Pendahuluan
Pemerintahan
Orde Baru dapat dikenali dengan praktek kekuasaan yang sentralistik pada
Suharto. Menurut Eep Saefulloh Fattah, pemerintah Orde Baru memilih model
pengelolaan kekuasaan yang sentralistis dalam birokrasi dengan tujuan untuk
menyokong proyek stabilisasi ekonomi dan politik secara cepat[1]. Stabilisasi politik ini pada
akhirnya ditujukan untuk menopang pembangunan ekonomi yang dijadikan komando. Selain
itu, Orde Baru juga ditandai dengan praktek KKN yang merajalela. Praktek korup
tersebut bukan hanya melibatkan aktor-aktor politik di dalam pemerintahan,
melainkan juga para pebisnis sebagai klien dari pemerintah. Sehingga, praktek
KKN tersebut pada dasarnya juga berkaitan dengan relasi antara bisnis dan
politik.
Andrew
Maclntyre dalam tulisannya yang berjudul, Bussines
and Politics in Indonesia, melihat ada beberapa pendekatan untuk memotret
pola hubungan antara pemerintah dan pemilik modal/pebisnis[2]. Salah satu pendekatan
disebutkan di sana bahwa pola relasi bisnis antara pemerintah dan pebisnis pada
masa Orde Baru banyak bersifat patron-klien. Dari hubungan tersebut, keuntungan
dan keistimemawaan diperoleh pebisnis sebagai klien dari pemerintah.
Kebijakan-kebijakan masa Orde Baru terkait ekonomi, perizinan, sumber daya
alam, dan lainnya, sangat menguntungkan segelintir pebisnis, dan mengekeslusi
pebisnis lainnya. Ini yang disebut oleh Natasha Hamilton Hart sebagai “particularitic inlusion”. Krisis
ekonomi yang terjadi pada 1997 mengakibatkan rezim Soeharto jatuh pada 1998,
dan dimulainya era reformasi di Indonesia.
Era
reformasi ditandai dengan sebuah cita untuk mengubah apa yang terjadi di era
Suharto. Dengan itu, maka berbagai perubahan institusional dimunculkan. Dua hal
yang penting untuk dicatatkan di sini, menurut penulis, adalah pelembagaan
demokratisasi dan desentralisasi.[3] Demokratisasi memiliki
tujuan agar sistem politik dapat lebih terbuka dan demokratis. Artinya, setiap
kelompok politik dapat menjadi input
dalam pembuatan kebijakan. Sehingga setiap warga negara diasumsikan bisa
terlibat dalam pembuatan keputusan politik. Sedangkan, desentralisasi memiliki
tujuan utama untuk mencegah adanya kekuasaan yang tersentralisasi pada
segelintir orang, yang diyakini pada akhirnya akan selalu korup. Desentralisasi sendiri memiliki beberapa asumsi, antara
lain, akuntabilitas, responsiveness, partisipasi
aktif warga negara.[4]
Bergesernya model pengelolaan kekuasaan dari sentralistik ke desentralisasi
diharapkan sesuai dengan tujuan di atas. Tujuan besarnya adalah sistem politik
dapat lebih demokratis, sehingga praktek korup
pada pemerintahan Suharto tidak terjadi lagi.
Namun kenyataannya,
proses tersebut tidak menghasilkan harapan yang diinginkan. Pada paper ini,
kita akan fokuskan pada kasus korupsi yang terjadi. Berdasarkan data Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) dalam penanganan kasus korupsi dari tahun 2004-2014 (per 31 Maret
2014) mengalami peningkatan[5]. Berdasarkan data tersebut,
dalam sepuluh tahun terakhir, meski desentralisasi diterapkan, namun tingkat
korupsi tidak mengalami penurunan. Artinya, kasus KKN yang diharapkan hilang
pasca Suharto lengser ternyata belum terjadi. Tingginya kasus korupsi ini
penting untuk dilihat sebagai bagian dari pola relasi bisnis dan politik. Hal
itu karena pada dasarnya tindakan korup merupakan persoalan sistemik yang
melibatkan kepentingan ekonomi dan politik. Pada paper ini, penulis berusaha
memotret relasi bisnis dan politik pada era reformasi dari fenomena yang
empiris, yaitu korupsi. Maka dari itulah, dalam paper ini, penulis akan
memproblematisasi tingginya kasus korupsi dalam era reformasi berkaitan dengan relasi
bisnis dan politik yang sedang berjalan sekarang. Dengan itu, paper ini
diharapkan dapat memotret bagaimana pola relasi bisnis dan politik pada era
reformasi saat ini, dan mengapa pola itu bisa mewujud seperti itu.
Korupsi
dan Rent Seeking
Sebelum
membahas model pola relasi bisnis dan politik yang ada di Indonesia pada era
reformasi, akan dijelaskan pada tulisan ini bagaimana mendefinisikan korupsi
dan hubungannya dengan konstruksi demokrasi dan kapitalisme. Merujuk pada John
Girling dalam studinya yang berjudul Corruption,
Capitalism and Democracy bahwa perilaku korupsi tidak hanya melibatkan
aktor yang ada dalam institusi pemerintah, tapi juga dalam cakupan yang lebih
luas, seperti misalnya relasi antara pebisnis dan politisi untuk ‘berbagi’
sumber daya negara.[6]
Ungkapan
Lord Acton “politics tends to corrupt,
absolute power corrupt absolutely” dapat ditafsirkan bahwa rezim yang
otoriter rentan akan korupsi. Hal ini dikritik oleh Girling bahwa korupsi juga
dapat terjadi di rezim yang demokratis. Korupsi, terjadi pada arena yang
terdapat kekuasaan di dalamnya, oleh Girling kekuasaan ini ditarik ke dalam
konsep yang lebih sempit yaitu hubungan kekuatan ekonomi dan politik yang
menjadi basis pemerintahan yang berorientasi ke sistem kapitalis. Logika sistem
politik yang demokratis dan sistem ekonomi politik yang kemudian melanggengkan
korupsi dilihat dari sudut pandang sistemik.
Mengapa?
Girling menyebut kekuatan ekonomi ‘berbahaya’ bagi kekuatan politik.[7] Bila kita merujuk ke
konsepsi demokrasi yang berarti kebebasan, pun dalam relasi bisnis dan ekonomi
demokrasi terejawantahkan dalam konsepsi lobbying
dan advertising. Lobbying dan advertising ini adalah cara yang
digunakan pebisnis untuk mempengaruhi kebijakan yang akan dikeluarkan oleh
politisi. Di sistem pemerintahan yang berorientasi pada pasar, para pembuat
kebijakan akan cenderung untuk memperhatikan kepentingan bisnis ketimbang
publik. Hal ini dianggap sebagai sebuah pilihan yang rasional, karena pada
sistem pemerintahan yang berorientasi pasar ekonomi yang efektif akan
memperkuat sistem politik itu sendiri. Karena itu, akan selalu terbuka ruang lobbying dan advertising dari pebisnis ke politisi.
Pada kasus
yang lebih ekstrem, misal Inggris di bawah pemerintahan Margareth Tatcher,
tidak ada lagi society (sipil). Society dimaknai sebagai hubungan antara
produsen dan konsumen yang dimediasi oleh pasar. Sehingga, kebijakan yang
dikeluarkan oleh negara ditujukan untuk mengangkat business confidence[8]
dan kompetisi internasional. Sehingga
pada titik ini Girling mengeluarkan argumen bahwa persoalan korupsi adalah
persoalan sistemik ketimbang persoalan legal atau ilegal.
Lalu,
bagaimana persoalan lobbying dan advertising oleh pebisnis ke politisi
dapat dikategorisasi menjadi persoalan korupsi? Kami merujuk kepada teori rent seeking, dimana terdapat
‘pemilahan’ kebijakan mana yang akan diberlakukan, berdasarkan interaksi dengan
para pebisnis. Menurut Krueger, aktivitas berburu rente ini muncul karena
perbedaan lisensi yang dikeluarkan pemerintah.[9]
Sedangkan
Tullock, menurunkan teori rent seeking kedalam
dua aspek utama, yakni transfer cost dan
competing rents. Transfer cost adalah
biaya yang dikeluarkan untuk melobi kebijakan yang akan dikeluarkan oleh
pejabat publik, dengan menyewa pengacara dan kampanye politik. Sedangkan competing rents adalah pihak pebisnis
melobi negara untuk peraturan tertentu yang menyangkut pajak, distribusi, kuota
impor, subsidi dan lain sebagainya. Pada kondisi competing rents, logika yang bermain adalah prisoner dilemmas. Pihak-pihak yang akhirnya kalah dalam
berkompetisi mendapatkan rente, akan tetap mendapatkan keuntungan. Misalnya,
dalam konteks pemberlakuan pajak, karena cakupan sasaran kebijakan tersebut
luas bukan hanya untuk pebisnis tertentu saja. [10]
Teori rent seeking tradisional tentu tidak
dapat menjawab bagaimana keterkaitan rent seeking dengan perilaku korupsi. A.K.
Jain, dalam Corruption and Rent Seeking,
memberikan catatan bahwa perilaku rent seeking dapat dikategorisasikan menjadi
korupsi, ketika kesempatan lobby tidak ditransparansikan ke publik, jadi hanya
pihak-pihak tertentu yang dapat terlibat kompetisi.[11] Tetapi, argumen ini tidak
lagi relevan untuk negara otoriter yang tidak mempertimbangkan pendapat publik
dalam melakukan relasi bisnis dan politik. Jain menambahkan, rent seeking dapat
disebut korupsi ketika pebisnis yang melakukan lobi membayar atau memberikan
uang (secara pribadi) ke pejabat publik. Lain halnya ketika pebisnis
mengeluarkan cost untuk melakukan
lobi, atau yang disebut dengan transfer
cost seperti yang sudah dijelaskan di atas.[12]
Perilaku
rent seeking yang dikategorisasikan sebagai korupsi dapat dihubungkan dengan sistem
pasar yang monopoli. Sumber daya negara, dikuasai oleh pihak tertentu untuk
kemudian dikompetisikan siapa yang dapat mengelola atau mendapatkan sumber daya
negara tersebut. Para pembuat kebijakan, dalam konsepsi rent seeking akan
meminggirkan kepemilikan publik di dalam pengalokasian sumber daya negara
tersebut. Persoalan korupsi dalam kerangka rent seeking tidak dapat sekadar
dipahami apakah korupsi tersebut melanggar hukum, atau legal/ilegal, karena
justru pejabat publik yang menciptakan hukum atau peraturan untuk
melegalkannya.
Pola
Relasi Bisnis-Politik Orde Baru
Untuk
melihat bagaimana pola relasi bisnis dan politik saat ini, kita tidak bisa langsung
melompat pada apa yang terjadi sekarang. Penulis dalam hal ini, menggunakan
pendekatan kesejarahan guna merekonstruksi bagaimana situasi dan kondisi hari
ini adalah bangunan yang dibentuk dari akumulasi peristiwa sebelumnya. Untuk
itu, sangat perlu kita merujuk bagaimana pola bisnis dan politik terjadi di
masa Orde Baru.
Rejim Orde
Baru pada dasarnya menciptakan sistem Oligarki, yang kebanyakan diisi oleh
konglomerat Tionghoa, dengan pola patronase yang tersentral pada Suharto. Rejim
Orde Baru ini, dengan segala kekuatannya, secara efektif menjadi pelindung dan
penopang hidupnya kekuatan bisnis tersebut. Hal itu dilakukan dengan segala
kemudahan yang diberikannya, baik berupa lisensi, monopoli, subsidi, maupun
kucuran kredit yang longgar. Dari adanya rent
yang diberikan pemerintah tersebut, kekuatan bisnis itu tumbuh dan
menguasai perekonomian Indonesia. Meskipun kemudian tekanan untuk menciptakan
pasar yang lebih bebas semakin kuat, yang kemudian direspon dengan kebijakan
deregulasi ekonomi pada tahun 1980-an, kekuatan bisnis yang menjalin hubungan
“dekat” dan “informal” dengan Orde Baru itulah yang mendapat keuntungan. Vedi R Hadiz mengemukakan bahwa masa kekuatan
ekonomi pada Orde Baru dapat dikatakan sebagai bentuk oligarki kapitalis[13].
Kekuasaan
sentralistik yang dibangun Soeharo telah menciptakan oligarki yang berada
dinatara kepentingan-kepentingan politis-birokratis. Dalam hal ini Soeharto dan
kroni-kroninya menggunakan kekuasaan negara secara paksa demi kepentingan
‘personal’. Sesuai dengan itu, Vedi R Hadiz memberikan ciri pada Orde Baru yang
setidaknya terdiri dari tiga hal, antara lain, pertama, suatu oligarki kapitalis yang mampu menguasai dan, “secara
instrumental”-tidak sekadar struktural-, memanfaatkan kekuasaan negara dan
lembaga-lembaganya berikut dengan kekuatan koersifnya untuk kepentingan mereka
sendiri; kedua, hubungan negara dan
masyarakat yang ditandai dengan disorganisasi sistematis terhadap kelompok civil society; ketiga, suatu sistem
patronase yang luas dan kompleks yang dipersonifikasikan oleh Suharto sendiri
dengan poros di Cendana. Sistem patronase ini menjalar dan menembus ke semua
lapisan masyarakat dari Jakarta, provinsi, kabupaten, hingga ke desa-desa.[14]
Hal ini
seperti yang dikemukakan oleh Richard Robinson yang melihat bahwa ada hubungan
patrimonial antara pemerintah dan pebisnis[15]. Kebijakan yang dibuat
oleh pemerintah cenderung berdasar atas kepentingan negara dan tidak paralel
dengan kepentingan masyarakat. Dalam pembuatan kebijakan ada proses saling
pengaruh-mempengaruhi antara birokrat dan pebisnis. Pola relasi yang
dikemukakan oleh Robinson terlihat jelas dalam pembuatan dan pelaksanaan
kebijakan berdasar hubungan dengan relasi bisnis, bukan kepentingan masyarakat
secara luas, melainkan pengadopsian kebijakan lebih melihat sejauh mana
kebijakan tersebut dapat melindungi kepentingan sebuah kelompok tertentu (dalam
hal ini pebisnis). Pola hubungan patron-klien terbentuk antara birokrat yang
memegang kekuasaan dengan kelompok kepentingan (termasuk kapitalisme kroni)
yang berusaha mencari rente.
Yoshihara Kunio melihat bahwa
kapitalis yang hidup di Indonesia sebagai ersatz capitalism atau
kapitalisme semu (bukan kapitalisme tulen, kapitalisme substitusi yang lebih
inferior). Gejala ersatz capitalism disebabkan oleh dua hal, pertama, campur tangan pemerintah terlalu besar sehingga
mengganggu prinsip persaingan bebas dan membuat kapitalisme tidak dinamis. Kedua, kapitalisme di Asia Tenggara
tidak didasarkan perkembangan teknologi yang memadai. Akibatnya tidak terjadi
industrialisasi yang mandiri. Dua faktor itu menyebabkan berkembangnya borjuasi
palsu, yang selalu minta perlindungan politik demi kepentingan bisnisnya. Kunio
mengatakan, para kapitalis yang mencoba menjalin hubungan dengan pemerintah
demi keuntungan bisnis dapat disebut pemburu rente (rent seekers). Para
kapitalis itu mencari peluang untuk menjadi penerima rente yang dapat
pemerintah berikan dengan menyerahkan sumberdayanya, menawarkan proteksi, atau
memberikan wewenang untuk jenis -jenis kegiatan tertentu yang diaturnya[16]
Kontinuitas
Relasi Bisnis dan Politik Pasca Orde Baru
Runtuhnya
rezim Orde Baru pada tahun 1998 telah membawa Indonesia memasuki babak baru
demokrasi. Tuntutan untuk menjalankan sistem demokrasi menjadi agenda pertama
yang harus dipenuhi oleh Pemerintah. Untuk itu kemudian berbagai perubahan
institusional dijalankan. Beberapa perubahan tersebut dapat dilihat dari adanya,
misalnya amandemen UUD 1945 yang mengubah sistem kekuasaan di Indonesia, adanya
Pemilu multipartai, pengakuan HAM, kebebasan pers, dan perubahan lain yang
cukup signifikan. Transisi demokrasi ini menjadikan sistem politik lebih
terbuka dibanding dengan zaman Orde Baru.
Proses
transisi pemerintahan dari Orde Baru ke Reformasi yang dipimpin oleh Habibie
diwarnai juga oleh tuntutan untuk menyelenggarakan pemerintahan yang lebih
transparan dan akuntabel. Selain menghadapi tuntutan tersebut, pemerintahan
masa transisi juga dihadapkan pada tantangan untuk menjaga integrasi nasional
akibat adanya ketimpangan antara pusat dan daerah yang terjadi pada masa Orde Baru. Sebagai upayanya mewujudkan hal tersebut,
Presiden Habibie kemudian menerapkan sistem desentralisasi yang ditandai dengan
pembentukan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.[17] Penerapan sistem desentralisasi ini
didasarkan pada tujuan untuk mewujudkan mekanisme good governance dari akar rumput sebagai bentuk konsekuensi dari
demokratisasi. Selain itu desentralisasi juga dilaksanakan dalam rangka
meningkatkan akuntabilitas dan efiseinsi pemerintahan.[18]
Desentralisasi
dipandang sebagai dasar dari pembangunan demokrasi dimana setiap masyarakat
memiliki kebebasan untuk menyampaikan aspirasi dan kepentingannya.
Pendelegasian kekuasaan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah akan mendorong
pemerintah daerah untuk menyelenggarakan public
service sesuasi dengan apa yang diinginkan masyarakat setempat, seperti
melalui taxation policy.[19]
Hal ini akan membuka kesempatan bagi masyarakat di tingkat daerah untuk
berpartisipasi dalam pembuatan keputusan dan menyediakan pelayanan bagi
kepentingan masyarakat daerah. Partisipasi yang aktif dari masyarakat ini akan
mendorong terbentuknya pemerintah yang lebih akuntabel dan transparan.
Perubahan institusional tersebut
kemudian juga mempengaruhi pola bisnis dan politik di Indonesia. Natasha
Hamilton Hart dalam tulisannya yang berjudul “Government and Private Business: Rents, Representation and Collective
Action” menunjukan kepada kita tentang relasi bisnis dan pemerintah di
Indonesia dalam konteks era reformasi.[20] Natasha menunjukan
bagaimana relasi itu sedikit berubah dibandingkan masa rezim sebelumnya (Orde
Baru).
Menurutnya,
grup bisnis saat ini memiliki suara untuk lebih didengar oleh pemerintah dan
memberikan peluang untuk lebih diakomodir kepentingannya dalam pengambilan
kebijakan dibandingkan pada masa Orde Baru. Reformasi di berbagai sektor yang dijalankan,
termasuk dalam hal ini sistem politik, berdampak pada kesempatan kepada pihak
di luar pemerintahan untuk terlibat dalam proses politik. Kelompok bisnis
kemudian menjadi salah satu agen input dalam proses politik di eksekutif atau
legislatif. Sejak 1998, kelompok bisnis menjadi lebih vocal dalam
mengekspresikan opininya atas kinerja pemerintah, kebijakan dan proses
legislasi melalui Kamar Dagang Indonesia (Kadin). Kadang, ia juga memiliki
irisan kepentingan dengan investor luar negeri, melalui agenda privatisasi,
liberalisasi, dan deregulasi. Selain itu, juga dapat menekan pemerintah untuk
memberikan privileges dan proteksi. Dengan demikian, maka perubahan
institusional memberikan pola yang lebih terbuka bagi kelompok bisnis untuk
mempengaruhi kebijakan politik secara formal.
Namun,
menurut Natasha Hart terdapat pola relasi yang masih bertahan atau diwariskan
dari masa sebelumnya ke masa sekarang.[21] Pola relasi yang
dicirikan dengan aktor bisnis yang berusaha melindungi kepentingannya dengan
menjalin relasi informal dan individu kepada aktor pemerintahan masih berjalan.
Pola transaksional yang bersifat predatoris dan bersifat patron-klien masih
terjadi. Ini dilakukan untuk mendapatkan rent
dari pemerintah. Hal itu mirip terjadi seperti di jaman Orde Baru.
Persamaan ini merupakan bentuk kontinuitas atas kondisi di jaman Orde Baru yang
masih diwariskan hingga saat ini. Tepat pada titik inilah fokus penulis untuk
memeriksa hubungan korupsi dengan relaasi bisnis dan politik.
Bila diperhatikan, pola hubungan
yang bersifat informal dan individu ini berhubungan dengan karakter relasi
patron-klien dari pebisnis ke pemerintah. Ini dilakukan pebisnis untuk
mendapatkan sejumlah perlindungan, kemudahan, dan proyek yang diberikan
pemerintah. Para kapitalis itu mencari peluang untuk menjadi penerima
rente yang dapat pemerintah berikan dengan menyerahkan sumberdayanya,
menawarkan proteksi, atau memberikan wewenang untuk jenis -jenis kegiatan
tertentu yang diaturnya[22]. Praktek tersebut yang
dinamakan dengan rent seeking (pemburu
rente). Rente (rent) sendiri didefinisikan sebagai selisih antara nilai pasar
dari suatu ‘kebaikan hati’ pemerintah dengan jumlah yang dibayar oleh si
penerima kepada pemerintah dan/atau secara pribadi kepada penolongnya di
pemerintahan (kalau ia tidak membayar sama sekali, maka seluruh nilai pasar
adalah rente, atau lebih tepatnya, rente ekonomi)[23]
Praktek itulah yang berpola sama
dengan di jaman Orde Baru dan terkait dengan pola relasi bisnis dan pemerintah
saat ini, yaitu berpusat pada pemburuan rente yang dimiliki oleh pemerintah.
Praktek rent seeking ini yang
bertransformasi melewati perubahan rejim otoriter ke demokratis. Perilaku
rent-seeking ini tidak mungkin berkembang bila tidak terjadi kerjasama
saling menguntungkan antara pemburu rente di sektor ekonomi dan kaum predator
pembuat kebijakan di sektor publik. Anne Osborne Krueger dalam karya klasik ‘The Political Economy of Rent Seeking
Society’ menjelaskan bahwa dibutuhkannya suatu lisensi atau izin dalam
kegiatan impor membuat lisensi menjadi barang yang memiliki nilai komersial.
Usaha untuk mendapat lisensi inilah yang kemudian oleh Krueger disebut
aktivitas rent-seeking. Sementara
itu, kekuasaan yang dimiliki pemerintah untuk menentukan lisensi akan membuat
lisensi itu valuable, sehingga proses
pembuatan keputusan memungkinkan pihak penentu lisensi untuk menikmati juga
bagian dari rent[24].
Praktek rent seeking ini merupakan akar dari kegiatan korupsi yang
terjadi. Pola
relasi yang
individual antara
pebisnis yang memburu rente, dan pemeritah yang memiliki kebijakan, dalam
prosesnya banyak menghasilkan kesepakatan yang berada di luar struktur lembaga
formal. Apalagi pasca Suharto jatuh, karakter elit yang predatoris
tidak menghilang dengan sendirinya. Kemudahan itu yang membuat praktek gelap
ini tetap subur walaupun sistem yang lebih terbuka telah dijalankan. Itu
diperkuat dengan hasil studi dari Ari Kuncoro dalam tulisannya yang berjudul ‘Corruption and Business Uncertainty in
Indonesia’ menjelaskan bahwa perilaku rent-seeking
berfokus pada penyuapan dan market dari
produk-produk regulasi pemerintah, seperti izin bisnis, inspeksi keselamatan
kebakaran, kepatuhan terhadap peraturan lingkungan, penilaian pajak daerah,
pemberian izin, dan inspeksi kontrak lingkungan. Hal-hal yang menjadi perilaku rent-seeking adalah lobi pemerintah
untuk proyek tertentu, proteksi industrial, dan hak monopoli eksklusif[25].
Untuk memahami bagaimana rent seeking kemudian berujung pada
korupsi, dengan gamblang kita bisa mengambil salah satu ilustrasi kasus yang
ada di Kabupaten Buol. Pada kasus ini korupsi dilakukan oleh Bupati Buol, Amran Batalipu, yang sudah divonis 7 tahun enam bulan penjara serta membayar denda
sebesar Rp 300 juta subsider satu tahun penjara
pada 11 Februari 2013. Amran terbukti menerima Rp. 3 miliar dari pengusaha dan mantan anggota Dewan Pembina
Partai Demokrat Hartati Murdaya terkait pengurusan Hak Guna Usaha (HGU) lahan
perkebunan sawit. Amran menerima uang Rp. 3 miliar dari pihak PT HIP yang
meminta Amran membuat surat rekomendasi izin usaha perkebunan (IUP) yang
ditujukan kepada Gubernur Sulawesi Tengah, serta surat rekomendasi kepada
Kepala Badan Pertanahan Nasional terkait hak guna usaha (HGU) atas lahan seluas
4.500 hektar milik PT CCM/PT HIP.[26] Pola perburuan atas lisensi ini
adalah bentuk dari rent seeking, dan
kemudian menjadi korupsi saat itu dilakukan di luar arena formal dan publik,
dan juga adanya sejumlah uang yang diberikan dalam proses lobi. Bentuk seperti
ini yang umumnya terjadi dalam pola korupsi di era reformasi. Data korupsi yang
terjadi selama sepuluh terakhir menunjukan bahwa menurut perkaranya, korupsi
terbesar dilakukan karena adanya penyuapan (170 kasus), pengadaan barang dan
jasa (115 kasus), pungutan (14 kasus) dan perijinan (13 kasus).[27]
Untuk
melihat bahwa korupsi tersebut merupakan bagian dari rent seeking, kita bisa melihat bagaimana konsepsi yag diajukan
oleh A.K. Jain bahwa essensi rent seeking
menjadi korupsi saat; dilakukan di luar hubungan publik dan formal, pebisnis
yang melakukan lobi membayar atau memberikan uang (secara pribadi) ke pejabat
publik, dan berkaitan dengan monopoli atas suatu sumber daya.[28] Pemberian uang tersebut
berkaitan untuk mendapatkan sejumlah rent
yang merupakan produk kebijakan politik.
Pasca reformasi ditandai dengan
adanya pergeseran relasi kekuasaan dari pusat ke daerah melalui kebijakan desentralisasi.
Desentralisasi ini memberikan akses pada masyarakat lokal untuk mengelola
sumber dayanya secara mandiri. Dengan itu, maka beberapa kewenangan berpindah
ke Daerah. Hal ini kemudian berimplikasi juga pada latar baru bagi pentas korupsi
di tingkat lokal. Bisa dilihat dari mulai diberlakukannya desentralisasi hingga
saat ini sudah terdapat kurang lebih 365 kasus korupsi. Data dari Kementrian
Dalam Negeri menunjukan bahwa sejak dilakukan Pilkada langsung pada 2005 hingga
Desember 2013 ini, tercatat sebanyak 311 dari 530 kepala daerah terjerat kasus
hukum, 86 persen di antaranya kasus korupsi.[29]
Hal ini
menunjukan bahwa terjadi pergeseran dalam relasi kekuasaan, juga pergeseran
peta korupsi yang dulunya tersentralisasi kemudian berkembang menjadi
terfragmentasi ketingkatan-tingkatan yang lebih kecil. Namun hal ini tidak
mengubah pola relasi bisnis dan politik yang terjadi di Indonesia, yaitu masih
terdapat beberapa kesamaan relasi bisnis dan politik yang terjadi pada masa
Orde Baru dan reformasi, yaitu rent
seeking.Pola
sebaran korupsi ini bisa dilihat dari tabel berikut:
Pergeseran pola
korupsi tersebut, tidak hanya di eksekutif dan legislatif pusat, tetapi juga ke
Daerah, menunjukan bahwa relasi bisnis dan politik yang berbentuk rent seeking juga berubah. Saat Orde
Baru dulu terpusat pada Suharto, dengan jatuhnya Orde Baru dan adanya
desentralisasi, maka rent seeking juga
berpindah ke Daerah selain yang di pusat. Hal ini berhubungan dengan beralihnya
beberapa kewenangan ke daerah. Sehingga beberapa perijinan, seperti ijin pertambangan,
lisensi lahan, dan hak guna usaha atas sumber daya alam beralih ke Daerah. Itu
yang berdampak pada pergeseran peta rent seeking
dan korupsi di era reformasi sekarang.
Dampak dari itu kemudian juga
berhubungan dengan pelaku korupsi itu sendiri. Aktor korupsi tidak hanya
terpusat pada satu kekuatan bisnis, sebagaimana Suharto dulu. Data pelaku
korupsi berdasarkan jabatannya menunjukan bahwa korupsi saat ini tidak terpusat
dan aktivitas rent seeking juga
demikian.
Kemudian,
bila pola relasi bisnis yang berbentuk rent
seeking dapat bertransformasi dari jaman Orde Baru ke era reformasi saat
ini, tentu dengan sedikit perubahannya, maka menjadi sebuah pertanyaaan mengapa
itu bisa terjadi. Hal ini akan dijawab dalam argumentasi di bawah ini.
Sebuah
Konsolidasi (Kembali)
Sebelum kita memahami relasi bisnis
dan politik yang terjadi pasca reformasi, kita perlu melihat bagaimana kondisi
bisnis pasca krisis ekonomi dan kemampuannya untuk dapat bertahan. Hal ini
berhubungan dengan peta kekuatan bisnis pasca krisis ekonomi dan Suharto lengser.
Selain itu, sangat penting untuk dilihat bagaimana pengaruh perubahan
institusional, minimal pada desentralisasi dan demokratisasi, pada relasi
tersebut. Perpaduan dari kedua hal tersebut, kemudian dapat membantu kita untuk
bisa melihat bagaimana relasi bisnis dan politik di era pasca reformasi
berwujud. Dari itu pula, kita akan mendapatkan jawaban secara struktural
mengapa pola relasi bisnis dan politik bisa terbentuk seperti sekarang, yang
itu sebenarnya mirip dengan masa Orde Baru.
Argumentasi
pertama yang sangat penting dilihat dari ini adalah adanya reorganisasi
aktor-aktor bisnis pada jaman Orde Baru. Mereka pada dasarnya tidak mati
setelah krisis ekonomi terjadi, namun bertransfromasi dengan situasi politik
saat ini untuk tetap menguasai sumber daya ekonomi. Cerita mengenai itu dimulai
pada Juli 1997, saat kerapuhan ekonomi dan politik di Indonesia tak bisa
dihindarkan lagi. Utang luar negeri sektor swasta, yang awalnya sekitar 54
milar dolar US meningkat menjadi lebih dari 81 miliar dolar US. Dari utang
tersebut lebih dari 34 miliar dolar US
jatuh tempo pada 1998.[1] Selain itu, terjadi pelarian
besar-besaran investor domestik dari Indonesia terjadi. Di sisi lain bisnis
swasta mulai gagal bayar terhadap utang-utang mereka. Dengan itu, maka Bank
mulai goyah karena dibebani kredit macet yang tak tertanggung, sehingga mereka
kemudian tidak bisa menyediakan kredit. Lebih dari itu, pemerintah juga dengan
cepat kehabisan uang. Situasi tersebut kemudian membuat krisis ekonomi
berdampak pada perekonomian dan politik Indonesia.
Efek terbesar dari krisis ekonomi pada 1997
adalah jatuhnya Suharto yang secara politik kemudian berdampak pada relasi
bisnis di sekitarnya. Dengan itu, maka kekuatan ekonomi yang dulunya berada di
bawah komandonya ikut tercerai berai. Saat situasi krisis terjadi dan sebelum
Suharto turun, langkah penyelamatan atasnya dilakukan dengan mengundang IMF.
Tujuannya adalah untuk mendapatkan kucuran dana sebesar 43 miliar dolar US.
Namun hal itu petaka baru bagi konglomerat di sekitar Suharto. Kesepakatan
dengan IMF membuat adanya penangguhan atau pembatalan proyek-proyek besar
pemerintah, penghapusan monopoli perdangan negara, seperti terigu, kedelai, dan
cengkeh, dan penutupan bank yang tidak likuid.[2] Selain itu, juga adanya
restrukturisasi dan rekapitalisasi perbankan. Dari semua itu, pada hakikatnya
adalah kerangka proteksi negara dan perlakuan khusus yang menopang kekuatan
bisnis-politik harus dihapuskan. Inilah awalnya tercerai berainya kekuatan
ekonomi.
Menjelang
1998, hampir semua pengusaha Indonesia tidak mampu lagi membayar utang-utang
mereka. Di sisi lain, Suharto sebagai patron politik yang selama ini menjadi
pelindung mereka jatuh pada Mei 1998. Agenda-agenda reformasi pun dijalankan
sebagai bentuk tuntutan reformasi. Menghadapi kondisi demikian, Badan
Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), sebuah badan restrukturisasi perbankan,
melakukan penyitaan aset-aset dari debitor dan menjualnya. Penyitaan aset ini
menjadi ancaman bagi kelangsungan bisnis kekuatan konglomerat jaman Orde Baru.
Namun
proses tersebut tidak berjalan mulus seperti yang diharapkan. Hal itu berasal
dari resistensi yang dilakukan oleh kekuatan bisnis atas penyitaan aset mereka.
Selain itu, banyak perusahaan yang tidak transparan atas asetnya, sehingga
penyitaan aset sebagai jaminan utang tidak sesuai harapan. Misalnya, kelompok
Salim menyerahkan aset senilai Rp. 53 triliun yang ternyata hanya bernilai Rp.
20 triliun. Dengan itu, maka pemerintah kekurangan dana yang sangat besar untuk
menutupi biaya BLBI dan jaminan utang BPPN.[3] Di sisi lain, para
konglomerat sambil mengulur negoisasi dengan BPPN, mereka mampu melindungi
perusahaan mereka yang paling menguntungkan di sektor lain yang terbukti paling
menguntungkan untuk pembayaran utang-utang mereka yang strategis, sekaligus
untuk investasi baru. Seperti kelompok Salim yang mendapat uang sebesar 1,8
miliar dolar US dengan menjual kelompok Hagermeyer-nya dan mampu membeli aset
di luar negeri sebesar 700 juta dolar US dan 40 persen saham Indofood.[4] Usaha tersebut dilakukan
untuk mempertahankan posisi konglomerat di dunia bisnis.
Situasi yang tidak menentu atas
kondisi bisnis di Indonesia, kemudian menemukan momentumnya bagi para
konglomerat untuk kembali berkuasa melalui penjualan aset mereka sebelumnya. Ini
dilatar belakangi oleh kesulitan BPPN untuk menjual aset para konglomerat
karena keengganan investor luar negeri untuk membeli aset-aset tersebut.
Tekanan itu kemudian meningkat saat pemerintah menghadapi bunga obligasi yang
meningkat menjadi Rp.77 triliun pada 2001. Di sisi lain, pemerintah menghadapi
kenyataan bahwa untuk menarik investasi mengalir kembali di Indonesia, dan
sektor perbankan dan dunia usaha kembali normal, maka konglomerat adalah
kuncinya. Masuknya para koglomerat diyakini akan menarik para investor asing. Dari
itu, pemerintah dipaksa secara struktural untuk mencabut tuntutannya, untuk
berkompromi dengan merestrukturisasi utang dan mengizinkan para konglomerat
untuk kembali membeli aset-asetnya. Situasi ini yang kemudian menjadi pintu
masuk reorganisasi kekuatan ekonomi konglomerat jaman Orde Baru untuk berkuasa
kembali hingga sekarang.
Argumentasi di atas menunjukan bahwa
kekuatan ekonomi di jaman Orde Baru, tepatnya Oligark, dapat hidup kembali
pasca Suharto jatuh. Bahkan mereka tetap menjadi kekuatan bisnis yang utama di era pasca reformasi. Hal ini
misalnya dapat ditunjukan, sebagai contohnya,
Liem Sie Liong dengan anak-anak Soeharto membangun kartel untuk
memonopoli industri tepung Bogasari. Selain Bogasari, Liem juga mempunyai saham
besar di Krakatau Steel dan Indocement. Industri perhutanan, juga dimonopoli
oleh keluarga dan kroni Soeharto hingga
saat ini dengan memainkan perijinan dan kontrak HPH yang ditutup tendernya dari
publik, meskipun bermain dengan aktor birokrat yang berbeda.[5] Dengan demikian, kekuatan
ekonomi tetaplah sama.
Namun,
mereka kemudian dipaksa untuk mengikuti pola yang mengharuskannya beroperasi
dalam suatu arena tarik menarik politik yang berbeda dengan rejim Orde Baru.
Situasi tersebut berhubungan dengan pola perubahan institusional pasca
reformasi. Christian Chua dalam tulisannya yang berjudul Capitalist Consolidation, Consolidated Capitalist, menunjukan bahwa
perubahan institusional pasca Suharto pada awalnya ditujukan untuk mengakiri rejim
yang otoritarian, sentalisasi, dan praktek KKN. Oleh karena itu kemudian
dijawab dengan perubahan institusional yang meliputi, demokratisasi,
desentralisasi, dan deregulasi. Namun pada akhirnya ketiga perubahan tersebut dapat
dimanfaatkan kembali oleh kekuatan ekonomi di jaman Orde Baru untuk
mempertahankan kekuasaannya.[6]
Kekuatan
ekonomi di jaman Orde Baru menguasai demokratisasi dengan terlibat dalam partai
politik, bahkan menjadi petingginya. Mereka kemudian selain menjadi pebisnis
juga sebagai politisi. Partai yang memerlukan uang dalam jumlah besar untuk
memenangkan kontestasi pemilu mambawa para pebisnis menjadi petinggi partai.
Hal ini dapat kita lihat seperti, Alvin Lie di PAN atau Murdaya Poo di PDIP. Selain
pebisnis China, pengusaha pribumi, yang dulunya mendapat support Orde Baru juga terllibat politik, seperti Jusuf Kalla
sebagai ketua Golkar dan Aburizal Bakrie, juga kemudian menjadi ketua Golkar
berikutnya.[7] Di tengah era kebebasan pers dan media, mereka
menguasai pers untuk mengarahkan opini publik, seperti grup Salim yang
menguasai Indosiar. Juga Tomy Winata yang menguasai Radio 911, Harian Jakarta, Jakarta TV, juga majalah Pilar.[8]
Dengan
desentralisasi, kekuatan ekonomi ini berubah lokus patron-klien-nya. Kekuatan ekonomi ini beralih pada relasi
patronase yang terdesentralisasi. Hal ini mengikuti juga dengan pola beralihnya
sebagian kekuasaan yang ke Daerah. Apalagi karena adanya Pemilukada yang
membutuhkan uang sangat banyak untuk kontestasi. Keterlibatan inipun bisa
secara langsung maupun tidak langsung.[9] Kemudian, dengan
deregulasi, mereka tetaplah yag paling untung karena merupakan kekuatan ekonomi
yang paling kuat. Sehingga, saat pengaturan dibebaskan di pasar, mereka telah
menguasai pasar tersebut. Seperti, pemilik grup Salim yang tetap menjadi
produsen terigu palig besar dengan Bogasarinya.[10]
Perubahan
strategi dengan memanfaatkan perubahan institusional ini membuat kekuatan
ekonomi di jaman Orde Baru tetap bertahan dan menjadi pemain utama dalam
perekonomian sekarang. Aktor ini menjadi penting dalam mempengaruhi pola relasi
bisnis dan politik yang bertahan saat ini. Karena mereka dulunya dibesarkan
dengan pola patronase secara terpusat di masa Orde Baru, maka pola itu sekarang
berubah dengan menjadi lebih terdesentralisasi. Namun, pola relasi
bisnis-politik tidak banyak berubah. Transformasi bentuk rent seeking adalah buktinya.
Argumentasi
kedua, ketidakmunculan kapitalis baru yang cukup signigfikan sebagai
kekuatan ekonomi baru. Hal ini berhubungan dengan dampak dari faktor pertama
ditambah dengan adanya desentralisasi. Itu yang kemudian membuat tipe baru
kapitalis yang lebih produktif tidak muncul. Kemudian, bila itu muncul pun,
tidak menjadi kekuatan yang utama. Studi Ahmad Rizal Shidiq, dalam artikelnya
yang berjudul Decentralization and Rent
Seeking in Indonesia, menunjukan pola yang demikian. Menurutnya, desentralisasi
membuat rent based on transfer
berpindah dari pemerintahan pusaat ke pemerintahan Daerah. Dari itu, kemudian
mengubah struktur ekonomi di tingkat Daerah, sekaligus mengubah pola rent seeking di tingkat lokal. Tidak
hadirnya kapitalis baru yang signifikan ini, dikarenakan oleh tiga hal, antara
lain, pertama, adanya tendensi elit
politik lokal lebih banyak mengundang investasi pada kapitalis lama yang telah
mapan, yang itu adalah bagian dari Orde Baru. Hal itu berhubungan dengan
tuntutan pemerintah daerah harus memiliki pemasukan sendiri. Oleh karena itu,
kemudian mereka memberikan perizina, lisensi atau keringanan pajak. Kedua, adanya tendensi pemerintah lokal
untuk lebih inklusi pada aktor ekonomi, namun lebih banyak pada aktor ekonomi
informal, seperti perjudian dan illegal logging untuk kepentingan dirinya. Ketiga, pemerintah lokal lebih banyak
menginisiasi bisnis melalui Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).[11]
Di sisi lain, adanya desentralisasi
juga mendukung ketidakmunculan itu, karena didasarkan pada biaya
mengorganisasikan rents based on transfer
baru yang lebih mahal. Hal itu karena lemahnya koordinasi antara pusat dan
Daerah, sehinngga pebisnis harus melewati proses perizinan yang lebih panjang.
Juga, tendensi dari struktur yang memungkinkan pola relasi yang lebih banyak
bersifat klientelis patron-klien dianntara pebisnis dan pemerintah.[12] Hal itu yang kemdian
menambah biaya produksi.
Argumentasi
ketiga,
satu hal yang menjadi keuntungan bagi kekuatan ekonomi lama tersebut, bahwa aparatur
negara yang masih didominasi oleh hubungan-hubungan kekuasaan yang predatoris,
serta beberapa tokohnya baik nasional dan lokal yang berwatak sama. Adapun karakteristik dari rezim predatoris tersebut
adalah terjadinya hubungan klientelisme yakni perselingkuhan bisnis dan politik
karena basis ekonomi yang lemah dan penguasaan hasil sumber daya yang dikuasai
oleh segelintir elite. Meskipun reformasi dijalankan, menurut Vedi R Hadiz,
elemen-elemennya telah menata kembali diri mereka dalam jaringan patronase baru
yang bersifat desentralistik, lebih cair, dan saling bersaing satu sama lain.[13] Pola
kontinuitas ini yang menjadi warisan Orde Baru dan kemudian mempengaruhi pola
relasi bisnis dan politik di masa reformasi.
Kekuatan predatoris, Hadiz
merujuk pada Peter Evans, adalah pejabat publik (baik individu atau mengacu
pada bentuk korporatis) yang menguasai sumber daya negara untuk kepentingan
pribadi dan/atau kerabatnya.[14] Peter Evans, dalam
studinya yang berjudul Predatory, Developmental, and Other
Apparatuses:A Comparative Political Economy Perspective on the Third World
State menyebut keberadaan
kekuatan predoris erat hubungannya dengan keberadaan birokrasi yang
patrimonial, bila merujuk pada teori birokrasi ideal-non ideal Max Weber.[15]
Evans
menyebut keterlibatan pebisnis yang mempunyai hubungan dekat dengan para
birokrat dan politisi, yang kemudian mengaitkannya dengan konsepsi rent seeking. Evans, menyebut rent seeking adalah sebagai bentuk
korupsi karena akhirnya investasi yang tinggi dan sumber daya yang banyak milik
negara tidak teralokasikan untuk keperluan warga negara, tetapi masuk ke
aparatus negara dan kerabatnya. Perilaku aparatus negara ini, seperti yang
sudah disebutkan di atas, erat hubungannya dengan model birokrasi yang
patrimonial. Kekuatan predatoris adalah kekuatan yang ‘incumbent’ dalam
birokrasi, yang di dalamnya memperebutkan rente. Kekuatan predatoris ini dapat
langgeng karena mereka mempunyai kuasa dalam membuat dan mengeluarkan lisensi,
mengatur pajak, subsidi dan lain sebagainya.
Argumentasi keempat, berhubungan dengan perubahan
institusional yang didasarkan pada paradigma neo-institusionalisme, yang pada dasarnya mengabaikan relasi kuasa
dalam teritori politik tertentu dan mengalihkannya hanya pada persoalan pilihan rasional. Neo institusionalisme adalah
aliran pemikiran pembangunan yang bermaksud menjelaskan sejarah, keberadaan,
dan fungsi dari berbagai macam institusi (pemerintah, hukum, pasar, keluarga,
dan sebagainya berdasarkan asumsi teori ekonomi neoliberal.[16] Beberapa kebijakan yang
mencerminkan pendekatan ini antara lain, desentralisasi, demokratisasi, good governance, penguatan civil society, dan social capital. Premis utama yang dipakai neo-institusionalis
tentang desentralisasi adalah negara-negara dapat bereksperimen dengan
desentralisasi (dan kebijakan lainnya) yang paling sesuai dengan keadaan negara
itu sendiri. Dari premis ini, dapat ditarik logika anti politik, bahwa politik
hanya trigger awal ke arah
desentralisasi. Kebijakan teknokratik yang telah dibangun hati-hati hanya akan
dirusak oleh kepentingan-kepentingan yang muncul. Padahal, perlu dicatat
persoalan sebenarnya bukan saja persoalan kebijakan-kebijakan tepat manakah
yang perlu diambil, tapi desentralisasi sarat akan perebutan kepentingan—sesuai
dengan entitas aslinya bentuk khusus pendistribusian kekuasaan. Logika
antipolitik, secara implisit menuju logika antidemokrasi—artinya perspektif
neo-institusionalis hanya menerima demokrasi sejauh para teknokrat dapat
menjalankan kebijakan-kebijakan yang diambilnya dengan baik, tanpa menyertakan kepentingan-kepentingan
kelompok lain—atas nama good governance.
Hadiz
mengkritik bahwa asumsi tentang adanya serangkaian kepentingan fundamental dari
civil society tidak mempunyai dasar
empiris yang kuat, dan untuk memelihara civil
society yang sehat diperlukan modal sosial yang kuat. Karena pada
kenyataannya, justru banyak civil society
yang sangat anti-demokrasi dan anti-pasar, konteks ini dapat diartikan bahwa
banyaknya kepentingan yang berbeda-beda dari civil society itu sendiri. ‘Jaringan
dinamis’ dari civil society akan terdiri dari berbagai entitas yang
bertentangan satu sama lain. Perspektif neo-institusionalis hanya ‘berkhayal’
akan gambaran desentralisasi yang sehat secara teknokratis, dan melupakan bahwa
sesungguhnya proses demokrasi adalah hasil dari berbagai kepentingan sosial.
Persoalan
fundamentalnya adalah, desentralisasi mungkin lebih mencerminkan konstelasi
kekuasaan tertentu dibanding tujuan kebaikan bersama yang dibayangkan.
Contohnya, timbul pertanyaan, apakah desentralisasi keuangan akan berimplikasi
pada korupsi yang lebih besar atau sedikit, apakah alokasi sumberdaya akan
efisien atau tidak. Kenyataannya, dalam konteks Indonesia, persoalan tidak
sesederhana pembagian kepentingan kerja lokal dan pusat. Yang terjadi adalah
perebutan kepentingan dan sumber daya, bagaimana elite-elite lokal mengambil
alih langsung atas kontrol sumber daya yang selama ini dipegang oleh pusat.
Hadiz
banyak mengulang-ulang, bahwa persoalan utamanya bukanlah desain yang salah
dari proses desentralisasi itu sendiri atau karena kurangnya komitmen untuk
menetapkan desentralisasi. Pada kasus Indonesia, persoalan timbul karena adanya
konstelasi kekuasaan predatoris sisa-sisa Orde Baru. Dalam desentralisasi,
patronase politik lebih terlokalkan, oleh karena itu kekuatan akan lebih banyak
dan otonom dari pusat, dibandingkan pada masa Soeharto. Dalam bahasa lain,
elemen-elemen itu tetap hidup dengan jaringan
patronase baru yang bersifat desentralistik, lebih cair, dan saling bersaing
satu sama lain
Kelemahan
penggunaan pendekatan neo-institusional tersebut yang kemudian hanya melihat
bahwa perubahan institusional akan mengubah relasi kuasa, namun dalam
kenyataannya tidak sesederhana itu. Pengabaian yang besar untuk memperhatikan
pola relasi kuasa dalam proses refromasi memiliki dampak bahwa pola relasi
bisnis dan politik dari Orde Baru ke refromasi berjalan secara kontinuitas.
Penutup
Dengan argumentasi di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa pola relasi bisnis dan politik di era reformasi saat
ini, di satu sisi lebih terbuka, namun di sisi lain juga berbentuk rent seeking. Pola bisnis dan politik
yang berbentuk rent seeking ini,
merupakan transformasi dari pola bisnis dan politik di era Orde Baru.
Penjelasan dari adanya transformasi pola bisnis dan politik yang berbentuk rent seeking ini menjadi akar dari
korupsi yang masih marak pada era desentralisasi dan demokratisasi. Penjelasan
melalui rent seeking tersebut yang
menjadi dasar bagaimana pola korupsi terjadi di masa sekarang.
Pola rent seeking yang ada kemudian dapat
dikategorisasikan menjadi korupsi, karena para pemburu rente ini akhirnya
menggunakan sebagian besar sumber daya negara dengan memonopoli untuk
kepentingan pribadi dan kerabatnya. Selain itu, dilakukan di luar hubungan
publik dan formal, pebisnis yang melakukan lobi membayar atau memberikan uang
(secara pribadi) ke pejabat publik, dan berkaitan dengan monopoli atas suatu
sumber daya.
Namun demikian, karena pengaruh
perubahan institusional sebagai akibat dari proses refromasi, membuat pola rent seeking sedikit berbeda dengan apa
yang terjadi di masa Orde Baru. Pasca adanya desentralisasi dan demokratisasi,
pebisnis menggunakan perubahan institusional tersebut untuk dapat bertahan
hidup. Akibatnya, pola rent seeking lebih
tersebar, terdesentralisasi, dan tidak hanya berlaku di tataran pusat.
Argumentasi
mengapa pola tersebut dapat bertahan dari Orde Baru ke era reformasi, menurut
penulis, setidaknya terdiri dari empat hal, antara lain, pertama kekuatan struktural yang menguasai perekonomian saat ini
relatif masih sama dengan kekuatan yang berkembang dan ada di Orde Baru. Para
aktor ekonomi jaman Orde Baru ini bertransformasi dengan memanfaatkan perubahan
institusional untuk bertahan hidup. Kedua,
tidak munculnya kapitalis baru yang diakibatkan oleh dominannya kekuatan
ekonomi yang lama dan desentralisasi. Ketiga,
pola hubungan-hubungan kekuasaan yang predatoris, serta beberapa tokohnya
baik nasional dan lokal yang berwatak sama. Keempat,
pendekatan yang digubakan untuk menjalankan perubahan pasca reformasi
menggunakan neo-institusionalisme yang
mengabaikan relasi kuasa diantara aktor ekonomi-politik. Perpaduan dari keempat
hal tersebut yang kemudian memuluskan bentuk kontinuitas atas relasi yang dulu
terbangun di masa Orde Baru. Dengan itu maka, pola relasi bisnis dan politk
yang berbentuk rent seeking dapat
dipertahankan.
Daftar
Puskata
Chua, Christian. “Capitalist
Consolidation, Consolidated Capitalist: Indonesia’s Conglomerates
between
Authoritarianism and Democracy” dalam Mareo Bunte and Andreas Ufen (ed). Democratization in Post-Soeharto Indonesia. Oxford: Routledge. 2009
Evans, Peter. “Predatory, Developmental, and Other
Apparatuses: A Comparative Political
Economy Perspective on the Third World State”, Sociological Forum, Vol. 4, No. 4,
Special Issue: Comparative National Development: Theory and Facts for the
1990s. (Dec., 1989),
Fatah, Eep
Saefulloh. Bangsa Saya yang Menyebalkan:
Catatan tentang Kekuasaan yang
Pongah. Bandung:
Rosdakarya, 1998.
Girling, John. Corruption, Capitalism, and Democracy. London
and New York: Routledge. 1997
Green, Keith. Decentralization and Good Governance : The
Case in Indonesia. Munich:
Personal RePEc Archive
Paper. 2005.
Hadiz, Vedi R. Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik
Indonesia Pasca Soeharto. Jakarta:
LP3ES, 2005.
Hart, Natasha Hamilton.
“Government and Private Business: Rents, Representation and
Collective Action”
dalam R. H Mcleod and A. MacIntyre (ed), Indonesia:
Democracy, and the Promise of Good Governance. ISEAS. 2007
Krueger, Anne O. “The Political
Economy of the Rent Seeking Society”, The
American
Economic
Review, Vol
46 No. 3, Juni 1974
Kunio, Yoshihara. Kapitalisme
Semu Asia Tenggara. Jakarta :
Penerbit LP3ES. 1991
Kuncoro, Ari. “Corruption and
Business Uncertainty in Indonesia”, ASEAN Economic Bulletin,
Vol. 23, No. 1, Riding
Along a Bumpy Road: Indonesian Economy in an Emerging Democratic Era (April
2006),
Kuncoro, Ari. “Decentralization
and Corruption in Indonesia: Manufacturing Firm Survival
under Decentralization”.
Working Paper. Vol. 2006-25. Desember
2006.
Lambsdorf, Johann Graf.
“Corruption and Rent Seeking”, Public
Choice, Vol 13. No. 1/ 2,
Oktober 2002,
Maclntyre, Andrew. Bussines and Politics in Indonesia. Sydney:
Allen and Unwin, 1991
Shidiq, Akhmad Rizal.
“Decentralisation and Rent-Seeking in Indonesia”, Ekonomi dan
Keuangan
Indonesia,
Vol. 51 2, 2003.
Rahman, Erna Zetha. Pencari Rente dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia, Tesis
Gelar
Magister
Bidang Ilmu Ekonomi Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia, 1997.
Robison, Richard and Vedi R
Hadiz. Reorganizing Power in Indonesia:
The Politic of Oligarchy
in
an Age of Market. London
and New York: Routledge. 2004.
Aribowo, Legislatif
Rente : Persekongkolan Politik Kepala Daerah – DPRD Sebagai Dasar
Penyebab KKN di Jawa Timur, Departemen
Politik FISIP Universitas Airlangga, http://journal.unair.ac.id/filerPDF/03_aribowo_LEGISLATIF.pdf
“Korupsi di Kabupaten Buol”,
diunduh dari
http://infokorupsi.com/id/geokorupsi.php?ac=326&l=kabupaten-buol diakses pada 4
Mei 2014 pukul 11.55 WIB
“Pilkada Pesta
Korupsi Kepala Daerah”, diunduh dari
http://daerah.sindonews.com/read/2013/12/31/107/822446/pilkada-pesta-korupsi-kepala-daerah
diakses pada 5 Mei 2014 pukul 19.30 WIB
pada
6 Mei 2014 pukul 13.00 WIB
“Statistik
Penanganan Tindak Pidana Korupsi berdasarkan Jenis Perkara”, diunduh dari
http://acch.kpk.go.id/statistik-penanganan-tindak-pidana-korupsi-berdasarkan-jenis-perkara
diakses pada 5 Mei 2014 pukul 16.20 WIB
*Disampaikan pada persentasi mata kuliah Bisnis dan Politik oleh
Daya
Cipta S.; Dicky D. Ananta; Vany Ajis, Wiwied K; Zahrowati Adqiyah
[1] Vedi R Hadiz, ibid. hlm.
139
[2] Ibid. hlm. 140
[3] Richard Robison and Vedi R Hadiz, Reorganizing Power in Indonesia: The Politic of Oligarchy in an Age of
Market, (London and New York: Routledge, 2004), p. 197
[4] Ibid. p. 200
[5] Richard Robison and Vedi R Hadiz, op.cit. p. 203
[6] Christian Chua, “Capitalist Consolidation, Consolidated
Capitalist: Indonesia’s Conglomerates
between Authoritarianism and Democracy” dalam Mareo Bunte and Andreas Ufen
(ed). Democratization in
Post-Soeharto Indonesia. Oxford:
Routledge. 2009. p. 201-225.
[7] Ibid. p.214
[8] Ibid. p.. 215
[9] Ibid. p.217-218
[10] Ibid. p. 219
[11] Ahmad Rizal Shidiq, op.cit. p. 196-198
[12] Ibid. p. 198
[13] Vedi R Hadiz, Dinamika
Kekuasaan, ibid. hlm. 244
[14] Ibid, hlm. 253
[15] Peter Evans, “Predatory,
Developmental, and Other Apparatuses: A Comparative Political Economy
Perspective on the Third World State”, Sociological Forum, Vol.
4, No. 4, Special Issue: Comparative National Development: Theory and Facts for
the 1990s. (Dec., 1989), pp. 567
[16] Vedi R Hadiz, op.cit. hlm.
272
[1]Eep Saefulloh Fatah, “Bangsa
Saya yang Menyebalkan: Catatan tentang Kekuasaan yang Pongah,” Bandung: Rosdakarya,
1998, hlm. 20
[2]Andrew Maclntyre, Bussines and
Politics in Indonesia, Sydney:Allen and Unwin, 1991, p. 10
[4] Vedi R. Hadiz, Dinamika
Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca Soeharto, Jakarta: LP3ES, 2005.
hlm hlm. 290-292
[5] “Rekapitulasi Penindakan Pidana Korupsi”, diunduh dari http://acch.kpk.go.id/statistik
diakses pada 6 Mei 2014 pukul 13.00 WIB
[6] John Girling, Corruption,
Capitalism, and Democracy, (London and New York: Routledge, 1997)
[7] Ibid. p. 7
[8] Ibid. p. 21
[9] Anne O. Krueger, “The Political Economy of the Rent Seeking Society”, The American Economic Review, Vol 46
No. 3, Juni 1974. p. 292
[10] Gordon Tullock, dalam Johann
Graf Lambsdorf, “Corruption and Rent Seeking”, Public Choice, Vol 13. No. 1/ 2, Oktober 2002, p. 99-100
[11] A. K. Jain, dalam Johann Graf Lambdorf, ibid, p. 104
[12] Ibid. p. 106
[13] Vedi R. Hadiz, op.cit.. hlm.
259
[14] Ibid.
[15]Andrew Maclntyre, op.cit,
p. 15
[17]Akhmad Rizal Shidiq, “Decentralisation and Rent-Seeking in Indonesia”, Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Vol. 51
2, 2003. p 178.
[18] Keith Green, 2005, Decentralization
and Good Governance : The Case in Indonesia, (Munich: Personal RePEc
Archive Paper, 2005), p. 2
[19] Shidiq, Op. Cit., hlm.
180.
[20] Natasha Hamilton Hart, “Government and Private Business: Rents,
Representation and Collective Action” dalam R. H Mcleod and A. MacIntyre (ed), Indonesia: Democracy, and the Promise of
Good Governance. ISEAS. 2007.
[21] Ibid. p. 99
[22] Aribowo, Legislatif Rente : Persekongkolan Politik
Kepala Daerah – DPRD Sebagai Dasar Penyebab KKN di Jawa Timur, Departemen
Politik FISIP Universitas Airlangga, http://journal.unair.ac.id/filerPDF/03_aribowo_LEGISLATIF.pdf Hal. 2
[24] Erna Zetha Rahman, Pencari Rente dan Pertumbuhan Ekonomi di
Indonesia, Tesis Gelar Magister Bidang Ilmu Ekonomi Program Pascasarjana
Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia, 1997. hlm. 15
[25] Ari Kuncoro, Corruption and Business Uncertainty in
Indonesia, ASEAN Economic Bulletin, Vol. 23, No. 1, Riding Along a Bumpy
Road: Indonesian Economy in an Emerging Democratic Era (April 2006), Hal. 11
[26] Kumpulan berita mengenai kasus ini bisa dilihat dalam “Korupsi di
Kabupaten Buol”, diunduh dari http://infokorupsi.com/id/geo-korupsi.php?ac=326&l=kabupaten-buol
diakses pada 4 Mei 2014 pukul 11.55 WIB
[27] “Statistik Penanganan Tindak Pidana Korupsi berdasarkan Jenis
Perkara”, diunduh dari http://acch.kpk.go.id/statistik-penanganan-tindak-pidana-korupsi-berdasarkan-jenis-perkara
diakses pada 5 Mei 2014 pukul 16.20 WIB
[28] Jain dalam Johann Graf Lambsdorf, op.cit. p. 104-106
[29] “Pilkada Pesta Korupsi Kepala Daerah”, diunduh dari http://daerah.sindonews.com/read/2013/12/31/107/822446/pilkada-pesta-korupsi-kepala-daerah
diakses pada 5 Mei 2014 pukul 19.30 WIB.