oleh Alpiadi Prawiraningrat
Bagaiamana
dinamika gerakan buruh di Indonesia? Apakah perbedaan antara gerakan buruh pada
masa orde baru dan reformasi? Apakah hal
yang paling membedakan pada gerakan buruh di Indonesia pada masa reformasi?
Dalam tulisan Syarif Arifin, Fahmi Panimbang dan kawan-kawan berjudul
Memetakan Gerakan Buruh: Antologi Tulisan
Mengenang Fauzi Abdullah membantu kita untuk melihat kembali dinamika
perjalanan gerakan buruh di Indonesia, khususnya pada periode 2002-2009, yang
merupakan fase awal reorganisasi gerakan buruh di Indonesia pasca-Orde Baru. Tulisan
tersebut mencoba memetakan hambatan dan tantangan yang dihadapi serikat buruh Indonesia
pasca-Orde Baru dan melakukan penataan ulang gerakan buruh di Indonesia salah satunya
dengan menerapkan kebijakan serikat buruh tunggal, serta dimasukannya militer
dalam serikat buruh, sehingga melahirkan mekanisme kontrol dan penaklukan kelas
buruh yang berhasil menyingkirkan buruh dari proses penyelesaian masalah dengan
cara-cara yang represif.
Berdasarkan sejarah
silam, gerakan buruh di Indonesia telah menorehkan perjuangan yang sangat besar
bagi bangsa ini, termasuk pada proses perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Organisasi buruh pertama di Indonesia berdiri pada tahun 1879, yang
beranggotakan para guru. Pada tahun-tahun pertama abad ke-20, berdiri
organisasi pegawai kereta api dan term pada 1908, bersamaan dengan lahirnya
Boedi Oetomo.
Selain menjelaskan
mengenai perjalanan gerakan buruh di Indonesia yang pada historisnya tidak
mengikuti ideologi tunggal, melainkan mengikuti berbagai ideologi politik.
Seperti, SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) yang berafiliasi
pada partai komunis. SBII (Serikat Buruh Islam Indonesia) yang didirikan oleh
Partai Masyumi, KBKI (Konsntrasi Buruh Kerakyatan Indonesia) yang merupakan
bagian Partai Nasional Indonesia (PNI), atau SARBUMUSI (Serikat Buruh Muslim
Indonesia) yang didirikan di lingkungan NU (Nahdlatul Ulama). Menariknya, sekalipun gerakan buruh
di Indonesia terpecah oleh ideologi politik aliran atau secara struktur formal
tidak bersatu, mereka menemukan asas-asas perjuangan yang sama. Terbutkti,
gerakan buruh berhasil memperjuangkan nasibnya melalui jalan parlementer,
dengan lahirnya sejumlah undang-undang menyangkut peningkatan hak-hak asasi
manusia dan standar ketenanagakerjaan melalui UU No. 21 Tahun 1954 tentang
Perjanjian Perburuhan yang memberikan hak kepada serikat buruh untuk berunding
secara kolektif (collective Bargaining).
Tulisan ini juga menjelaskan
bagaimana keadaan buruh dan serikat buruh dalam konteks ekonomi-politik
regional Asia. Di kawasan Asia Tenggara diwakili oleh Indonesia, Thailand,
Filipina, dan Malaysia. Adapun konteks regional Asia dilihat melalui dampak
industrialisasi Cina terhadap persoalan perburuhan di dalam negerinya.
Kemudian, dibahas pula potret ringkas mengenai gerakan buruh di Korea yang
konon dinilai paling progresif.
Selanjutnya gerakan
buruh di Indonesia juga diwarnai oleh keberadaan serikat buruh yang memasukkan
agenda-agenda politik sebagai bagian integral dari kerja-kerja keserikatburuhan,hingga
serikat buruh yang tetap mempertahankan watak ekonomistiknya serta menganggap
agenda-agenda politik sebagai bagian yang terpisah dari kerja-kerja
keserikatburuhan itu sendiri dalam rangka menciptakan suatu pakta sosial
berbasis gerakan buruh. Selain itu, disinggung pula mengenai dinamika perubahan
hukum perburuhan di Indonesia sebagai sebuah gambaran tarik-ulur kepentingan
antara gerakan buruh, negara, dan pemodal. Kemudian, bagaimana dinamika
pertarungan gerakan buruh dan masuknya investasi ke daerah-daerah dalam ruang
kontestasi politik lokal yang tercipta akibat kebijakan desentralisasi
kekuasaan.
Kemudian, di
sisi lain dijelaskan juga isu-isu demokrasi, konflik antar-serikat, dan
kesejahteraan buruh. Salah satu warisan otoritarianisme Orde Baru adalah
penghancuran tradisi perlawanan dan demokrasi di dalam serikat buruh. Hal
tersebut menjadi tantangan yang perlu dijawab oleh serikat buruh untuk
membangun demokrasi di dalam kehidupan sehari-hari serikat buruh dengan
terus-menerus mengembangkan praktik organisasi yang demokratis, sehinga tidak
lagi menempatkan anggota sebagai penonton, akan tetapi mengembalikan posisinya
sebagai pemegang kedaulatan organisasi.
Hal menarik
selanjutnya adalah pendapat yang dikemukakan oleh Arief W. Djati,
salah satu penulis yang mengatakan bahwa ketimpangan buruh di Indonesia saat
ini tidak lepas dari beberapa faktor, yaitu: Pertama, kehancuran basis organisasi buruh sejak Orde Baru.
Tindakan represif yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru saat itu benar-benar
membuat gerakan buruh hancur total. Yang mana, aparat melakukan pemenjaraan, pembuangan,
pembantaian, dan penculikan tokoh-tokoh buruh progresif. Sehingga buruh
“kehilangan” sumber referensi maupun pengetahuan dalam teknis berorganisasi. Kedua,
konflik antar serikat buruh. Pada idealnya konflik adalah hal yang biasa.
Sebab, hal ini merupakan hukum alam atau konskuensi logis dari sebuah
organisasi. Namun, selama ini konflik yang berkembang berpotensi pada
permusuhan antar serikat buruh. Sehingga, visi dan misi perjuangan dari
organisasi buruh terabaikan. Maka, dibutuhkan manajemen konflik yang baik untuk
menjadikan konflik yang konstruktif, sehingga tidak melupakan pada asas-asas
perjuangan utama gerakan buruh.
Selanjutnya,
sebagai masukan atas perjuangan gerakan buruh di Indonesia kedepan. M. Dawam
Rahardjo memberikan masukan dalam tulisannya yang merujuk pada pola perjuangan
buruh di Inggris, yaitu: Pertama,
membentuk satu serikat buruh atau trade
union yang memperjuangkan kepentingan ekonomi kaum buruh, melalui
perundingan-perundingan dengan menajemen profesional, majikan, dan pemerintah. Kedua,
membentuk partai nasional yang satu, seperti partai buruh di Inggris dan
berbagai negara Eropa Barat. Di Inggris, Partai Buruh didukung oleh serikat
buruh. Peranan partai buruh ini adalah memperjuangkan ide-ide politik, misalnya
menciptakan negara kesejahteraan. Dengan konsep negara kesejahteraan ini maka
gerakan buruh tidak bertujuan untuk menjadi kelas yang berkuasa seperti di
negara-negara komunis, mengikuti model Lenin, namun partai ini bisa meraih
suara mayoritas dari pemiliah umum, seperti di Inggris.
Namun
demikian terdapat beberapa kritikan terhadap buku ini, di antaranya:[1]
kosongnya pembahasan mengenai kondisi buruh di sektor perkebunan. Kondisi ini
sebenarnya sudah pernah diingatkan oleh Fauzi Abdullah, jauh sebelumnya, bahwa
analisis di dalam Jurnal Sedane terlampau manufaktur sentris. Terlepas dari
berkembang pesatnya sektor industri manufaktur di Indonesia sejak 1979an,
sektor perkebunan memiliki posisi yang terlampau penting untuk dilewatkan.
Di sisi
lain, kekosongan bahasan dinamika buruh perkebunan memberikan catatan bahwa
restrukturisasi gerakan buruh di Indonesia cenderung hanya terkonsentrasi pada
sektor manufaktur yang bersifat hilir (atau sektor non-perkebunan). Sementara
di sektor perkebunan, gerakan buruh di Indonesia memiliki satu persoalan
mendasar yang membutuhkan analisis, yaitu relatif tidak terjadinya reorganisasi
di tubuh serikat buruh sektor perkebunan, yang mengakibatkan gerakan buruh di
sektor perkebunan terus mengalami stagnasi, di mana rezim serikat buruh tipe lama
masih tetap mapan, dan nyaris tidak terpengaruh oleh gelombang restrukturisasi
gerakan buruh di Indonesia, setidaknya melalui perubahan kebijakan negara yang
menghasilkan kebebasan berserikat. Hal tersebut menunjukkan terjadinya
kesenjangan antara dinamika gerakan buruh di sektor perkebunan dan sektor
non-perkebunan, atau ada relasi yang putus antara serikat buruh yang tumbuh di
sektor manufaktur dengan sektor perkebunan.
Akan tetapi, terlepas
dari berbagai situasi yang telah dikemukakan bekaitan dengan serikat buruh di
Indonesia, tidak dapat ditampik bahwa posisi kaum buruh yang telah bekembang selama
ini telah memberikan kontribusi yang sangat besar sebagai bagian bangsa
Indonesia, baik sebagai warga negara maupun sebagai tulang punggung ekonomi
bangsa. Sehingga, kesejahteraannya sudah selayaknya di perhatikan secara serius
oleh pemerintah. Hal tersebut menunjukan
bahwa kehadiran dan perjuangan serikat buruh dinilai sebagai salah satu aktor
penting sebagai upaya menciptakan kesejahteraan buruh di Indonesia.
Daftar Pustaka
Sumber Buku:
Syarif Arifin,
Fahmi Panimbang dkk. Memetakan Gerakan Buruh: Antologi Tulisan
Mengenang Fauzi Abdullah. Depok: LIPS, Sawit Watch Kepik, 2012.
Sumber
Website:
Tanpa Nama. Memetakan
Gerakan Buruh: Antologi Tulisan
Mengenang Fauzi Abdullah dalam http://sawitwatch.or.id/2012/06/buku-memetakan-gerakan-buruh-antologi-tulisan-mengenang-fauzi-abdullah/
diakses pada Senin, 19 Mei 2014; Pukul 07.26 WIB.
Aang
Kusmawan. Ulasan Buku Memetakan Gerakan
Buruh: Antologi Tulisan Mengenang Fauzi Abdullah dalam http://www.majalahsedane.net/2013/12/potret-retak-gerakan-buruh.html
diakses pada Senin, 19 Mei 2014; Pukul 07.43 WIB.
Romel Maskyuri. Napak Tilas Gerakan Buruh dalam http://sema-uinjogja.or.id/2014/01/napak-tilas-gerakan-buruh.html
diakses pada Senin, 19 Mei 2014; Pukul 07.47 WIB.