I. 1 Latar Belakang
Kecenderungan umum
dalam Pemilukada langsung adalah terbentuknya koalisi partai-partai politik
untuk mengusung kandidat. Landasan koalisi salah satunya dapat berupa faktor
teknis, karena kurang memenuhi syarat untuk dapat mengajukan kandidat sendiri.
UU No. 32 Tahun 2004 mensyaratkan bahwa parpol yang hendak mengajukan calon
memiliki minimal 15% suara atau kursi sebagaimana dikemukakan pada penjelasan
sebelumnya. Syarat ini membuat banyak partai melakukan koalisi. Koalisi juga
dibangun berdasarkan landasan untuk memenangkan kandidat yang diusung.
Melakukan koalisi dengan banyak partai, diharapkan sumber dukungan terhadap
calon akan besar.
Pelaksanaan Pemilukada Purwakarta
tahun 2012 diikuti oleh 3 (tiga) pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati, yaitu
Dedi Mulyadi dan Dadan Koswara dengan nama koalisi “Sahate”; Dudung B. Supardi dan Yogie Mochammad dengan nama koalisi
“Dugi” dan pasangan Burhan Fuad dan Onie S. Sandi dengan nama koalisi “Bomber”. Dari tiga pasang calon bupati
tersebut, terdapat fenomena menarik yang sangat jarang terjadi dalam Pemilukada
Purwakarta, yaitu pada pasangan nomor urut 2 yaitu Dedi Mulyadi dan Dadan
Koswara. Dikatakan menarik karena calon tersebut maju dengan diusung oleh
koalisi besar yang terdiri dari Partai Golongan Karya (Golkar), Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai
Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), dan
Partai Demokrasi Pembaharuan (PDP). Koalisi
ini dapat dikatakan sebagai koalisi penuh warna, karena partai politik Islam
berkoalisi dengan partai nasionalis. Selain itu, partai politik yang di tingkat
nasional bersebarangan, di tingkat lokal justru beroposisi, seperti halnya
Partai Golkar dan PDIP.
Selanjutnya
ada beberapa fenomena lain yang membuat penulis tertarik melakukan penelitian
ini, yaitu bahwa Kabupaten Purwakarta telah mengukirkan nama sebagai kabupaten
dengan perumbuhan ekonomi dan pembangunan yang sangat pesat di provinsi Jawa
Barat. Peningkatan infrastruktur dengan
berbasiskan kepada kearifan lokal yang dimiliki oleh setiap daerah di
Purwakarta menjadikanya membutuhkan seorang figur kepala daerah yang sesuai
dengan yang di harapkan dan dapat memberikan perubahan yang lebih baik untuk
masyarakat daerah di Kabupaten Purwakarta.
Jika melihat jumlah
kursi yang merepresentasikan perolehan suara Partai Golkar di DPRD Purwakarta,
kekuatan politik Partai Golkar tidak bisa dipandang sebelah mata. Hal ini
dikarenakan Partai Golkar memperoleh suara yang cukup besar dan sangat
memungkinkan untuk mencalonkan sendiri kadernya menjadi calon Bupati dan Wakil
Bupati, yaitu 11 (sebelas) kursi di DPRD Purwakarta atau sekitar 24,45 %. Akan
tetapi dengan berbagai pertimbangan justru Partai Golkar yang mengusung Dedi
Mulyadi yang merupakan partai pemerintah lebih memilih berkoalisi dengan PDIP
untuk mengusung kadernya sebagai calon wakil bupati
I. 2 Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang permasalah yang dipaparkan tersebut, maka yang menjadi masalah
pokok dalam penelitian ini adalah:
”Bagaimana proses koalisi partai yang terjalin antara Partai Golongan Karya (Golkar),
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB),
Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra),
dan Partai Demokrasi Pembaharuan (PDP) dalam
Pemilihan Kepala Daerah Bupati dan Wakil Bupati Purwakarta tahun 2012?”
I.
3 Tujuan Penulisan
Tujuan dari
penulisan makalah ini tidak lain adalah untuk mengetahui bagaimana proses
koalisi partai yang terjalin antara partai-partai pada pemilu kepala
daerah di Purwakrata pada tahun 2012. Disamping itu menarik juga untuk melihat
pola koalisi yang terbentuk , serta faktor-faktor yang mempengaruhi proses
pembentukan koalisi partai tersebut, khususnya dalam kasus pemilihan kepala
daerah kabupaten Purwakarta tahun 2012.
I.
4 Kerangka Teori
Secara
harfiah pengertian koalisi adalah penggabungan. Koalisi merupakan kelompok individu
yang berinteraksi yang sengaja dibentuk secara independen dari struktur
organisasi formal, terdiri dari keanggotaan yang dipersepsikan saling
menguntungkan, berorientasi masalah atau isu, menfokuskan pada tujuan di luar
koalisi, serta memerlukan aksi bersama para anggota. Dalam khazanah politik,
koalisi merupakan gabungan dua partai atau lebih dengan tujuan untuk membentuk
secara bersama satu pemerintahan. Koalisi merupakan suatu keniscayaan yang tak
bisa dihindari dalam proses bangsa yang menganut sistem multipartai.[1]
Dalam
sistem pemerintahan yang multi partai, koalisi adalah suatu keniscayaan untuk membentuk
pemerintahan yang kuat. Hakekat koalisi sendiri adalah untuk membentuk pemerintahan
yang kuat (strong), mandiri (autonomuos), dan tahan lama (durable).
Namun sering kali koalisi yang dibangun membingungkan. Kompleksnya kekuatan
politik, aktor dan ideologi menjadi faktor yang menyulitkan. Secara teoritis,
koalisi partai hanya akan berjalan bila dibangun diatas landasan pemikiran yang
realitis dan layak.[2]
Riker
memaknai koalisi politik sebagai berikut:[3]
“.....three-ormore
person games, the main activity of the players is to select not only
strategies, but partners. Partners once they become such, then select a
strategy”.
Pada
saat para rekanan (partner) ini bergabung,
dan bekerjasama hanya dengan sejumlah aktor lain, dan menghadapi aktor-aktor
lain di luar mereka, setiap koalisi pada dasarnya mencari pengaruh diantara
aktor-aktor tanpa adanya mediasai yang berbentuk material oleh karenya bersifat
politis.
William Riker menjelaskan tentang
koalisi politik melalui
teorinya Minimal Winning Coalitions (disingkat MWC)[4] atau kemenangan minimum. Menurut Riker, pemerintahan seharusnya
dibentuk dengan koalisi yang menjamin kemenangan minimum. Asumsi Teori MWC Partai politik berkepentingan
untuk memaksimalkan kekuasaan mereka. Dalam sistem parlementer misalnya,
kekuasaan berarti partisipasi dalam kabinet dan kekuasaan yang maksimum (maximum
power) berarti memegang posisi
dalam kabinet sebanyak mungkin. Maka koalisi antar partai politik diperlukan
untuk memaksimalkan kekuasaan, baik dalam kabinet maupun parlemen. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan MWC adalah diperlukannya jumlah kursi tertentu untuk
mencapai kemenangan yang minimal (cukup 50% + 1) di parlemen. Teori ini
menekankan bahwa cukup
membutuhkan koalisi dua atau lebih partai politik
yang dapat mengontrol
kursi parlemen, tetapi “minimal” dalam arti mereka tidak memasukkan
partai-partai yang “tidak perlu” untuk mencapai kemenangan. Koalisi ini cukup
menguasai mayoritas minimal kursi parlemen dengan mengeluarkan partai-partai
yang memiliki kursi kecil.
Akan tetapi
teori Riker tersebut mendapatkan kritikan salah satunya adalah teori MWC
cenderung mengabaikan preferensi kebijakan partai padahal hal tersebut tidak
dapat diabaikan.[5]
Terkadang partai tidak selalu ingin memaksimalkan kekuasaan tetapi bagaimana
mencapai kebijakan politik tertentu. Kritik
terhadap MWC tersebut memunculkan variasi teori tentang koalisi politik.
Diantaranya yang penting adalah Minimum Connected Winning (MCW) dari
Robert Axelrod,[6] menurutnya koalisi dibentuk secara “connected”
yaitu terdiri dari partai-partai yang sama dalam skala kebijakan dan meniadakan
partner yang tidak penting. Asumsi Teori MCW Partai-partai terlebih dahulu akan mencoba bergabung dengan “tetangga
dekat” mereka, lalu jika diperlukan menambah dengan partai-partai lainnya
hingga koalisi mayoritas terbentuk. Tujuannya
partai-partai ingin membentuk pemerintahan yang dapat meminimalkan konflik kepentingan dalam sesama anggota koalisi yang akan
memerintah. Maka membentuk koalisi atas dasar kesamaan tujuan kebijakan
lebih penting dan stabil daripada atas dasar jumlah semata.
Sehingga
dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa, jika Riker dengan koalisi “minimal winning” menekankan bahwa partai
politik bersifat “office seeking” (memaksimalkan kekuasaan), maka
Axelrod dengan koalisi “minimum connected”
menekankan partai politik sebagai “policy seeking” (mewujudkan kebijakan
sesuai kepentingan partai).
Tabel 1.1[7]
Perbandingan Teori Minimal Winning Coalitions (disingkat MWC) dan Minimum Connected Winning (MCW)
Perbandingan Teori Minimal Winning Coalitions (disingkat MWC) dan Minimum Connected Winning (MCW)
Policy-blind coalition theory
|
Policy-based coalition theory
|
Menekankan prinsip ukuran atau jumlah kursi
|
Menekankan kesamaan dalam preferensi kebijakan
|
Minimal winning
coalitions dari William Riker (1962)
|
Minimal
connected coalitions dari Robert
Axelrod (1970)
|
Asumsi partai bertujuan “office seeking”
|
Asumsi partai bertujuan “policy seeking”
|
Loyalitas peserta koalisi sulit dijamin
|
Loyalitas peserta koalisi secara minimal diikat oleh
kesamaan tujuan kebijakan
|
Sulit diprediksi jika range ukuran partai-partai
sangat beragam.
|
Koalisi bisa sangat “gemuk” dengan melibatkan
partai-partai yang tidak perlu (oversized)
agar tujuan kebijakan mendapat dukungan mayoritas di parlemen
|
Akan tetapi
menurut Geoffrey Pridham,[8] baik teori
MWC Riker dan MCW Axelrod cenderung bersifat memprediksi koalisi yang akan
terbentuk daripada menjelaskan koalisi tersebut. Dalam arti di luar model
matematika game theory yang diadopsi oleh Riker maupun kedekatan skala
kebijakan yang diajukan Axlerod, kedua pemikiran ini belum dapat menjelaskan
dinamika dan proses koalisi politik yang terbentuk.
Di mana
dalam konteks proses koalisi tersebut, partai politik cenderung
mempertimbangkan beberapa faktor, yang terdapat dalam beberapa dimensi yang
digunakan oleh Pridham dalam memahami konteks koalisi tersebut, di mana dimensi
yang digunakan dalam makalah ini, yaitu:[9] a) Dimensi Institusional: didasarkan atas argumen bahwa struktur politik menyediakan tantangan dan
kesempatan bagi pengambil keputusan dalam membentuk hubungan koalisi. Seperti
sistem pemilu; b) Dimensi Motivasional: bisa terbentuk atas dua hal yaitu atas dasar kedekatan kebijakan atau trade-off
antara tujuan “office seeking” dan
komitmen kebijakan. Misalnya motivasi di antara
mitra koalisi atas isu-isu kebijakan, seberapa jauh prioritas isu berhubungan
dengan strategi atau identitas partai; c) Dimensi Horisontal-Vertikal: dilihat dari struktur negara dalam arti hubungan pusat dan daerah. Isunya
adalah seberapa penting koalisi di tingkat regional dan lokal bagi strategi
partai; d) Dimensi Internal Partai: menyangkut bagaimana proses penjaringan internal partai. Dalam hal ini
interaksi antara internal partai dan di luar partai, termasuk keseimbangan
kekuasaan antara partai-partai dalam parlemen; e) Dimensi Sosio-politik: beberapa variabel yang memengaruhi koalisi seperti perubahan tuntutan
pemilih, konflik dan dukungan di masyarakat; f) Dimensi Eksternal: menyangkut figur aktor yang dicalonkan dalam koalisi di masyarakat.
Sehingga
teori yang dipaparkan di atas dapat digunakan sebagai pisau analisa
permasalahan yang dibahas. Dimensi
koalisi Pridham digunakan untuk menunjukan bahwa terdapat beberapa faktor dalam
suatu proses pembentukan koalisi Pemilukada Purwakarta tahun 2012. Begitupun
dalam memahami fenomena koalisi Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Purwakarta
2012. Begitupun teori Teori Minimal Winning Coalitions (disingkat MWC) Riker dan Minimum Connected Winning (MCW)
Alexord digunakan untuk melihat bagaimanakah pola koalisi yang terbentuk dalam
fenomena Pemilukada Purwakarta tahun 2012.
I. 5 Metode Penelitian
Metode penelitian
yang dilakukan adalah penelitian kualitatif yang bertujuan mengambarkan atau
melukiskan keadaan subjek dan objek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat
dan lain-lain). Yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah partai koalisi
dalam Pemilukada Purwakarta tahun 2012 yaitu Partai Golongan
Karya (Golkar), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Gerakan
Indonesia Raya (Gerindra), dan Partai Demokrasi Pembaharuan (PDP).
Lokasi
penelitian ini dilaksankan di Kabupaten Purwakartaling. Sedangkan informan
dalam penelitian ini diambil dengan cara purposive
sampling, di mana kelompok kami memilih informan-informan yang kompeten di
bidangnya dan dapat memberikan informasi yang kami butuhkan, di antaranya Ketua
DPD Partai Golongan Karya (Golkar), Sekjen DPC Partai Gerakan Indonesia Raya
(Gerindra), Ketua DPC Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Ketua DPC Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan Indonesia (PDIP) Kabupaten Purwakarta. Adapun tenik
pengumpulan data dalam penelitian ini adalah wawancara dan dokumentasi
BAB II
PEMBAHASAN
II. 1 Kemenangan Pasangan
Dedi Mulyadi dan Dadan Koswara dalam Pemilukada Purwakarta Tahun 2012.
Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kabupaten
Purwakarta akhirnya telah menetapkan hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) periode
2013-2018. KPUD Purwakarta menyatakan hasil pemilihan bupati dan wakil bupati
Purwakarta yang digelar 15 Desember 2012 dimenangkan Dedi Mulyadi dengan Dadan
Koswara.
Berdasarkan rekapitulasi yang dilakukan,
bahwa pasangan yang berada di posisi pertama, yakni pasangan nomor urut dua
memperoleh kemenangan telak dengan meraih suara sebanyak 306.332 suara atau 65,64%.
Di posisi kedua, pasangan Dudung B Supardi dengan Yogie Muchamad (Dugi) meraih
suara sebanyak 115.699 suara atau 24,79%. Sedangkan, diurutan nomor tiga
ditempati pasangan Burhan Fuad dengan Onnie S Sandi dengan total suara 44.646
suara atau 9,57%[10]
Kemenanagn
pasangan nomor urut dua tersebut tidak terlepas dari popularitas Dedi Mulyadi
sebagai seoarang Bupati dimasa sebelumnya. Dimana menurut Direktur Citra Komunikasi
LSI, Toto Izul Fatah diungkapkan bahwa kemenangan Dedi berdasarkan hasil quick count disinyalir karena faktor
kepopulerannya. Bahkan, ia menyebutkan, faktor koalisi partai yang dilakukannya
tidak berpengaruh besar. Di tingkat masyarakat Dedi populer sekitar 98 persen.
Dia dikenal masyarakat sekitar 70 persen, dan masyarakat memiliki tingkat
kesukaan sekitar 80 persen.[11] Sehingga tingkat popularitas Dedi Mulyadi
menjadi sangat penting dalam proses pemilihan umum kepala daerah di Purwakarta
pada saat itu.
Seperti diketahui sebanyak tiga pasangan
calon bersaing pada pencoblosan di pemilihan kepala daerah (pilkada) Kabupaten
Purwakarta tahun 2012 silam yang memeperebutkan kursi Bupati dan Wakil Bupati
Kabupaten Purwakarta periode 2013 hingga periode 2018. Adapun tiga pasangan
yang akan bertarung sesuai dengan nomor urut, yakni Dudung Bachdar Supardi
dengan Yoggie Mochamad, Dedi Mulyadi dengan Dadan Koswara, dan Burhan Fuad dengan
Onnie Surono Sandie.
II.2 Faktor-Faktor
Pertimbangan Partai Politik dalam Pembentukan Koalisi “Sahate” mendukung Dedi
Mulyadi dan Dadan Koswara dalam Pemilukada Purwakarta tahun 2012.
Dinamika pembentukan koalisi partai politik dalam proses pemilihan
kepala daerah secara langsung sangatlah tinggi, karena partai politik melakukan
berbagai penilaian yang didasarkan pada faktor-faktor tertentu yang menjadi
landasan pertimbangan setiap partai dalam melakukan koalisi. Faktor-faktor
tersebut di antaranya: a) Pemetaan partai politik di DPRD; b) Peran Dewan
Pengurus Pusat (DPP); c) Mekanisme Penjaringan Internal Partai Politik; serta, d)
Peran Figur Bakal Calon Bupati dan Wakil bupati. Begitupun dalam konteks pemilihan kepala
daerah kabupaten Purwakarta, faktor-faktor tersebut menjadi pertimbangan partai
politik dalam melakukan koalisi Sahate
yang terdiri dari Partai Golongan Karya (Golkar), Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai
Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), dan Partai
Demokrasi Pembaharuan (PDP) yang mendukung
pasangan Dedi Mulyadi dan Dadan Koswara pada Pemilihan Kepala daerah Kabupaten
Purwakarta tahun 2012.
Dalam hal pemetaan partai politik di DPRD didasarkan perolehan suara pada pemilu legislatif
sebelumnya, hal tersebut
merupakan salah satu faktor yang menjadi
pertimbangan bagi para partai untuk melakukan koalisi.
Keputusan ini mengacu pada UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah khususnya pasal 59 ayat (1) dan (2) yang kurang lebih menyatakan bahwa pasangan
calon kepala daerah dapat diusung oleh partai politik atau gabungan partai
politik dengan perolehan suara sekurang-kurangnya 15% dari jumlah kursi di
DPRD. Partai-partai yang tergabung dalam koalisi Sahate pula tidak dapat memungkiri bahwa jumlah kursi yang mereka
miliki di DPRD sesuai perolehan
suara dalam pemilu legislatif sebelumnya menjadi pertimbangan mereka untuk
melakukan koalisi dengan partai lain untuk mendapat posisi lebih strategis
dalam pemilihan lembaga eksekutif. Pada pemilu DPRD Kabupaten/Kota Purwakarta
tahun 2009, dapat dilihat bahwa posisi partai-partai dalam koalisi Sahate adalah sebagai berikut.
Posisi Partai
Koalisi Sahate dalam DPRD 2009—2014
Partai
|
Prosentase Suara
|
Jumlah Kursi
|
Golkar
|
26,72%
|
11
|
PDIP
|
9,58%
|
6
|
Gerindra
|
4,74%
|
2
|
PKB
|
5,75%
|
4
|
Hanura
|
5,32%
|
2
|
PDP
|
2,30%
|
1
|
Mengacu pada data diatas, dapat dilihat
bahwa partai-partai selain Golkar memiliki perolehan suara kurang dari 15% di
DPRD. Oleh karena itu, partai-partai selain Golkar memerlukan partai lain untuk
bergabung sehingga mencapai jumlah diatas 15%. Kembali pada relevansi pemetaan kekuatan
politik di DPRD yang ditunjukan data di atas (tabel I.1) dengan pembentukan
koalisi partai politik terletak pada kebutuhan untuk menjamin stabilitas
pemerintahan pasca pemilihan kepala daerah.[13] Hal tersebut nampaknya
dibutuhkan oleh Dedi Mulyadi sebagai salah satu upaya merealisasikan visi dan
misinya sebagai Bupati Purwakakarta pada periode tahun 2012-2018.
Kembali pada konteks proses koalisi Sahate yang mengusung pasangan Dedi Mulyadi dan Dadan Koswara.
Didasarkan pada data yang menunjukan beberapa partai politik tidak dapat
memperoleh 15% di DPRD Purwakarta, akhirnya parti-partai tersebut
melakukan melakukan survey preferensi calon kepala daerah bupati kepada masyarakat Purwakarta.
Hal tersebut sebgai bagian dari pertimbangan kepada siapa akhirnya
partai-partai yang tidak memperoleh 15% di DPRD memberikan dukunga. Setelah melakukan survey calon, mayoritas partai menemukan
Dedi Mulyadi sebagai calon terkuat menurut preferensi masyarakat. Kemudian masing-masing partai politik
melakukan penjaringan internal, di mana masing-masing partai berbeda dari
proses penjaringan tersebut. PDIP misalnya, setelah melakukan musyawarah
internal partai dan pembentukan tim seleksi, akhirnya diputuskanlah bahwa PDIP
DPC Kabupaten Purwakarta membuka pendaftaran untuk menjadi koalisi dalam pencalonan bupati dan wakil
bupati Purwakarta pada pemilihan kepala daerah
tahun 2012. Hal yang menarik adalah Dedi Mulyadi sebagai seorang
kader Golkar pertama kalin mendaftarkan dirinya sebagai calon
bupati kepada PDIP, yang kemudian membuat PDIP menginisiasi pembentukan koalisi
Sahate.[14] Sementara partai lain,
seperti Gerindra misalnya, tidak membuka pendaftaran karena perolehan suara
mereka yang tidak besar dalam DPRD sehingga membuat mereka tidak memiliki
posisi tawar cukup kuat selain memutuskan bergabung dengan koalisi. Meskipun
PDIP memiliki peluang untuk berkoalisi dengan partai lain untuk membentuk
koalisi minimal, tetapi keputusan koalisi besar lebih menjadi preferensi
terkait faktor lain yakni figur calon bupati.
Namun, pengusungan Dedi Mulyadi sebagai
calon bupati dari partai terkait, tidak bisa semata merupakan keputusan Dewan
Pengurus Cabang (DPC) masing-masing partai di Purwakarta. Prosedur yang harus
dilewati dan dipenuhi adalah persetujuan dari Dewan Pengurus Pusat (DPP). Oleh karena itulah peran Dewan Pengurus
Pusat dari masing-masing partai juga menjadi suatu hal yang dipertimbangkan. Dalam perjalanan
PDIP, persetujuan DPP didapat setelah sang Ketua DPC PDIP Purwakarta, Acep
Maman, melakukan presentasi kepada DPP terkait pengusungan Dedi Mulyadi. Sama
halnya dengan Gerindra, Hanura, PKB, dan PDP yang mendapatkan persetujuan untuk
melakukan koalisi dengan Sahate setelah memaparkan penjelasan dan argumentasi
kepada DPP masing-masing.
Atas dasar rekomendasi dari DPC masing-masing partai itulah kemudian DPP
melakukan pertimbangan dan musyawarah bersama internal partai untuk kemudian
memberikan persetujuan dan surat rekomendasi untuk mengajukan pasangan Dedi
Mulyadi dan Dadan Koswara sebagai pasangan bupati dan wakil bupati yang diusung
partai koalisi pada pemilihan kepala daerah Purwakarta tahun 2012.
Sehingga dapat dipahami bahwa beberapa faktor yang telah dikemukakan di
atas, merupakan salah satu aspek yang memengaruhi kelancaran proses pertimbangan koalisi yang
dilakukan oleh partai-partai politik dalam koalisi Sahate adalah restu dari Dewan Pengurus Pusat (DPP) masing-masing
partai, selain faktor utama yakni terpenuhinya syarat prosedural yakni
Undang-Undang dalam pencalonan kepala daerah dan wakilnya.
Satu hal lagi yang menarik dari proses pemilihan umum secara
langsung, termasuk dalam konteks pemilihan kepala daerah di tingkat
kabupaten. Figur atau sosok calon bupati
dan wakil bupati dengan visi dan misi yang dimilikinya menjadi prefernsi yang
sangat penting bagi partai politik dalam melakukan pertimbangan koalisi.
Begitupun dalam konteks proses penentuan koalisi Sahate dalam pemilihan kepala daerah
kabupaten Purwakarta, figur seorang Dedi Mulyadi menjadi bagian terpenting
dalam penentuan keputusan koalisi. Dedi
Mulyadi dikenal sebagai individu yang cerdas, sederhana, merakyat dan sangat
menjunjung tinggi budaya Sunda, sebagai basis kebudayaan masyarakat Purwakarta[15]
ditambah lagi faktor kepopulerannya di masyarakat Purwakarta
sekitar 98 persen. Dia dikenal masyarakat sekitar 70 persen, dan masyarakat
memiliki tingkat kesukaan sekitar 80 persen.[16]
Disamping itu, visi dan misi Dedi Mulyadi
sebagai Bupati Purwakarta yang ditungkan dalam “SALAPAN
LENGKAH NGAWANGUN NAGRI RAHARJA” (Sembilan Langkah Membangun Purwakarta
Sejahtera) Program Pembangunan Purwakarta 2012-2018) yang merupakan strategi,
target, sekaligus pula kerangka kerja pelaksanaan pembangunan Purwakarta, di
antaranya:[17] a)
Pendidikan Gratis Sampai Tingkat SLTA Bagi Masyarakat Miskin; b) Pembebasan
Biaya Pembelian Buku Sekolah dan Pengembangan Kurikulum Pendidikan Baca Tulis
Al Quran Bagi Siswa TK,SD, SLTP dan SLTA Yang Beragama Islam; c) Pelayanan KTP,
Kartu Keluarga dan Akta Kelahiran Gratis Bagi Seluruh Masyarakat Dengan Sistim
Pelayanan Di Tingkat Desa dan Kelurahan; d) Pembangunan Puskesmas Rawat Inap Di
Seluruh Kecamatan; e) Peningkatan Kesejahteraan Guru dan Pegawai Melalui
Insentif Kehadiran, Serta Peningkatan Kesejahteraan Kepala Desa, Aparatur Desa,
Bamusdes, LPM, Linmas Hansip, Kadus, RW, RT, DKM, dan Guru Ngaji Melalui
Otonomi Desa dan Kelurahan; f) Pengembangan dan Pelebaran Jalan Hotmix Serta
Listrik Sampai Pelosok Perdesaan, Membuat/Mengoptimalkan Jalur Tembus Cikao
Bandung-Babakancikao, Kiarapedes-Cibatu, Pasawahan-Cibatu, Pasawahan-Pondoksalam,
Pasawahan-Purwakarta, Pondoksalam-Bojong, Wanayasa-Pondoksalam,
Bojong-Darangdan, Campaka-Cibatu-Bungurari, Membuka Pintu Tol Sawit, Serta
Pelebaran Jalan Sawit-Wanayasa; g) Pengembangan Air Bersih dan Irigasi
Perdesaan Secara Menyeluruh Dan Mengoptimalkan Sungai Ciherang Untuk Irigasi
Perairan Pondoksalam-Pasawahan, Sungai Cikao Untuk Irigasi Perairan
Bojong-Darangdan-Jatiluhur, dan Sungai Cimunjul Untuk Irigasi Perairan
Purwakarta-Babakancikao. Pengembangan Irigasi Cilamaya Untuk Pertanian Kiarapedes-Wanayasa-Cibatu-Campaka-Bungursari,
Serta Mengoptimalkan Fungsi Bendungan Cirata dan Jatiluhur Untuk Pertanian
Masyarakat Maniis, Plered, Tegalwaru, Sukatani, Sukasari, dan Jatiluhur Dengan
Pola Integrasi Kehutanan, Pengairan, Perikanan, Pertanian, Peternakan dan
Pariwisata; h) Pengembangan Kawasan Terpadu Kecamatan Bungursari, Pengembangan
Tata Kota dan Tata Bangunan Yang Beridentitas Purwakarta, Renovasi Bangunan
Tua, Pengembangan Halaman Stasion, Penyempurnaan Situ Buleud, Penataan
Alun-Alun, Integrasi Bangunan Pemerintah, Serta Pemberian Perlindungan Yang
Menyeluruh Terhadap Keberadaan Dan Kualitas Pedagang Serta Pasar Tradisional;
i) Pengembangan Investasi Dengan Menyiapkan Tanah Untuk Industri Dengan Sistem
Sewa Yang Disiapkan Oleh Pemerintah Daerah.
Adanya relevansi penjabaran visi dan misi yang dideskripsikan di atas
dengan visi dan misi beberapa partai politik menjadi bagin dari referensi
partai untuk melakukan koalisi mendukung Dedi Mulyadi sebagai calon bupati
Purwakarta.[18]
II.3 Bentuk
Koalisi Partai Politik dalam Pemilukada Purwakarta tahun 2013
Berdasarkan pemaparan di atas, secara sepintas dapat diasumsikan bahwa berdasarkan
perspektif partai peserta koalisi “Sahate” yang mengusung pasangan Dedi
Mulyadi dan Dadan Koswara pada pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Purwakarta
dapat dikategorikan sebagai koalisi yang didasarkan Minimum Connected
Winning (MCW) dari Robert Axelrod,[19] menekankan partai politik sebagai “policy seeking” atau upaya
perwujudan kebijakan. Namun di sisi lain
fenomena koalisi Sahate dapat dilihat
sebagai Minimum
Winning Coalition (MWC) yang berorientasi
terhadap office seeking jika dilihat
dari perspektif Dedi Mulyadi sebagai individu yang mencalonkan diri sebagai
calin Bupati Purwakarta tahun 2012-2018. Sehingga
dapat diasumsikan bahwa dalam penentuan tipe koalisi khusunya dalam konteks
Indonesia, terutama dalam kasus koalisi Sahate
pada Pemilu kepala daerah kabupaten Purwakarta tahun 2012 tidak dapat tegas
ditentukan bahwa pola atau bentuk koalisi tersebut adalah teori Riker yang
menekankan koalisi pada “minimal winning”
menekankan bahwa partai politik bersifat “office seeking” (memaksimalkan
kekuasaan), ataupun Axelrod dengan koalisi “minimum
connected” menekankan partai politik sebagai “policy seeking”
(mewujudkan kebijakan sesuai kepentingan partai). Karena kita perlu melihat
dari berbagai perspektif, dalam perspektif Dedi Mulyadi misalnya penentuan
koalisi yang cukup besar yang diusung oleh cukup banyak partai Partai
Golongan Karya (Golkar), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Gerakan
Indonesia Raya (Gerindra), dan Partai Demokrasi Pembaharuan (PDP) sebagai upaya
untuk menguasai mayoritas di DPRD Kab.
Purwakarta dan menjamin stabilitas pemerintahan pasca pemilihan[20] dan
hal tersebut nampaknya dibutuhkan sebagai strategi untuk merealisasikan visi
dan misinya sebagai Bupati Purwakarta pada periode tahun 2012-2018 sebagaimana
yang dikemukakan Riker. Namun di sisi lain, perlu dilihat pula bahwa dalam perspektif
partai-partai koalisi seperti Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Hati Nurani Rakyat
(Hanura), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), dan Partai Demokrasi
Pembaharuan (PDP) koalisi terbentuk
sebagai upaya dalam kesamaan pencapaian kebijakan dan tujuan partai politik politik, sehingga tujuannya partai-partai
ingin membentuk koalisi sebagai langkah meminimalkan
konflik kepentingan dalam sesama anggota koalisi. Maka membentuk koalisi atas dasar
kesamaan tujuan kebijakan dinilai penting, dan hal ini serupa dengan teori Minimum Connected Winning (MCW)
dari Robert Axelrod.[21]
Oleh karena
itu, nampaknya asumsi teori yang dikemukakan oleh Riker yang menekankan koalisi
pada “minimal winning” menekankan
bahwa partai politik bersifat “office seeking” (memaksimalkan
kekuasaan), ataupun Axelrod dengan koalisi “minimum
connected” menekankan partai politik sebagai “policy seeking”
(mewujudkan kebijakan sesuai kepentingan partai) cukup sulit digunakan dalam
konteks Indonesia, khususnya dalam koalisi “Sahate” pada pemilihan Kepala
Daerah Kabupaten Purwakarta tahun 2012.
BAB III
KESIMPULAN
Berdsarkan
pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa proses koalisi yang terjadi di tingkat
lokal khususnya dalam kasus pemilihan kepala daerah di Kabupaten Purwakarta,
pertimbangan koalisi dipengaruhi beberapa faktor, diantaranya kekuatan partai
politik di DPRD Kabupaten Purwakarta, mekanisme internal partai politik, peran
Dewan Pengurus Pusat (DPP) Partai Politik dan sangat penting adalah figur dari
para calon kepala daerah. Seperti yang terjadi dalam koalisi Sahate yang mendukung pasangan Dedi
Mulyadi dan Dadan Koswara. Figur calon kepala daerah seperti Dedi Mulyadi
dengan visi dan misi yang selalu
berlandaskan kearifan lokal dan tujuan untuk mensejahterakan masyarakat dengan
cara mengoptimalkan pelayanan publik, menjadi salah satu faktor penting yang
dilihat partai politik dalam mempertimbangkan keikutsertaannya dalam koalisi.
Selain itu dalam kasus koalisi pilkada lokal cukup sulit untuk menentukan
apakah tipe koalisi Minimum Winning
Coalition (MWC) yang berorientasi terhadap office seeking yang dikemukakan Rieker ataupun koalisi dengan tipe Minimum Connected Winning (MCW) yang
berorientasi pada policy seeking yang
dikemukakan oleh Alexord, hal ini disebabkan perlunya melihat fenomena koalisi
dari berbagai perspektif, baik dari segi pihak yang mengajukan diri dalam
pencalonan kepala daerah maupun pihak yang ingin bergabung menjadi bagian dari
koalisi tersebut.
Daftar Pustaka
Sumber Buku:
Lijphart,
Arend. Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial. Jakarta: Raja
Grafindo, 1995
Bambang, Cipto. Prospek dan Tantangan Partai Politik. Jakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Gaffar,
Afan. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi. Jakarta:
Pustaka Pelajar, 1999.
Lijphart,
Arend. Democracies: Patters of
Majoritarian and Consensus Goverment in Twenty-One Countries. New Haven: Yale University Press, 1984.
Pridham,
Geoffrey. Coalition Behaviour and Party
Systems in Western Europe: A Comparative Approach, 1987.
Sumber Jurnal:
Craig
Volden & Clifford J. Carrubba. The
Formation of Oversized Coalition in Parliamentary Democracies dalam American
Journal of Political Science, Vol. 48, No.3, July 2004.
Sumber Tesis:
Wardani,
Sri Budi Eko. Koalisi dalam Pemilihan
Kepala Daerah Secara Langsung: Kasus Pilkada Provinsi Banten Tahun 2006. Jakarta: Universitas Indonesia, 2007.
Sumber Wawancara
No
|
Nama
|
Jabatan
|
1
|
Sarif
Hidayat
|
Ketua DPD Partai Golongan Karya (Golkar) Kabupaten
Purwakarta
|
2
|
Neng
Supartini
|
Ketua DPC Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
Kabupaten Purwakarta
|
3
|
Hariyanto
|
Sekjen DPC Partai Gerakan Indonesia Raya
(Gerindra) Kabupaten Purwakrta
|
4
|
Asep Maman
|
Ketua DPC Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
(PDIP) Kabupaten Purwakarta
|
Sumber Website
Nn. Dedi Menang Karena Populer.
http://jabar.tribunnews.com/2012/12/15/dedi-menang-karena-populer
diakses pada Jumat, 22 November 2013; Pukul 06.38 WIB.
Nn. Dedi-Dadan Menang Telak di Pilbub Purwakarta. http://jabar.tribunnews.com/2012/12/21/dedi-dadan-menang-telak-di-pilbub-purwakarta diakses pada Minggu, 24 November 2013; Pukul
06.34 WIB.
Nn.http://i1223.photobucket.com/albums/dd508/bappedapurwakarta/PurwakartaIstimewa300.jpg
diakses pada Minggu, 24 November 2013; Pukul 21.30 WIB.
Nn.
bappedapurwakarta.net/beranda/informasi-terkini/139-program-kerja-pemkab-purwakarta-tahun-2013.html
diakses pada Senin, 25 November 2013; Pukul 20.13 WIB.
Nn.
http://static.inilah.com/data/berita/foto/1907461.jpg
diakses pada Sabtu, 23 November 2013; Pukul 10.30 WIB.
Nn.
http://tvberita.com/foto_berita/medium_61Foto-0283.jpg
diakses pada Sabtu, 23 November 2013; Pukul 10.28 WIB.
[1] Arend Lijphart. Sistem Pemerintahan Parlementer
dan Presidensial (Jakarta:
Raja Grafindo, 1995), hlm. 221,
[2] Cipto Bambang. Prospek dan Tantangan Partai Politik (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 22.
[3] Gaffar, Afan. Politik
Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi (Jakarta:
Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 123.
[4] Arend Lijphart. Democracies: Patters of Majoritarian and
Consensus Goverment in Twenty-One Countries (New Haven: Yale University
Press, 1984), hlm. 47-49.
[5] Ibid.,
[6] Craig Volden & Clifford J.
Carrubba. The Formation of Oversized
Coalition in Parliamentary Democracies dalam American Journal of Political
Science, Vol. 48, No.3, July 2004.
[7] Dalam Tesis Sri Budi Eko
Wardani. Koalisi dalam Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung: Kasus Pilkada
Provinsi Banten Tahun 2006 (Jakarta: Universitas Indonesia, 2007), hlm. 37.
[8] Geoffrey Pridham. Coalition
Behaviour and Party Systems in Western Europe: A Comparative Approach, 1987
dalam Tesis Sri Budi Eko Wardani. Ibid., hlm. 17.
[9] Ibid.,
[10] Dedi-Dadan Menang Telak di Pilbub Purwakarta. http://jabar.tribunnews.com/2012/12/21/dedi-dadan-menang-telak-di-pilbub-purwakarta diakses pada Minggu, 24 November 2013; Pukul 06.34 WIB.
[11] Dedi Menang Karena Populer. http://jabar.tribunnews.com/2012/12/15/dedi-menang-karena-populer diakses pada Jumat, 22 November
2013; Pukul 06.38 WIB.
[12] Data diolah dari Hasil
Penghitungan Suara Sah Partai Politik Peserta Pemilu Dalam Pemilu Anggota DPRD
Kab/Kota Purwakarta Tahun 2009 keluaran KPU
[13] Wawancara dengan Sarif Hidayat
selaku Ketua DPD Golkar Purwakarta, pada Minggu, 24 November 2013.
[14] Wawancara dengan Acep Maman
selaku Ketua DPC PDIP Purwakarta, pada
Sabtu, 23 November 2013.
[15] Wawancara dengan Acep Maman
selaku ketua DPC PDIP Kab. Purwakarta; Neng Supartini selaku Ketua DPC PKB Kab.
Purwakarta dan Hariyanto selaku Sekjen DPC Partai Gerindra Kab. Purwakrta pada
sabtu, 23 November 2013.
[16] Dedi Menang Karena Populer. http://jabar.tribunnews.com/2012/12/15/dedi-menang-karena-populer diakses pada Jumat, 22 November
2013; Pukul 06.38 WIB.
[17] bappedapurwakarta.net/beranda/informasi-terkini/139-program-kerja-pemkab-purwakarta-tahun-2013.html
diakses pada Senin, 25 November 2013; Pukul 20.13 WIB.
[18] Wawancara dengan Acep Maman
selaku ketua DPC PDIP Kab. Purwakarta; Neng Supartini selaku Ketua DPC PKB Kab.
Purwakarta dan Hariyanto selaku Sekjen DPC Partai Gerindra Kab. Purwakrta pada
sabtu, 23 November 2013.
[19] Craig Volden & Clifford J.
Carrubba. The Formation of Oversized
Coalition in Parliamentary Democracies dalam American Journal of Political Science,
Vol. 48, No.3, July 2004.
[20] Wawancara dengan Sarif Hidayat
selaku Ketua DPD Golkar Purwakarta, pada Minggu, 24 November 2013.
[21] Craig Volden & Clifford J.
Carrubba. The Formation of Oversized
Coalition in Parliamentary Democracies dalam American Journal of Political
Science, Vol. 48, No.3, July 2004.