Pembaruan besar-besaran yang
dilakukan Jepang semasa pemerintahanm Tenno Meiji yang disebut Restorasi Meiji menempatkan
Jepang sebagai negara industri modern yang sejajar dengan bangsa Barat.
Berdasarkan kebijkanan imperialis Hakko Ichiu, Jepang bermaksud menjadikan Asia
sebagai kesatuan wilayah di bawah pimpinannya.
Guna mencapai tujuannya itu, Jepang membangun persaudaraan Asia. Di
Indonesia, Jepang menyebut diri sebagai saudara tua, serta mempropagandakan
Gerakan Tiga A (Jepang cahaya Asia, Jepang pelindung Asia, dan Jepang pemimpin
Asia).
Sebagai negara industri, munculnya Jepang
yang merupakan salah satu dari tiga negara yang menandai globalisasi modern
selain Amerika Serikat dan Jerman[1]
sangat membutuhkan bahan mentah untuk industri.
Selain faktor tersebut, sentimen terhadap imperialisme Barat di kawasan
Asia turut mendorong Jepang untuk segera menduduki Indonesia yang dikuasai oleh
Belanda. Setelah mengeuasi Indonesia, Jepang bermaksud membendung pengaruh imperialisme
Barat di Asia.
Penjajahan Jepang di Indonesia, lebih bersifat strategis militer karena Indonesia merupakan front terdepan dalam menghadapi kekuatan Sekutu yang berpusat di Australia, oleh karena itu pemerintahan Jepang di Indonesia merupakan pemerintahan pendudukan.
Penjajahan Jepang di Indonesia, lebih bersifat strategis militer karena Indonesia merupakan front terdepan dalam menghadapi kekuatan Sekutu yang berpusat di Australia, oleh karena itu pemerintahan Jepang di Indonesia merupakan pemerintahan pendudukan.
Meskipun Jepang
mengalami masa yang singkat sebagai world
power setelah memenangkan peperangan melawan Rusia tahun 1905, Jepangpun
tergelincir kedalam sifat ekspansionisme dan fasisme[2] yang membawanya ke Perang
Dunia II merupakan salah satu alasan Jepang menduduki Indonesia. Meskipun
akhirnya Jepang mengalami kekalahan dari sekutu dan menurunya peran global
Jepang. Namun, perkembangan ekonominya
selama tahun 1950an dan 1960an, Jepang menjadi global power di bidang ekonomi.[3]
Sebelum
meletusnya Perang Asia Timur Raya, Jepang memetakan wilayah Asia Tenggara
menjadi dua bagian, yaitu: 1) Wilayah A, yaitu beberapa koloni Inggris, Belanda
dan Amerika Serikat yang meliputi wilayah; Semenanjung Melayu, Kalimantan
Utrara, Philipina dan Indonesia dan 2) Wilayah B, yaitu koloni Perancis yang
meliputi Vietnam, Laos dan kamboja.[1]
Jepang menguasai kawasan Asia Tenggara, khususnya wilayah A dengan tujuan untuk menjadikan kawasan Asia Tenggara sebagai sumber bahan mentah bagi industri perang dan pertahanannya.[2] Jepang juga berusaha memotong garis perbekalan musuh yang berada di wilayah ini.
Jepang memperoleh kemenangan mudah untuk menduduki Indonesia yang dikuasai Belanda pada bulan Januari 1942. Dimulai dari wilayah Tarakan (Kalimantan Timur) sebagai penghasil minyak bumi terbesar di Indonesia, berturut-turut kemudian wilayah Balikpapan, Ambon, Kendari, Pontianak dapat dikuasai pada bulan yang sama. Pada bulan Pebruari 1942 Jepang berhasil menguasai Palembang.[3]
Untuk menguasai Indonesia, Jepang menggunakan dua jalur, yaitu: Pertama, lewat Philipina: Tarakan, Balikpapan, Bali, Rembang Indramayu dan Kedua, melewati Semenanjung Melayu: Palembang, Pontianak, Tanjung Priok.
Pada tanggal 5 Maret 1942 tentara Jepang berhasil menguasai Batavia. Karena semakin terdesak serta tidak adanya bantuan dari Amerika Serikat akhirnya Belanda terpaksa harus menyerah tanpa syarat kepada Jepang melalui Perjanjian Kalijati (Subang Jawa barat) pada tanggal 8 Maret 1942. Perjanjian ini ditandatangani oleh Jenderal Teerporten selaku wakil Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Indonesia (Tjarda Van Stackenborg Stackhouwer) dengan Jenderal Immamura sebagai Pimpinan bala tentara Jepang di Indonesia.[4]
Setelah berhasil menguasai Indonesia, pemerintah bala tentara Jepang membagi Indonesia menjadi 3 bagian[5], yaitu: a) Wilayah I, terdiri atas Jawa dan Madura serta diperintah oleh Tentara Keenambelas Rikugun (Angkatan Darat) yang berpusat di Jakarta; b) Wilayah II terdiri atas Sumatera dan diperintah oleh Tentara Keduapuluhlima Rikugun dengan markas di Bukit Tinggi (Sumatera Barat) dan c) Wilayah III terdiri atas ; Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Bali dan Nusa Tenggara, diperintah oleh Armada Selatan kedua Kaigun (Angkatan Laut) yang berpusat di Makasar.
Tujuan Pendudukan Jepang di Indonesia[6], di antaranya: a) Menjadikan Indonesia sebagai pemasok bahan mentah untuk industri dan mesin perang. Oleh karena itu, Jepang mengincar wilayah yang kaya minyak bumi, seperti Tarakan dan Balikpapan di Kalimanatan Timur dan Palembang di Sumatera Selatan. b) Menggalang rakyat Indonesia menjadi bagian dari kekuatan untuk membendung gempuran pasukan Sekutu yang identik dengan imperialisme Barat. Untuk itu, Jepang memberlakukan kerja paksa dalam membangun kubu pertahanan dan jaringan kereta api. Jepang juga melatih penduduk Indonesia dengan keterampilan militer agar mampu menciptakan kelompok orang-orang yang terorganisir dengan disiplin untuk melakukan pertempuran, yang diperbedakan dari orang sipil.[7] Tujuan pembentukan militer ini tidak lain adalah untuk bertempur dan memenangkan peperangan gune mempertahankan dan memelihara eksistensi Jepang.[8]
Jepang menguasai kawasan Asia Tenggara, khususnya wilayah A dengan tujuan untuk menjadikan kawasan Asia Tenggara sebagai sumber bahan mentah bagi industri perang dan pertahanannya.[2] Jepang juga berusaha memotong garis perbekalan musuh yang berada di wilayah ini.
Jepang memperoleh kemenangan mudah untuk menduduki Indonesia yang dikuasai Belanda pada bulan Januari 1942. Dimulai dari wilayah Tarakan (Kalimantan Timur) sebagai penghasil minyak bumi terbesar di Indonesia, berturut-turut kemudian wilayah Balikpapan, Ambon, Kendari, Pontianak dapat dikuasai pada bulan yang sama. Pada bulan Pebruari 1942 Jepang berhasil menguasai Palembang.[3]
Untuk menguasai Indonesia, Jepang menggunakan dua jalur, yaitu: Pertama, lewat Philipina: Tarakan, Balikpapan, Bali, Rembang Indramayu dan Kedua, melewati Semenanjung Melayu: Palembang, Pontianak, Tanjung Priok.
Pada tanggal 5 Maret 1942 tentara Jepang berhasil menguasai Batavia. Karena semakin terdesak serta tidak adanya bantuan dari Amerika Serikat akhirnya Belanda terpaksa harus menyerah tanpa syarat kepada Jepang melalui Perjanjian Kalijati (Subang Jawa barat) pada tanggal 8 Maret 1942. Perjanjian ini ditandatangani oleh Jenderal Teerporten selaku wakil Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Indonesia (Tjarda Van Stackenborg Stackhouwer) dengan Jenderal Immamura sebagai Pimpinan bala tentara Jepang di Indonesia.[4]
Setelah berhasil menguasai Indonesia, pemerintah bala tentara Jepang membagi Indonesia menjadi 3 bagian[5], yaitu: a) Wilayah I, terdiri atas Jawa dan Madura serta diperintah oleh Tentara Keenambelas Rikugun (Angkatan Darat) yang berpusat di Jakarta; b) Wilayah II terdiri atas Sumatera dan diperintah oleh Tentara Keduapuluhlima Rikugun dengan markas di Bukit Tinggi (Sumatera Barat) dan c) Wilayah III terdiri atas ; Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Bali dan Nusa Tenggara, diperintah oleh Armada Selatan kedua Kaigun (Angkatan Laut) yang berpusat di Makasar.
Tujuan Pendudukan Jepang di Indonesia[6], di antaranya: a) Menjadikan Indonesia sebagai pemasok bahan mentah untuk industri dan mesin perang. Oleh karena itu, Jepang mengincar wilayah yang kaya minyak bumi, seperti Tarakan dan Balikpapan di Kalimanatan Timur dan Palembang di Sumatera Selatan. b) Menggalang rakyat Indonesia menjadi bagian dari kekuatan untuk membendung gempuran pasukan Sekutu yang identik dengan imperialisme Barat. Untuk itu, Jepang memberlakukan kerja paksa dalam membangun kubu pertahanan dan jaringan kereta api. Jepang juga melatih penduduk Indonesia dengan keterampilan militer agar mampu menciptakan kelompok orang-orang yang terorganisir dengan disiplin untuk melakukan pertempuran, yang diperbedakan dari orang sipil.[7] Tujuan pembentukan militer ini tidak lain adalah untuk bertempur dan memenangkan peperangan gune mempertahankan dan memelihara eksistensi Jepang.[8]
I.
2 Kondisi Sosial, Ekonomi,
Politik Indonesia Ketika Penjajahan Jepang
a. Sosial
· Pemerasan Tenaga
Manusia[9]
Jepang menerapkan sistem romusha yang menyebabkan penderitaan masyarakat Indonesia. Sistem kerja paksa ini ditujukan untuk membangun sarana prasarana Jepang. Jepang membuat suatu propaganda terhadap masyarakat Indonesia, agar masyarakat Indonesia tidak takut dan kemudian akan bersedia menjadi tenaga kerja paksa. Propaganda ini dilakukan dengan memuji-muji romusha itu sendiri. Kerja paksa itu sendiri, menimbulkan kemiskinan endemis, menurunnya derajat kesehatan, dan meningkatnya angka kematian serta berbagai penderitaan fisik dalam pengerahan tenaga romusha.[10]
Jepang menerapkan sistem romusha yang menyebabkan penderitaan masyarakat Indonesia. Sistem kerja paksa ini ditujukan untuk membangun sarana prasarana Jepang. Jepang membuat suatu propaganda terhadap masyarakat Indonesia, agar masyarakat Indonesia tidak takut dan kemudian akan bersedia menjadi tenaga kerja paksa. Propaganda ini dilakukan dengan memuji-muji romusha itu sendiri. Kerja paksa itu sendiri, menimbulkan kemiskinan endemis, menurunnya derajat kesehatan, dan meningkatnya angka kematian serta berbagai penderitaan fisik dalam pengerahan tenaga romusha.[10]
· Penipuan
terhadap para gadis Indonesia untuk dijadikan wanita penghibur (Jung hu Lanfu) dan disekap dalam kamp
tertutup. [11]
Para wanita ini awalnya diberi iming-iming pekerjaan sebagai perawat, pelayan toko, atau akan disekolahkan, ternyata dijadikan pemuas nafsu untuk melayani prajurit Jepang di kamp-kamp: Solo, Semarang, Jakarta, Sumatera Barat. Kondisi tersebut mengakibatkan banyak gadis yang sakit (terkena penyakit kotor), stress bahkan adapula yang bunuh diri karena malu.
Para wanita ini awalnya diberi iming-iming pekerjaan sebagai perawat, pelayan toko, atau akan disekolahkan, ternyata dijadikan pemuas nafsu untuk melayani prajurit Jepang di kamp-kamp: Solo, Semarang, Jakarta, Sumatera Barat. Kondisi tersebut mengakibatkan banyak gadis yang sakit (terkena penyakit kotor), stress bahkan adapula yang bunuh diri karena malu.
·
Pembentukan
sistem RT[12]
Sistem RT ini dinamakan Tonarigami (RT), dimana satu RT berisi ± 10 - 12 kepala keluarga. Pembentukan RT ini bertujuan untuk memudahkan pengawasan dan memudahkan dalam mengorganisir kewajiban rakyat serta memudahkan pengawasan dari pemerintah desa.
Sistem RT ini dinamakan Tonarigami (RT), dimana satu RT berisi ± 10 - 12 kepala keluarga. Pembentukan RT ini bertujuan untuk memudahkan pengawasan dan memudahkan dalam mengorganisir kewajiban rakyat serta memudahkan pengawasan dari pemerintah desa.
b.
Ekonomi
·
Pemerasan
Kekayaan Alam[13]
Perkebunan peninggalan Belanda disita. Tidak hanya itu, Jepang juga memonopoli hasil perkebunan. Pemerintah Jepang mendapatkan 60 % sedangkan rakyat Indonesia hanya mendapatkan 40% saja. Perkebunan yang menurut mereka tidak berguna, diganti dengan buah jarak. Hutan ditebangi dengan alasan untuk digunakan tanah pertanian.
Perkebunan peninggalan Belanda disita. Tidak hanya itu, Jepang juga memonopoli hasil perkebunan. Pemerintah Jepang mendapatkan 60 % sedangkan rakyat Indonesia hanya mendapatkan 40% saja. Perkebunan yang menurut mereka tidak berguna, diganti dengan buah jarak. Hutan ditebangi dengan alasan untuk digunakan tanah pertanian.
·
Menerapkan
sistem ekonomi perang dan sistem autarki[14]
Maksud dari sistem ini adalah memenuhi kebutuhan daerah sendiri dan menunjang kegiatan perang. Konsekuensinya tugas rakyat beserta semua kekayaan dikorbankan untuk kepentingan perang. Hal ini jelas amat menyengsarakan rakyat baik fisik maupun material.
Maksud dari sistem ini adalah memenuhi kebutuhan daerah sendiri dan menunjang kegiatan perang. Konsekuensinya tugas rakyat beserta semua kekayaan dikorbankan untuk kepentingan perang. Hal ini jelas amat menyengsarakan rakyat baik fisik maupun material.
c.
Politik
Sebelum dijajah Jepang,
Indonesia telah dijajah Belanda. Jika dibandingkan dengan Belanda, dari segi
politis, Jepang tidak terlalu merasuk hingga ke sendi-sendi pemerintahan. Saat
dijajah Jepang, sistem hukum dan pemerintahan masih berkaca pada Belanda.[15]
Dibandingkan
dengan hukum dan pemerintahan, Jepang lebih mempengaruhi Indonesia melalui segi
militer. Sebagai bagian dari politik Jepang , memanfaatkan sumber daya manusia
dengan mobilisasi massa pemuda dan rakyat secara besar-besaran dalam
program-program latihan semi militer. Tujuannya sebagai tenaga cadangan bagi
kepentingan militer Jepang. Mobilisasi masa rakyat terbagi dalam Seinendan,
Keibodan, Fujinkai dan PETA (Pembela Tanah Air) yang telah mendorong rakyat
memiliki keberanian, sikap mental untuk menentang penjajah, pemahaman terhadap
kemerdekaan maupun sikap mental yang mengarah pada terbentuknya nasionalisme[16]
yang bukan hanya merupakan kesadaran diri suatu bangsa,[17]
namu memiliki arti
penting yang menurut Mazzini, adalah sebagai jembatan persaudaraan manusia,[18]
yang di dalamnya terkandung revolusi sosial, intelektual, dan moral.[19]
Dan dalam era kolonial, nasionalisme mempunyai akar demokratis dibandingkan
dengan negara yang tidak terjajah.[20]
Kecuali itu, nasionalisme merupakan satu ideologi untuk generasi muda.[21]
III.3 Pengaruh Pendudukan
Jepang di Indonesia dan Keterkaitanya dengan Nasionalisme di Indoneisa.
Pendudukan Jepang di Asia Tenggara
khususnya di Indonesia memberikan pengaruh di beberapa bidang di antaranya
bidang sosial, politik, dan ekonomi. Pengaruh Jepang pada bermacam-macam aspek
kehidupan masyarakat Indonesia dapat berupa pengaruh negatif maupun positif.
Dalam pengaruh positif maupun
negatif berbagai aspek atau bidang kehidupan masyarakat Indonesia memiliki
relevansi terhadap tumbuhnya landasan nasionalisme di Indonesia, sebagaimana
diungkapkan oleh Ernest Renan bahwa terbentuknya suatu bangsa di sebabkan oleh Heroic Past, Historical Togetherness dan
Political Will, dimana Historical
Togetherness dan Political Will ini terbentuk atau dipengaruhi oleh
pengaruh positif maupun negatif zaman pendudukan Jepang di Indonesia.
Pemerintah
pendudukan Jepang memberikan kesempatan kepada bangsa Indonesia untuk mengikuti
pendidikan pada sekolah-sekolah yang dibangun oleh pemerintah Jepang.
Kesempatan terbuka untuk bangsa Indonesia disertai dengan penghapusan
diskriminasi dalam lembaga pendidikan dalam sistem pendidikan lembaga belanda
yang terkesan elitis, dimana golongan pribumi hanya mendapatkan porsi yang
kecil. Pada Sistem Pendidikan Jepang, terdiri dari tingkatan tingkatan pendidikan, diantara
lain; Pendidikan Dasar (Kokumin Gakko
/ Sekolah Rakyat), dan Pendidikan Lanjutan, yang terdiri dari Shoto Chu Gakko (Sekolah Menengah
Pertama dan Koto Chu Gakko (Sekolah
Menengah Tinggi). Pada sistem pendidikan di lembaga pendidikan dihapuskannya
sistem pendidikan berdasarkan kelas sosial di era penjajahan Belanda, selain
itu Dijadikannya Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi pengantar pendidikan
menggantikan Bahasa Belanda[22]
Menurut sudut
pandang ilmuwan sosial faktor pendukung nasionalisme dapat digolongkan menjadi
dua sudut peninjauan, yakni secara objektif dan secara subjektif.[23] Jika ditinjau secara
objektif maka nasionalisme dikaitkan dengan suatu kenyataan objektif. Sebagai
faktor objektif yang paling jelas dan lazim dikemukakan, misalnya aspek atau
faktor ras, bahasa, agama, peradaban (seperti apa yang dikemukakan oleh para
sarjana Anglo Saxon disebut sebagai “Civilization”),
wilayah, negara, dan kewarganegaraan, sedangkan jika ditinjau secara subjektif,
nasiolisme adalah suatu gerakan sosial atau sebuah aliran rohaniah yang
mempersatukan rakyat ke dalam suatu “natie” yang membangkitkan massa ke dalam
keadaan politik dan sosial yang aktif. Dengan nasionalisme seperti ini maka
negara akan menjadi milik seluruh rakyat, bukan lagi menjadi milik seorang
Raja, atau milik kaum bangsawan, akan tetapi menjadi milik rakyat sebagai
keseluruhan dan rakyat dalam hubungan ini akan menjadi suatu “natie”. Oleh
karena itu, nasionalisme dapat dipandang sebagai landasan ideal dari setiap
negara nasional.
Pada
zaman pendudukan oleh Jepang diperbolehkannya bahasa Indonesia untuk menjadi
bahasa komunikasi nasional sehingga menyebabkan bahasa Indonesia mengukuhkan
diri sebagai bahasa nasional. Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu
atau Lingua Franca memang sudah di
canangkan sejak kongres pemuda ke-2 pada 10 Oktober 1928, yang menurut George
Kahin[24]
merupakan salah satu tonggak munculnya ideologi nasionalis di Indonesia dimana
Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu merupakan contoh dari faktor
pendukung munculnya nasionalisme secara Objektif serta merupakan bentuk suatu
identitas kolektif yang menjadi landasan nasionalisme Indonesia sebagai nation-state atau gagasan tentang negara yang didirikan untuk
seluruh bangsa atau untuk seluruh umat, berdasarkan kesepakatan bersama yang
menghasilkan hubungan kontraktual dan transaksional terbuka antara pihak-pihak
yang mengadakan kesepakatan itu.[25] Nation
state merupakan hasil sejarah alamiah yang semi kontraktual
karena ia muncul secara artifisal dan didesak oleh suatu kebutuhan kontrak
sosial, dengan di dalamnya terdapat sebuah ikatan timbal balik yang berbentuk
hak dan kewajiban antar negara bangsa dengan warganya di mana nasionalisme merupakan landasan bangunannya
yang paling kuat.[26]
Pada
pra-pendudukan Jepang di Indonesia bahasa yang digunakan sehari-hari dalam
pergaulan sehari-hari, baik dalam lembaga pendidikan maupun instansi pemerintah
menggunakan Bahasa Belanda dan pelarangan penggunaan Bahasa Indonesia.
Penggunaan bahasa Indonesia mulai digunakan pada diakui sebagai bahasa
pergaulan sehari-hari, bahkan telah diangkat menjadi bahasa resmi pada
instansi-instansi pemerintah-an atau pada lembaga-lembaga pendidikan dari
tingkat sekolah dasar hingga sekolah tinggi. Bahasa Indonesia sebagai bahasa
pemersatu atau Lingua Franca dapat
dipahami sebagai faktor pobjektif dari munculnya nasionalisme di Indonesia.
Dalam
masa penjajahan-nya, Jepangpun melakukan propaganda untuk menarik simpati
bangsa Indonesia, Propaganda Jepang di laksanakan berbagai tindakan nyata
berupa pembentukan badan-badan kerjasama yang berfungsi memanfaatkan sumber
daya manusia dengan mobilisasi massa pemuda dan rakyat secara besar-besaran
dalam program-program latihan semi militer sebagai bentuk propaganda jepang,
seperti; Java Hookokai (kebangkitan
rakyat Jawa ), Putera, Peta, Fujinkai (perkumpulan kaum wanita), Keibodan
(barisan pemuda membantu polisi, kebakaran, dan serangan udara pembantu) ,
Seinendan (korp pemuda semi militer) , Heiho (pasukan pembantu ) dan sebagainya
justru dimanfaatkan para pejuang ini untuk memupuk semangat kebangsaan guna
memudahkan jalan untuk mencapai kemerdekaan. BPUPKI (Dokuritsu Junbi
Cosakai) dan PPKI (Dokuritsu Junbi Inkai) merupakan organisasi
bentukan Jepang. BPUPKI didirikan pada 29 April '45, yang merupakan suatu badan
bentukan jepang yang bertugas untuk menyelidiki usaha-usaha persiapan
kemerdekaan Indonesia yaitu Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia,
setelah jatuhnya Jepang pada perang dunia ke-2 dan proklamasi kemerdekaan Indonesia, pelaksanaan kemerdekaan diserahkan
seluruhnya kepada PPKI.
Pengaruh positif
pendudukan Jepang di Indonesia dan relevansinya sebagai Nasionalisme dapat
dilihat pada bidang politik, pendidikan maupun kebudayaan. Diantaranya Kesempatan
terbuka untuk bangsa Indonesia disertai dengan penghapusan diskriminasi dalam
lembaga pendidikan selain itu sebagaimana diungkapkan diatas penggunaan Bahasa
Indonesia sebagai bahasa pengantar pada lembaga pendidikan dan sebagai bahasa
sehari-hari merupakan salah satu tonggak munculnya ideologi nasionalis di
Indonesia dimana Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu merupakan bentuk
suatu identitas kolektif yang menjadi landasan nasionalisme Indonesia sebagai nation-state. Pememanfaatan sumber daya
manusia baik elit politik lokal dan kebutuhan sumber daya manusia dalam
menunjung perang pasifik dalam program-program latihan semi militer sebagai
bentuk propaganda jepang justru menjadi backfire
bagi jepang karena justru di manfaatkan oleh para pejuang ini untuk menggalang
nasionalisme masyarakat.
Namun dibalik
segala pengaruh positif pendudukan di Jepang terdapat eksploitasi sumber daya
manusia yang dilakukan oleh Jepang yang menjadi focus pembahasan pengaruh
negative pendudukan Jepang dalam tulisan ini. Pada pendudukan Jepang
meperkerjakan buruh tani Indonesia secara paksa dan sebagai kebutuhan sumber
daya di daerah jajahan lainnya di Asia Tenggara. Selain itu seperti yang
diungkapkan diatas bahwa Jepang juga memanfaatkan sumber daya manusia dengan
mobilisasi massa pemuda dan rakyat secara besar-besaran dalam program-program
latihan semi militer. Mobilisasi massa pemuda dan rakyat ini juga diperuntukan
untuk memenuhi kebutuhan perang pasifik Jepang, Tujuannya untuk memperkuat
pertahanan Jepang terhadap serangan Amerika Serikat dalam perang “Asia Timur
Raya”.
Selain
eksploitasi sumber daya manusia yang dilakukan, Jepang juga melakukan
eksploitasi sumber daya alam, Penerapan sistem Autarki[27]
(daerah yang harus memenuhi kebutuhan sendiri dan kebutuhan perang) konsekuensinya, tugas rakyat beserta semua kekayaannya
dikorbankan untuk kepentingan perang.. Sistem ini
diterapkan di setiap wilayah ekonomi.
namun bukan untuk raw material industry lebih merupakan untuk kebutuhan
perang. Pada tahun 1944, kondisi politis dan
militer Jepang mulai terdesak, sehingga tuntutan akan kebutuhan bahan-bahan
perang makin meningkat. Untuk mengatasinya pemerintah Jepang mengadakan
kampanye penyerahan bahan pangan dan barang secara besar-besaran melalui Jawa
Hokokai dan Nagyo Kumiai (koperasi pertanian), serta instansi resmi pemerintah.
Dampak dari kondisi tersebut, rakyat dibebankan menyerahkan bahan makanan 30%
untuk pemerintah, 30% untuk lumbung desa dan 40% menjadi hak pemiliknya.[28] Sistem ini menyebabkan
kehidupan rakyat semakin sulit, gairah kerja menurun, kekurangan pangan, gizi
rendah, penyakit mewabah melanda hampir di setiap desa di pulau Jawa.
Nasionalisme
dapat dikatakakan sebagai sebuah situasi kejiwaan di mana kesetiaan seseorang
secara total diabdikan langsung kepada negara bangsa atas nama sebuah bangsa.
Dalam situasi perjuangan kemerdekaan, dibutuhkan suatu konsep sebagai dasar
pembenaran rasional dari tuntunan terhadap penentuan nasib sendiri yang dapat
mengikat ke-ikutsertaan semua orang atas nama sebuah bangsa. Dasar pembenaran
tersebut, selanjutnya mengkristal dalam konsep paham ideologi kebangsaan yang
biasa disebut dengan nasionalisme. Dari sinilah kemudian lahir konsep-konsep
turunannya seperti bangsa (nation), negara (state) dan gabungan
keduanya menjadi konsep negara bangsa (nation state) sebagai
komponen-komponen yang membentuk identitas nasional atau kebangsaan.[29]
Setiap orang dalam negaranya masing-masing memiliki nasionalitas yang sama,
dan demikian juga bahasa yang sama dan dapat berperan serta dalam perdebatan yang bermakna mengenai
kebudayaan, akan tetapi kebanyakan negara adalah multi-kebangsaan yang terdiri
dari dua atau lebih komunitas bahasa. Dengan demikian bangsa (nation)
merupakan suatu badan atau wadah yang di dalamnya terhimpun orang-orang yang memiliki persamaan keyakinan yang
mereka miliki seperti ras, etnis, agama, bahasa dan budaya. Gabungan dari dua ide tentang bangsa (nation) dan negara (state)
tersebut terwujud dalam sebuah konsep tentang negara bangsa atau lebih dikenal
dengan Nation-State dengan pengertian
yang lebih luas dari sekedar sebuah negara dalam pengertian state.
[1] McCoy,
Alferd W. (ed.). Southeast Asia under
Japanese Occupation. New Haven: Yale
University Southeast Asia Studies, 1980.
[3] Dekker, I
Nyoman. Sejarah Indonesia dalam Abad XIX.
JPTP IKIP Malang, Lembaga Penerbitan “Almamter”, 1975.
[4] Sartono,
Kartodiardjo, Nugroho Notosusanto, Marwati Poesponegoro. Sejarah Nasional Indoneisa V. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1997.
[6] Sagimun
M.D. 1985. Perlawanan Rakyat Indonesia Terhadap Fasisme Jepang. Jakarta: PT Gunung Agung.
[7] Definisi
militer ini diambil dari Webster’s Third International Dictionary (Springfield,
Massachusetts: G, & C. Merriam
Company, 1966), “Military”.
[8] S.E,
Finer, The Man On Horseback: The Role of the Military in Politics (New York:
YFrederick A. Praegar, 1962), hal. 7
14------http://www.slideshare.net/amilbusthon7/penjajahan-jepang-di-indonesia#btnPrevious.
Diakses pada Selasa, 27 November 2012 pukul 22.17
[15] ------http://www.slideshare.net/amilbusthon7/penjajahan-jepang-di-indonesia#btnPrevious.
Diakses pada Selasa, 27 November 2012 pukul 22.17
[17] L.L.
Snyder, The Dynamic of Nationalism,
(Princeton: D. Van Nostrand Co. Inc., 1964), hlm. 25.
[18]
R. Emerson, From Empire to Nation,
(Cambridge: Harvard University Press, 1967), hlm. 188. Lihat juga H. Kohn, The Idea of Nationalism, (Toronto:
Collier Books, 1969), hlm.
387.
[19]
Plamenatz, J. Nationalism: The
Nature and Evalution of an Idea, sebagaimana dikutip oleh M. Rusli Karim, “Arti
dan Keberadaan Nasionalisme”, dalam Analisis
CSIS, 1996-2, hlm. 36.
[20]
R. Emerson, op. cit., hlm. 238.
[21]
K. R. Minogue, Nationalism, (London: Methuen, 1967),
hlm. 21. hlm. 8.
[22] Rickleffs. 2005. Sejarah Indonesia Modern. (Yogyakarta: Gajah Mada University
Press)
[24] Magenda, Burhan Djabir. “National Integration in A Complex Indonesia”.
Telstra, No. 64, Januari – Februari
2001.
[25] Nurcholis
Madjid, Indonesia Kita, (Jakarta: Paramadina, 2004), cet. 3, hal. 42-43
[26] Guibernau, M., “Nationalisms, The Nation-State and
Nationalism in the Twentieth Century,” (Polity
Press: London, 2005), p. 47
[27] Rickleffs, M.C. 2005. Sejarah Indonesia Modern.
(Yogyakarta: Gajah Mada University Press)
[28]
Poesponegoro, Marwati
Djoened , dan Notosusanto, Nugroho .
Sejarah Nasional Indonesia VI: Zaman Jepang
dan Zaman Republik Indonesia (Jakarta: PT Balai Pustaka, 1993)
[29] Ignatieff, M., “Blood and Belonging,” (Vintage: London, 1994), p. 4