Jumat, 05 Oktober 2012

PERAN SENTRAL “NATION STATE” SEBAGAI PERWUJUDAN NASIONALISME (FAILED STATES: TERJADINYA EMPIRE DAN STRONG STATES DAN WEAK STATES)*)


oleh Alpiadi Prawiraningrat

1.        1  Peran SentralNation Statesebagai Perwujudan Nasionalisme.
Nasionalisme dapat menjadi faktor penting dalam membangun dan memperkuat rasa kebangsaan (kesadaran) nasional.  bAkan tetapi, perlu kehati-hatian karena nasionalisme yang dipahami dan diterapkan secara berlebihan justru dapat membahayakan bangsa itu sendiri. Hal ini juga dikarenakan nasionalisme juga memberikan justifikasi intelektual untuk dendam terhadap bangsa lain.  Proses nasionalisme semacam ini dapat mendorong pada upaya untuk mendirikan Maha Negara (empire) dengan cara memuja dan membanggakan bangsa sendiri sampai ke tingkat merasa ras yang paling unggul yang dikodratkan untuk mengatur dan memerintah bangsa-bangsa lain.[1]
Negara bangsa/nation state adalah suatu  gagasan tentang negara yang didirikan untuk seluruh bangsa atau untuk seluruh umat, berdasarkan kesepakatan bersama yang menghasilkan hubungan kontraktual dan transaksional terbuka antara pihak-pihak yang mengadakan kesepakatan itu.[2]   Nation state merupakan hasil sejarah alamiah yang semi kontraktual karena ia muncul secara artifisal dan didesak oleh suatu kebutuhan kontrak sosial, dengan di dalamnya terdapat sebuah ikatan timbal balik yang berbentuk hak dan kewajiban antar negara bangsa dengan warganya di mana nasionalisme merupakan landasan bangunannya yang paling kuat.[3] Sebuah  negara bangsa adalah suatu jiwa, sebuah prinsip kerohanian, dengan landasan nasionalisme yang merupakan suatu paham yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi harus diserahkan kepada negara kebangsaan yang did alamnya terdapat unsur etnisitas, bahasa dan agama sebagai identitas bersama (common identity). Karena ia muncul secara artifisal dan didesak oleh suatu kebutuhan kontrak sosial, dengan di dalamnya terdapat sebuah ikatan timbal balik yang berbentuk hak dan kewajiban antar negara bangsa dengan warganya.
Nasionalisme dapat dikatakakan sebagai sebuah situasi kejiwaan di mana kesetiaan seseorang secara total diabdikan langsung kepada negara bangsa atas nama sebuah bangsa. Dalam situasi perjuangan kemerdekaan, dibutuhkan suatu konsep sebagai dasar pembenaran rasional dari tuntunan terhadap penentuan nasib sendiri yang dapat mengikat ke-ikutsertaan semua orang atas nama sebuah bangsa. Dasar pembenaran tersebut, selanjutnya mengkristal dalam konsep paham ideologi kebangsaan yang biasa disebut dengan nasionalisme. Dari sinilah kemudian lahir konsep-konsep turunannya seperti bangsa (nation), negara (state) dan gabungan keduanya menjadi konsep negara bangsa (nation state) sebagai komponen-komponen yang membentuk identitas nasional atau kebangsaan.[4]
Setiap orang dalam negaranya masing-masing memiliki nasionalitas yang sama, dan demikian juga bahasa yang sama dan dapat berperan serta dalam perdebatan yang bermakna mengenai kebudayaan, akan tetapi kebanyakan negara adalah multi-kebangsaan yang terdiri dari dua atau lebih komunitas bahasa. Dengan demikian bangsa (nation) merupakan suatu badan atau wadah yang di dalamnya terhimpun orang-orang yang memiliki persamaan keyakinan yang mereka miliki seperti ras, etnis, agama, bahasa dan budaya.  Gabungan dari dua ide tentang bangsa (nation) dan negara (state) tersebut terwujud dalam sebuah konsep tentang negara bangsa atau lebih dikenal dengan Nation-State dengan pengertian yang lebih luas dari sekedar sebuah negara dalam pengertian state.
Dengan demikian, negara bangsa mutlak memerlukan good governance, pengelolaan yang baik, yang bertumpu kepada kemutlakan adanya transparansi, partisipasi terbuka, dan pertanggungjawaban di dalam semua kegiatan kenegaraan di setiap jenjang pengelolaan negara sehingga terbentuk pemerintahan yang bersih. Sebuah bangsa sepatutnya memiliki bangunan politik (political building), seperti ketentuan-ketentuan perbatasan teritorial, pemerintahan yang sah, pengakuan luar negeri dan merupakan akibat langsung dari gerakan nasionalisme yang sekaligus telah melahirkan perbedaan pengertian tentang kewarganegaraan dari masa sebelum kemerdekaan.[5] Konsep Negara Bangsa (Nation State) adalah konsep tentang negara modern yang terkait erat dengan paham kebangsaan atau nasionalisme.  Seperti telah didefinisikan di atas, suatu negara dikatakan telah memenuhi syarat sebagai sebuah negara modern, setidak-nya memenuhi syarat-syarat pokok selain faktor kewilayahan dan penduduk yang merupakan modal sebuah bangsa (nation) sebelum menjadi sebuah negara bangsa maka syarat-syarat yang lain adalah adanya batas-batas teritorial wilayah, pemerintahan yang sah, dan adanya pengakuan dari negara lain.[6]

II.                2  Failed States:  Terjadinya Empire dan Strong States dan Weak States
Dibutuhkan negara yang kuat (strong states) yang dapat mengontrol teritorial dan penduduk mereka.  Pembentukan negara kuat (strong state) bertujuan untuk memudahkan mobilisasi sumber daya guna mewujudkan tidak hanya tujuan negara tapi juga tujuan kekuasaan elite yang memerintah.  Negara kuat bisa dilihat daripada otonomi politik yang diperolehi oleh rakyatnya.  Semakin tidak otonom rakyat dalam menentukan pilihan-pilihan politik, adalah bukti semakin kuat negara tersebut.  Dampak semakin kuatnya kekuasaan negara ialah ancaman terhadap pelaksanaan demokrasi.  Ryaas Rasyid (1994: 16) menyebutkan “State formation aims at increasing the strenght and autonomy of the state.  Strenght state is also measured by the level of authonomy it has inforcing its society.” Menurut Stewart Patrick, dalam “Weak States and Global Threats: Fact or Fiction?State  strength is relative and can be measured by the state’s ability and the willigness to provide the fundamental political goods associated with statehood : physical security, legitimate political institutions, economic management, and social welfare.[7]
Di Indonesia misalnya, kecenderungan pembentukan negara kuat ini menjadi agenda politik yang dirancang oleh elite yang berkuasa dari suatu kelompok atau partai politik yang ada.  Tujuannya adalah agar negara, tentunya melalui pemerintah, memiliki kemampuan untuk bertindak berdasarkan kehendak pemerintah untuk mencapai kewujudan agenda politik, ekonomi dan sosial.  Melalui kemampuan elite politik yang menguasai negara, maka lembaga-lembaga negara berkenaan mengarahkan rakyat guna berbuat sesuai dengan keinginan the rulling class. Trauma pada politik masa lalu yang memunculkan instabilitas politik, elite yang berkuasa berupaya mengendalikan politik rakyat dengan cara membentuk negara kuat termasuk dalam berotonomi. Konsep negara kuat disini adalah sebagai negara yang berkuasa/berperan untuk mengatur segala perbedaan yang ada. Negara menggunakan sistem pemerintahannya yang kuat, mengatur seluruh pluralitas kemasyarakatan yang ada.
Sedangkan Negara lemah (weak states) sebagai negara yang umumnya memiliki perbedaan etnis, religi, bahasa yang menjadi hambatan untuk menjadi negara kuat. Konflik biasanya terjadi secara terbuka, dan korupsi menjadi hal umum. Hukum tidak ditegakkan dan privatisasi institusi kesehatan dan pendidikan menjadi bukti nyata kegagalan negara tersebut. Contoh aktual Negara lemah sejak beberapa tahun lalu yang sedang menuju negara gagal adalah Irak, Belarus, Korea Utara, dan Libya.[8]
Dalam hal state building akan dijelaskan indikator tentang failed states, strong states dan weak states.  Hal ini dapat digunakan untuk menganalisis transisi-transisi rejim.  Menurut Barry Buzan, kriteria sebuah waek state adalah sebagai berikut[9]
1.         Level kekerasan politik tinggi.
2.         Peran polisi politik yang mencolok dalam kehidupan sehari-hari rakyat.
3.         Konflik politik yang serius atas ideology apa yang digunakan untuk mengorganisisr negara.
4.         Kurangnya peranan identitas nasional atau adanya perlawanan dalam hal identitas nasional
dalam negara.
5.         Kurangnya keberadaan hierarki otoritas politik yang jelas terpantau.
6.         Kontrol negara atau media yang tinggi.
Sementara failed states didefiniskan sebagai gambaran bagi weak state di mana pemerintah pusat (yang sah) memiliki sedikit sekali kontrol atas wilayahnya.  Selain itu, negara di mana terdapat dominasi milisi, dan terorisme juga dianggap sebagai failed state.[10]
Karakteristik weak state yang disebutkan oleh Barry Buzan di atas didukung oleh K.J Holsti mengenai karakteristik sebuah strong state, yaitu bahwa kekuatan negara tidak diukur dari kapabilitas atau power militernya, melainkan dari kapasitasnya untuk mendapat dukungan dari loyalitas warga negaranya (mendapatkan hak untuk berkuasa) untuk mendapatkan sumber daya yang diperlukan untuk menipu dan menyediakan pelayanan bagi rakyat untuk mempertahankan kedaulatan, monopoli atas penggunaan kekuatan bersenjata dalam batasan wilayah tertentu dan beroperasi dalam konteks masyarakat politik yang berdasar atas konsensus.[11]
Karakteristik sebuah strong state sendiri dapat di nilai dari:
1.      Gagasan negara, mewakili sejarah , tradisi, budaya, kebangsaan, dan ideologi.  Dalam hal ini apabila negara tersebut memiliki konsensus dan kesetiaan yang sama dan solid terhadap gagasan negara mereka.  Dampak dari tidak adanya konsensus dalam gagasan negara adalah bahwa institusi – institusi  politik dan basisi kontrol terhadap wilayah negara akan mnejadi lemah.[12]
2.      Dasar fisik negara, negara dikategorikan  sebagai strong state apabila negara tersebut memiliki batasan yang jelas serta kedaulatan penuh atas wilayah, populasi, sumber daya, dan kemakmuran.[13]
3.      Ekspresi institusionalisasi negara, dalam hal ini, strong states dicirikan oleh keberadaan pemerintah dan rejim, penegakan hukum, keberlakuan norma-norma dan pejabat-pejabat negara yang berfungsi secara optimal dalam menggerakan roda negara.  Ketiga elemen di atas slaing berkaitan dan sangat penting untuk menjamin kekuatan negara.[14]
Oleh karena itu dalam proses transisi rejim, state building harus dilakukan untuk mendukung elemen lainnya, yaitu demokrasi dan peacebuilding.[15]

II.     3 Beberapa Contoh Kasus Peran SentralNation Statesebagai Perwujudan Nasionalisme
Indonesia[16]
Indonesia sendiri merupakan salah satu negara multietnis yang paling problematis sejak pertama kali didirikan. Ide bahwa Indonesia merupakan sebuah teritori yang kita ketahui hari ini tidak ada pada masa pra-kolonial, sampai akhirnya Belanda mematok Sabang sampai Merauke sebagai wilayah koloninya sebagai sebuah unit tunggal. Sayangnya, meskipun secara administratif 'lndonesia' ditangani dengan baik, kesetiaan dan relasi etnis sama sekali tidak diperhatikan bahkan dipecahbelah demi kepentingan dagang. Jika hari ini kita masih dapat merasakan beberapa konflik sosial dan etnis, maka penyebabnya dapat ditarik sejauh masa kekuasaan kolonial Belanda.
Seperti pada kasus Turki, bahasa Indonesia juga menjadi salah satu instrumen utama untuk menyatukan bangsa yang dibayangkan para pendiri negara ini.[17] Usaha jangka panjang menuju penciptaan 'bangsa Indonesia' dimulai dari perlawanan terhadap kolonialisme Belanda dan dari itu terciptalah berbagai cita-cita mulia Indonesia sebagai sebuah satuan masyarakat. Sayangnya, nasionalisme etnis Jawa pada awal perkembangan negara yang dijustifikasi oleh jumlahnya yang memang mayoritas menjadi salah satu kelemahan usaha penyatuan Bhineka Tunggal Ika ini. Politik Indonesia yang selama ini dikontrol orang Jawa (pada masa Orde Baru) tidak mentoleransi perbedaan mendasar, non-konformitas, serta alternatif regional. Ketidakinginan Jakarta pada masa itu untuk mengabulkan hak politik dan ekonomi minoritas etnis memperbesar tensi dan kekerasan antar-etnis yang sudah mulai berlangsung bahkan sejak tahun 1945. Hasilnya, kebanyakan warga Indonesia masih sering mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari etnis tersebut daripada dirinya sebagai 'bangsa Indonesia'.

v   Nasionalisme Etnis di Nigeria[18]
M. A. O. Alulo memiliki pendekatan lain dalam membedakan nasionalisme etnis dan nasionalisme sipil. Menurutnya, nasionalisme etnis merupakan sebuah fenomena sosial yang kompleks. Di satu sisi, ia dapat diartikan sebagai seperangkat kepercayaan mengenai superioritas dan perbedaan antara sebuah kelompok etnis serta melahirkan keinginan membela kepentingannya di atas hal-hal lainnya. Pada saat yang bersamaan, istilah tersebut juga mengacu kepada identifikasi individu terhadap kelompok etnis tertentu, kebudayaan, kepentingan, serta tujuannya. Etnosentrisme lah yang memutuskan kesetiaan dari hal-hal lain kecuali satu kelompok etnis.
Penjelasan terhadap ini diberikan oleh Hofstede (1994) yang mengatakan bahwa setiap manusia memiliki tendensi kuat untuk memperjuangkan etnis atau bahasanya sendiri sampai mendapatkan kemerdekaan atau setidaknya pengakuan terhadap identitas mereka. Alih-alih penurunan, keecenderungan ini telah menunjukkan peningkatan sejak abad ke-20 dimulai.
Stavenhagen (1994) kemudian berargumen bahwa nasionalisme etnis menjadi sesuatu yang umum dalam masyarakat plural dan dapat dijelaskan dalam dua school ofthoughts yang berbeda: primordialis dan instrumentalis. Kelompok pertama melihat adanya 'primordial bond' yang menentukan identitas personal mereka dan secara alamiah membentuk kelompok yang lebih matang dari bangsa atau sistem kelas modern. Para instrumentalis, sementara itu, melihat identitas etnis sebagai sebuah langkah bagi masyarakat khususnya para pemimpin untuk mengejar tujuannya sendiri, seperti mobilisasi dan manipulasi kelompok untuk tujuan politis.
       Dalam opini Lijiphart (1984), seluruh bangsa multietnis "...profoundly divided along religious, ideological, linguistic, cultural, ethnic or racial lies." Apa yang disebutnya sebagai 'kebohongan' dijelaskan oleh para antropolog modern sebagai instrumen stale-building. Dia juga percaya bahwa dalam masyarakat yang tcrdiri dari berbagai sub-masyarakat dengan kepentingan dan tujuan yang berbeda, fleksibilitas yang dibutuhkan untuk sebuah demokrasi modern tidak mungkin tercipta. Dalam situasi yang seperti ini, penggunaan aturan mayoritas bukan saja menjadi tidak demokratis tapi juga berbahaya karena akan terjadi eksklusi terhadap kelompok minoritas yang mungkin berujung pada usaha melawan pemerintahan.
Dalam kasus Nigeria dan berbagai negara Afrika serupa, terdapat pola berulang sehubungan dengan masalah nasionalisme etnis di negaranya—antara lain kesetiaan, komitmen, dan patriotisme dari warga negaranya.  Menurut Ekeh (1975), akar historis dari krisis tersebut berdasar pada fakta bahwa negara-negara Afrika tidak lahir dari dalam masyarakatnya (seperti kebanyakan negara Eropa Barat), tetapi dari luar—sebagai sebuah imposisi dari otoritas kolonial. Proses penciptaan struktur asing ini berbasis pada formasi politik yang bersifat artifisial dan menyatukan sub-nasionalisme yang berbeda di dalam teritori tersebut secara semu, ketika sebenarnya kelompok tersebut masih merupakan dua publik yang berbeda.
Publik yang pertama terisi dari pemerintah dan institusi modern yang sifatnya instrumental bagi negara—militer, birokrasi, pengadilan, partai politik dan sebagainya. Publik kedua adalah masyarakat primordial yang terbentuk secara sosial selama berpuluh-puluh tahun, termasuk melalui proses colonial yang tumbuh untuk memuaskan peimintaan personal dan kelompok yang tidak dapat dipenuhi pemerintah kolonial maupun pos-kolonial. Publik ini yang kemudian disebut Joseph (1987) sebagai nasionalisme etnis dan menjadi asal dari politik prebedal di Nigeria. Prebendalisme secara sederhana dapat diartikan sebagai proses untuk menggunakan posisi pemerintahan untuk mencapai kepentingan personal, parokial, maupun kelompok—spektrum ekstrim dari pelaksanaan politik identitas. Sayangnya, dualitas ini yang kemudian menjadi sumber masalah dan ketidakstabilan politik di Nigeria.


*) Tulisan dibuat dalam rangka Memenuhi Tugas Mata Kuliah Nasionalisme dan Resolusi Konflik Etnis yang disampaikan oleh Prof. Dr. Burhan Djabier Magenda, M.A.
[1] Hakekat Karakter Bangsa, Lihat http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pengabdian/farida-hanum-msi-dr/hakekat-karakter-bangsa.pdf diakses 2 Oktober 2012, pkl 16.45 WIB.
[2] Nurcholis Madjid, Indonesia Kita, (Jakarta: Paramadina, 2004), cet. 3, hal. 42-43
[3] Guibernau, M., “Nationalisms, The Nation-State and Nationalism in the Twentieth Century,” (Polity Press: London, 2005), p. 47
[4] Ignatieff, M., “Blood and Belonging,” (Vintage: London, 1994), p. 4
[5] Tilly, C., “States and nationalism in Europe 1492-1992,” Theory and Society, 1994: 23 (1), p. 33
[6] Dede Rosyada, dkk, PENDIDIKAN KEWARGAAN (CIVIC EDUCATION);Demokrasi, Hak Asasi Manusia Dan Masyarakat Madani, (Jakarta: Kencana, 2005), cet. 2, hal. 32
[8]Negara Kuat Dalam Pelaksanaan Demokrasi Lokal di Indonesia” oleh Rahadani Yusran & Asrinaldi Asril, lihat http://staf.unp.ac.id/yusranrdy/index.php?Itemid=9&id=44&option=com_content&task=view, pkl 19.10
[9] Barry Buzan, people, State and Fear: An Agenda for International Security Studiesin The Post-Cold War Era 2nd ed.  (new York: Harvester & Wheatsheaf, 1990) hlm 100.  Dikutip Farah Monika, skripsi Hubungan International “Intervensi AS dalam Transisi Rejim Afghanistan”, 2005 hal 20.
[10] “The Failed State Index 2008”.  Diakses dari http://foreignpolicy.com/story/cms.php?story_id=4350.
[11] K.J Holsti. The State, war and State of War, (Cambridge: Cambridge university press, 1996) hal 82-83, Dikutip Farah Monika, skripsi Hubungan International “Intervensi AS dalam Transisi Rejim Afghanistan”, 2005 hal . 21
[12] Ibid., hal. 81
[13] Ibid, hal. 82
[14] Ibid, hal. 82-83
[15] Ibid, hal 84
[16]     Julius Cesar I. Trajano, "Ethnic Nationalism and Separatism in West Papua, Indonesia" dalam Journal of Peace, Conflict, and Development, (16 November 2010), hlm. 13–14. Lihat http://www.peacestudiesjournal.org.uk/dl/iss_16_art_2.pdf, diakses 21 September 2012, pkl. 13.13 WIB. Dikutip dari makalah kelompok satu Nasonlaisme dan Resolusi konflik Etnis, “Teori-Teori Nasionalisme” hal 12-13.
[17]    Damien Kingsbury, "Diversity in Unity," dalam Damien Kingsbury dan Harry Aveling (eds.), Autonomy and Disintegration in Indonesia, (London: RoutledgeCurzon, 2004), hlm. 111.
[18]    M. A. O. Alulo, "Ethnic Nationalism and the Nigerian Democratic Experience in the Fourth Republic" dalam Anthropologist, 5 (4), Kamla-Raj, 2003: 253–259, lihat http://www.krepublishers.com/02-Journals/T-Anth/Anth-05-0-000-000-2003-Web/Anth-05-4-217-303-2003-Abst-PDF/Anth-05-4-253-259-2003-106-Aluko-M-A-O/Anth-05-4-253-259-2003-106-Aluko-M-A-O-Text.pdf, diakses 21 September 2012, pkl. 13.03 WIB.   Dikutip dari makalah kelompok satu Nasonlaisme dan Resolusi konflik Etnis, “Teori-Teori Nasionalisme” hal.  8 – 10.