institusional: didasarkan atas argumen bahwa struktur politik menyediakan tantangan dan kesempatan bagi pengambil keputusan dalam membentuk hubungan koalisi. Seperti sistem pemilu; b) Dimensi Motivasional: bisa terbentuk atas dua hal yaitu atas dasar kedekatan kebijakan atau trade-off antara tujuan “office seeking” dan komitmen kebijakan.  Misalnya motivasi di antara mitra koalisi atas isu-isu kebijakan, seberapa jauh prioritas isu berhubungan dengan strategi atau identitas partai; c) Dimensi Horisontal-Vertikal: dilihat dari struktur negara dalam arti hubungan pusat dan daerah. Isunya adalah seberapa penting koalisi di tingkat regional dan lokal bagi strategi partai; d) Dimensi Internal Partai: menyangkut bagaimana proses penjaringan internal partai. Dalam hal ini interaksi antara internal partai dan di luar partai, termasuk keseimbangan kekuasaan antara partai-partai dalam parlemen; e) Dimensi Sosio-politik: beberapa variabel yang memengaruhi koalisi seperti perubahan tuntutan pemilih, konflik dan dukungan di masyarakat; f) Dimensi Eksternal: menyangkut figur aktor yang dicalonkan dalam koalisi di masyarakat.
Sehingga teori yang dipaparkan di atas dapat digunakan sebagai pisau analisa permasalahan yang dibahas.  Dimensi koalisi Pridham digunakan untuk menunjukan bahwa terdapat beberapa faktor dalam suatu proses pembentukan koalisi Pemilukada Purwakarta tahun 2012. Begitupun dalam memahami fenomena koalisi Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Purwakarta 2012. Begitupun teori Teori Minimal Winning Coalitions (disingkat MWC) Riker dan Minimum Connected Winning (MCW) Alexord digunakan untuk melihat bagaimanakah pola koalisi yang terbentuk dalam fenomena Pemilukada Purwakarta tahun 2012.

I.     5  Metode Penelitian
Metode penelitian yang dilakukan adalah penelitian kualitatif yang bertujuan mengambarkan atau melukiskan keadaan subjek dan objek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain). Yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah partai koalisi dalam Pemilukada Purwakarta tahun 2012 yaitu Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), dan Partai Demokrasi Pembaharuan (PDP).
Lokasi penelitian ini dilaksankan di Kabupaten Purwakartaling. Sedangkan informan dalam penelitian ini diambil dengan cara purposive sampling, di mana kelompok kami memilih informan-informan yang kompeten di bidangnya dan dapat memberikan informasi yang kami butuhkan, di antaranya Ketua DPD Partai Golongan Karya (Golkar), Sekjen DPC Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Ketua DPC Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Ketua DPC Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Indonesia (PDIP) Kabupaten Purwakarta. Adapun tenik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah wawancara dan dokumentasi

BAB II
PEMBAHASAN
II.  1 Kemenangan Pasangan Dedi Mulyadi dan Dadan Koswara dalam Pemilukada     Purwakarta Tahun 2012.
Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kabupaten Purwakarta akhirnya telah menetapkan hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) periode 2013-2018. KPUD Purwakarta menyatakan hasil pemilihan bupati dan wakil bupati Purwakarta yang digelar 15 Desember 2012 dimenangkan Dedi Mulyadi dengan Dadan Koswara.
Berdasarkan rekapitulasi yang dilakukan, bahwa pasangan yang berada di posisi pertama, yakni pasangan nomor urut dua memperoleh kemenangan telak dengan  meraih suara sebanyak 306.332 suara atau 65,64%. Di posisi kedua, pasangan Dudung B Supardi dengan Yogie Muchamad (Dugi) meraih suara sebanyak 115.699 suara atau 24,79%. Sedangkan, diurutan nomor tiga ditempati pasangan Burhan Fuad dengan Onnie S Sandi dengan total suara 44.646 suara atau 9,57%[10]
Kemenanagn pasangan nomor urut dua tersebut tidak terlepas dari popularitas Dedi Mulyadi sebagai seoarang Bupati dimasa sebelumnya. Dimana menurut Direktur Citra Komunikasi LSI, Toto Izul Fatah diungkapkan bahwa kemenangan Dedi berdasarkan hasil quick count disinyalir karena faktor kepopulerannya. Bahkan, ia menyebutkan, faktor koalisi partai yang dilakukannya tidak berpengaruh besar. Di tingkat masyarakat Dedi populer sekitar 98 persen. Dia dikenal masyarakat sekitar 70 persen, dan masyarakat memiliki tingkat kesukaan sekitar 80 persen.[11]  Sehingga tingkat popularitas Dedi Mulyadi menjadi sangat penting dalam proses pemilihan umum kepala daerah di Purwakarta pada saat itu.
Seperti diketahui sebanyak tiga pasangan calon bersaing pada pencoblosan di pemilihan kepala daerah (pilkada) Kabupaten Purwakarta tahun 2012 silam yang memeperebutkan kursi Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Purwakarta periode 2013 hingga periode 2018. Adapun tiga pasangan yang akan bertarung sesuai dengan nomor urut, yakni Dudung Bachdar Supardi dengan Yoggie Mochamad, Dedi Mulyadi dengan Dadan Koswara, dan Burhan Fuad dengan Onnie Surono Sandie.

II.2  Faktor-Faktor Pertimbangan Partai Politik dalam Pembentukan Koalisi “Sahate” mendukung Dedi Mulyadi dan Dadan Koswara dalam Pemilukada Purwakarta tahun 2012.
Dinamika pembentukan koalisi partai politik dalam proses pemilihan kepala daerah secara langsung sangatlah tinggi, karena partai politik melakukan berbagai penilaian yang didasarkan pada faktor-faktor tertentu yang menjadi landasan pertimbangan setiap partai dalam melakukan koalisi. Faktor-faktor tersebut di antaranya: a) Pemetaan partai politik di DPRD; b) Peran Dewan Pengurus Pusat (DPP); c) Mekanisme Penjaringan Internal Partai Politik; serta, d) Peran Figur Bakal Calon Bupati dan Wakil bupati.  Begitupun dalam konteks pemilihan kepala daerah kabupaten Purwakarta, faktor-faktor tersebut menjadi pertimbangan partai politik dalam melakukan koalisi Sahate yang terdiri dari Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), dan Partai Demokrasi Pembaharuan (PDP) yang mendukung pasangan Dedi Mulyadi dan Dadan Koswara pada Pemilihan Kepala daerah Kabupaten Purwakarta tahun 2012.
Dalam hal pemetaan partai politik di DPRD didasarkan perolehan suara pada pemilu legislatif sebelumnya, hal tersebut merupakan salah satu faktor yang menjadi pertimbangan bagi para partai untuk melakukan koalisi.  Keputusan ini  mengacu pada UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah khususnya pasal 59 ayat (1) dan (2) yang kurang lebih menyatakan bahwa pasangan calon kepala daerah dapat diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik dengan perolehan suara sekurang-kurangnya 15% dari jumlah kursi di DPRD. Partai-partai yang tergabung dalam koalisi Sahate pula tidak dapat memungkiri bahwa jumlah kursi yang mereka miliki di DPRD sesuai perolehan suara dalam pemilu legislatif sebelumnya menjadi pertimbangan mereka untuk melakukan koalisi dengan partai lain untuk mendapat posisi lebih strategis dalam pemilihan lembaga eksekutif. Pada pemilu DPRD Kabupaten/Kota Purwakarta tahun 2009, dapat dilihat bahwa posisi partai-partai dalam koalisi Sahate adalah sebagai berikut.

Tabel I.1 [12]
Posisi Partai Koalisi Sahate dalam DPRD 2009—2014
Partai
Prosentase Suara
Jumlah Kursi
Golkar
26,72%
11
PDIP
9,58%
6
Gerindra
4,74%
2
PKB
5,75%
4
Hanura
5,32%
2
PDP
2,30%
1

Mengacu pada data diatas, dapat dilihat bahwa partai-partai selain Golkar memiliki perolehan suara kurang dari 15% di DPRD. Oleh karena itu, partai-partai selain Golkar memerlukan partai lain untuk bergabung sehingga mencapai jumlah diatas 15%.  Kembali pada relevansi pemetaan kekuatan politik di DPRD yang ditunjukan data di atas (tabel I.1) dengan pembentukan koalisi partai politik terletak pada kebutuhan untuk menjamin stabilitas pemerintahan pasca pemilihan kepala daerah.[13] Hal tersebut nampaknya dibutuhkan oleh Dedi Mulyadi sebagai salah satu upaya merealisasikan visi dan misinya sebagai Bupati Purwakakarta pada periode tahun 2012-2018.
Kembali pada konteks proses koalisi Sahate yang mengusung pasangan Dedi Mulyadi dan Dadan Koswara. Didasarkan pada data yang menunjukan beberapa partai politik tidak dapat memperoleh 15% di DPRD Purwakarta, akhirnya parti-partai tersebut melakukan  melakukan survey preferensi calon kepala daerah bupati kepada masyarakat Purwakarta.  Hal tersebut sebgai bagian dari pertimbangan kepada siapa akhirnya partai-partai yang tidak memperoleh 15% di DPRD memberikan dukunga. Setelah melakukan survey calon, mayoritas partai menemukan Dedi Mulyadi sebagai calon terkuat menurut preferensi masyarakat. Kemudian masing-masing partai politik melakukan penjaringan internal, di mana masing-masing partai berbeda dari proses penjaringan tersebut.  PDIP misalnya, setelah melakukan musyawarah internal partai dan pembentukan tim seleksi, akhirnya diputuskanlah bahwa PDIP DPC Kabupaten Purwakarta membuka pendaftaran untuk menjadi koalisi dalam pencalonan bupati dan wakil bupati Purwakarta pada pemilihan kepala daerah tahun 2012. Hal yang menarik adalah Dedi Mulyadi sebagai seorang kader Golkar pertama kalin mendaftarkan dirinya sebagai calon bupati kepada PDIP, yang kemudian membuat PDIP menginisiasi pembentukan koalisi Sahate.[14] Sementara partai lain, seperti Gerindra misalnya, tidak membuka pendaftaran karena perolehan suara mereka yang tidak besar dalam DPRD sehingga membuat mereka tidak memiliki posisi tawar cukup kuat selain memutuskan bergabung dengan koalisi. Meskipun PDIP memiliki peluang untuk berkoalisi dengan partai lain untuk membentuk koalisi minimal, tetapi keputusan koalisi besar lebih menjadi preferensi terkait faktor lain yakni figur calon bupati.
Namun, pengusungan Dedi Mulyadi sebagai calon bupati dari partai terkait, tidak bisa semata merupakan keputusan Dewan Pengurus Cabang (DPC) masing-masing partai di Purwakarta. Prosedur yang harus dilewati dan dipenuhi adalah persetujuan dari Dewan Pengurus Pusat (DPP). Oleh karena itulah peran Dewan Pengurus Pusat dari masing-masing partai juga menjadi suatu hal yang dipertimbangkan. Dalam perjalanan PDIP, persetujuan DPP didapat setelah sang Ketua DPC PDIP Purwakarta, Acep Maman, melakukan presentasi kepada DPP terkait pengusungan Dedi Mulyadi. Sama halnya dengan Gerindra, Hanura, PKB, dan PDP yang mendapatkan persetujuan untuk melakukan koalisi dengan Sahate setelah memaparkan penjelasan dan argumentasi kepada DPP masing-masing. Atas dasar rekomendasi dari DPC masing-masing partai itulah kemudian DPP melakukan pertimbangan dan musyawarah bersama internal partai untuk kemudian memberikan persetujuan dan surat rekomendasi untuk mengajukan pasangan Dedi Mulyadi dan Dadan Koswara sebagai pasangan bupati dan wakil bupati yang diusung partai koalisi pada pemilihan kepala daerah Purwakarta tahun 2012.
Sehingga dapat dipahami bahwa beberapa faktor yang telah dikemukakan di atas, merupakan salah satu aspek yang memengaruhi kelancaran proses pertimbangan koalisi yang dilakukan oleh partai-partai politik dalam koalisi Sahate adalah restu dari Dewan Pengurus Pusat (DPP) masing-masing partai, selain faktor utama yakni terpenuhinya syarat prosedural yakni Undang-Undang dalam pencalonan kepala daerah dan wakilnya.
Satu hal lagi yang menarik dari proses pemilihan umum secara langsung, termasuk dalam konteks pemilihan kepala daerah di tingkat kabupaten.  Figur atau sosok calon bupati dan wakil bupati dengan visi dan misi yang dimilikinya menjadi prefernsi yang sangat penting bagi partai politik dalam melakukan pertimbangan koalisi.
Begitupun dalam konteks proses penentuan koalisi Sahate dalam pemilihan kepala daerah kabupaten Purwakarta, figur seorang Dedi Mulyadi menjadi bagian terpenting dalam penentuan keputusan koalisi.  Dedi Mulyadi dikenal sebagai individu yang cerdas, sederhana, merakyat dan sangat menjunjung tinggi budaya Sunda, sebagai basis kebudayaan masyarakat Purwakarta[15] ditambah lagi faktor kepopulerannya di masyarakat Purwakarta sekitar 98 persen. Dia dikenal masyarakat sekitar 70 persen, dan masyarakat memiliki tingkat kesukaan sekitar 80 persen.[16] 
Disamping itu, visi dan misi Dedi Mulyadi sebagai Bupati Purwakarta yang ditungkan dalam “SALAPAN LENGKAH NGAWANGUN NAGRI RAHARJA” (Sembilan Langkah Membangun Purwakarta Sejahtera) Program Pembangunan Purwakarta 2012-2018) yang merupakan strategi, target, sekaligus pula kerangka kerja pelaksanaan pembangunan Purwakarta, di antaranya:[17] a) Pendidikan Gratis Sampai Tingkat SLTA Bagi Masyarakat Miskin; b) Pembebasan Biaya Pembelian Buku Sekolah dan Pengembangan Kurikulum Pendidikan Baca Tulis Al Quran Bagi Siswa TK,SD, SLTP dan SLTA Yang Beragama Islam; c) Pelayanan KTP, Kartu Keluarga dan Akta Kelahiran Gratis Bagi Seluruh Masyarakat Dengan Sistim Pelayanan Di Tingkat Desa dan Kelurahan; d) Pembangunan Puskesmas Rawat Inap Di Seluruh Kecamatan; e) Peningkatan Kesejahteraan Guru dan Pegawai Melalui Insentif Kehadiran, Serta Peningkatan Kesejahteraan Kepala Desa, Aparatur Desa, Bamusdes, LPM, Linmas Hansip, Kadus, RW, RT, DKM, dan Guru Ngaji Melalui Otonomi Desa dan Kelurahan; f) Pengembangan dan Pelebaran Jalan Hotmix Serta Listrik Sampai Pelosok Perdesaan, Membuat/Mengoptimalkan Jalur Tembus Cikao Bandung-Babakancikao, Kiarapedes-Cibatu, Pasawahan-Cibatu, Pasawahan-Pondoksalam, Pasawahan-Purwakarta, Pondoksalam-Bojong, Wanayasa-Pondoksalam, Bojong-Darangdan, Campaka-Cibatu-Bungurari, Membuka Pintu Tol Sawit, Serta Pelebaran Jalan Sawit-Wanayasa; g) Pengembangan Air Bersih dan Irigasi Perdesaan Secara Menyeluruh Dan Mengoptimalkan Sungai Ciherang Untuk Irigasi Perairan Pondoksalam-Pasawahan, Sungai Cikao Untuk Irigasi Perairan Bojong-Darangdan-Jatiluhur, dan Sungai Cimunjul Untuk Irigasi Perairan Purwakarta-Babakancikao. Pengembangan Irigasi Cilamaya Untuk Pertanian Kiarapedes-Wanayasa-Cibatu-Campaka-Bungursari, Serta Mengoptimalkan Fungsi Bendungan Cirata dan Jatiluhur Untuk Pertanian Masyarakat Maniis, Plered, Tegalwaru, Sukatani, Sukasari, dan Jatiluhur Dengan Pola Integrasi Kehutanan, Pengairan, Perikanan, Pertanian, Peternakan dan Pariwisata; h) Pengembangan Kawasan Terpadu Kecamatan Bungursari, Pengembangan Tata Kota dan Tata Bangunan Yang Beridentitas Purwakarta, Renovasi Bangunan Tua, Pengembangan Halaman Stasion, Penyempurnaan Situ Buleud, Penataan Alun-Alun, Integrasi Bangunan Pemerintah, Serta Pemberian Perlindungan Yang Menyeluruh Terhadap Keberadaan Dan Kualitas Pedagang Serta Pasar Tradisional; i) Pengembangan Investasi Dengan Menyiapkan Tanah Untuk Industri Dengan Sistem Sewa Yang Disiapkan Oleh Pemerintah Daerah.  Adanya relevansi penjabaran visi dan misi yang dideskripsikan di atas dengan visi dan misi beberapa partai politik menjadi bagin dari referensi partai untuk melakukan koalisi mendukung Dedi Mulyadi sebagai calon bupati Purwakarta.[18] 

II.3 Bentuk Koalisi Partai Politik dalam Pemilukada Purwakarta tahun 2013
Berdasarkan pemaparan di atas, secara sepintas dapat diasumsikan bahwa berdasarkan perspektif partai peserta koalisi “Sahate” yang mengusung pasangan Dedi Mulyadi dan Dadan Koswara pada pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Purwakarta dapat dikategorikan sebagai koalisi yang didasarkan Minimum Connected Winning (MCW) dari Robert Axelrod,[19] menekankan partai politik sebagai “policy seeking” atau upaya perwujudan kebijakan.  Namun di sisi lain fenomena koalisi Sahate dapat dilihat sebagai Minimum Winning Coalition (MWC) yang berorientasi terhadap office seeking jika dilihat dari perspektif Dedi Mulyadi sebagai individu yang mencalonkan diri sebagai calin Bupati Purwakarta tahun 2012-2018. Sehingga dapat diasumsikan bahwa dalam penentuan tipe koalisi khusunya dalam konteks Indonesia, terutama dalam kasus koalisi Sahate pada Pemilu kepala daerah kabupaten Purwakarta tahun 2012 tidak dapat tegas ditentukan bahwa pola atau bentuk koalisi tersebut adalah teori Riker yang menekankan koalisi pada “minimal winning” menekankan bahwa partai politik bersifat “office seeking” (memaksimalkan kekuasaan), ataupun Axelrod dengan koalisi “minimum connected” menekankan partai politik sebagai “policy seeking” (mewujudkan kebijakan sesuai kepentingan partai). Karena kita perlu melihat dari berbagai perspektif, dalam perspektif Dedi Mulyadi misalnya penentuan koalisi yang cukup besar yang diusung oleh cukup banyak partai Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), dan Partai Demokrasi Pembaharuan (PDP) sebagai upaya untuk menguasai mayoritas di DPRD Kab. Purwakarta dan menjamin stabilitas pemerintahan pasca pemilihan[20] dan hal tersebut nampaknya dibutuhkan sebagai strategi untuk merealisasikan visi dan misinya sebagai Bupati Purwakarta pada periode tahun 2012-2018 sebagaimana yang dikemukakan Riker. Namun di sisi lain, perlu dilihat pula bahwa dalam perspektif partai-partai koalisi seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), dan Partai Demokrasi Pembaharuan (PDP) koalisi terbentuk sebagai upaya dalam kesamaan pencapaian kebijakan dan tujuan partai politik  politik, sehingga tujuannya partai-partai ingin membentuk koalisi sebagai langkah meminimalkan konflik kepentingan dalam sesama anggota koalisi.  Maka membentuk koalisi atas dasar kesamaan tujuan kebijakan dinilai penting, dan hal ini serupa dengan  teori Minimum Connected Winning (MCW) dari Robert Axelrod.[21]
Oleh karena itu, nampaknya asumsi teori yang dikemukakan oleh Riker yang menekankan koalisi pada “minimal winning” menekankan bahwa partai politik bersifat “office seeking” (memaksimalkan kekuasaan), ataupun Axelrod dengan koalisi “minimum connected” menekankan partai politik sebagai “policy seeking” (mewujudkan kebijakan sesuai kepentingan partai) cukup sulit digunakan dalam konteks Indonesia, khususnya dalam koalisi “Sahate” pada pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Purwakarta tahun 2012.

BAB III
KESIMPULAN

Berdsarkan pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa proses koalisi yang terjadi di tingkat lokal khususnya dalam kasus pemilihan kepala daerah di Kabupaten Purwakarta, pertimbangan koalisi dipengaruhi beberapa faktor, diantaranya kekuatan partai politik di DPRD Kabupaten Purwakarta, mekanisme internal partai politik, peran Dewan Pengurus Pusat (DPP) Partai Politik dan sangat penting adalah figur dari para calon kepala daerah. Seperti yang terjadi dalam koalisi Sahate yang mendukung pasangan Dedi Mulyadi dan Dadan Koswara. Figur calon kepala daerah seperti Dedi Mulyadi dengan visi  dan misi yang selalu berlandaskan kearifan lokal dan tujuan untuk mensejahterakan masyarakat dengan cara mengoptimalkan pelayanan publik, menjadi salah satu faktor penting yang dilihat partai politik dalam mempertimbangkan keikutsertaannya dalam koalisi. Selain itu dalam kasus koalisi pilkada lokal cukup sulit untuk menentukan apakah tipe koalisi Minimum Winning Coalition (MWC) yang berorientasi terhadap office seeking yang dikemukakan Rieker ataupun koalisi dengan tipe Minimum Connected Winning (MCW) yang berorientasi pada policy seeking yang dikemukakan oleh Alexord, hal ini disebabkan perlunya melihat fenomena koalisi dari berbagai perspektif, baik dari segi pihak yang mengajukan diri dalam pencalonan kepala daerah maupun pihak yang ingin bergabung menjadi bagian dari koalisi tersebut.

Daftar Pustaka

Sumber Buku:
Lijphart, Arend. Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial. Jakarta: Raja Grafindo, 1995
Bambang, Cipto.  Prospek dan Tantangan Partai Politik.  Jakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Gaffar, Afan. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi.  Jakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Lijphart, Arend. Democracies: Patters of Majoritarian and Consensus Goverment in Twenty-One Countries.  New Haven: Yale University Press, 1984.
Pridham, Geoffrey. Coalition Behaviour and Party Systems in Western Europe: A Comparative Approach, 1987.

Sumber Jurnal:
Craig Volden & Clifford J. Carrubba. The Formation of Oversized Coalition in Parliamentary Democracies dalam American Journal of Political Science, Vol. 48, No.3, July 2004.

Sumber Tesis:
Wardani, Sri Budi Eko. Koalisi dalam Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung: Kasus Pilkada Provinsi Banten Tahun 2006.  Jakarta: Universitas Indonesia, 2007.

Sumber Wawancara
No
Nama
Jabatan
1
Sarif Hidayat
Ketua DPD Partai Golongan Karya (Golkar) Kabupaten Purwakarta
2
Neng Supartini
Ketua DPC Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Kabupaten Purwakarta
3
Hariyanto
Sekjen DPC Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Kabupaten Purwakrta
4
Asep Maman
Ketua DPC Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Kabupaten Purwakarta

Sumber Website
Nn. Dedi Menang Karena Populer. http://jabar.tribunnews.com/2012/12/15/dedi-menang-karena-populer diakses pada Jumat, 22 November 2013; Pukul 06.38 WIB.
Nn. Dedi-Dadan Menang Telak di Pilbub Purwakarta. http://jabar.tribunnews.com/2012/12/21/dedi-dadan-menang-telak-di-pilbub-purwakarta  diakses pada Minggu, 24 November 2013; Pukul 06.34 WIB.
Nn.http://i1223.photobucket.com/albums/dd508/bappedapurwakarta/PurwakartaIstimewa300.jpg diakses pada Minggu, 24 November 2013; Pukul 21.30 WIB.
Nn. bappedapurwakarta.net/beranda/informasi-terkini/139-program-kerja-pemkab-purwakarta-tahun-2013.html diakses pada Senin, 25 November 2013; Pukul 20.13 WIB.
Nn. http://static.inilah.com/data/berita/foto/1907461.jpg diakses pada Sabtu, 23 November 2013; Pukul 10.30 WIB.
Nn. http://tvberita.com/foto_berita/medium_61Foto-0283.jpg diakses pada Sabtu, 23 November 2013; Pukul 10.28 WIB.





[1] Arend  Lijphart. Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial (Jakarta: Raja Grafindo, 1995), hlm. 221,
[2] Cipto Bambang.  Prospek dan Tantangan Partai Politik  (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 22.
[3] Gaffar, Afan. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi (Jakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 123.
[4] Arend Lijphart. Democracies: Patters of Majoritarian and Consensus Goverment in Twenty-One Countries (New Haven: Yale University Press, 1984), hlm. 47-49.
[5] Ibid.,
[6] Craig Volden & Clifford J. Carrubba. The Formation of Oversized Coalition in Parliamentary Democracies dalam American Journal of Political Science, Vol. 48, No.3, July 2004.
[7] Dalam Tesis Sri Budi Eko Wardani. Koalisi dalam Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung: Kasus Pilkada Provinsi Banten Tahun 2006 (Jakarta: Universitas Indonesia, 2007), hlm. 37.
[8] Geoffrey Pridham. Coalition Behaviour and Party Systems in Western Europe: A Comparative Approach, 1987 dalam Tesis Sri Budi Eko Wardani. Ibid., hlm. 17.
[9] Ibid.,

[10] Dedi-Dadan Menang Telak di Pilbub Purwakarta. http://jabar.tribunnews.com/2012/12/21/dedi-dadan-menang-telak-di-pilbub-purwakarta  diakses pada Minggu, 24 November 2013; Pukul 06.34 WIB.

[11] Dedi Menang Karena Populer. http://jabar.tribunnews.com/2012/12/15/dedi-menang-karena-populer diakses pada Jumat, 22 November 2013; Pukul 06.38 WIB.
[12] Data diolah dari Hasil Penghitungan Suara Sah Partai Politik Peserta Pemilu Dalam Pemilu Anggota DPRD Kab/Kota Purwakarta Tahun 2009 keluaran KPU
[13] Wawancara dengan Sarif Hidayat selaku Ketua DPD Golkar Purwakarta, pada Minggu, 24 November 2013.
[14] Wawancara dengan Acep Maman selaku Ketua DPC PDIP Purwakarta, pada  Sabtu, 23 November 2013.
[15] Wawancara dengan Acep Maman selaku ketua DPC PDIP Kab. Purwakarta; Neng Supartini selaku Ketua DPC PKB Kab. Purwakarta dan Hariyanto selaku Sekjen DPC Partai Gerindra Kab. Purwakrta pada sabtu, 23 November 2013.
[16] Dedi Menang Karena Populer. http://jabar.tribunnews.com/2012/12/15/dedi-menang-karena-populer diakses pada Jumat, 22 November 2013; Pukul 06.38 WIB.
[17] bappedapurwakarta.net/beranda/informasi-terkini/139-program-kerja-pemkab-purwakarta-tahun-2013.html diakses pada Senin, 25 November 2013; Pukul 20.13 WIB.
[18] Wawancara dengan Acep Maman selaku ketua DPC PDIP Kab. Purwakarta; Neng Supartini selaku Ketua DPC PKB Kab. Purwakarta dan Hariyanto selaku Sekjen DPC Partai Gerindra Kab. Purwakrta pada sabtu, 23 November 2013.
[19] Craig Volden & Clifford J. Carrubba. The Formation of Oversized Coalition in Parliamentary Democracies dalam American Journal of Political Science, Vol. 48, No.3, July 2004.
[20] Wawancara dengan Sarif Hidayat selaku Ketua DPD Golkar Purwakarta, pada Minggu, 24 November 2013.
[21] Craig Volden & Clifford J. Carrubba. The Formation of Oversized Coalition in Parliamentary Democracies dalam American Journal of Political Science, Vol. 48, No.3, July 2004.