Sabtu, 06 Oktober 2012

“Memahami Survei dalam Penelitian Sosial”


oleh Alpiadi Prawiraningrat

            Apa yang dimaksud dengan survey dalam penelitian?  Bagaimana interaksi antara teori dan penelitian sosial?  Bagaimana cara merumuskan suatu pertanyaan penelitian? dan bagaimana cara mengembangkan indikator untuk konsep dalam penelitian sosial?  Pertanyaan itu menjadi pemicu kali ini.  David De Vaus menjelaskan pertanyaan di atas dalam bukunya yaitu Surveys in Social Research.
              Menurut David De Vaus, survei bukan satu-satunya teknik dalam memperoleh dan mengumpulkan informasi.  Kuesioner, wawancara dan observasi juga dapat dilakukan dalam survey research. Menjadikan survey berbeda dengan teknik lain adalah metode analisis yang digunakan serta bentuk data yang diperoleh.
           Survei dikarakteristikan sebagai kumpulan data yang sistematis atau terstruktur.  De Vaus menyebutnya sebagai variable-by-case data grid, yang berarti bahwa pengumpulan informasi dengan kesamaan variabel atau karakteristik dari setidaknya dua kasus.  Membuktikan bahwa suatu kasus tidak hanya dapat dipecahkan oleh fakta-fakta yang diperoleh dari penelitian terhadap kasus tersebut, melainkan juga dapat diperoleh dari fakta-fakta kasus lain yang memiliki hubungan atau kesamaan.
Berkaitan dengan Interaksi antara teori dan penelitian.  De Vaus  menjelaskan dalam dua proses, yaitu theory construction sebagai proses yang dimulai dengan sekumpulan observasi kemudian membuat teori berdasarkan observasi tersebut.  Disebut juga sebagai post factum theory karena teori datang setelah observasi bukan sebaliknya dan theory testing yaitu kebalikan dari theory construction artinya terlebih dahulu diprediksikan bagaimana fakta-faktanya.  Jika prediksi benar, maka akan mendukung teori kita, dan jika salah terdapat tiga penjelasan: teori salah, prediksi salah atau menyimpang dari teori, cara kita mencari atau melihat fakta salah. Penjelasan dua proses di atas adalah sebagai berikut:
Tabel Proses:
Teori Kontruksi (theory construction) dan Teori pengujian (theory testing)
Teori konstruksi (theory construction)
Teori pengujian (theory testing)
·         Menetapkan tujuan pengamatan.
·         Mencari faktor umum.
·         Kerasionalitasan dan kebutuhan uji teori.

·         Menentukan teori yang akan diuji.
·         Memperoleh serangkaian proposisi konseptual.
·         Penyajian kembali proposisi konseptual sebagai proposisi yang akan diuji.
·         Mengumpulkan data yang relevan
·         Analisis data.
·         Penilaian terhadap teori.

Sumber:  David De Vaus.   Surveys in Social Research.
De Vaus menunjukan pentingnya teori bagi penelitian.  Teori harus berbasis empiris (theory construction) dan dievaluasi melawan kenyataan empiris (theory testing), karena perkembangan teori adalah tujuan penting dalam penelitian.  Oleh karena itu, teori dapat membimbing peneliti menuju observasi yang relevan.  Serta, membimbing analisis dan pembuatan pertanyaan penelitian yang kritis.
Pertanyaan penelitian haruslah fokus dan jelas.  Untuk mencapainya harus dibedakan antara penelitian penjelasan (explanatory) dan deskriptif.  Peneliti juga harus mampu mengidentifikasi sumber-sumber data sehingga membantu dalam menentukan tema penelitian.  Selain itu, research design juga merupakan elemen penting dalam pembentukkan pertanyaan penelitian yang berguna untuk mengasah hasil penelitian yang sudah kita dapat.
Pada akhir penjelasnya, De Vaus mengungkapkan bahwa konsep sangat dibutuhkan untuk merancang sebuah penelitian, maka perlulah dikembangkannya suatu indikator yang merupakan acuan dalam pembuatan sebuah konsep terutama konsep yang akan digunakan dalam penelitian. Study case-survey-experiment adalah hal pokok dalam penelitian, konsep dan indikator, serta research design merupakan awal dan acuan dalam melakukan penelitian. Maka hal-hal yang telah ditekankan dan dijelaskan diatas merupakan hal-hal yang perlu untuk diperhatikan dalam melakukan penelitian sosial.

Daftar Pustaka
David De Vaus.  (2005).  Surveys in Social Research. London: Taylor & Francis e-Library.


Analisis Kebijakan Publik: PENGGUNAAN PAKAIAN ADAT SUNDA KEBAYA DAN PANGSI, SERTA EGRANG BAGI SISWA SEKOLAH DASAR SETIAP HARI RABU DI KABUPATEN PURWAKRATA.



oleh Alpiadi Prawiraningrat
Thomas R. Dye mengungkapkan bahwa kebijakan merupakan ”Whatever goverment chooses to do or not to do.” Hal ini tidak berbeda jauh dengan pendapat yang diungkapkan G. C. Rdwards III yang mengatakan bahwa kebijakan adalah ”what goverment say and do or don’t do.”  Lebih jelas R.S Farker mengungkapkan bahwa kebijakan adalah ” A particular objective or set of principles, or course of action which goverment adopts at a given period in relation to some subject or in response to some crisis.” Sehingga dapat didefiniskan bahwa kebijakan sebagai tindakan atau keputusan pemerintah mengenai hal-hal tertentu atau langkah yang diambil untuk mengimplementasikannya dan penejlasan pemerintah mengenai apa yang terjadi. 
Menurut Plato, kebijakan pendidikan selalu beriringan dengan kebijakan politik penguasa. Statmen ini menjadi sangat penting karena sangat strategisnya fungsi politik dalam menentukan arah kebijakan pendidikan di suatu negara atau daerah. Melalui tulisan ini, kelompok kami mencoba memotret semaksimal mungkin kesinambungan program pendidikan yang dicanangkan oleh Bupati Purwakarta Bapak H. Dedi Mulyadi S.H. sebagai upaya menciptakan generasi kabupaten Purwakarta yang berkarakter.
            Salah satu amanat yang menjadi substansi dalam UU Sistem pendidikan Nasional yaitu, pemantapan iman dan takwa dalam pendidikan, desentralisasi pendidikan, meleburnya dikotomi sekolah negeri dan swasta, partisipasi masyarakat, serta keharusan anggaran pendidikan daerah sebanyak 20 persen yang berbasis peningkatan mutu pendidikan itu sendiri. Sangat elegannya landasan normatif  di atas memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah untuk sehebat mungkin mendesain program pendidikan bagi masyarakatnya. Namun sangat disayangkan, seringkali ada produksi kebijakan yang tidak konsisten dan selaras untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
Problema mendasar dari pendidikan ujung-ujungnya adalah ”lemahnya akhlak karimah dan live skill anak-anak bangsa”. Pendidikan merupakan tanggungjawab keluarga, sekolah, masyarakat dan negara. Lemahnya produk tersebut merupakan simbolisasi dari lemahnya empat komponen dasar pendidikan yaitu, pendidikan keluarga, kebijakan negara, pendidikan masyarakat dan pendidikan di sekolah.  Ketika kita menyadari bahwa ambruknya dua kualitas tersebut, maka empat komponen tersebut harus bertanggungjawab terhadapnya buruknya SDM anak-anak bangsa.
Di sisi lain para pelajar kita dihantam oleh ”badai tsunami sosial” seperti, budaya hedonisme, pragmatisme, liberalisme, dan konsumenisme.[1] Sehingga semakin lengkaplah ”komplikasi penyakit dunia pendidikan kita ”. Belum lagi dibanjiri kebijakan oleh ” sang mesin pembunuh sisitematik ”  pendidikan yaitu, ujian nasional.[2]
Belum lagi, tidak selarasnya antara kebutuhan skill dan karakter dunia kerja dengan dunia pendidikan, maka semakin lengkaplah penderitaan nasib anak-anak bangsa. Kondisi orang tua siswa terus digerogoti oleh kondisi ekonomi yang semakin terpuruk, sehingga daya beli dan pendapatan masyarakat semakin melemah. Kondisi sosial masyarakat yang semakin kurang menopang learning society , misalnya kemiskinan, pengangguran, konflik sosial, kriminalitas, narkoba, tawuran dan free seks. Menjadi faktor utama penopang bagi akselerasi keterpurukaan kualitas siswa-siswi kita. Maka harus ada upaya revolusioner untuk mengembalikan pendidikan ke rel yang sebenarnya.
Berkaitan dengan persoalan di atas, baru-baru ini bupati Purwakarta bapak H. Dedi Mulyadi S. H. mengeluarkan kebijakan yang berkaitan sebagai upaya menciptakan generasi Purwakarta yang berkarakter.  Rumusan mengembangkan pendidikan karakter sendiri menurut bapak Dedi adalah dengan mengedepankan nilai-nilai tradisi lokal dan modern secara beriringan.

Kebijakan tersebut adalah penggunaan kebaya dan pangsi  atau kampret (pakaian hitam-hitam khas masyarakat adat sunda) bagi siswa sekolah dasar setiap hari rabu serta penggunaan eggrang ke Sekolah.  Sebelumnya program itu sukses direalisasikan di kalangan pegawai Pemkab Purwakarta.  Maka dari itu, setiap Rabu pelajar sekolah dasar laki-laki dianjurkan menggunakan kampret (pangsi), sementara pelajar perempuan menggunakan baju kebaya.

Kebijakan tersebut menimbulkan pro dan kontra di masyarakat.  Ada yang setuju bahwa kebijakan tersebut direalisasikan di sekolah.  Namun, tidak sedikit pula yang tidak setuju karena dinilai kebijakan tersebut kurang memiliki esensi dan hanya menambah beban orang tua serta pihak sekolah.

Untuk lebih memahami kebijakan di atas, kelompok kami melakukan observasi langsung ke lapangan dengan mewawancari beberapa pihak terkait.  Pihak yang pertama kami wawancara adalah bapak Andre Chaerul selaku Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga kabupaten Purwakarta.

Menurut penjelasannya bahwa kebijakan penggunaan kebaya dan pangsi bagi siswa Sekolah Dasar setiap hari Rabu di kabupaten Purwakarta hanya bersifat imbauan. Dengan kata lain, Pemerintah kabupaten tidak memaksakan wajib menggunakan kebaya atau pangsi. Bagi mereka yang mampu dan sudah punya diimbau untuk dipakai setiap hari Rabu. Karena,  hari Rabu untuk kabupaten Purwakarta akan ditetapkan menjadi hari tradisi kedaerahan.

Masih menurut Pak Andre, digulirkannya kebijakan hari tradisi ini, bukan hanya cara berpakaian saja. Bahasa dan perilaku anak pun harus mencerminkan tradisi daerah (sunda). Hal ini di dasarkan karena selama ini sudah banyak warga Purwakarta yang meninggalkan tradisinya. Contohnya adalah bahasa Sunda. Sangat banyak anak-anak saat ini yang tidak bisa dan mengerti Bahasa Sunda. Padahal, kedua orang tua mereka asli Sunda.

Melalalui kebijakan ini sangat diharapkan dengan adanya hari tradisi, pemerintah berupaya mengajak kembali masyarakat untuk mencintai budaya dan tradisinya.  Jangan sampai, budaya dari luar justru diadopsi dan diterapkan di kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, budaya tradisi lokal justru ditinggalkan dan generasi muda enggan untuk melestarikannya. 

Sedangkan bapak Dedi Mulyadi selaku bupati kabupaten Purwakarta, dikutip dari sebuah harian surat kabar menyatakan bahwa kebijakan ini bersifat imbauan. Pihaknya juga sudah menegaskan lagi ke semua kepala sekolah untuk tidak mewajibkan anak-anak menggunakan kebaya dan pangsi. Terutama, anak-anak dari keluarga tidak mampu.[3] 

Berkaitan dengan kebijakan penggunaan Egrang dari rumah menuju sekolah.  Menurutnya merupakan upaya melestarikan kebudayaan tradisional.  Egrang sendiri memiliki filosofi tersendiri.  Dengan bermain Egrang, berarti orang yang bersangkutan sudah mampu menjaga keseimbangan tubuhnya.  Beliau menambahkan bahwa kedepan, Egrang tidak hanya menjadi permainan yang dimainkan setahun sekali. Melainkan dibiasakan digunakan dalam kehidupan sehari-hari agar permainan ini tidak mengalami kepunahan.

Menanggapi hal itu, Kepala SD Negeri Cilandak, Purwakarta, Hj. Yeti Supriyati S.Pd, mengaku tidak keberatan dengan kebijakan baru tersebut. Apalagi sifatnya tidak memaksa.  Namun demikian, dibutuhkan sosialisasi yang masif agar tidak terjadi salah persepsi di kalangan orang tua siswa.  Menurutnya, penggunaan baju kampret bukan saja mengandung nilai pelestarian budaya, juga lebih kaya makna filosofi dan sosialnya.

Namun demikian, sejumlah orang tua murid kurang setuju terhadap kebijakan tersebut.  Salah satunya adalah Susi Susilawati, yang menilai bahwa kebijakan tersebut sangatlah tidak efektif dan efisien karena hanya menambah beban orang tua.  Selain itu, siswapun terlihat tidak nyaman menggunakan pakaian tersebut karena kegerahan.  Akibatnya, proses belajarpun tidak efektif dan konsentrasi anak dalam belajar terganggu.

Ketidaksetujuan pihak orang tua murid mungkin di dasarkan kurangnya sosialisasi dari pihak pemerintah. Oleh Karena itu, penting bagi pemerintah kabupaten Purwakarta untuk melakukan sosialisasi yang masif mengenai esensi dari kebijakan tersebut sehingga orang tua murid mengetahui dan memahami maksud dan tujuan di adakan serta direalisasikanya kebijakan penggunaan kebaya dan pangsi bagi siswa Sekolah Dasar serta menggunakan egrang dari rumah menuju sekolah setiap hari Rabu di kabupaten Purwakarta.

Menaggapi hal tersebut, Ketua Komisi IV DPRD Purwakarta, Hj Dian Kencana, mengakui adanya keluhan dari sejumlah orang tua terkait kebijakan tersebut.  Namun, mayoritas keluhan para orang tua muncul disebabkan banyak dari mereka yang belum paham maksud, dan dasar dikeluarkannya kebijakaan penggunaan pangsi dan kebaya itu. Padahal sejatinya, penggunaan seragam itu tak lain merupakan bagian dari kampanye budaya.

Tahun 2013, lanjut Dian, Pemerintah kabupaten Purwakarta berencana akan mengucurkan dana bantuan kepada orang tua, khusus untuk pengadaan baju kampret dan kebaya. Dengan begitu, kendala finansial yang selama ini sering menjadi alasan diharapkan dapat segera teratasi. Alhasil, penggunaan baju kampret-kebaya yang merupakan bagian dari pendidikan berkarakter dapat segera terwujud dan terealisasi di Purwakarta.

Secara terpisah Kiko Davario, siswa salah satu sekolah dasar di kabupaten Purwakrta menyebutkan bahwa dirinya senang dengan adanya kebijakan tersebut karena menurutnya unik dan senang melihat teman-temanya berpaiakan yang belum pernah dia gunakan sebelumnya.  Namun di sisi lain dirinya kurang betah menggunakan pakaian kampret atau pangsi karena kegerahan sehingga kurang nyaman jika sedang belajar di kelas.  Berkaitan dengan egrang, dia mengatakan tidak pernah menggunakanya karena rumahnya cukup jauh dari sekolah sehingga dia biasanya menggunakan angkot.  Sedangkan untuk teman-temanya yang rumahnya dekat mereka sering menuruti anjuran untuk menggunakan Egrang tersebut.

Menanggapi berbagai pendapat di atas,  kelompok kami menyimpulkan bahwa kebijakan menggunakan kebaya dan pangsi  atau kampret serta penggunaan egrang ke sekolah bagi siswa Sekolah Dasar  di kabupaten Purwakarta, dari segi tujuaan sebagai upaya melestarikan kebudayaan sunda sehingga generasi muda dapat menlestarikan budaya tradisional sehingga tidak hilang oleh perkembanganjaman sangatlah baik.  Namun, pemerintah juga perlu memperhatikan dampak-dampak negatif yang dapat ditimbulkan.  Seperti ketidak nyamanan siswa menggunakan pakain tersebut sehingga berdampak tidak konsentrasinya siswa dalam proses belajar mengajar, serta ketidakmampuan orang tua yang memiliki ekonomi rendah untuk membeli pakaian adat tersebut dan menambah beban mereka.

Selain itu, perlu juga dipahami bahwa sebuah kebijakan harus didukung oleh infra sturktur sekolah yang harus menunjang bagi kebijakan tersebut.  Sehingga kebijakan yang dibuat tidak sekedar momentum semata tetapi memiliki esensi dan mampu dipahami oleh setiap lapisan masyarakat terutama siswa dan orang tua murid. 
Hal-hal yang dapat dilakukan untuk meminimalisir munculnya pendapat negtaif terhadap kebijakan di atas, di antaranya:  Pertama, pemerintah kabupaten Purwakarta harus mempunyai komitmen moral dan politik kuat dan tinggi serta yang sama dengan legislatif bahwa kebijakan yang di ambil merupakan untuk kepentingan masyarakat bukan kepentingan politis semata. Kedua, melakukan komunikasi yang intensif dengan seluruh stakeholders pendidikan di semua jenjang pendidikan, untuk menjaring dan mendeteksi masalah serta masukan, kritik, dan saran yang diharapkan dalam kebijakan di dunia pendidikan kabupaten Purwakarta.  Ketiga, pelaksanaan kebijakan tersebut juga harus diiringi dengan perencanaan strategis.  Perlu diingat pula bahwa masih banyak pekerjaan rumah dalam menata pendidikan di kabupaten Purwakarta, seperti meningkatkan kualitas guru, meningkatkan pemerataan akses pendidikan pada daerah-daerah terpencil, meningkatkan pengendalian mutu/kualitas pendidikan, serta masalah yang sifatnya kriminalitas dikalangan pelajar Purwakrata sepeti tawuran antar pelajar dan prilaku free seks. Keempat, kontrol  masif terhadap implementasi program secara efektif  supaya tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan kebijakan yang dilakukan dan penenempatan orang birokrasi pendidikan berbasis ahklak dan managerial. Pembersihan dinas pendidikan dari oknum-oknum birokrat yang menggerogoti anggaran pendidikan.

Jika keempat point di atas dapat dilaksanakan secara konsisten.  Kami meyakini bahwa kebijakan yang diambil oleh pemerintah, khususnya pemerintah kabupaten Purwakarta dapat terealisasi secara efektif dan efisien.  Serta harapan menciptakan generasi Purwakarta yang berkarakter sebagai upaya meningkatkan mutu sumber daya generasi muda bangsa Indonesia dapat tercapai.

 

















Referensi

Hazliansayah. Bupati Purwakarta Wacanakan Siswa ke Sekolah Pakai Egrang.            http://www.republika.co.id/berita/nasional/nusantara-nasional/12/06/20/m5wy8tbupati       purwakarta-wacanakan-siswa-ke-sekolah-pakai-egrang.  Diakses pada Sabtu, 29            September 2012; Pukul 20.18 WIB

Mulyana, Asep.  Siswa SD Pakai Kebaya dan Pangsi Tidak Wajib.            http://www.inilahjabar.com/read/detail/1900725/siswa-sd-pakai-kebaya-dan-pangsi            tidak-wajib.  Diakses pada Sabtu, 29 September 2012; Pukul 20.45 WIB.
Raka. Budayakan Kampret Sejak Dini. http://www.radar-karawang.com/2012/09/budayakan-kampret-sejak-dini.html.  Diakses pada Sabtu,  29 September 2012; Pukul 20.53 WIB
Kemal, Abu. Menakar Kebijakan Bupati Purwakarta.  http://abukemal.blogspot.com/2011/08/menakar       kebijakan-bupati-purwakarta.html.  Dikases pada sabtu, 29 September 2012; Pukul 20.39.



[1] Abu Kemal. Menakar Kebijakan Bupati Purwakarta.  http://abukemal.blogspot.com/2011/08/menakar-kebijakan-bupati-purwakarta.html.  Dikases pada sabtu, 29 September 2012; Pukul 20.39.
[2] Ibid.,
[3] http://www.inilahjabar.com/read/detail/1900725/siswa-sd-pakai-kebaya-dan-pangsi-tidak-wajib