oleh: Alpiadi Prawiraningrat
Judul Artikel : “Pilkada, Money Politics and The Dangers of
Informal Governance Practices”
Penulis : Syarif Hidayat
Data
Publikasi : Syarif
Hidayat, Pilkada, Money Politics and The
Dangers of Informal Governance Practices, hlm.
125-143.
Pemilihan kepala daerah (Pilkada) selalu
menjadi isu yang menarik untuk diperbincangan dalam kehidupan politik
masyarakat Indonesia. Berbagai persoalan
tidak pernah lepas dari perhelatan akbar sebagai bagian dari pesta demokrasi
negeri ini. Di antara persoalan yang
dihadapi, terdapat dua di antaranya yang selalu menarik perhatian untuk
didiskusikan, yaitu money politics
dan adanya informal governance.
Berkaitan dengan hal tersebut, dalam
tulisannya “Pilkada, Money Politics and
The Dangers of Informal Governance Practices” Syarief Hidayat mengungkapkan
bahwa kedua persoalann di atas muncul beriringan dengan ditetapkanya UU No. 32
Tahun 2004 sebagai salah satu legitimasi pengimplementasian sistem pilkada
langsung, yang merupakan langkah besar dan fundamental menuju pemerintah lokal
yang lebih demokratis atau disebut dengan
“local good governance”.
Hidayat mengungkapkan bahwa Pilkada
sebagai bentuk dari implementasi kebijakan desentralisasi diyakini dapat
memberikan kesempatan pemerintah lokal untuk mengelola hajat hidupnya dan
mengurangi kekuasaan pemerintah pusat yang sentralistik. Hal ini sebagai upaya
mewujudkan pemerintah lokal yang lebih akuntabel, mengurangi kekuasaan
pemerintah pusat dengan menciptakan keseimbangan kekuasaan antara politik
pemerintah lokal dan pemerintah pusat, dan mewujudkan pemerintah lokal yang
lebih responsif dan lebih bertanggungjawab kepada masyarakatnya. Namun persoalan muncul di Indonesia. “Democratic
behaviour” yang dipahami sebagai perilaku pemilih dalam menentukan
keputusan pemilihan umum, yang telah cukup memiliki pengetahuan tentang politik
dan kemampuan menentukan pilihan kandidat yang tepat dengan didasarkan atas
keputusan yang rasional. Namun dalam konteks Indonesia baru terjadi di tingkat
intstitusional dan tipe ini masih dalam kategori demokrasi prosedural dan belum
dapat dikatakan sebagai demokrasi yang substantif.
Jika kita mengasumsikan bahwa kondisi
Indonesia saat ini sebagai transisi menuju demokrasi, lalu apa implikasi dari
pemilihan langsung tersebut? Sebagai akibat dari demokrasi yang prosedural, proses
politik didominasi oleh interaksi, kompetisi dan kompromi yang dilakukan oleh
aktor-aktor pemerintah, dikarenakan pemilih tidak memahami pentingnya
partisipasi politik dalam Pilkada dan berimplikasi kepada pembuatan keputusan
yang bersifat pragmatis karena lebih melihat keuntungan apa yang akan mereka
dapatkan jika memilih kandidat tertentu.
Hal ini sangat membuka kesempatan pihak-pihak tertentu melakukan money politics sebagai upaya penting
dalam melakukan mobilisasi konstituen.
Tidak mengherankan jika proses Pilkada
selalu diwarnai oleh politik dan aliansi bisnis sehingga setelah Pilkada usai
kepala daerah yang terpilih akan mendedikasikan dirinya kepada politisi dan
klien bisnis dibandingkan dengan rakyat dan inilah yang dimaksud oleh penulis
sebagai informal governance di mana
pemerintahan dikontrol oleh kekuatan sosial, ekonomi dan politik yang mengatur
struktur pemerintah formal.
Penulis mengasumsikan Money politics sendiri dalam Pilkada
Indonesia kepada dua kategori, yaitu direct
money politics, dipahami bagaimanaa calon kadidat memberikan secara
langsung uang dengan jumlah nominal tertentu untuk memperoleh kekuasaan sebagai
kepala daerah kepada individu atau institusi tertentu. Sedangkan indirect
money politics, di mana kandidat memberikan materi atau barang tertentu
(bukan uang) sebagai upaya memperoleh dukungan kepala daerah, mislanya pemberian
Sembako (sembilan bahan pokok).
Dalam kaitannya dengan ancaman informal governance penulis mengutip
ungkapan Nordholt yang mengungkapkan bahwa desentralisasi di Indonesia tidak
menunjukan demokrasi, good governance
dan menguatnya civil society di
tingkat lokal. Namun yang terjadi adalah
korupsi, dan kekerasan atau kejahatan yang dilakukan pemerintah lokal layaknya
rezim Orde Baru. Selain itu, pemerintah lokal saat ini lebih dikuasai oleh shadow regims yang memiliki karakter,
aliansi para birokrat, pembisnis, militer dan preman. Sehingga yang terjadi
adalah penguasaan sumber daya oleh pihak-pihak swasta dan alinsi politik
tertentu tanpa memberikan dampak yang positif terhadap masyarakat karena
lemahnya institusi formal pemerintah.
Mengakhiri tulisanya, Hidayat
mengungkapkan dua peristiwa yang mewarnai kehidupan pilkada di Indonesia, yaitu
premanisme proyek di Banten dan proyek Water Boom di Jambi, sebagai bentuk dari
shadow regims, di mana pemerintahan
dikendalikan oleh kompensasi bisnis dan infomal
governance, sebagai pemegang kekuasaan dalam Pilkada di masing-masing
daerah tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar