Rabu, 05 Maret 2014

“Memahami Hubungan Bisnis dan Negara serta Refleksinya bagi Indonesia ”



 oleh Alpiadi Prawiraningrat
Tulisan ini didasarkan kepada artikel Haggard, Maxfield dan Schneider yang berjudul Theories of Bussiness-State Relations dalam Bussiness and The State in Depeloving Countries yang memberikan gambaran tentang 5 (lima) pendekatan yang digunakan untuk memahami ekonomi politik terutama dalam melihat hubungan bisnis dan negara. Adapun 5 (lima) pendekatan tersebut berkaitan dengan sektor swasta yatu modal, sektor, firma, asosiasi dan juga jaringan yang tidak dapat dilepaskan dari pengaruh pasar, investasi, serta  perkembangannya sangat dipengaruhi oleh hubungan yang terjalin diantara pemerintah dengan sektor swasta. Dan tulisan ini, akan mencoba menjelaskan mengenai setiap pendekatan dan relasinya dengan peristiwa bisnis dan politik di Indonesia.
            Dalam konteks pendekatan bisnis yang didasarkan pada modal, pendekatan ini berperan untuk membentuk struktur yang dibentuk melalui kontrol swasta secara fisik serta asset finansial dan juga pergerakan modal. Pendekatan bisnis yang didasakan pada modal memiliki peran penting dalam mempengaruhi beberapa hal seperti kebijakan publik, politik dan juga pembangunan bisnis. Hal terpenting dari efek keberadaan modal terutama dalam kelangsungan bisnis adalah modal dapat membentuk model dari suatu bisnis dan memebrikan gambaran terhadap investasi swasta yang tidak dikoordinasikan keputusan yang muncul dari pemerintah mengenai kebijakan. Dalam hal ini negara bisa saja dibatasi perannya, karena level investasi mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, keputusan pemerintah selalu dibatasi dengan tindakan yang dilakukan oleh pemilik modal. 
Namun, di sisi lain pendekatan yang didasarkan pada modal ini, dapat menjadi suatu fasilitator dalam meningkatkan kerjasama antar negara di dunia, sebagai contoh adalah Forum Pasar Modal Indonesia-Korea yang diselenggarakan oleh KDB Daewoo Securities Indonesia bersama Bursa Efek Indonesia (BEI) dan Korea Capitel Market Institute di Jakarta pada Kamis sebagai penanda kerjasama dunia pasar modal Indonesia dan Korea.[1] Yang mana forum pasar modal ini menunjukan bagaimana modal dapat menjadi fasilitator dalam meningkatkan kerjasama antara Indonesia dan Korea Selatan terutama berkaitan dengan kondisi Indonesia dan Korea yang memiliki iklim bisnis finansial yang baik dan terus tumbuh seiring perkembangan pasar modal dunia. Kedua Negara berhasil bertahan dari Krisis Ekonomi yang melanda dunia baru-baru ini dan akan menghasilkan hal luar biasa bila saling bekerjasama dan modal adalah salah satu aspek yang memiliki peran penting dalam mengembangkan hal tersebut.
Sedangkan dalam hal pendekatan bisnis melalui sektor, yang berkaitan dengan karakteristik dari aktifitas ekonomi seperti spesifikasi asset dan konsentrasi pengembangan industri yang berimplikasi terhadap kemunculaan bentuk dari preferensi bisnis dan persaingan yang didasarkan pada kepentingan sektor industri yang berbed juga  dapat menimbulkan berbagai macam preferensi, koalisi dan konflik dari berbagai macam faktor produksi.  Oleh karena itu, upaya pengembangan bisnis melalui beberapa sektor diperlukan agar terjadi diferensiasi pengembangan sektor bisinis dan dapat menjadi salah satu upaya dalam meningkatkan hubungan kerjasama industri. Sebagai contoh adalah PT Sri Rejeki Isman Tbk. (Sritex) sedang membahas serius kerja sama dengan South Africa Pulp Industries (SAFI) untuk mendukung perluasan jangkauan pasar tekstil dan garmen.[2] Langkah tersebut dinilai sebagai upaya positif untuk mendukung perdagangan antarnegara dalam berbagai sektor. Apalagi, selama ini hubungan niaga sudah berjalan baik mengingat Afrika Selatan menjadi pintu masuk distribusi produk Sritex ke negara benua Afrika, sebagaimana penialian Noel Noa Lehoko selaku duta besar Afsel untuk Indonesia mengapresiasi rencana kerja sama dengan industri pulp asal negerinya, sebagai diferensiasi sektor utama Sritex.[3]
Selanjutnya, pendekatan ketiga yaitu bisnis sebagai perusahaan, maksudnya adalah bahwa  karakteristik dari struktur korporasi yang berkaitan dengan ukuran, organisasi internal, kepemilikan, pola keuangan, adalah suatu upaya untuk memberikan efek pada preferensi bisnis dan membangkitkan perusahaan untuk berhadapan dengan pemerintah. Pendekatan ini juga menjelaskan mengenai pentingnya hubungan antara pemerintah dan bisnis dinegara berkembang dalam hal ukuran, keuangan, dan diversifikasi bisnis.  Karena pendakatan ini ingin melihat bahwa mengapa dan bagaimana sebuah perusahaan berkembang dan menjadi besar dengan melihat peran dari negara dalam kajian ekonomi politik.           
Pemaparan ketiga pendekatan diatas pada dasarnya mengambil pendekatan strukturalis dalam melihat pengaruh bisnis pada negara, akan tetapi tidak melupakan dan juga memberikan perhatian pada organisasi politik dalam bisnis atau institusi yang memediasi kepentingan bisnis. Berbeda halnya dengan pendekatan selanjutnya yaitu bisnis sebagai asosiasi, yang melihat bagaimana asosiasi memberikan dampak terhadap preferensi bisnis melalui lobbying selain itu juga bagaimana mereka mempengaruhi implementasi kebijakan.  Sebagai contoh adalah tindakan yang dilakukan Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (APEMINDO) yang akan melaksanakan rembuk nasional dengan seluruh pemangku kepentingan.[4] Kebijakan ini akan dilakukan seiring dengan upaya pembatasan ekspor bahan mentah mineral seiring tenggat waktu pembangunan smelter pada 12 Januari 2014 yang dinilai bahwa upaya pembatasan ekspor bahan mentah mineral jika didasarkan UU No 4 2009 tidak diperlukan.  Kebijakan pembatasan ekpor bahan mentah mineral tersebut, dinilai dapat merugikan pelaku industri yang mengembangkan bisnisnya pada sektor tersebut.
            Sedangkan pendekatan terakhir adalah berkaitan dengan bisnis sebagai jaringan, bahwa pendekatan ini melihat interaksi dengan pemerintah tidak datang melalui institusi formal tapi melalui jaringan hubungan personal dan adanya peran yang tidak jelas antara pemerintah dan sektor privat. Selain itu, dengan mengandalkan jaringan pribadi akan membentuk sebuah kepercayaan antara pemerintah dengan sektor privat.
            Namun demikan, dari berbagai pendekatan yang telah dijelaskan di atas adalah tidak hanya membahas mengenai relasi antara pelaku bisnis dan politik dalam suatu negara, akan tetapi juga nelihat bagimana proses penyeleksian aktor politik memiliki peranan penting dalam menentukan kelangsungan bisnis, terlebih tahun ini adalah tahun politik karena Indonesa akan menyelenggarakan pemilihan umum bulan april mendatang. Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah harian surat kabar bahwa kebijakan politik pemimpin akan berpengaruh terhadap aktivitas dunia usaha.[5] Peraturan yang jelas dan mengikat akan memberikan kejelasan dan mengikat pula bagi dunia usaha. Regulasi yang probisnis akan menciptakan peluang positif dan memberikan kenyaman bagi dunia usaha.  Terlebih lagi tidak dapat ditampik bahwa birokrasi dan daya saing lokal membuktikan bahwa regulasi menjadi penghambat utama bagi aktivitas bisnis. Karena regulasi pula, penguasa/investor enggan masuk ke daerah. Tidak hanya regulasi yang menghambat, tetapi juga perlakuan pemerintah daerah (pemda) yang membuat penguasa/investor enggan datang. Oleh karena itu, pemilu harus menghasilkan pemimpin yang bisa memberikan rasanya nyaman pada dunia usaha dengan peraturan-peraturan yang jelas dan mengikat.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan artikel Haggard, Maxfield dan Schneider yang berjudul Theories of Bussiness-State Relations dalam Bussiness and The State in Depeloving Countries sudah mendeskripsikan unsur-unsur penting pendekatan negara dengan bisnis.  Nilai lebih dari buku ini adalah menjadi stimulan yang menarik bagi pembaca untuk lebih memahami lebih mendalam tentang relasi antara bisnis dan negara yang bertujuan untuk mengakomdir tidak hanya kepentingan pelaku bisnis tapi juga kepentingan-kepentingan umum sebagai kepentingan masyarakat dan rakyat banyak dapat tercapai.  Sedangkan di sisi lain, akan jauh lebih baik jika buku ini juga memuat analisis terhadap contoh kasus yang dipaparkan, dan memuat informasi rinci yang dapat dipergunakan bagi praktisi. Informasi-informasi tersebut berupa komparasi kelebihan dan kelemahan antara setiap pendekatan yang tentunya akan sangat berguna bagi pembaca untuk lebih memahami berbagai teori ataupun pendekatan dalam memahamai hubungan bisnis dan negara.

Daftar Pustaka
Sumber Utama:
Haggard, Stephan, et..al. Theories of Bussiness-State Relations dalam Business and The State in Developing Countries (New York: Cornell University, 1997), hlm. 36-60.

Sumber Tambahan:
Trinastiti, Pamuji. Sritex Jajaki Kerja Sama Pulp dengan Afsel dalam http://market.bisnis.com/read/20131011/192/168540/sritex-jajaki-kerja-sama-pulp-dengan-afsel diakses pada Kamis, 27 Februari 2014; Pukul 21.17 WIB.
Wicaksono, Arif. APEMINDO Bahas Pembatasan Ekspor Bahan Mentah Mineral dalam http://www.tribunnews.com/bisnis/2013/12/23/apemindo-bahas-pembatasan-ekspor-bahan-mentah-mineral diakses pada Jumat, 28 Februari 2014; Pukul 22.08 WIB.
Zuhro, Siti. Prof. R., M.A.,Ph.D. Tantangan Bisnis pada Tahun Politik 2014 dalam http://www.antaranews.com/berita/409980/tantangan-bisnis-pada-tahun-politik-2014 diakses pada Jumat, 28 Februari 2014; Pukul 22.24 WIB.




[2] Pamuji Trinastiti. Sritex Jajaki Kerja Sama Pulp dengan Afsel dalam http://market.bisnis.com/read/20131011/192/168540/sritex-jajaki-kerja-sama-pulp-dengan-afsel diakses pada Kamis, 27 Februari 2014; Pukul 21.17 WIB.

[3] Pamuji Trinastiti. Ibid.,

[4] Arif Wicaksono. APEMINDO Bahas Pembatasan Ekspor Bahan Mentah Mineral dalam http://www.tribunnews.com/bisnis/2013/12/23/apemindo-bahas-pembatasan-ekspor-bahan-mentah-mineral diakses pada Jumat, 28 Februari 2014; Pukul 22.08 WIB.

[5]Prof. R. Siti Zuhro, M.A.,Ph.D. Tantangan Bisnis pada Tahun Politik 2014

 dalam http://www.antaranews.com/berita/409980/tantangan-bisnis-pada-tahun-politik-2014 diakses pada Jumat, 28 Februari 2014; Pukul 22.24 WIB.

Apa Kata Manuel Castells dan Amartya Sen tentang Identitas?



Oleh Alpiadi Prawiraningrat
Berbicara mengenai politik identitas dan kewarganegaraan selalu memiliki keterkaitan dengan dua orang akademisi yang memiliki concern terhadap tema tersebut, yaitu Manuel  Castells dan Amartya Sen.
Manuel Castells menyebutkan bahwa identitas (identity) dapat dipahami dalam tiga kategori utama, yaitu legitimate identity; resistance identity; dan project identity. Legitimate identity secara sederhana dapat dipahami sebagai identitas yang sudah absah secara legitimasi dan diakui secara internasional. Sebagai contoh adalah Kartu Tanda Penduduk (KTP), Passport, Kewarganegaraan, agama dan etnik.
Dalam konteks kewarganegaraan sendiri sebagai legitimate identity sebagai mana diungkapkan oleh Prof. Burhan Djabir Magenda, MA. Phd selaku dosen politik identitas dan kewarganegaraan bahwa dapat ditemui berbagai persoalan, di antaranya adalah state-less atau tidak memiliki kewarganegaraan seperti fenomena yang terjadi di Indonesia sekitar tahun 1966-1970-an ketika sekitar kurang lebih 400.000 orang yang mayoritas etnis Tionghoa “diputihkan” statusnya menjadi Warga Negara Indonesia (WNI). Persoalan lain tentang kewarganegaraan yaitu tentang dwi-kewarganegaraan, karena pernikahan kedua orang tua yang berbeda negara. Berdasarkan  hukum Indonesia hanya bisa dilakukan samai umur 18 tahun, setelah itu individu yang memilki dwi-kewarganegaraan tersebut harus segera menentukan atau memilih status kewarganegaraannya.
Dalam konteks etnik-pun jarang sekali negara yang berdasarkan pada etnik sebagai suatu identitas karena mayoritas negara di dunia berdasarkan pada lebih dari satu etnik atau juga multi etnik, kecuali negara Israel. Akan tetapi negara Israel-pun mengalami persoalan yang mana seperempat jumlah penduduk Israel terbagi menjadi dua yaitu murni etnik Yahudi dan percampuran dengan Arab.
Masih berkaitan dengan kewarganegaraan, perlu juga dibedakan antara warga negara sebagai individu atau kelompok yang menetap pada suatu negara tertentu dengan residents sebagai individu atau kelompok masyarakat yang hanya menetap sementara untuk urusan tertenu seperti urusan bisnis, sosial dan politik.  Residents ini juga dapat dipahami menjadi temporary residents yang menetap sementara kemudian kembali ke negaranya seperti para wisatawan dan permanent residents yang menetap cukup lama seperti para pelajar Indonesia yang berkuliah di negara asing. Dalam konteks Amerika Serikat misalnya memberikan kesempatan 5-10 tahun untuk kemudian setelah itu dapat dipertimbangkan menjadi warga negara Amerika Serikat.  Residents ini biasanya kemudian memperoleh Social Security Number (SSN) sebagai bentuk jaminan sosial dan implementasi dari sebuah negara kesejahteraan atau welfare state.
Selanjutya adalah resistance identity yang dipahami sebagai identitas yang diperjuangkan yang semula tidak diakui dan akhirnya menjadi suatu hal yang diupayakan ke absahannya. Sebagai contoh adalah kuota 30% keterwakilan perempuan di partai politik dan lembaga legislatif, daerah tertinggal dan daerah perbatasan.
Sedangkan project identity, adalah suatu identitas yang di proyeksiakan ke arah legitimate identity.  Sebagai contoh adalah perjuangan identitas seperti pernikahan sesama jenis, seprti LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual dan Trans Gender).
Lalu bagaimana dengan Amartya Sen, dalam pandanganya bahwa seseorang itu tidak memiliki identitas tunggal atau single identity, karena mereka memiliki multiple identity dalam dirinya.  Sebagai contoh adalah seoarang mahasiswa dapat memiliki berbagai identitas, sebagai laki-laki atau perempuan, etnik terntenu, agama tertentu, status yang berbeda dalam keluarga sebagai anak, adik atau kakak dan sebagainya. 
Amartya Sen juga mengungkapkan, kenapa identitas tersebut menjerumus ke arah violance. Salah satu alasan adalah karena kebanggaan terhadap fundamentalisme idententitas yang ekstrim, seperti halnya terhadap ideologi yang dipertahakannya dan bertentangan dengan masyarakat yang majemuk, sehingga tidak pelak menimbulkan permasalahan atau kejahatan. Sepeti hal-nya perilaku atau tindakan terorisme.
Dua pemaparan singkat tokoh di atas mengenai idenitas tampkanya dapat menjadi dasar atau landasan dalam memhamai identitas. Sehingga dalam pembahasan mengenai politik identitas dan kewarganegaraan nanti tidak menimbulkan persoalan dan mempermudah pemahaman.  Hal tersebut karena, pemahaman dasar tentang konsep atau teori pada suatu hal dapat menjadi acuan tentang pemahaman yang lebih luas tentang isu tersebut nantinya. Melalui tesis dua tokoh tersebut telah memberikan sumbangsih dalam khasanah pemahaman dasar tentang politik identitas dan kewarganegaraan sebelum memasuki persoalan yang lebih kompleks.

Theoretical and Comparative Considerations: Labour and the Politics of Industrialisation dalam Pemikiran Vedi Hadiz



 oleh Alpiadi Prawiraningrat
           Secara keseluruhan, tulisan Vedi Hadiz yang berjudul Theoretical and Comparative Considerations: Labour and the Politics of Industrialisation menjelaskan tentang perbedaan model  akomodasi antra negara (state), pemilik modal (capital) dan buruh (labour) berdasarkan pengalaman perkembangan industrialisasi. Yang secara keseluruhan, rangkuman pada tulisan tersebut tertera pada tabel berikut:
Tabel I.1[1]
Historical Models of Accommodation between State, capital and Labor
Model of Accommodation
Social Democratic
Populis
Exclusionary
Historical Emergence
I.Britain; II. Later European Industrialisers
Late-late Latin American industrialisers
I.     Very late industrialisers of East Asia; and of, II. Southeast Asia
Associated Social and Political Framework
Liberal Democracies
Inclusionary Corporatism
Usually Exclusionary Corporatism
Environment
I.                Laissez-faire state; independent bourgeoisie, and; II. More authoritarian and directing sates and weaker bourdeoisie.
Weak or consolodating state usually linked to landed oligarchies, but with directing role; weaker bourgeoisie, also often linked to landed oligarchies
Strong states insulated from class forces and with directing role; initially weak bourgeoisie.
Characteristics of Accommodation
Strong, independent trade union movement with representational and some mobilisational roles, but largely confined to economic realm; welfare state
Relatively strong trade union movement, medium to high level of subordination to state; representational-and mobilisational roles; politicised; improving welfare primarly for urban. Higher-skilled wprkers
Very high level of trade union subordination to state; demobilisation and control of organised labour; labour movement confined to economic realm; exploitation of cheap labour; in original NICs, subsequent improvement of welfare levels of industrial workers
Major Sources of Contradiction
Fiscal crisis of the state; dismantiling of welfare state; peripheralisation of trade unions; higher unemployment levels; flexible production system; capital mobility
Initial industrial deepening increasing state repressive tendency versus strong tradition of labour militancy
Working class maturation; in some cases, emerging independent workers movement versus state repression, surplus labour market, capital mobility, and some flexible production system
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat dipahami bahwa dalam konteks kasus di Indonesia sebagai negara di kawasan Asia Tenggara dapat dikatakan bahwa perkembangan industri sangat terlambat.  Begitupun peran dari asosiasi atau serikat buruh yang biasanya subordinasi negara. Serta dalam hal ini demobilisasi dan kontrol buruh yang terorganisir, gerakan buruh terbatas pada bidang ekonomi, eksploitasi tenaga kerja dan salah satu aspek yang menjadi perjuangan serikat buruh adalah perbaikan tingkat kesejahteraan pekerja industri.  Serta alam beberapa kasus, muncul gerakan buruh independen terhadap represi negara, pasar tenaga kerja surplus, mobilitas modal, dan beberapa sistem produksi yang fleksibel.
Hal tersebut berbeda dengan negara maju seperti Inggris dan negara-negara eropa di mana pemerintahan yang kuat, berimplikasi terhadap gerakan serikat buruh yang independen dengan representasional dan beberapa peran mobilisational. Dan tujuan gerakan sebagian besar terbatas pada bidang ekonomi dan upaya mencapai kesejahteraan pekerja.
Begitupun dengan negara di Amerika Latin, yang dapat dikatakan sebagai negara perkembangan industri akhir, yang bercirikan Korporatisme inklusi lemah atau konsolidasi negara biasanya terkait dengan oligarki dan peran borjuis yang lemah.  Begitupun dalam konteks gerakan serikat buruh yang relatif kuat, menengah sampai tingkat tinggi menjadi subordinasi negara dan memiliki peran sebagai representasional dan mobilisational dan kerap kali dipolitisasi.  Ciri khas lainnya adalah bahwa pengembangan sektor industri meningkatkan kecenderungan represif negara terhadap tradisi kuat militansi buruh.
Nampaknya, lambatnya perkembangan industri di negara Indonesia tidak dapat dilepaskan dengan konteks sejarah perkembangan politik Indonesia sendiri, terutama pada saat rezim Orde Baru Soeharto. Sebagaimana dalam tulisan Vedi Hadiz  lainnya yang berjudul “Kapitalisme, Kekuasaan Oligarkis, dan Negara di Indonesia” dalam Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto bahwa walau bagaimanapun, sistem sosial, keamanan, politik bahkan ekonomi yang berkaitan dengan industrialisasi dan perburuhan yang telah dikontruksikan oleh rezim orde baru selama lebih dari 30 tahun tidak benar-benar hilang ketika taransisi demokrasi sudah bergulir, apalagi asumsi yang muncul bahwa sistem yang telah dibangun lama dengan biaya politik yang mahal justru akan memberikan dampak terhadap arah perjalanan bangsa Indonesia di masa datang. Namun perlu kita sadari melalui karya Vedi R. Hadiz menampilkan bahwa salah satu warisan besar yang ditinggalkan oleh rezim orde baru ketika Indonesia sudah melangkah ke fase reformasi menuju demokrasi adalah terpeliharanya sebuah sistem kekuasaan oligarkis yang melindungi para elit, terutama dari tekanan kelas bawah.[2]  Oligarkis sendiri adalah sebuah bentuk pemerintahan yang kekuatan politikinya berada di tangan sekelompok kecil (minoritas) anggota masyarakat.[3]
Hal ini mengakibatkan menggambarkan semacam prematurisasi praktik kenegaraan dan pemerintahan,[4] khususnya di daerah-daerah pasca bergulirnya wacana desentralisasi. Menurut Vedi Hadiz, demokrasi baru Indonesia ini rupanya dibangun oleh apa yang disebut dengan kaum predatoris,[5] yaitu para pelaku politik lama di tingkat paling dasar dalam simpul oligarki dan primordial orde baru yang masih resisten dan terbawa arus desentralisasi sampai ke daerah-daerah. yang dipupuk di bawah sistem patronase orde baru yang luas telah berhasil menata ulang diri mereka di dalam rezim baru pasca reformasi. Melalui aliansi-aliansi baru baru mereka secara efektif telah menguasai institusi demokrasi Indonesia. Ini fenomena bangkitnya politik lokal, yang selama orde baru terbenam di lapisan terbawah sebuah sistem patronase.
Dalam literatur lain, Hipotesis Martin S. Lipset yang menjadi salah satu acuan orde baru dalam membangun fondasi ekonominya mengalami pembusukan dikarenakan keserakahan jalinan kelompok oligarki yang hidup di masa itu. Ia menilai, negara yang berhasil mencapai kehidupan demokrasi liberal yang stabil adalah bangsa-bangsa yang sudah menimati tingkat pertumbuhan tinggi seperti negara-negara Barat.[6] Negara Indonesia di bawah orde baru mencoba mengdopsi teori tersebut, namun ketika pembangunan ekonomi telah mencapai pada pertumbuhannya yang tinggi, logika kekuasaan yang sebelumnya tidak dibayangkan mulai muncul, seperti sebuah ungkapan terkenal oleh Amien Rais bahwa seseorang yang telah memimpin terlalu lama ia akan mudah mengalami ketumpulan visi, dan ini dialami oleh Soeharto. Akhirnya demokrasi liberal dan kesejahteraan yang diidam-idamkan tidak kunjung datang dan implikasi lainnya seperti yang disinggung di atas, bahwa perkembangan industri sangat terlambat dan berimplikasi pada peran dari asosiasi atau serikat buruh yang biasanya subordinasi negara. Mengakibatkan eksploitasi tenaga kerja, sehingga salah satu aspek yang menjadi perjuangan serikat buruh adalah perbaikan tingkat kesejahteraan pekerja.
Daftar Pustaka
Sumber Utama:
Hadiz, Vedi R. Workers and the State in New Order Indonesia: Theoretical and Comparative Considerations Labour and the Politics of Industrialisation.  New York: Routledge, 1997.

Sumber Refrensi:
Hadiz, Vedi R. “Desentarlisasi dan Demokrasi di Indonesia: Sebuah Kritik terhadap Perspektif Neo-Institusionalis” dalam  Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto.  Jakarta: LP3ES, 2005.
Hadiz, Vedi R. Kapitalisme, Kekuasaan Oligarkis, dan Negara di Indonesai dalam Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto/  Jakarta: LP3ES, 2005.
Hadiz, Vedi R.. Reorganizing Political Power in Indonesia: a Reconsideration of so-called ‘democratic transitions’, The Pacific Review, vol. 16 N0. 4, 2003.
Lipson, Leslie. The Democratic Civilizationn.  New York: Oxford University Press, 1964.
Mas’oed, Mohtar.  Negara, Kapital dan Demokrasi.  Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994.


[1] Vedi Hadiz. Workers and the State in New Order Indonesia: Theoretical and Comparative Considerations Labour and the Politics of Industrialisation (New York: Routledge, 1997), hlm. 36.

[2] Vedi R Hadiz. Kapitalisme, Kekuasaan Oligarkis, dan Negara di Indonesai dalam Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto (Jakarta: LP3ES, 2005), hlm. 202.
[3] Leslie Lipson. The Democratic Civilizationn (New York: Oxford University Press, 1964), hlm. 1.
[4] Vedi R Hadiz. “Desentarlisasi dan Demokrasi di Indonesia: Sebuah Kritik terhadap Perspektif Neo-Institusionalis” dalam  Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto (Jakarta: LP3ES, 2005), hlm. 284.
[5] Vedi R. Hadiz. Reorganizing Political Power in Indonesia: a Reconsideration of so-called ‘democratic transitions’, The Pacific Review, vol. 16 N0. 4 2003, hal. 591
[6] Mohtar Mas’oed.  Negara, Kapital dan Demokrasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994),  hlm. 32