Minggu, 12 Mei 2013

"Kompleksitas dalam Memahami Teori Negara”

oleh: Alpiadi Prawiraningrat

Judul Buku      : Theories of Comparative Political Economy: Theories of The State
Penulis             : Ronald H. Chilcote
Apakah itu negara? Bagaimana negara dapat terbentuk? Teori-teori apa saja yeng menjelaskan tentang negara? Pertanyaan tersebut menjadi pemicu kali ini. Secara sistematis Ronald H. Chilcote menjawab pertanyaan tersebut dan memaparkan berbagai macam teori yang berkaitan dengan negara melalui dua konsep utama, yaitu: a) The Liberal State, mulai dari masa Plato dan Aristoteles sampai dengan masa klasik seperti Hobbes, Locke, Rousseau, Montesquieu, lalu liberal tradisional Adam Smith, utilitarian Bentham dan pluralisme seperti Weber, Schumpeter dan Dahl; dan b) The Progressive State. mulai dari masa klasik yaitu Hegel dan tradisional Marx & Engels, dan hegemoni oleh Gramsci.
Max Weber mendefinisikan Negara sebagai suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam sesuatu wilayah.[1] Sedangkan Robert M. Maclver mengungkapkan negara sebagai asosiasi yang menyelenggarakan penertiban di dalam suatu masyarakat berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan oleh suatu pemerintah yang untuk maksud tersebut diberi kekuasaan memaksa.[2] Sehingga dapat disimpulkan bahwa negara adalah suatu daerah teritoroal yang rakyatnya diperintah (governed) oleh sejumlah pejabat dan yang berhasil menuntut dari warga negaranya ketaatan pada peraturan perundang-undnagannya melalui penguasaan (kontrol) monopolitis terhadap kekuasaan yang sah.[3] Berkaitan dengan pengertian negara tersebut, penulis mencoba memaparkan berbagai teori negara menurut beberapa ahli, di antaranya:
Plato dalam bukunya Republic membagi empat tipe negara, yaitu: a). Timokrasi, merupakan bentuk negara yang pemerintahanya ingin mencapai kemasyhuran dan kehormatan; b) Oligarkhi, bentuk pemerintahan yang hanya dipegang oleh segelintir orang saja; c) Demokrasi, pemerintahan oleh rakyat miskin (jelata).  Dalam demokrasi semua orang memiliki kebebasan yang sama. dan d). Tirani, yaitu pemerintahan oleh seorang penguasa yang bertindak dengan sewenang-wenang.
Selanjutnya, penulis juga memaparakan pemikiran Thomas Hobbes, yang temasuk seorang penyokong teori Divine Right[4] yang memiliki pemikiran yang sama dengan Rousseau bahwa pemerintahan terbentuk karena adanya kontrak atau perjanjian sosial yakni pactum subjectionis atau perjanjian pemerintahan, dengan cara segenap individu berjanji menyerahkan semua hak-hak kodrat yang mereka miliki kepada seorang atau sekelompok orang yang ditunjuk untuk mengatur kehidupan mereka[5] yang  menjamin kebebasan dan kesetaraan setiap orang. Bagi Hobbes konstitusi atau undang - undang yang berlaku di sebuah negara dapat membuat pemerintahannya berjalan dengan stabil jika negara tersebut mematuhinya, karena peraturan yang mengatur penggunaan kekuasaan lebih mungkin diamati ketika kekuasaan berada di tangan orang yang berdaulat daripada dibagi di antara beberapa orang yang berkuasa dan ditambahkan oleh Rousseau bahwa negara memiliki intervenor untuk mencegah terjadinya ketidaksetaraan. Dan baginya pemerintahan yang baik dapat terwujud melalui pendidikan dan budi pekerti yang baik pula.  Pemikiran Hobbes bertentangan dengan Montesquieu yang membagi tiga tipe pemerintahan yaitu republik, monarkhi, dan despotisme dan berpendapat bahwa kekuasaan pemerintah memiliki batasan dan bukan merupakan kekuasaan yang absolut seperti yang diungkapakn Hobbes. Sementara Locke berpendapat bahwa pemerintahan di suatu negara terbentuk dari kekuasaan paternal. Sehingga, orang dapat masuk dalam pemerintahan, lalu mempertahankan kebebasan dan keamanan mereka masing-masing serta bergabung untuk mewujudkan pemerintahan yang baik dan mematuhi hukum yang berlaku.
Penulis juga menjelaskan bahwa skeptisme mengenai teori keseimbangan kekuasaan terletak pada ide mengenai pasar bebas yang dapat meningkatkan ambisi politik seseorang. Menurut Adam Smith, ketika individu dimotivasi dengan pertumbuhan ekonomi maka orang tersebut akan berupaya untuk mengumpulkan semaksimal mungkin barang-barang yang ada dan hanya peduli terhadap dirinya sendiri dan tidak memperdulikan orang lain. Disini, peran Negara adalah meregulasi pasar di dalam merkantilisme kapitalisme ekonomi dan Negara harus menyediakan legal “framework” untuk memfasilitasi pasar.
Dalam konsep Progressive State, penulis mengangkat pemikiran Hegel yang membagi negara dalam tiga kekuasaan, a). Legislatif, berperan dalan menentukan keputusan yang bersifat universal; b). Eksekutif, berperan menyelesaikan kehendak tertentu; dan c). Kekuasaan yang berdaulat atau raja, sebagai pembuat keputusan terakhir dalam negara. Sementara untuk Marx dan Engels, berpendapat bahwa setiap negara memiliki hirarki atau kelas sosial yang melahirkan kesenjangan di antara kelas, serta memunculkan eksploitasi dari yang kaya kepada yang miskin dalam bidang ekonomi. Dalam pemikiran Gramsci terhadap negara, ia memberikan konsep hegemoni, yaitu organisasi yang disetujui melalui persuasi dan paksaan dimana kelas dan wakil-wakilnya memegang kekuasaan atas kelas bawahan.
Penulis juga menjelaskan beberapa teori tentang bentuk Negara, yaitu: a). Mainstream Theory yang cenderung memandang negara dari sisi liberal kapitalis dan korporatis; dan b). Alternative Theory, lebih memandang negara dari sisi Marxis sosialis dan regulasi ekonomi.
Berkaitan dengan Maintream Theory, dapat dipahami dengan beberapa perspektif: yaitu: a). Perspektif Pluralis Kapitalis (Pluralist-capitalist perspective), melihat negara sebagai arena pasar yang politis dan bekerja menyaring permintaan dan kepentingan kelompok dan individu di dalamnya dan badan-badan negara berfungsi sebagai badan netral, berperan sebagai mediator dalam konflik antar kelompok-kelompok berkepentingan; b). Perspektif Institusional (institutional perspective), melihat negara terbentuk berdasarkan kumpulan dari badan-badan pemerintahan; c). Perspektif Korporatis (corporatist perspective), sebuah sistem ekonomi di mana negara berperan mengontrol bisnis-bisnis swasta demi empat tujuan: kesatuan, keteraturan, nasionalisme dan kesuksesan; d). Perspektif Birokratik Otoriter (Bureaucratic authoritarian perspective), negara dianggap sebagai penjamin dan pengatur yang dilakukan lewat struktur kelas burjois yang tersubordinasi; dan  e). Perspektif Neoliberal (Neoliberal perspective), yang menghendaki pasar bebas dan otonomi individual dalam proses pasar serta berkeinginan untuk menyingkirkan pemerintah dari arena ekonomi dengan cara melakukan privatisasi ekonomi, membebaskan pasar dari regulasi pemerintah dan membuka ekonomi nasional pada perdagangan internasional dan investasi asing dan akan menghentikan program bantuan sosial.
            Sedangkan Alternative Theory juga dipahami melalui beberapa perspektif, yaitu: a). Perspektif Pluralis Sosialis (Pluralist socialist perspective), bahwa negara sebagai mediator yang berwenang di atas segalanya dan memastikan jalannya kompetisi yang teratur antara individu dan kelompok bersamaan menjaga kepentingan masyarkat; b). Perspektif Marxis Institusionalis (Marxist institutionalist perspective), berbasis pada teori ekonomi neoklasik dan teori ekonomi Marxis, dengan fokus pada institusionalisme dan menilai bahwa individu-individu terikat dalam struktur-struktur sosial, politik dan ekonomi Negara; c), Perspektif Instrumental (instrumental perspective), memfokuskan pada kelas yang berkuasa dalam negara dan mekanisme yang menghubungkan kelas tersebut dengan kebijakan negara. Melihat bahwa negara merupakan komite atau instrumen bagi kelas borjuis untuk mengurus kepentingannya, seperti oleh Lenin yang menganggap bahwa tentara dan polisi merupakan alat bagi kelas yang menguasai Negara; d). Perspektif Struktural (structural perspective), penting dalam membedakan basis ekonomi atau infrastruktur dengan suprastruktur, yang merupakan negara dan aparatusnya. Gramsci menambahkan pada teori ini tentang apa yang dapat dikontribusikan oleh suprastruktur terhadap kapital, yaitu dengan menciptakan hegemoni atau blok historis; e). Perspektif Regulasi (regulation perspective), melihat bahwa kapitalisme berkembang melalui beberapa periode krisis berdasarkan regularitas dan melihat bahwa sistem ekonomi tanpa regulasi tidak dapat berjalan, terutama disaat krisis, sehingga dapat jatuh dalam konflik sosial dan politik; 6). Perspektif Feminis (feminist perspective), menghendaki perubahan pada sistem patriarkis yang selama ini berlangsung. Para feminis menghendaki masuknya peran feminis dalam birokrasi dalam politik dan ekonomi, yang selama ini identik dengan kaum pria.
            Dari beragam teori dan pandangan di atas, masih terdapat isu-isu permasalahan dalam memahami state theory, di mana peran kapital atau modal dalam negara modern dapat dilihat dalam aspek instrumentalisme, yang mana kelas borjuis atau kapitalis, secara keseluruhan atau sebagian dari mereka memanipulasi negara dan menggunakannya sebagai instrumen untuk memajukan kepentingan mereka dan dalam prosesnya mengorbankan kelas lainnya. Juga dapat dilihat permasalahan melalui strukturalisme; yang mana tekanan dan ikatan eksternal membuat negara sulit untuk membuat kebijakan yang berlawanan dengan kepentingan pemegang modal, atau kebalikannya struktur dalam negara itu sendiri yang mengikat negara dan memastikan bahwa kepentingan pemegang modal terpenuhi.
Artikel Theories of The State ini secara keseluruhan sudah mendeskripsikan unsur-unsur penting dalam teori negaraTeori-teori yang dipaparkan penulis yang menjadi bagian inti dari artikel ini, dijelaskan dengan baik dan disertai contoh-contoh faktual sehingga sangat membantu pembaca untuk dapat memahami teori yang sudah dipaparkan. Nilai lebih dari buku ini adalah menjadi stimulan yang menarik bagi pembaca untuk lebih memahami lebih mendalam tentang teori negara.  Sedangkan di sisi lain, akan jauh lebih baik jika buku ini memuat analisia terhadap contoh kasus yang dipaparkan, dan memuat informasi rinci yang dapat dipergunakan bagi praktisi. Informasi-informasi tersebut berupa komparasi kelebihan dan kelemahan antarmodel teori dan konteks yang seperti apa yang cocok untuk masing-masing teori.  Informasi tersebut tentunya sangat berguna bagi pembaca untuk lebih memahami kompleksitas dalam memahami teori negara.
Daftar Pustaka
Sumber Utama:
Chilocote, Ronald H. Theories of The State dalam Theories of Comparative Political.         Oxford: Westview Press, 2000.

Referensi Tambahan:
Budiardjo, Miriam.  Dasar-Dasar Ilmu Politik.  Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010.
Friedman, W.  Legal Theory.  London: Stevens & Sons Limited, 1960.
Gerth, H.H. and C.Wright Mills, trans., eds and  introduction, From Max Weber:Essays in            Socilogy.  New York: Oxford University Press, 1958.
Lubis, M. Solly S. H.  Ilmu Negara.  Bandung: Alumni, 1981.
Maclever, R.M. The Modern State. London: Oxford University Press, 1926.



[1] H.H. Gerth and C.Wright Mills, trans., eds and  introduction, From Max Weber:Essays in Socilogy (New York: Oxford University Press, 1958), hlm. 78. “The state is human society that (succesfully) claims the monopoli of the legitimate use physical force within a given terrritory
[2] R.M. Maclever, The Modern State (London: Oxford University Press, 1926), hlm. 22.
[3] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010), hlm. 49.
[4] M. Solly Lubis S. H.  Ilmu Negara.  (Bandung: Alumni, 1981), hlm. 37.
[5] W. Friedman.  Legal Theory. (London: Stevens & Sons Limited, 1960), hlm. 42.

“Keterkaitan Mengenai Teori Negara dengan Ekonomi Politik”

oleh: Alpiadi Prawiraningrat

Judul Buku      : Teori-Teori Kkonomi Politik: Pendekatan Berbasis Negara dalam Ekonomi                         Politik.
Penulis             : James A. Caporaso dan David P. Levine
Apakah yang dimaksud dengan negara? Teori-teori apa saja yang menjelaskan tentang negara? Dan Bagaimanakah keterkaitan negara (otonomi negara) dan ekonomi dalam konteks ekonomi politik? Pertanyaan tersebut menjadi pemicu kali ini. Secara sistematis James A. Caporaso dan David P. Levine Dalam tulisannya “Teori-Teori Ekonomi Politik: Pendekatan Berbasis Negara dalam Ekonomi Politik.” menjawab pertanyaan tersebut dan memaparkan berbagai pendekatan-pendekatan dengan negara sebagai pemeran utama serta ketrekaitannya dengan ekonomi politik.
Mengawali karyanya, penulis memaparkan bahwa negara memiliki peran yang sangat  aktif, karena negara memiliki agenda-agenda yang tidak dapat direduksi menjadi kebutuhan-kebutuhan yang ada dalam wilayah pribadi (perekonomian)[1] dengan merujuk pada otonomi negara, yang dipahami sebagai kemampuan negara untuk mendefinisikan semata-mata oleh kepentingan pribadi dari individu-individu dalam masyarakat. Definisi pendekatan yang berpusat pada negara sebagaimana yang diungkapkan penulis adalah memandang wilayah negara atau memandang bahwa agenda dari negara dan perekonomian juga merupakan agenda dari wilayah pribadi.
Pengertian negara yang dikutip penulis mengutip apa yang diungkapkan oleh Max Weber yang mendefinisikan Negara sebagai suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam sesuatu wilayah.[2] Sedangkan dalam literatur lain Robert M. Maclver mengungkapkan negara sebagai asosiasi yang menyelenggarakan penertiban di dalam suatu masyarakat berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan oleh suatu pemerintah yang untuk maksud tersebut diberi kekuasaan memaksa.[3] Sehingga dapat disimpulkan bahwa negara adalah suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah (governed) oleh sejumlah pejabat dan yang berhasil menuntut dari warga negaranya ketaatan pada peraturan perundang-undnagannya melalui penguasaan (kontrol) monopolitis terhadap kekuasaan yang sah.[4]
Penulis mengungkapkan bahwa pada dasarnya ide tentang otonomi negara merujuk pada kemampuan negara untuk bertindak secara independen dari faktor-faktor sosial (terutama faktor ekonomi).  Pandangan bahwa otonomi adalah kebebasan dari pengaruh “eksternal” memiliki tiga konsekuensi[5], yaitu: Pertama, adalah bahwa negara yang dikatakan bebas akan mampu “menang dalam melawan” tekanan-tekanan dari masyarakat sipil; Kedua, bahwa tindakan negara dipandang sebagai tidak dipengaruhi oleh satu kelompok manapun atau antarkelompok manapun; Ketiga, bahwa negara dianggap mampu menolak atau menahan tekanan dari luar.
Selanjutnya penulis memaparkan berbagai pendekatan-pendekatan berbasis negara untuk lebih memhami mengenai konsep ekonomi politik. konsep tersebut di antaranya:
Pendekatan-pendekatan berbasis masyarakat, yang terdiri dari: Pendekatan utilitarian yang dilakukan Nordlinger dengan pertama-tama membuat definisi negara yang didasarkan pada pemikiran utilitarian yang dipahami pada semua individu yang memegang jabatan di mana jabatan ini memberikan kewenangan kepada individu untuk membuat dan menjalankan keputusan-keputusan yang dapat mengikat pada sebagian atau keseluruhan dari segmen-segmen dalam masyarakat.  Ada dua hal penting dalam negara menurut pendekatan ini[6], yaitu: Pertama, negara terdiri dari beberapa individu.  Kedua, negara terpisah dari masyarakat di mana ini terikat untuk mematuhi keputusan-keputusan negara.  Dalam pandangan ini, otonomi negara adalah berbentuk kemampuan dari para pejabat negara untuk dapat melaksanakan pilihan-pilihan mereka dengan cara menerjemahkan ke dalam kebijakan publik, yang bisa selaras atau bisa bertentangan dengan pilihan-pilihan dari orang lain yang bukan pejabat negara. 
Salah satu aliran pendekatan utilitarian adalah aliran pluralisme, yang memandang bahwa negara memiliki peran sebagi fasilitator belaka. Pluralisme sebagai sebuah teori sosial memberikan peran yang kecil bagi negara.  Menurut pluralisme, otonomi negara adalah fenomena yang ada secara empris dan tidak dapat dijelaskan (anomali). Pendekatan korporatis, yang menyatakan bahwa kelompok-kelompok masyarakat tidak selalu melakukan penggabungan secara bebas, sehingga tidak bisa mencerminkan realita sosial yang tengah berlangsung.
Selanjutnya adalah pendekatan Marxian, dalam teori Marxian konsep ekonomi relatif dari negara merupakan sebuah penolakan terhadap pendapat bahwa negara bertindak sebagai pelaksana dari kepentingan-kepentingan orang-orang atau individu-individu tertentu yaitu individu yang kapitalis dan kepentingan mereka masing-masing.  Negara dipandang memiliki kepentingan sendiri yang ideologis, bahwa kepentingan negara harus disimpulkan dari pemahaman tentang bagaimana struktur dari masyarakat dan bagaimana mempertahankan kohesi sosial, sehingga memungkinkan terjadinya akumulasi kekayaan pribadi dalam jangka panjang oleh individu-individu di dalamnya.  Kepentingan yang hendak dicapai oleh negara adalah kepentingan untuk mempertahankan tatanan sosial tertentu.
Meskipun kedua teori baik marxis maupun utilitarain memfokuskan perhatian kepada analisa kepentingan dan tatanan sosial. Namun keduanya sama-sama tidak mampu menghasilkan teori tentang sebuah negara yang mampu menjaga tatanan masyarakat yang diperlukan agar kepentingan-kepentingan sempit itu bisa dikejar oleh indivu-individu dalam masyarakat.
Untuk membuktikan bahwa cara kerja dari perekonomian kapitalis membawa dampak politik, Marx mengajukan kritik terhadap pandangan klasik tentang pasar yang meregulasi dirinya sendiri. Dia melakukan kritik bukan dengan tujuan untuk membenarkan konsep kapitalisme yang dikendalikan negara, melainkan untuk menunjukkan bahwa kapitalisme tidak dapat bertahan hidup dalam waktu yang lama. 
Pembuktian dari pernyataan bahwa kapitalisme tidak dapat bertahan hidup dalam waktu yang lama, menggunakan konsep kesadaran kelas antara kelas pekerja dan kelas kapitalis akan memperjelas gap antara kaum pekerja dengan kaum kapitalis atau pemilik modal. Seperti dalam penelitian yang dilakukan marx yang di sampaikan Charles Bettelheim 1985, dimana akibat dari hubungan produksi (reletion of production) menjadikan sebuah masyarakat menjadi beberapa kelas.[7]
Penulis juga menjelaskan macam pendekatan lainya, yaitu statisme, yang berbeda dengan teori berbasis masyarakat di mana yang mejadi faktor penyebab pemicu adalah pilihan pribadi (menurut teori utilitarian) atau kondisi material yang dihadapi individu (menurut teori marxis) yang kemudian menyebabkan terbentuknya tuntutan politik secara terorganisir (seperti lewat kelompok kepentingan atau partai) yang di sodorkan kepada negara.
Dalam pendekatan Statisme ini, penulis mencoba mengutip pemikiran Krarsner yang memahami negara sebagai sejumlah peran dan institusi yang memiliki dorongan dan tujuan khusus yang berbeda dari kepentingan kelompok tertentu mana pun dalam masyarakat. Di mana tujuan dari suatu negara sebagai kumpulan dari keinginan individu-individu atau kelompok-kelompok adalah sebuah kesalahan yang sangat mendasar, karena tujuan negara merujuk pada kegunaan (utility) dan dapat disebut sebagai kepentigan umum masyarakat atau kepentingan nasional.[8]
Masih dalam konteks pemikiran Kresner yang digunakan penulis, dalam pandangannya negara dipahami sebagai institusi yang bertanggugjawab menentukan nilai-nilai yang digunakan untuk menentukan kegunaan masyarakat. Hal yang menarik dari pendekatan Krasner adalah bahwa perbedaan antara negara dengan masyarakat tidaklah paralel dengan pembedaan antara wilayah publik dan wilayah pribadi. Krasner secara eksplisit memandang bahwa tindakan negara memiliki hubungan dengan ideologi, dan meskipun Krasner telah berusaha untuk menghubungkan ideologi  dengan kepentingan pribadi, namun hubungan yang dihasilkanya belum dikatakan kuat.
Secara tersirat apa yang dipaparkan penulis yang memiliki keterkaitan dengan teori-teori tentang otonomi negara telah menunjukan kepada kita keterbatasan dari metode-metode yang digunakanya untuk memahami hubungan antara negara dengan masyarakat.  Sehingga kurang dapat menunjukan perubahan-perubahan apa yang perlu dilakukan terhadap konsep kepentingan pribadi agar dapat menampung ide tentang negara yang mampu berperan aktif.
Di samping itu James A. Caporaso dan David P. Levine juga mendeskripsikan mengenai Pendekatan transformasional terhadap negara.  Dalam pendekatan ini, otonomi negara dipahami dalam dua artian.[9] Pertama, otonomi negara dipahami sebagai agenda negara yang berbeda dari agenda kepentingan pribadi dan tidak bisa ditentukan berdasarkan kepentingan-kepentingan pribadi dari individu-individu dalam masyarakat.  Kedua, otonomi negara sejauh ini dianggap sebagai kemampuan negara untuk melaksanakan kemampuannya sendiri.  Dengan kata lain dalam otonomi negara menurut pandangan ini terdapat suatu kemampuan untuk membuat tujuan dan kemudian mencapai tujuan tersebut.
Pemikiran dalam tulisan inipun tidak terlepas dari konseptual dasar mengenai teori negara yang berasal dari Max Weber yang menyatakan bahwa negara adalah struktur organisasional yang memiliki instrumen kekuasaan dan pelaku-pelaku yang berhak atau memiliki legitimasi untuk melakukan kekrasan (force).  Konsep pembeda yang menjadi kunci dalam pandangan Weber berkaitan dengan teori-teori lainnya adalah adanya legitimasi, yang memandang bahwa negara memiliki hubungan dengan tujuan publik atau kepentingan publik sehingga hubungan antara negara dengan perekonomian menjadi erat kaitannya dengan wilayah publik dan wilayah pribadi.
Lalu bagaimana pandangan teori ekonomi klasik mengenai keterkaitan negara dengan pasar?  Dalam pandangan klasik, pasar dengan sistemya mampu berjalan sendiri dengan mengikuti logika hukumnya, atau pasar itu sebagai suatu mekanisme otomatis yang selalu mengarah pada neraca keseimbangan, sehingga terwujud sumberdaya dengan cara yang paling efektif dan efesien.  Salah satu aktor yang berpandangan klasik adalah Smith melalui ajarannya yaitu, Laissez faire (biarkan saja)Menurutnya ekonomi pasar akan berkembang dengan bebas jika negara tidak menghalanginya dengan memberi batasan-batasan.
Penulis menjelaskan bahwa dalam pemikiran Smith menegaskan peranan pemerintah sebaiknya ditekan seminimal mungkin dalam mekanisme ekonomi pasar dan bahwa sistem pasar adalah sebuah realita yang akan tercipta dengan sendirinya tanpa campur tangan manusia, di mana pasar memiliki hubungan dengan negara tapi pasar bukan organ bawahan dari negara. Inilah argumentasi kapitalisme liberal klasik dalam menentang campur tangan negara.
Negara dalam konteks ini hanya bertugas menyediakan kerangka hukum untuk kontrak, pertahanan serta ketertiban dan keamanan. Dalam keyakinan ekonomi klasik, intervensi negara yang besar terhadap pasar akan memperburuk lajunya pasar.[10] Menurut Adam Smith hubungan negara dengan pasar itu, di antaranya: Pertama, melakukan penjagaan atau pertahanan dalam hal pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan masyarakat kepada masyarakat lainnyaKedua, proteksi atau penjagaan dimaksudkan untuk melindungi dari tekanan atau ancaman individu masyarakat atas masyarakat lain, negara menjaga kondisi pasar agar tetap dalam suasana adilKetiga, menjaga barang-barang milik publik agar terhindar dari kerusakan yang dilakukan masyarakat.[11]
Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwasanya negara itu hanya berfungsi pada bidang-bidang tertentu.  Hal ini dilakukan agar terhindar dari berbagai pelanggaran. Di sini pasar dibiarkan berjalan dengan sendiri tanpa adanya campur tangan negara secara penuh, negara hanya menjadi penjaga setia pasar agar selalu aman dari tindak kecurangan. Negara hanya menjadi subordinasi dari pasar dalam upaya mensejahterakan masyarakatnya.
Buku ini secara keseluruhan sudah mendeskripsikan unsur-unsur dan teori-teori penting dalam memahami negaraTeori-teori mengenai negara (otonomi negara) yang telah dipaparkan penulis menjadi bagian inti dari buku ini, dijelaskan dengan baik dan disertai contoh-contoh faktual sehingga sangat membantu pembaca untuk dapat memahami teori yang sudah dipaparkan. Nilai lebih dari buku ini (khususnya chapter delapan) adalah menjadi stimulan yang menarik bagi pembaca untuk lebih memahami lebih mendalam tentang negara yang dipahami bertujuan untuk kepentingan kepentingan umum sebagai kepentingan masyarakat dan rakyat banyak dapat tercapai.  Sedangkan di sisi lain, akan jauh lebih baik jika buku ini juga memuat analisis terhadap contoh kasus yang dipaparkan, dan memuat informasi rinci yang dapat dipergunakan bagi praktisi. Informasi-informasi tersebut berupa komparasi kelebihan dan kelemahan antar tori mengenai negara dan konteks yang seperti apa yang cocok untuk masing-masing teori.  Informasi tersebut tentunya sangat berguna bagi pembaca untuk lebih memahami kompleksitas keterkaitan antara negara (otonomi negara) dan ekonomi di dalam ekonomi politik.


Daftar Pustaka
Sumber Referensi Utama:
Caporaso, James A. dan David P. Levine. Teori-Teori Ekonomi Politik.  Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
----------------Theories of Political Economy. New York: Cambridge University Press, 1992.

Sumber Referensi Pendukung:
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010.
Fakih, Mansour. Bebas dari Neoliberalisme. Yogyakarta: Insist, 2003.
Gerth, H.H. and C.Wright Mills, trans., eds and  introduction, From Max Weber:Essays in Socilogy. New York: Oxford University Press, 1958.
Maclever, R.M. The Modern State.  London: Oxford University Press, 1926.





[1] James A. Caporaso dan David P. Levine, Teori-Teori Ekonomi Politik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 447.
[2] H.H. Gerth and C.Wright Mills, trans., eds and  introduction, From Max Weber:Essays in Socilogy (New York: Oxford University Press, 1958), hlm. 78. “The state is human society that (succesfully) claims the monopoli of the legitimate use physical force within a given terrritory
[3] R.M. Maclever, The Modern State (London: Oxford University Press, 1926), hlm. 22.
[4] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010), hlm. 49.
[5] James A. Caporaso dan David P. Levine, Op.Cit., hlm. 448.
[6] James A. Caporaso dan David P. Levine, Op.Cit., hlm. 452
[7]James A. Caporaso dan David P. Levine, Op.Cit., hlm. 130.
[8] James A. Caporaso dan David P. Levine, Op.Cit., hlm 11-12.
[9] James A. Caporaso dan David P. Levine, Op.Cit., hlm 473-474.
[10] Mansour Fakih, Bebas dari Neoliberalisme, (Yogyakarta: Insist, 2003), hlm. 6.
[11] James A. Caporaso dan David P.Lavine, Theories of Political Economy, (New York: Cambridge University Press, 1992), hlm.  44.

Reading Comment: “Money Politics dan Informal Governance dalam Pilkada Indonesia”

oleh: Alpiadi Prawiraningrat

Judul Artikel        : “Pilkada, Money Politics and The Dangers of Informal Governance                                       Practices
Penulis                  : Syarif Hidayat
Data Publikasi      : Syarif Hidayat, Pilkada, Money Politics and The Dangers of Informal                Governance Practices, hlm. 125-143.
          Pemilihan kepala daerah (Pilkada) selalu menjadi isu yang menarik untuk diperbincangan dalam kehidupan politik masyarakat Indonesia.  Berbagai persoalan tidak pernah lepas dari perhelatan akbar sebagai bagian dari pesta demokrasi negeri ini.  Di antara persoalan yang dihadapi, terdapat dua di antaranya yang selalu menarik perhatian untuk didiskusikan, yaitu money politics dan adanya informal governance.
          Berkaitan dengan hal tersebut, dalam tulisannya “Pilkada, Money Politics and The Dangers of Informal Governance Practices” Syarief Hidayat mengungkapkan bahwa kedua persoalann di atas muncul beriringan dengan ditetapkanya UU No. 32 Tahun 2004 sebagai salah satu legitimasi pengimplementasian sistem pilkada langsung, yang merupakan langkah besar dan fundamental menuju pemerintah lokal yang lebih demokratis  atau disebut dengan “local good governance”.
          Hidayat mengungkapkan bahwa Pilkada sebagai bentuk dari implementasi kebijakan desentralisasi diyakini dapat memberikan kesempatan pemerintah lokal untuk mengelola hajat hidupnya dan mengurangi kekuasaan pemerintah pusat yang sentralistik. Hal ini sebagai upaya mewujudkan pemerintah lokal yang lebih akuntabel, mengurangi kekuasaan pemerintah pusat dengan menciptakan keseimbangan kekuasaan antara politik pemerintah lokal dan pemerintah pusat, dan mewujudkan pemerintah lokal yang lebih responsif dan lebih bertanggungjawab kepada masyarakatnya.  Namun persoalan muncul di Indonesia.  “Democratic behaviour” yang dipahami sebagai perilaku pemilih dalam menentukan keputusan pemilihan umum, yang telah cukup memiliki pengetahuan tentang politik dan kemampuan menentukan pilihan kandidat yang tepat dengan didasarkan atas keputusan yang rasional. Namun dalam konteks Indonesia baru terjadi di tingkat intstitusional dan tipe ini masih dalam kategori demokrasi prosedural dan belum dapat dikatakan sebagai demokrasi yang substantif. 
          Jika kita mengasumsikan bahwa kondisi Indonesia saat ini sebagai transisi menuju demokrasi, lalu apa implikasi dari pemilihan langsung tersebut? Sebagai akibat dari demokrasi yang prosedural, proses politik didominasi oleh interaksi, kompetisi dan kompromi yang dilakukan oleh aktor-aktor pemerintah, dikarenakan pemilih tidak memahami pentingnya partisipasi politik dalam Pilkada dan berimplikasi kepada pembuatan keputusan yang bersifat pragmatis karena lebih melihat keuntungan apa yang akan mereka dapatkan jika memilih kandidat tertentu.  Hal ini sangat membuka kesempatan pihak-pihak tertentu melakukan money politics sebagai upaya penting dalam melakukan mobilisasi konstituen.
          Tidak mengherankan jika proses Pilkada selalu diwarnai oleh politik dan aliansi bisnis sehingga setelah Pilkada usai kepala daerah yang terpilih akan mendedikasikan dirinya kepada politisi dan klien bisnis dibandingkan dengan rakyat dan inilah yang dimaksud oleh penulis sebagai informal governance di mana pemerintahan dikontrol oleh kekuatan sosial, ekonomi dan politik yang mengatur struktur pemerintah formal.
          Penulis mengasumsikan Money politics sendiri dalam Pilkada Indonesia kepada dua kategori, yaitu direct money politics, dipahami bagaimanaa calon kadidat memberikan secara langsung uang dengan jumlah nominal tertentu untuk memperoleh kekuasaan sebagai kepala daerah kepada individu atau institusi tertentu.  Sedangkan indirect money politics, di mana kandidat memberikan materi atau barang tertentu (bukan uang) sebagai upaya memperoleh dukungan kepala daerah, mislanya pemberian Sembako (sembilan bahan pokok).
          Dalam kaitannya dengan ancaman informal governance penulis mengutip ungkapan Nordholt yang mengungkapkan bahwa desentralisasi di Indonesia tidak menunjukan demokrasi, good governance dan menguatnya civil society di tingkat lokal.  Namun yang terjadi adalah korupsi, dan kekerasan atau kejahatan yang dilakukan pemerintah lokal layaknya rezim Orde Baru. Selain itu, pemerintah lokal saat ini lebih dikuasai oleh shadow regims yang memiliki karakter, aliansi para birokrat, pembisnis, militer dan preman. Sehingga yang terjadi adalah penguasaan sumber daya oleh pihak-pihak swasta dan alinsi politik tertentu tanpa memberikan dampak yang positif terhadap masyarakat karena lemahnya institusi formal pemerintah.
          Mengakhiri tulisanya, Hidayat mengungkapkan dua peristiwa yang mewarnai kehidupan pilkada di Indonesia, yaitu premanisme proyek di Banten dan proyek Water Boom di Jambi, sebagai bentuk dari shadow regims, di mana pemerintahan dikendalikan oleh kompensasi bisnis dan infomal governance, sebagai pemegang kekuasaan dalam Pilkada di masing-masing daerah tersebut.