Senin, 19 Mei 2014

“Memahami Perkembangan Gerakan Buruh di Indonesia Pasca Orde Baru”



 oleh Alpiadi Prawiraningrat
Bagaiamana dinamika gerakan buruh di Indonesia? Apakah perbedaan antara gerakan buruh pada masa orde baru dan reformasi?  Apakah hal yang paling membedakan pada gerakan buruh di Indonesia pada masa reformasi? Dalam tulisan Syarif Arifin, Fahmi Panimbang dan kawan-kawan berjudul Memetakan Gerakan Buruh: Antologi Tulisan Mengenang Fauzi Abdullah membantu kita untuk melihat kembali dinamika perjalanan gerakan buruh di Indonesia, khususnya pada periode 2002-2009, yang merupakan fase awal reorganisasi gerakan buruh di Indonesia pasca-Orde Baru. Tulisan tersebut mencoba memetakan hambatan dan tantangan yang dihadapi serikat buruh Indonesia pasca-Orde Baru dan melakukan penataan ulang gerakan buruh di Indonesia salah satunya dengan menerapkan kebijakan serikat buruh tunggal, serta dimasukannya militer dalam serikat buruh, sehingga melahirkan mekanisme kontrol dan penaklukan kelas buruh yang berhasil menyingkirkan buruh dari proses penyelesaian masalah dengan cara-cara yang represif.
Berdasarkan sejarah silam, gerakan buruh di Indonesia telah menorehkan perjuangan yang sangat besar bagi bangsa ini, termasuk pada proses perjuangan kemerdekaan Indonesia. Organisasi buruh pertama di Indonesia berdiri pada tahun 1879, yang beranggotakan para guru. Pada tahun-tahun pertama abad ke-20, berdiri organisasi pegawai kereta api dan term pada 1908, bersamaan dengan lahirnya Boedi Oetomo.
Selain menjelaskan mengenai perjalanan gerakan buruh di Indonesia yang pada historisnya tidak mengikuti ideologi tunggal, melainkan mengikuti berbagai ideologi politik. Seperti, SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) yang berafiliasi pada partai komunis. SBII (Serikat Buruh Islam Indonesia) yang didirikan oleh Partai Masyumi, KBKI (Konsntrasi Buruh Kerakyatan Indonesia) yang merupakan bagian Partai Nasional Indonesia (PNI), atau SARBUMUSI (Serikat Buruh Muslim Indonesia) yang didirikan di lingkungan NU (Nahdlatul Ulama). Menariknya, sekalipun gerakan buruh di Indonesia terpecah oleh ideologi politik aliran atau secara struktur formal tidak bersatu, mereka menemukan asas-asas perjuangan yang sama. Terbutkti, gerakan buruh berhasil memperjuangkan nasibnya melalui jalan parlementer, dengan lahirnya sejumlah undang-undang menyangkut peningkatan hak-hak asasi manusia dan standar ketenanagakerjaan melalui UU No. 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan yang memberikan hak kepada serikat buruh untuk berunding secara kolektif (collective Bargaining).
Tulisan ini juga menjelaskan bagaimana keadaan buruh dan serikat buruh dalam konteks ekonomi-politik regional Asia. Di kawasan Asia Tenggara diwakili oleh Indonesia, Thailand, Filipina, dan Malaysia. Adapun konteks regional Asia dilihat melalui dampak industrialisasi Cina terhadap persoalan perburuhan di dalam negerinya. Kemudian, dibahas pula potret ringkas mengenai gerakan buruh di Korea yang konon dinilai paling progresif.
Selanjutnya gerakan buruh di Indonesia juga diwarnai oleh keberadaan serikat buruh yang memasukkan agenda-agenda politik sebagai bagian integral dari kerja-kerja keserikatburuhan,hingga serikat buruh yang tetap mempertahankan watak ekonomistiknya serta menganggap agenda-agenda politik sebagai bagian yang terpisah dari kerja-kerja keserikatburuhan itu sendiri dalam rangka menciptakan suatu pakta sosial berbasis gerakan buruh. Selain itu, disinggung pula mengenai dinamika perubahan hukum perburuhan di Indonesia sebagai sebuah gambaran tarik-ulur kepentingan antara gerakan buruh, negara, dan pemodal. Kemudian, bagaimana dinamika pertarungan gerakan buruh dan masuknya investasi ke daerah-daerah dalam ruang kontestasi politik lokal yang tercipta akibat kebijakan desentralisasi kekuasaan.
Kemudian, di sisi lain dijelaskan juga isu-isu demokrasi, konflik antar-serikat, dan kesejahteraan buruh. Salah satu warisan otoritarianisme Orde Baru adalah penghancuran tradisi perlawanan dan demokrasi di dalam serikat buruh. Hal tersebut menjadi tantangan yang perlu dijawab oleh serikat buruh untuk membangun demokrasi di dalam kehidupan sehari-hari serikat buruh dengan terus-menerus mengembangkan praktik organisasi yang demokratis, sehinga tidak lagi menempatkan anggota sebagai penonton, akan tetapi mengembalikan posisinya sebagai pemegang kedaulatan organisasi.
Hal menarik selanjutnya adalah pendapat yang dikemukakan oleh Arief W. Djati, salah satu penulis yang mengatakan bahwa ketimpangan buruh di Indonesia saat ini tidak lepas dari beberapa faktor, yaitu: Pertama, kehancuran basis organisasi buruh sejak Orde Baru. Tindakan represif yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru saat itu benar-benar membuat gerakan buruh hancur total. Yang mana, aparat melakukan pemenjaraan, pembuangan, pembantaian, dan penculikan tokoh-tokoh buruh progresif. Sehingga buruh “kehilangan” sumber referensi maupun pengetahuan dalam teknis berorganisasi. Kedua, konflik antar serikat buruh. Pada idealnya konflik adalah hal yang biasa. Sebab, hal ini merupakan hukum alam atau konskuensi logis dari sebuah organisasi. Namun, selama ini konflik yang berkembang berpotensi pada permusuhan antar serikat buruh. Sehingga, visi dan misi perjuangan dari organisasi buruh terabaikan. Maka, dibutuhkan manajemen konflik yang baik untuk menjadikan konflik yang konstruktif, sehingga tidak melupakan pada asas-asas perjuangan utama gerakan buruh.
Selanjutnya, sebagai masukan atas perjuangan gerakan buruh di Indonesia kedepan. M. Dawam Rahardjo memberikan masukan dalam tulisannya yang merujuk pada pola perjuangan buruh di Inggris, yaitu: Pertama, membentuk satu serikat buruh atau trade union yang memperjuangkan kepentingan ekonomi kaum buruh, melalui perundingan-perundingan dengan menajemen profesional, majikan, dan pemerintah. Kedua, membentuk partai nasional yang satu, seperti partai buruh di Inggris dan berbagai negara Eropa Barat. Di Inggris, Partai Buruh didukung oleh serikat buruh. Peranan partai buruh ini adalah memperjuangkan ide-ide politik, misalnya menciptakan negara kesejahteraan. Dengan konsep negara kesejahteraan ini maka gerakan buruh tidak bertujuan untuk menjadi kelas yang berkuasa seperti di negara-negara komunis, mengikuti model Lenin, namun partai ini bisa meraih suara mayoritas dari pemiliah umum, seperti di Inggris.
Namun demikian terdapat beberapa kritikan terhadap buku ini, di antaranya:[1] kosongnya pembahasan mengenai kondisi buruh di sektor perkebunan. Kondisi ini sebenarnya sudah pernah diingatkan oleh Fauzi Abdullah, jauh sebelumnya, bahwa analisis di dalam Jurnal Sedane terlampau manufaktur sentris. Terlepas dari berkembang pesatnya sektor industri manufaktur di Indonesia sejak 1979an, sektor perkebunan memiliki posisi yang terlampau penting untuk dilewatkan.
Di sisi lain, kekosongan bahasan dinamika buruh perkebunan memberikan catatan bahwa restrukturisasi gerakan buruh di Indonesia cenderung hanya terkonsentrasi pada sektor manufaktur yang bersifat hilir (atau sektor non-perkebunan). Sementara di sektor perkebunan, gerakan buruh di Indonesia memiliki satu persoalan mendasar yang membutuhkan analisis, yaitu relatif tidak terjadinya reorganisasi di tubuh serikat buruh sektor perkebunan, yang mengakibatkan gerakan buruh di sektor perkebunan terus mengalami stagnasi, di mana rezim serikat buruh tipe lama masih tetap mapan, dan nyaris tidak terpengaruh oleh gelombang restrukturisasi gerakan buruh di Indonesia, setidaknya melalui perubahan kebijakan negara yang menghasilkan kebebasan berserikat. Hal tersebut menunjukkan terjadinya kesenjangan antara dinamika gerakan buruh di sektor perkebunan dan sektor non-perkebunan, atau ada relasi yang putus antara serikat buruh yang tumbuh di sektor manufaktur dengan sektor perkebunan.
Akan tetapi, terlepas dari berbagai situasi yang telah dikemukakan bekaitan dengan serikat buruh di Indonesia, tidak dapat ditampik bahwa posisi kaum buruh yang telah bekembang selama ini telah memberikan kontribusi yang sangat besar sebagai bagian bangsa Indonesia, baik sebagai warga negara maupun sebagai tulang punggung ekonomi bangsa. Sehingga, kesejahteraannya sudah selayaknya di perhatikan secara serius oleh pemerintah.  Hal tersebut menunjukan bahwa kehadiran dan perjuangan serikat buruh dinilai sebagai salah satu aktor penting sebagai upaya menciptakan kesejahteraan buruh di Indonesia.
Daftar Pustaka
Sumber Buku:
Syarif Arifin, Fahmi Panimbang dkk. Memetakan Gerakan Buruh: Antologi Tulisan Mengenang Fauzi Abdullah. Depok: LIPS, Sawit Watch Kepik, 2012.

Sumber Website:
Tanpa Nama. Memetakan Gerakan Buruh: Antologi Tulisan Mengenang Fauzi Abdullah dalam http://sawitwatch.or.id/2012/06/buku-memetakan-gerakan-buruh-antologi-tulisan-mengenang-fauzi-abdullah/ diakses pada Senin, 19 Mei 2014; Pukul 07.26 WIB.
Aang Kusmawan.  Ulasan Buku Memetakan Gerakan Buruh: Antologi Tulisan Mengenang Fauzi Abdullah dalam http://www.majalahsedane.net/2013/12/potret-retak-gerakan-buruh.html diakses pada Senin, 19 Mei 2014; Pukul 07.43 WIB.
Romel Maskyuri. Napak Tilas Gerakan Buruh dalam http://sema-uinjogja.or.id/2014/01/napak-tilas-gerakan-buruh.html diakses pada Senin, 19 Mei 2014; Pukul 07.47 WIB.


[1] Tanpa Nama. Memetakan Gerakan Buruh: Antologi Tulisan Mengenang Fauzi Abdullah dalam http://sawitwatch.or.id/2012/06/buku-memetakan-gerakan-buruh-antologi-tulisan-mengenang-fauzi-abdullah/ diakses pada Senin, 19 Mei 2014; Pukul 07.26 WIB.