Selasa, 16 Oktober 2012

"Islam and Politics”


oleh Alpiadi Prawiraningrat

Menarik apa yang ditulis oleh John L. Esposito dalam bukunya Islam and Politics. Mengawali bukunya, dia mengungkapkan bahwa, Islam terbukti merupakan sebuah keimanan yang kedudukannya sebagai agama mampu menjadi pengendali terhadap kekuasaan politik. [1]  Ungkapan tersebut serupa dengan pendapat beberapa ahli yang mengungkapkan bahwa Islam bukanlah semata agama (a religion), namun juga sebuah sistem politik (a political system).[2]  Islam lebih dari sekedar agama karena mencerminkan teori perundang-undangan dan politik.[3]   Hal ini mungkin dikarenakan pembangunnya adalah seorang Nabi, yang juga seorang politikus bijaksana ataupun seorang negarawan.[4]
Memahami tulisan John L. Espsito tidak terlepas dari konsep politik yang dianggap sebagai usaha mencapai suatu tatanan sosial yang baik dan berkeadilan[5]  atau sebagai upaya perebutan kekuasaan, kedudukan, dan kekayaan untuk kepentingan diri sendiri.[6] Namun demikian, perlu dipahami pula bahwa politik berkaitan dengan upaya mencapai keputusan-keputusan bersifat kolektif dan mengikat melalui usaha untuk mendamaikan perbedaan di antara anggotanya[7] dengan tujuan membuat, mempertahankan dan mengamademen peraturan-peraturan umum yang mengatur kehidupannya, yang berarti tidak dapat terlepas dari gejala konlik dan kerjasama.[8] 
Berkaitan dengan Islam, Esposito menjelaskan bahwa sejak masa khalafur-Rasyidin maupun pada masa Umayyah serta masa Abbasiah, Islam telah menjadi dasar ideologi bagi masyarakat maupun negara.    Meskipun terkesan rumit dan telah lahir berabad-abad, gagasan yang terkandung dalam Islam tetap memiliki kewenangan serta mampu dipahami oleh generasi muslim yang mewarisi pemahaman Islam sebagai agama yang romantic dan idealistic,[9]  sehingga  mengilhami setiap generasi dalam membangkitkan semangat agama dalam mengejar keterbelakangan dan merealisir perpaduan politik dan agama sepanjang ajaran Islam dalam aktivitas aktivis politik Islam dewasa ini.[10]
John L. Esposito juga mengungkapkan bahwa Revivalisme Islam (kebangkitan Islam) pada abad ke-18 dan abad ke-19,  Islam sebagai kekuatan politik dan kultural di berbagai belahan dunia, baik itu di dunia Islam sendiri maupun di dunia non Islam, tengah mengalami intensitas peningkatan cukup signifikan, yang tercirikan dengan makin tumbuh suburnya gerakan-gerakan Islam, dari yang berkarakter moderat hingga radikal.
Berbeda dengan gerakan modernisme Islam, motivasi gerakan Revivalisme mengkhususkan terhadap kelemahan intern dibandingkan ancaman kolonialisme dan memberikan warisan kepada gerakan modernisasi Islam, baik ideologi maupun metodelogi.[11]  Meski ada perbedaan-perbedaan khas dalam hal interpretasi, kerangka ideologis umum revivalisme Islam mencakup enam keyakinan.[12]  Pertama, Islam adalah pegangan hidup yang lengkap dan total.  Kedua, kegagalan masyarakat Muslim disebabkan penyimpangan dari jalan lurus Islam dan mengikuti jalan sekuler Barat, dengan ideologi dan nilai-nilai yang sekuler-materialistis.  Ketiga, pembaruan masyarakat mensyaratkan kembali pada Islam, sebuah reformasi atau revolusi religio-politik yang mengambil inspirasinya dari Al Quran dan gerakan besar Islam pertama yang dipimpin oleh Nabi Muhammad.  Keempat, untuk memulihkan kekuasaan Tuhan dan meresmikan tatanan sosial Islam sejati, hukum-hukum berinspirasi Barat harus digantikan dengan hukum Islam, yang merupakan satu-satunya cetak biru yang bisa diterima bagi masyarakat Muslim.  Kelima, meski westernisasi masyarakat dikecam, modernisasi tidak. Ilmu pengetahuan dan teknologi diterima, tapi keduanya harus ditundukkan di bawah akidah dan nilai-nilai Islam, demi menjaga dari westernisasi dan sekulerisasi masyarakat Muslim.  Keenam, proses Islamisasi, atau lebih tepatnya, re-Islamisasi, memerlukan organisasi-organisasi atau serikat-serikat Muslim yang berdedikasi dan terlatih, yang dengan contoh dan kegiatan mereka, mengajak orang lain untuk lebih taat dan organisasi orang-orang Muslim yang ingin berjihad melawan korupsi dan ketidakadilan sosial. 
Revivalisme Islam menginginkan kembalinya Islam sebagai mercusuar dunia seperti yang pernah dialami di masa lalu, dalam segala bidang, baik itu agama, politik, ekonomi, budaya, bahkan sains dan teknologi.  Namun, pandangan kaum revivalis Islam radikal yang terlalu memfokuskan pada upaya bagaimana menjadi penguasa tunggal di muka bumi dan mengira itu jalan satu-satunya mengubah tatanan dunia dan masyarakatnya membuat kebangkitan Islam tidak mengakar kuat di ranah akar rumput (kultural), sehingga menciptakan gap yang lebar. Kalangan moderat Muslim kemudian lebih memilih jalur perjuangan gerakan Islam kultural yang lebih menyentuh dengan persoalan-persoalan ril yang dihadapi masyarakat Muslim, seperti ketidakadilan, kemanusiaan, toleransi, kebebasan, hak-hak asasi manusia, kesetaraan, dan seterusnya. Jadi, kebangkitan Islam adalah bagaimana gerakan Islam mampu memberdayakan masyarakat Muslim sendiri.
Samuel P Huntington dalam bukunya, The Clash of Civilizations and The Remaking of World Order (1996) menyebutkan bahwa pasca Perang Dingin dan runtuhnya komunisme, salah satu kekuatan dunia yang bakal menciptakan benturan antar peradaban adalah Islam.[13] Apakah peradaban Islam yang dimaksud Huntington adalah peradaban seperti yang dibayangkan oleh kaum revivalis radikal Islam sebagai sebuah kekuatan super power, seperti Dinasti Umayah atau Dinasti Abasiyah di masa lalu? Sebuah peradaban yang secara politis bakal ‘mencaplok’ beberapa negara di dunia dalam satu penguasa (khilafah)? Jika melihat arus gerakan Islam di tubuh umat Islam sendiri yang beragam, serta makin kuatnya simpul-simpul politik kebangsaan, rasanya terlalu terburu-buru menyebut revivalisme Islam sebagai kebangkitan untuk menjadi penguasa tunggal dunia.
Interpretasi kaum modernis berbeda dengan para pemuka revivalis radikal.  Kaum modernis berupaya menyelaraskan ajaran Islam kepada kondisi-kondisi yang berubah pada masyarakat modern.  Kaum tradisional mengecam perubahan tersebut sebagai bid’ah yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dan akomodatisme yang membuka pintu bagi praktek-praktek Kristen Barat yang berlawanan dengan Islam serta melakukan infiltrasi ke dalam Islam.[14]
Semangat kaum modernis Islam memberikan sumbangan besar bagi perkembangan gerakan emansipaasi wanita.  Warisan modernis Islam diperlakukan dalam merancang dan membenarkan reformasi perundang-undangan.  Gerakan revivalis Islam dan modernis Islam memberikan ragam approach terhadap kalangan Muslim untuk membangkitkan kembali semangat masyarakat muslim yang lemah dan pasrah.[15]  Warisan reformis memiliki keterkaitan dengan perkembangan nasionalisme di Arab Timur, Arab Barat (Afirika Utara), dan anak benua India.
Berkaitan dengan nasionalisme, evolusi nasionalisme dalam dunia Islam telah memperlihatkan peranan Islam dalam mobilisasi massa dan sosio-politis.[16]  Sejarah kekuasaan Islam selama berabad-abad menunjukan bahwa Islam memainkan peran penting dalam reaksi pihak Muslim dan jawabannya terhadap tantangan imperalialisme Barat.  Hal tersebut mengilhami perkembangan modernisme Islam serta memberikan sumbangan bagi gerakan nasionalimse muslim dan kemerdekaannya.  Tokoh-tokoh pembaharu Islam berikhtiar membangkitkan kebanggaan muslim dan kepercayaan terhadap diri sendiri untuk merevitalisasi masyarakat baik sosial maupun politik yang berdasarkan “re-interpretasi” dan “re-formulasi” ajaran agama Islam yang menegaskan kompatibilitas Islam dan modernitas; mengukuhkan komperhenshif dan relevansi ideologi Islam terhadap politik, hukum dan masyarakat modern.[17]  Namun, bagi generasi muda yang merupakan tokoh-tokoh nasionalis berpendidikan modern, Islam merupakan jalan bukan suatu tujuan.[18]  Apabila kemerdekaan politik telah dicapai, Islam cenderung untuk dikesampingkan dari kehidupan umum ketika golongan elite dihadapkan pada proses pembangunan bangsa.
Sesudah memperoleh kemerdekaan, negara-negara muslim yang baru muncul menghadapai tugas yang luar biasa, yaitu proses pembentukan bangsa modern (modern nation building) yang masih mengikuti dominasi politik dan militer kolonial Barat beserta keterkaitan ekonomi.[19]  Bagi lapisan elite modern, warisan Islam yang meskipun masih berlaku dalam kehidupan kerohanian dinilai sudah tidak relevan dengan kebutuhan dan tuntutan politik dan masyarakat modern.  Hal tersebut menimbulkan masalah identitas dan ideologi nasional. Perkembangan lembaga-lembaga pemerintahan dan hukum tetap berkelanjutan, meskipun belum sepenuhnya memadai.   
Aktivitas-aktivitas Islam mempergunakan Islam sebagai tolak ukur terhadap apakah pemerintah yang berkuasa itu otokratis dalam pelaksanaan kekuasaannya, korup sepanjang politik, pincang secara ekonomi, kosong sepanjang spiritual dan moral.  Di bawah payung Islam, terorganisir pihak-pihak yang saling berlawanan.  Mereka melancarkan kecaman-kecamannya beserta agenda pembaharuan dengan berbagai upaya seperti pertemuan-pertemuan, pemogokan, demonstrasi hingga tindakan kekerasan, serta teroris dan pembunuhan.  Sekitar tahun tujuhpuluhan dapatlah dipandang sebagai tempo pembaharuan kekuasaan dan kebanggaan Islam, appeal terhadap Islam dan bentuk alternative Islam sendiri memperlihatkan pengertian yang beragam.[20]  Begitupun implementasi pilihan Islam pada negera seperti Libya, Pakistan, dan Iran yang membangkitkan banyak permasalahan.
Dalam sekian banyak ranah dunia Islam, pihak Muslim berada pada persimpangan jalan.  Sekalipun sudah merupakan negara-negara merdeka sejak beberapa dekade silam, akan tetapi legitimasi politik dari kebanyakan pemerintahan Muslim masih jauh dari kesan baik.  Pemerintahan yang dipimpin oleh para ulamapun gagal memberikan kepuasaan politik dan ekonomi bagi masyarakatnya  dalam menempuh jalan modernisasi yang terpandang peka terhadap warisan Islam.  Mereka tetap dalam posisi yang tak tentu hingga stabilitas lebih banyak didasarkan pada kekuasaan otoriter dan militer.  Jikalau pemerintahan pihak Muslim berjuang mencapai sinthesa baru yang memberikan suatu kontinuitas antara tuntutan moderenisasi dengan tuntutan tradisi Islam maka perdamaian dan keselarasan antara Islam dan modernisasi dapat terwujud.[21] Selagi hasilnya memang beragam antara satu negeri dengan negeri lain tergantung pada variabel dalam bidang politik dan sosial dan ekonomi, maka proses situ sendiri tidak dapat dielakkan sebab hal itu melibatkan identitas nasional beserta pemahaman dan komitmen keagamaan.[22]
Secara keseluruhan, dapat diambil beberapa simpulan dari tulisan tersebut. Pertama, Islam terbukti merupakan sebuah keimanan yang kedudukannya sebagai agama mampu menjadi pengendali terhadap kekuasaan politik. Kedua, penulis telah objektif dalam menilai dan menganalisa mengenai berbagai persoalan yang mendukung teori yang disajikan dan hal ini dapat dilihat dari pemberian contoh dengan berbagai kasus yang terjadi di abad ini sehingga mudah dipahami oleh reader. Walaupun, penulis belum mengemukakan apakah tujuan penulisannya sudah tercapai atau belum, tetapi tulisan ini akan sangat berguna bagi mahasiswa yang sedang menempuh kuliah pada studi ilmu politik, dan khususnya kepada reviwer yang sedang menempuh mata kuliah pemikiran politik Islam akan dapat menambah wawasan serta memberikan suatu wacana baru terhadap berbagai pemikiran politik di dunia.
Daftar Pustaka

Bacaan Utama:
Esposito, John L.  1985.  Islam and Politics.  New York: Syracuse University Press. 

Bacaan Pendukung:
Esposito, John L.   1988.   Islam: The Straight.  New York: Syracuse University Press. 
Black, Antony.  2001.  The History of Islamic Political Thought:  From the Prophet to the Present.  Edinburgh University Press.
Budiardjo, Miriam.  2010.  Dasar-Dasar Ilmu Politik.  Jakarata:  PT Gramedia Pustaka      Utama. 
Hague, Rog et al.,  1998.  Comparative Government and Politics.  London: Macmillan Press.
Heywood, Andrew.  1997.  Politics.  London: Macmillan Press.
Huntington, Samuel P, 1996.  The Clash of Civilizations and The Remaking of World Order.
Merkl, Peter H.  1967.  Continuity and Change .  New York: Harper and Row.
Mintaredja, Syafaat, H. M, SH.  1971.   Islam dan Politik Islam dan Negara di Indonesia.             Jakarta:  UI Press.
Rais, Dhiauddin.  Dr.  M.  2001.  Teori Politik Islam.  Jakarta:  Gema Insani Press.
Thaqiq, Nanang.  2004.  Politik Islam.  Jakarta: Prenada Media.



[1] John L. Esposito.  1985.  Islam and Politics.  New York: Syracuse University Press,  hlm 42.
[2] Dr. V. Fitzgerald dalam Muhammaden Lah, ch I, p.1.
[3] Dr. Schacht dalam Encyclopedia Of Social Sciences,  vol. VIII, p. 333.
[4] Prof.  R.  Strothman dalam The Encylopedia Of Islam, IV, p.350.
[5] Peter H. Merkl, Continuity and Change (New York: Harper and Row, 1967), hlm. 13 “politics, at its best is a noble quest for a good order and justice
[6] Ibid., hlm.  13.
[7] Rod Hague et al., Comparative Government and Politics (London: Macmillan Press, 1998) hlm. 3. “politics is the activity by which groups reach binding collective decisions through attempting to reconcile differences among their members.
[8] Andrew Heywood, Politics (London: Macmillan Press, 1997)  hlm. 4.  politics is the activity which a people make, preserve and amend the general rules under which they live and as such is inextricably linked to the phenomen of conflict and cooperation.
[9]  John L. Esposito.  1985.   Islam and Politics.  New York: Syracuse University Press,  hlm 42.
[10] Esposito, Ibid., hlm 42.
[11] Esposito, Ibid., hlm 55.
[12] John L. Esposito.  1988.   Islam: The Straight.  New York: Syracuse University Press. 
[13] Samuel P Huntington .  1996.  The Clash of Civilizations and The Remaking of World Order.
[14] John L. Esposito.  1985.   Islam and Politics.  New York: Syracuse University Press,  hlm 78.

[15] John L. Esposito.  1985.   Islam and Politics.  New York: Syracuse University Press,  hlm 80.
[16] Esposito, Ibid.,  hlm. 130.
[17] Esposito, Ibid., hlm. 130.
[18] Esposito, Ibid., hlm.  131
[19] Esposito, Ibid., hlm.  210.
[20] John L. Esposito.  1985.  Islam and Politics.  New York: Syracuse University Press,  hlm.  293.
[21] Esposito, Ibid.,  hlm.    334.
[22]  Esposito, Ibid., hlm.   335.