Jumat, 16 Mei 2014

Relasi Bisnis dan Politik di Era Reformasi: Studi pada Kasus Korupsi dan Rent Seeking pasca Suharto*



Pendahuluan
Pemerintahan Orde Baru dapat dikenali dengan praktek kekuasaan yang sentralistik pada Suharto. Menurut Eep Saefulloh Fattah, pemerintah Orde Baru memilih model pengelolaan kekuasaan yang sentralistis dalam birokrasi dengan tujuan untuk menyokong proyek stabilisasi ekonomi dan politik secara cepat[1]. Stabilisasi politik ini pada akhirnya ditujukan untuk menopang pembangunan ekonomi yang dijadikan komando. Selain itu, Orde Baru juga ditandai dengan praktek KKN yang merajalela. Praktek korup tersebut bukan hanya melibatkan aktor-aktor politik di dalam pemerintahan, melainkan juga para pebisnis sebagai klien dari pemerintah. Sehingga, praktek KKN tersebut pada dasarnya juga berkaitan dengan relasi antara bisnis dan politik.  
Andrew Maclntyre dalam tulisannya yang berjudul, Bussines and Politics in Indonesia, melihat ada beberapa pendekatan untuk memotret pola hubungan antara pemerintah dan pemilik modal/pebisnis[2]. Salah satu pendekatan disebutkan di sana bahwa pola relasi bisnis antara pemerintah dan pebisnis pada masa Orde Baru banyak bersifat patron-klien. Dari hubungan tersebut, keuntungan dan keistimemawaan diperoleh pebisnis sebagai klien dari pemerintah. Kebijakan-kebijakan masa Orde Baru terkait ekonomi, perizinan, sumber daya alam, dan lainnya, sangat menguntungkan segelintir pebisnis, dan mengekeslusi pebisnis lainnya. Ini yang disebut oleh Natasha Hamilton Hart sebagai “particularitic inlusion”. Krisis ekonomi yang terjadi pada 1997 mengakibatkan rezim Soeharto jatuh pada 1998, dan dimulainya era reformasi di Indonesia.
Era reformasi ditandai dengan sebuah cita untuk mengubah apa yang terjadi di era Suharto. Dengan itu, maka berbagai perubahan institusional dimunculkan. Dua hal yang penting untuk dicatatkan di sini, menurut penulis, adalah pelembagaan demokratisasi dan desentralisasi.[3] Demokratisasi memiliki tujuan agar sistem politik dapat lebih terbuka dan demokratis. Artinya, setiap kelompok politik dapat menjadi input dalam pembuatan kebijakan. Sehingga setiap warga negara diasumsikan bisa terlibat dalam pembuatan keputusan politik. Sedangkan, desentralisasi memiliki tujuan utama untuk mencegah adanya kekuasaan yang tersentralisasi pada segelintir orang, yang diyakini pada akhirnya akan selalu korup. Desentralisasi sendiri memiliki beberapa asumsi, antara lain, akuntabilitas, responsiveness, partisipasi aktif warga negara.[4] Bergesernya model pengelolaan kekuasaan dari sentralistik ke desentralisasi diharapkan sesuai dengan tujuan di atas. Tujuan besarnya adalah sistem politik dapat lebih demokratis, sehingga praktek korup pada pemerintahan Suharto tidak terjadi lagi.
Namun kenyataannya, proses tersebut tidak menghasilkan harapan yang diinginkan. Pada paper ini, kita akan fokuskan pada kasus korupsi yang terjadi. Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam penanganan kasus korupsi dari tahun 2004-2014 (per 31 Maret 2014) mengalami peningkatan[5]. Berdasarkan data tersebut, dalam sepuluh tahun terakhir, meski desentralisasi diterapkan, namun tingkat korupsi tidak mengalami penurunan. Artinya, kasus KKN yang diharapkan hilang pasca Suharto lengser ternyata belum terjadi. Tingginya kasus korupsi ini penting untuk dilihat sebagai bagian dari pola relasi bisnis dan politik. Hal itu karena pada dasarnya tindakan korup merupakan persoalan sistemik yang melibatkan kepentingan ekonomi dan politik. Pada paper ini, penulis berusaha memotret relasi bisnis dan politik pada era reformasi dari fenomena yang empiris, yaitu korupsi. Maka dari itulah, dalam paper ini, penulis akan memproblematisasi tingginya kasus korupsi dalam era reformasi berkaitan dengan relasi bisnis dan politik yang sedang berjalan sekarang. Dengan itu, paper ini diharapkan dapat memotret bagaimana pola relasi bisnis dan politik pada era reformasi saat ini, dan mengapa pola itu bisa mewujud seperti itu.

Korupsi dan Rent Seeking
Sebelum membahas model pola relasi bisnis dan politik yang ada di Indonesia pada era reformasi, akan dijelaskan pada tulisan ini bagaimana mendefinisikan korupsi dan hubungannya dengan konstruksi demokrasi dan kapitalisme. Merujuk pada John Girling dalam studinya yang berjudul Corruption, Capitalism and Democracy bahwa perilaku korupsi tidak hanya melibatkan aktor yang ada dalam institusi pemerintah, tapi juga dalam cakupan yang lebih luas, seperti misalnya relasi antara pebisnis dan politisi untuk ‘berbagi’ sumber daya negara.[6]
Ungkapan Lord Acton “politics tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely” dapat ditafsirkan bahwa rezim yang otoriter rentan akan korupsi. Hal ini dikritik oleh Girling bahwa korupsi juga dapat terjadi di rezim yang demokratis. Korupsi, terjadi pada arena yang terdapat kekuasaan di dalamnya, oleh Girling kekuasaan ini ditarik ke dalam konsep yang lebih sempit yaitu hubungan kekuatan ekonomi dan politik yang menjadi basis pemerintahan yang berorientasi ke sistem kapitalis. Logika sistem politik yang demokratis dan sistem ekonomi politik yang kemudian melanggengkan korupsi dilihat dari sudut pandang sistemik.
Mengapa? Girling menyebut kekuatan ekonomi ‘berbahaya’ bagi kekuatan politik.[7] Bila kita merujuk ke konsepsi demokrasi yang berarti kebebasan, pun dalam relasi bisnis dan ekonomi demokrasi terejawantahkan dalam konsepsi lobbying dan advertising. Lobbying dan advertising ini adalah cara yang digunakan pebisnis untuk mempengaruhi kebijakan yang akan dikeluarkan oleh politisi. Di sistem pemerintahan yang berorientasi pada pasar, para pembuat kebijakan akan cenderung untuk memperhatikan kepentingan bisnis ketimbang publik. Hal ini dianggap sebagai sebuah pilihan yang rasional, karena pada sistem pemerintahan yang berorientasi pasar ekonomi yang efektif akan memperkuat sistem politik itu sendiri. Karena itu, akan selalu terbuka ruang lobbying dan advertising dari pebisnis ke politisi.
Pada kasus yang lebih ekstrem, misal Inggris di bawah pemerintahan Margareth Tatcher, tidak ada lagi society (sipil). Society dimaknai sebagai hubungan antara produsen dan konsumen yang dimediasi oleh pasar. Sehingga, kebijakan yang dikeluarkan oleh negara ditujukan untuk mengangkat business confidence[8] dan kompetisi internasional.  Sehingga pada titik ini Girling mengeluarkan argumen bahwa persoalan korupsi adalah persoalan sistemik ketimbang persoalan legal atau ilegal.
Lalu, bagaimana persoalan lobbying dan advertising oleh pebisnis ke politisi dapat dikategorisasi menjadi persoalan korupsi? Kami merujuk kepada teori rent seeking, dimana terdapat ‘pemilahan’ kebijakan mana yang akan diberlakukan, berdasarkan interaksi dengan para pebisnis. Menurut Krueger, aktivitas berburu rente ini muncul karena perbedaan lisensi yang dikeluarkan pemerintah.[9]
Sedangkan Tullock, menurunkan teori rent seeking kedalam dua aspek utama, yakni transfer cost dan competing rents. Transfer cost adalah biaya yang dikeluarkan untuk melobi kebijakan yang akan dikeluarkan oleh pejabat publik, dengan menyewa pengacara dan kampanye politik. Sedangkan competing rents adalah pihak pebisnis melobi negara untuk peraturan tertentu yang menyangkut pajak, distribusi, kuota impor, subsidi dan lain sebagainya. Pada kondisi competing rents, logika yang bermain adalah prisoner dilemmas. Pihak-pihak yang akhirnya kalah dalam berkompetisi mendapatkan rente, akan tetap mendapatkan keuntungan. Misalnya, dalam konteks pemberlakuan pajak, karena cakupan sasaran kebijakan tersebut luas bukan hanya untuk pebisnis tertentu saja. [10]
Teori rent seeking tradisional tentu tidak dapat menjawab bagaimana keterkaitan rent seeking dengan perilaku korupsi. A.K. Jain, dalam Corruption and Rent Seeking, memberikan catatan bahwa perilaku rent seeking dapat dikategorisasikan menjadi korupsi, ketika kesempatan lobby tidak ditransparansikan ke publik, jadi hanya pihak-pihak tertentu yang dapat terlibat kompetisi.[11] Tetapi, argumen ini tidak lagi relevan untuk negara otoriter yang tidak mempertimbangkan pendapat publik dalam melakukan relasi bisnis dan politik. Jain menambahkan, rent seeking dapat disebut korupsi ketika pebisnis yang melakukan lobi membayar atau memberikan uang (secara pribadi) ke pejabat publik. Lain halnya ketika pebisnis mengeluarkan cost untuk melakukan lobi, atau yang disebut dengan transfer cost seperti yang sudah dijelaskan di atas.[12]
Perilaku rent seeking yang dikategorisasikan sebagai korupsi dapat dihubungkan dengan sistem pasar yang monopoli. Sumber daya negara, dikuasai oleh pihak tertentu untuk kemudian dikompetisikan siapa yang dapat mengelola atau mendapatkan sumber daya negara tersebut. Para pembuat kebijakan, dalam konsepsi rent seeking akan meminggirkan kepemilikan publik di dalam pengalokasian sumber daya negara tersebut. Persoalan korupsi dalam kerangka rent seeking tidak dapat sekadar dipahami apakah korupsi tersebut melanggar hukum, atau legal/ilegal, karena justru pejabat publik yang menciptakan hukum atau peraturan untuk melegalkannya.

Pola Relasi Bisnis-Politik Orde Baru
Untuk melihat bagaimana pola relasi bisnis dan politik saat ini, kita tidak bisa langsung melompat pada apa yang terjadi sekarang. Penulis dalam hal ini, menggunakan pendekatan kesejarahan guna merekonstruksi bagaimana situasi dan kondisi hari ini adalah bangunan yang dibentuk dari akumulasi peristiwa sebelumnya. Untuk itu, sangat perlu kita merujuk bagaimana pola bisnis dan politik terjadi di masa Orde Baru.
Rejim Orde Baru pada dasarnya menciptakan sistem Oligarki, yang kebanyakan diisi oleh konglomerat Tionghoa, dengan pola patronase yang tersentral pada Suharto. Rejim Orde Baru ini, dengan segala kekuatannya, secara efektif menjadi pelindung dan penopang hidupnya kekuatan bisnis tersebut. Hal itu dilakukan dengan segala kemudahan yang diberikannya, baik berupa lisensi, monopoli, subsidi, maupun kucuran kredit yang longgar. Dari adanya rent yang diberikan pemerintah tersebut, kekuatan bisnis itu tumbuh dan menguasai perekonomian Indonesia. Meskipun kemudian tekanan untuk menciptakan pasar yang lebih bebas semakin kuat, yang kemudian direspon dengan kebijakan deregulasi ekonomi pada tahun 1980-an, kekuatan bisnis yang menjalin hubungan “dekat” dan “informal” dengan Orde Baru itulah yang mendapat keuntungan.  Vedi R Hadiz mengemukakan bahwa masa kekuatan ekonomi pada Orde Baru dapat dikatakan sebagai bentuk oligarki kapitalis[13].
Kekuasaan sentralistik yang dibangun Soeharo telah menciptakan oligarki yang berada dinatara kepentingan-kepentingan politis-birokratis. Dalam hal ini Soeharto dan kroni-kroninya menggunakan kekuasaan negara secara paksa demi kepentingan ‘personal’. Sesuai dengan itu, Vedi R Hadiz memberikan ciri pada Orde Baru yang setidaknya terdiri dari tiga hal, antara lain, pertama, suatu oligarki kapitalis yang mampu menguasai dan, “secara instrumental”-tidak sekadar struktural-, memanfaatkan kekuasaan negara dan lembaga-lembaganya berikut dengan kekuatan koersifnya untuk kepentingan mereka sendiri; kedua, hubungan negara dan masyarakat yang ditandai dengan disorganisasi sistematis terhadap kelompok civil society; ketiga, suatu sistem patronase yang luas dan kompleks yang dipersonifikasikan oleh Suharto sendiri dengan poros di Cendana. Sistem patronase ini menjalar dan menembus ke semua lapisan masyarakat dari Jakarta, provinsi, kabupaten, hingga ke desa-desa.[14]
Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Richard Robinson yang melihat bahwa ada hubungan patrimonial antara pemerintah dan pebisnis[15]. Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah cenderung berdasar atas kepentingan negara dan tidak paralel dengan kepentingan masyarakat. Dalam pembuatan kebijakan ada proses saling pengaruh-mempengaruhi antara birokrat dan pebisnis. Pola relasi yang dikemukakan oleh Robinson terlihat jelas dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan berdasar hubungan dengan relasi bisnis, bukan kepentingan masyarakat secara luas, melainkan pengadopsian kebijakan lebih melihat sejauh mana kebijakan tersebut dapat melindungi kepentingan sebuah kelompok tertentu (dalam hal ini pebisnis). Pola hubungan patron-klien terbentuk antara birokrat yang memegang kekuasaan dengan kelompok kepentingan (termasuk kapitalisme kroni) yang berusaha mencari rente.
Yoshihara Kunio melihat bahwa kapitalis yang hidup di Indonesia sebagai ersatz capitalism atau kapitalisme semu (bukan kapitalisme tulen, kapitalisme substitusi yang lebih inferior). Gejala ersatz capitalism disebabkan oleh dua hal, pertama, campur tangan pemerintah terlalu besar sehingga mengganggu prinsip persaingan bebas dan membuat kapitalisme tidak dinamis. Kedua, kapitalisme di Asia Tenggara tidak didasarkan perkembangan teknologi yang memadai. Akibatnya tidak terjadi industrialisasi yang mandiri. Dua faktor itu menyebabkan berkembangnya borjuasi palsu, yang selalu minta perlindungan politik demi kepentingan bisnisnya. Kunio mengatakan, para kapitalis yang mencoba menjalin hubungan dengan pemerintah demi keuntungan bisnis dapat disebut pemburu rente (rent seekers). Para kapitalis itu mencari peluang untuk menjadi penerima rente yang dapat pemerintah berikan dengan menyerahkan sumberdayanya, menawarkan proteksi, atau memberikan wewenang untuk jenis -jenis kegiatan tertentu yang diaturnya[16]



Kontinuitas Relasi Bisnis dan Politik Pasca Orde Baru
Runtuhnya rezim Orde Baru pada tahun 1998 telah membawa Indonesia memasuki babak baru demokrasi. Tuntutan untuk menjalankan sistem demokrasi menjadi agenda pertama yang harus dipenuhi oleh Pemerintah. Untuk itu kemudian berbagai perubahan institusional dijalankan. Beberapa perubahan tersebut dapat dilihat dari adanya, misalnya amandemen UUD 1945 yang mengubah sistem kekuasaan di Indonesia, adanya Pemilu multipartai, pengakuan HAM, kebebasan pers, dan perubahan lain yang cukup signifikan. Transisi demokrasi ini menjadikan sistem politik lebih terbuka dibanding dengan zaman Orde Baru.  
Proses transisi pemerintahan dari Orde Baru ke Reformasi yang dipimpin oleh Habibie diwarnai juga oleh tuntutan untuk menyelenggarakan pemerintahan yang lebih transparan dan akuntabel. Selain menghadapi tuntutan tersebut, pemerintahan masa transisi juga dihadapkan pada tantangan untuk menjaga integrasi nasional akibat adanya ketimpangan antara pusat dan daerah yang terjadi pada masa Orde Baru. Sebagai upayanya mewujudkan hal tersebut, Presiden Habibie kemudian menerapkan sistem desentralisasi yang ditandai dengan pembentukan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.[17] Penerapan sistem desentralisasi ini didasarkan pada tujuan untuk mewujudkan mekanisme good governance dari akar rumput sebagai bentuk konsekuensi dari demokratisasi. Selain itu desentralisasi juga dilaksanakan dalam rangka meningkatkan akuntabilitas dan efiseinsi pemerintahan.[18]
Desentralisasi dipandang sebagai dasar dari pembangunan demokrasi dimana setiap masyarakat memiliki kebebasan untuk menyampaikan aspirasi dan kepentingannya. Pendelegasian kekuasaan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah akan mendorong pemerintah daerah untuk menyelenggarakan public service sesuasi dengan apa yang diinginkan masyarakat setempat, seperti melalui taxation policy.[19] Hal ini akan membuka kesempatan bagi masyarakat di tingkat daerah untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan dan menyediakan pelayanan bagi kepentingan masyarakat daerah. Partisipasi yang aktif dari masyarakat ini akan mendorong terbentuknya pemerintah yang lebih akuntabel dan transparan.
            Perubahan institusional tersebut kemudian juga mempengaruhi pola bisnis dan politik di Indonesia. Natasha Hamilton Hart dalam tulisannya yang berjudul “Government and Private Business: Rents, Representation and Collective Action” menunjukan kepada kita tentang relasi bisnis dan pemerintah di Indonesia dalam konteks era reformasi.[20] Natasha menunjukan bagaimana relasi itu sedikit berubah dibandingkan masa rezim sebelumnya (Orde Baru).
Menurutnya, grup bisnis saat ini memiliki suara untuk lebih didengar oleh pemerintah dan memberikan peluang untuk lebih diakomodir kepentingannya dalam pengambilan kebijakan dibandingkan pada masa Orde Baru. Reformasi di berbagai sektor yang dijalankan, termasuk dalam hal ini sistem politik, berdampak pada kesempatan kepada pihak di luar pemerintahan untuk terlibat dalam proses politik. Kelompok bisnis kemudian menjadi salah satu agen input dalam proses politik di eksekutif atau legislatif. Sejak 1998, kelompok bisnis menjadi lebih vocal dalam mengekspresikan opininya atas kinerja pemerintah, kebijakan dan proses legislasi melalui Kamar Dagang Indonesia (Kadin). Kadang, ia juga memiliki irisan kepentingan dengan investor luar negeri, melalui agenda privatisasi, liberalisasi, dan deregulasi. Selain itu, juga dapat menekan pemerintah untuk memberikan privileges dan proteksi. Dengan demikian, maka perubahan institusional memberikan pola yang lebih terbuka bagi kelompok bisnis untuk mempengaruhi kebijakan politik secara formal.
Namun, menurut Natasha Hart terdapat pola relasi yang masih bertahan atau diwariskan dari masa sebelumnya ke masa sekarang.[21] Pola relasi yang dicirikan dengan aktor bisnis yang berusaha melindungi kepentingannya dengan menjalin relasi informal dan individu kepada aktor pemerintahan masih berjalan. Pola transaksional yang bersifat predatoris dan bersifat patron-klien masih terjadi. Ini dilakukan untuk mendapatkan rent dari pemerintah. Hal itu mirip terjadi seperti di jaman Orde Baru. Persamaan ini merupakan bentuk kontinuitas atas kondisi di jaman Orde Baru yang masih diwariskan hingga saat ini. Tepat pada titik inilah fokus penulis untuk memeriksa hubungan korupsi dengan relaasi bisnis dan politik.
Bila diperhatikan, pola hubungan yang bersifat informal dan individu ini berhubungan dengan karakter relasi patron-klien dari pebisnis ke pemerintah. Ini dilakukan pebisnis untuk mendapatkan sejumlah perlindungan, kemudahan, dan proyek yang diberikan pemerintah. Para kapitalis itu mencari peluang untuk menjadi penerima rente yang dapat pemerintah berikan dengan menyerahkan sumberdayanya, menawarkan proteksi, atau memberikan wewenang untuk jenis -jenis kegiatan tertentu yang diaturnya[22]. Praktek tersebut yang dinamakan dengan rent seeking (pemburu rente). Rente (rent) sendiri didefinisikan sebagai selisih antara nilai pasar dari suatu ‘kebaikan hati’ pemerintah dengan jumlah yang dibayar oleh si penerima kepada pemerintah dan/atau secara pribadi kepada penolongnya di pemerintahan (kalau ia tidak membayar sama sekali, maka seluruh nilai pasar adalah rente, atau lebih tepatnya, rente ekonomi)[23]
Praktek itulah yang berpola sama dengan di jaman Orde Baru dan terkait dengan pola relasi bisnis dan pemerintah saat ini, yaitu berpusat pada pemburuan rente yang dimiliki oleh pemerintah. Praktek rent seeking ini yang bertransformasi melewati perubahan rejim otoriter ke demokratis. Perilaku rent-seeking ini tidak mungkin berkembang bila tidak terjadi kerjasama saling menguntungkan antara pemburu rente di sektor ekonomi dan kaum predator pembuat kebijakan di sektor publik. Anne Osborne Krueger dalam karya klasik ‘The Political Economy of Rent Seeking Society’ menjelaskan bahwa dibutuhkannya suatu lisensi atau izin dalam kegiatan impor membuat lisensi menjadi barang yang memiliki nilai komersial. Usaha untuk mendapat lisensi inilah yang kemudian oleh Krueger disebut aktivitas rent-seeking. Sementara itu, kekuasaan yang dimiliki pemerintah untuk menentukan lisensi akan membuat lisensi itu valuable, sehingga proses pembuatan keputusan memungkinkan pihak penentu lisensi untuk menikmati juga bagian dari rent[24].
Praktek rent seeking ini merupakan akar dari kegiatan korupsi yang terjadi. Pola relasi yang individual antara pebisnis yang memburu rente, dan pemeritah yang memiliki kebijakan, dalam prosesnya banyak menghasilkan kesepakatan yang berada di luar struktur lembaga formal. Apalagi pasca Suharto jatuh, karakter elit yang predatoris tidak menghilang dengan sendirinya. Kemudahan itu yang membuat praktek gelap ini tetap subur walaupun sistem yang lebih terbuka telah dijalankan. Itu diperkuat dengan hasil studi dari Ari Kuncoro dalam tulisannya yang berjudul ‘Corruption and Business Uncertainty in Indonesia’ menjelaskan bahwa perilaku rent-seeking berfokus pada penyuapan dan market dari produk-produk regulasi pemerintah, seperti izin bisnis, inspeksi keselamatan kebakaran, kepatuhan terhadap peraturan lingkungan, penilaian pajak daerah, pemberian izin, dan inspeksi kontrak lingkungan. Hal-hal yang menjadi perilaku rent-seeking adalah lobi pemerintah untuk proyek tertentu, proteksi industrial, dan hak monopoli eksklusif[25].
            Untuk memahami bagaimana rent seeking kemudian berujung pada korupsi, dengan gamblang kita bisa mengambil salah satu ilustrasi kasus yang ada di Kabupaten Buol. Pada kasus ini korupsi dilakukan oleh Bupati Buol, Amran Batalipu, yang sudah divonis 7 tahun enam bulan penjara serta membayar denda sebesar Rp 300 juta subsider satu tahun penjara  pada 11 Februari 2013. Amran terbukti menerima Rp. 3 miliar dari pengusaha dan mantan anggota Dewan Pembina Partai Demokrat Hartati Murdaya terkait pengurusan Hak Guna Usaha (HGU) lahan perkebunan sawit. Amran menerima uang Rp. 3 miliar dari pihak PT HIP yang meminta Amran membuat surat rekomendasi izin usaha perkebunan (IUP) yang ditujukan kepada Gubernur Sulawesi Tengah, serta surat rekomendasi kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional terkait hak guna usaha (HGU) atas lahan seluas 4.500 hektar milik PT CCM/PT HIP.[26] Pola perburuan atas lisensi ini adalah bentuk dari rent seeking, dan kemudian menjadi korupsi saat itu dilakukan di luar arena formal dan publik, dan juga adanya sejumlah uang yang diberikan dalam proses lobi. Bentuk seperti ini yang umumnya terjadi dalam pola korupsi di era reformasi. Data korupsi yang terjadi selama sepuluh terakhir menunjukan bahwa menurut perkaranya, korupsi terbesar dilakukan karena adanya penyuapan (170 kasus), pengadaan barang dan jasa (115 kasus), pungutan (14 kasus) dan perijinan (13 kasus).[27]
Untuk melihat bahwa korupsi tersebut merupakan bagian dari rent seeking, kita bisa melihat bagaimana konsepsi yag diajukan oleh A.K. Jain bahwa essensi rent seeking menjadi korupsi saat; dilakukan di luar hubungan publik dan formal, pebisnis yang melakukan lobi membayar atau memberikan uang (secara pribadi) ke pejabat publik, dan berkaitan dengan monopoli atas suatu sumber daya.[28] Pemberian uang tersebut berkaitan untuk mendapatkan sejumlah rent yang merupakan produk kebijakan politik.
            Pasca reformasi ditandai dengan adanya pergeseran relasi kekuasaan dari pusat ke daerah melalui kebijakan desentralisasi. Desentralisasi ini memberikan akses pada masyarakat lokal untuk mengelola sumber dayanya secara mandiri. Dengan itu, maka beberapa kewenangan berpindah ke Daerah. Hal ini kemudian berimplikasi juga pada latar baru bagi pentas korupsi di tingkat lokal. Bisa dilihat dari mulai diberlakukannya desentralisasi hingga saat ini sudah terdapat kurang lebih 365 kasus korupsi. Data dari Kementrian Dalam Negeri menunjukan bahwa sejak dilakukan Pilkada langsung pada 2005 hingga Desember 2013 ini, tercatat sebanyak 311 dari 530 kepala daerah terjerat kasus hukum, 86 persen di antaranya kasus korupsi.[29]
Hal ini menunjukan bahwa terjadi pergeseran dalam relasi kekuasaan, juga pergeseran peta korupsi yang dulunya tersentralisasi kemudian berkembang menjadi terfragmentasi ketingkatan-tingkatan yang lebih kecil. Namun hal ini tidak mengubah pola relasi bisnis dan politik yang terjadi di Indonesia, yaitu masih terdapat beberapa kesamaan relasi bisnis dan politik yang terjadi pada masa Orde Baru dan reformasi, yaitu rent seeking.Pola sebaran korupsi ini bisa dilihat dari tabel berikut:
 
       Pergeseran pola korupsi tersebut, tidak hanya di eksekutif dan legislatif pusat, tetapi juga ke Daerah, menunjukan bahwa relasi bisnis dan politik yang berbentuk rent seeking juga berubah. Saat Orde Baru dulu terpusat pada Suharto, dengan jatuhnya Orde Baru dan adanya desentralisasi, maka rent seeking juga berpindah ke Daerah selain yang di pusat. Hal ini berhubungan dengan beralihnya beberapa kewenangan ke daerah. Sehingga beberapa perijinan, seperti ijin pertambangan, lisensi lahan, dan hak guna usaha atas sumber daya alam beralih ke Daerah. Itu yang berdampak pada pergeseran peta rent seeking dan korupsi di era reformasi sekarang.
            Dampak dari itu kemudian juga berhubungan dengan pelaku korupsi itu sendiri. Aktor korupsi tidak hanya terpusat pada satu kekuatan bisnis, sebagaimana Suharto dulu. Data pelaku korupsi berdasarkan jabatannya menunjukan bahwa korupsi saat ini tidak terpusat dan aktivitas rent seeking juga demikian. 

Kemudian, bila pola relasi bisnis yang berbentuk rent seeking dapat bertransformasi dari jaman Orde Baru ke era reformasi saat ini, tentu dengan sedikit perubahannya, maka menjadi sebuah pertanyaaan mengapa itu bisa terjadi. Hal ini akan dijawab dalam argumentasi di bawah ini.


Sebuah Konsolidasi (Kembali)
            Sebelum kita memahami relasi bisnis dan politik yang terjadi pasca reformasi, kita perlu melihat bagaimana kondisi bisnis pasca krisis ekonomi dan kemampuannya untuk dapat bertahan. Hal ini berhubungan dengan peta kekuatan bisnis pasca krisis ekonomi dan Suharto lengser. Selain itu, sangat penting untuk dilihat bagaimana pengaruh perubahan institusional, minimal pada desentralisasi dan demokratisasi, pada relasi tersebut. Perpaduan dari kedua hal tersebut, kemudian dapat membantu kita untuk bisa melihat bagaimana relasi bisnis dan politik di era pasca reformasi berwujud. Dari itu pula, kita akan mendapatkan jawaban secara struktural mengapa pola relasi bisnis dan politik bisa terbentuk seperti sekarang, yang itu sebenarnya mirip dengan masa Orde Baru.      
            Argumentasi pertama yang sangat penting dilihat dari ini adalah adanya reorganisasi aktor-aktor bisnis pada jaman Orde Baru. Mereka pada dasarnya tidak mati setelah krisis ekonomi terjadi, namun bertransfromasi dengan situasi politik saat ini untuk tetap menguasai sumber daya ekonomi. Cerita mengenai itu dimulai pada Juli 1997, saat kerapuhan ekonomi dan politik di Indonesia tak bisa dihindarkan lagi. Utang luar negeri sektor swasta, yang awalnya sekitar 54 milar dolar US meningkat menjadi lebih dari 81 miliar dolar US. Dari utang tersebut lebih dari 34 miliar dolar US  jatuh tempo pada 1998.[1] Selain itu, terjadi pelarian besar-besaran investor domestik dari Indonesia terjadi. Di sisi lain bisnis swasta mulai gagal bayar terhadap utang-utang mereka. Dengan itu, maka Bank mulai goyah karena dibebani kredit macet yang tak tertanggung, sehingga mereka kemudian tidak bisa menyediakan kredit. Lebih dari itu, pemerintah juga dengan cepat kehabisan uang. Situasi tersebut kemudian membuat krisis ekonomi berdampak pada perekonomian dan politik Indonesia.
             Efek terbesar dari krisis ekonomi pada 1997 adalah jatuhnya Suharto yang secara politik kemudian berdampak pada relasi bisnis di sekitarnya. Dengan itu, maka kekuatan ekonomi yang dulunya berada di bawah komandonya ikut tercerai berai. Saat situasi krisis terjadi dan sebelum Suharto turun, langkah penyelamatan atasnya dilakukan dengan mengundang IMF. Tujuannya adalah untuk mendapatkan kucuran dana sebesar 43 miliar dolar US. Namun hal itu petaka baru bagi konglomerat di sekitar Suharto. Kesepakatan dengan IMF membuat adanya penangguhan atau pembatalan proyek-proyek besar pemerintah, penghapusan monopoli perdangan negara, seperti terigu, kedelai, dan cengkeh, dan penutupan bank yang tidak likuid.[2] Selain itu, juga adanya restrukturisasi dan rekapitalisasi perbankan. Dari semua itu, pada hakikatnya adalah kerangka proteksi negara dan perlakuan khusus yang menopang kekuatan bisnis-politik harus dihapuskan. Inilah awalnya tercerai berainya kekuatan ekonomi.
              Menjelang 1998, hampir semua pengusaha Indonesia tidak mampu lagi membayar utang-utang mereka. Di sisi lain, Suharto sebagai patron politik yang selama ini menjadi pelindung mereka jatuh pada Mei 1998. Agenda-agenda reformasi pun dijalankan sebagai bentuk tuntutan reformasi. Menghadapi kondisi demikian, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), sebuah badan restrukturisasi perbankan, melakukan penyitaan aset-aset dari debitor dan menjualnya. Penyitaan aset ini menjadi ancaman bagi kelangsungan bisnis kekuatan konglomerat jaman Orde Baru.
Namun proses tersebut tidak berjalan mulus seperti yang diharapkan. Hal itu berasal dari resistensi yang dilakukan oleh kekuatan bisnis atas penyitaan aset mereka. Selain itu, banyak perusahaan yang tidak transparan atas asetnya, sehingga penyitaan aset sebagai jaminan utang tidak sesuai harapan. Misalnya, kelompok Salim menyerahkan aset senilai Rp. 53 triliun yang ternyata hanya bernilai Rp. 20 triliun. Dengan itu, maka pemerintah kekurangan dana yang sangat besar untuk menutupi biaya BLBI dan jaminan utang BPPN.[3] Di sisi lain, para konglomerat sambil mengulur negoisasi dengan BPPN, mereka mampu melindungi perusahaan mereka yang paling menguntungkan di sektor lain yang terbukti paling menguntungkan untuk pembayaran utang-utang mereka yang strategis, sekaligus untuk investasi baru. Seperti kelompok Salim yang mendapat uang sebesar 1,8 miliar dolar US dengan menjual kelompok Hagermeyer-nya dan mampu membeli aset di luar negeri sebesar 700 juta dolar US dan 40 persen saham Indofood.[4] Usaha tersebut dilakukan untuk mempertahankan posisi konglomerat di dunia bisnis.
            Situasi yang tidak menentu atas kondisi bisnis di Indonesia, kemudian menemukan momentumnya bagi para konglomerat untuk kembali berkuasa melalui penjualan aset mereka sebelumnya. Ini dilatar belakangi oleh kesulitan BPPN untuk menjual aset para konglomerat karena keengganan investor luar negeri untuk membeli aset-aset tersebut. Tekanan itu kemudian meningkat saat pemerintah menghadapi bunga obligasi yang meningkat menjadi Rp.77 triliun pada 2001. Di sisi lain, pemerintah menghadapi kenyataan bahwa untuk menarik investasi mengalir kembali di Indonesia, dan sektor perbankan dan dunia usaha kembali normal, maka konglomerat adalah kuncinya. Masuknya para koglomerat diyakini akan menarik para investor asing. Dari itu, pemerintah dipaksa secara struktural untuk mencabut tuntutannya, untuk berkompromi dengan merestrukturisasi utang dan mengizinkan para konglomerat untuk kembali membeli aset-asetnya. Situasi ini yang kemudian menjadi pintu masuk reorganisasi kekuatan ekonomi konglomerat jaman Orde Baru untuk berkuasa kembali hingga sekarang.
            Argumentasi di atas menunjukan bahwa kekuatan ekonomi di jaman Orde Baru, tepatnya Oligark, dapat hidup kembali pasca Suharto jatuh. Bahkan mereka tetap menjadi kekuatan bisnis  yang utama di era pasca reformasi. Hal ini misalnya dapat ditunjukan, sebagai contohnya,  Liem Sie Liong dengan anak-anak Soeharto membangun kartel untuk memonopoli industri tepung Bogasari. Selain Bogasari, Liem juga mempunyai saham besar di Krakatau Steel dan Indocement. Industri perhutanan, juga dimonopoli oleh  keluarga dan kroni Soeharto hingga saat ini dengan memainkan perijinan dan kontrak HPH yang ditutup tendernya dari publik, meskipun bermain dengan aktor birokrat yang berbeda.[5] Dengan demikian, kekuatan ekonomi tetaplah sama.
Namun, mereka kemudian dipaksa untuk mengikuti pola yang mengharuskannya beroperasi dalam suatu arena tarik menarik politik yang berbeda dengan rejim Orde Baru. Situasi tersebut berhubungan dengan pola perubahan institusional pasca reformasi. Christian Chua dalam tulisannya yang berjudul Capitalist Consolidation, Consolidated Capitalist, menunjukan bahwa perubahan institusional pasca Suharto pada awalnya ditujukan untuk mengakiri rejim yang otoritarian, sentalisasi, dan praktek KKN. Oleh karena itu kemudian dijawab dengan perubahan institusional yang meliputi, demokratisasi, desentralisasi, dan deregulasi. Namun pada akhirnya ketiga perubahan tersebut dapat dimanfaatkan kembali oleh kekuatan ekonomi di jaman Orde Baru untuk mempertahankan kekuasaannya.[6]
Kekuatan ekonomi di jaman Orde Baru menguasai demokratisasi dengan terlibat dalam partai politik, bahkan menjadi petingginya. Mereka kemudian selain menjadi pebisnis juga sebagai politisi. Partai yang memerlukan uang dalam jumlah besar untuk memenangkan kontestasi pemilu mambawa para pebisnis menjadi petinggi partai. Hal ini dapat kita lihat seperti, Alvin Lie di PAN atau Murdaya Poo di PDIP. Selain pebisnis China, pengusaha pribumi, yang dulunya mendapat support Orde Baru juga terllibat politik, seperti Jusuf Kalla sebagai ketua Golkar dan Aburizal Bakrie, juga kemudian menjadi ketua Golkar berikutnya.[7]  Di tengah era kebebasan pers dan media, mereka menguasai pers untuk mengarahkan opini publik, seperti grup Salim yang menguasai Indosiar. Juga Tomy Winata yang menguasai Radio 911, Harian Jakarta, Jakarta TV, juga majalah Pilar.[8]
Dengan desentralisasi, kekuatan ekonomi ini berubah lokus patron-klien-nya. Kekuatan ekonomi ini beralih pada relasi patronase yang terdesentralisasi. Hal ini mengikuti juga dengan pola beralihnya sebagian kekuasaan yang ke Daerah. Apalagi karena adanya Pemilukada yang membutuhkan uang sangat banyak untuk kontestasi. Keterlibatan inipun bisa secara langsung maupun tidak langsung.[9] Kemudian, dengan deregulasi, mereka tetaplah yag paling untung karena merupakan kekuatan ekonomi yang paling kuat. Sehingga, saat pengaturan dibebaskan di pasar, mereka telah menguasai pasar tersebut. Seperti, pemilik grup Salim yang tetap menjadi produsen terigu palig besar dengan Bogasarinya.[10]
Perubahan strategi dengan memanfaatkan perubahan institusional ini membuat kekuatan ekonomi di jaman Orde Baru tetap bertahan dan menjadi pemain utama dalam perekonomian sekarang. Aktor ini menjadi penting dalam mempengaruhi pola relasi bisnis dan politik yang bertahan saat ini. Karena mereka dulunya dibesarkan dengan pola patronase secara terpusat di masa Orde Baru, maka pola itu sekarang berubah dengan menjadi lebih terdesentralisasi. Namun, pola relasi bisnis-politik tidak banyak berubah. Transformasi bentuk rent seeking adalah buktinya.
            Argumentasi kedua, ketidakmunculan kapitalis baru yang cukup signigfikan sebagai kekuatan ekonomi baru. Hal ini berhubungan dengan dampak dari faktor pertama ditambah dengan adanya desentralisasi. Itu yang kemudian membuat tipe baru kapitalis yang lebih produktif tidak muncul. Kemudian, bila itu muncul pun, tidak menjadi kekuatan yang utama. Studi Ahmad Rizal Shidiq, dalam artikelnya yang berjudul Decentralization and Rent Seeking in Indonesia, menunjukan pola yang demikian. Menurutnya, desentralisasi membuat rent based on transfer berpindah dari pemerintahan pusaat ke pemerintahan Daerah. Dari itu, kemudian mengubah struktur ekonomi di tingkat Daerah, sekaligus mengubah pola rent seeking di tingkat lokal. Tidak hadirnya kapitalis baru yang signifikan ini, dikarenakan oleh tiga hal, antara lain, pertama, adanya tendensi elit politik lokal lebih banyak mengundang investasi pada kapitalis lama yang telah mapan, yang itu adalah bagian dari Orde Baru. Hal itu berhubungan dengan tuntutan pemerintah daerah harus memiliki pemasukan sendiri. Oleh karena itu, kemudian mereka memberikan perizina, lisensi atau keringanan pajak. Kedua, adanya tendensi pemerintah lokal untuk lebih inklusi pada aktor ekonomi, namun lebih banyak pada aktor ekonomi informal, seperti perjudian dan illegal logging untuk kepentingan dirinya. Ketiga, pemerintah lokal lebih banyak menginisiasi bisnis melalui Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).[11]        
            Di sisi lain, adanya desentralisasi juga mendukung ketidakmunculan itu, karena didasarkan pada biaya mengorganisasikan rents based on transfer baru yang lebih mahal. Hal itu karena lemahnya koordinasi antara pusat dan Daerah, sehinngga pebisnis harus melewati proses perizinan yang lebih panjang. Juga, tendensi dari struktur yang memungkinkan pola relasi yang lebih banyak bersifat klientelis patron-klien dianntara pebisnis dan pemerintah.[12] Hal itu yang kemdian menambah biaya produksi.     
Argumentasi ketiga, satu hal yang menjadi keuntungan bagi kekuatan ekonomi lama tersebut, bahwa aparatur negara yang masih didominasi oleh hubungan-hubungan kekuasaan yang predatoris, serta beberapa tokohnya baik nasional dan lokal yang berwatak sama. Adapun karakteristik dari rezim predatoris tersebut adalah terjadinya hubungan klientelisme yakni perselingkuhan bisnis dan politik karena basis ekonomi yang lemah dan penguasaan hasil sumber daya yang dikuasai oleh segelintir elite. Meskipun reformasi dijalankan, menurut Vedi R Hadiz, elemen-elemennya telah menata kembali diri mereka dalam jaringan patronase baru yang bersifat desentralistik, lebih cair, dan saling bersaing satu sama lain.[13] Pola kontinuitas ini yang menjadi warisan Orde Baru dan kemudian mempengaruhi pola relasi bisnis dan politik di masa reformasi.
Kekuatan predatoris, Hadiz merujuk pada Peter Evans, adalah pejabat publik (baik individu atau mengacu pada bentuk korporatis) yang menguasai sumber daya negara untuk kepentingan pribadi dan/atau kerabatnya.[14] Peter Evans, dalam studinya yang berjudul Predatory, Developmental, and Other Apparatuses:A Comparative Political Economy Perspective on the Third World State menyebut keberadaan kekuatan predoris erat hubungannya dengan keberadaan birokrasi yang patrimonial, bila merujuk pada teori birokrasi ideal-non ideal Max Weber.[15]
Evans menyebut keterlibatan pebisnis yang mempunyai hubungan dekat dengan para birokrat dan politisi, yang kemudian mengaitkannya dengan konsepsi rent seeking. Evans, menyebut rent seeking adalah sebagai bentuk korupsi karena akhirnya investasi yang tinggi dan sumber daya yang banyak milik negara tidak teralokasikan untuk keperluan warga negara, tetapi masuk ke aparatus negara dan kerabatnya. Perilaku aparatus negara ini, seperti yang sudah disebutkan di atas, erat hubungannya dengan model birokrasi yang patrimonial. Kekuatan predatoris adalah kekuatan yang ‘incumbent’ dalam birokrasi, yang di dalamnya memperebutkan rente. Kekuatan predatoris ini dapat langgeng karena mereka mempunyai kuasa dalam membuat dan mengeluarkan lisensi, mengatur pajak, subsidi dan lain sebagainya.
Argumentasi keempat, berhubungan dengan perubahan institusional yang didasarkan pada paradigma neo-institusionalisme, yang pada dasarnya mengabaikan relasi kuasa dalam teritori politik tertentu dan mengalihkannya hanya pada persoalan pilihan rasional. Neo institusionalisme adalah aliran pemikiran pembangunan yang bermaksud menjelaskan sejarah, keberadaan, dan fungsi dari berbagai macam institusi (pemerintah, hukum, pasar, keluarga, dan sebagainya berdasarkan asumsi teori ekonomi neoliberal.[16] Beberapa kebijakan yang mencerminkan pendekatan ini antara lain, desentralisasi, demokratisasi, good governance, penguatan civil society, dan social capital. Premis utama yang dipakai neo-institusionalis tentang desentralisasi adalah negara-negara dapat bereksperimen dengan desentralisasi (dan kebijakan lainnya) yang paling sesuai dengan keadaan negara itu sendiri. Dari premis ini, dapat ditarik logika anti politik, bahwa politik hanya trigger awal ke arah desentralisasi. Kebijakan teknokratik yang telah dibangun hati-hati hanya akan dirusak oleh kepentingan-kepentingan yang muncul. Padahal, perlu dicatat persoalan sebenarnya bukan saja persoalan kebijakan-kebijakan tepat manakah yang perlu diambil, tapi desentralisasi sarat akan perebutan kepentingan—sesuai dengan entitas aslinya bentuk khusus pendistribusian kekuasaan. Logika antipolitik, secara implisit menuju logika antidemokrasi—artinya perspektif neo-institusionalis hanya menerima demokrasi sejauh para teknokrat dapat menjalankan kebijakan-kebijakan yang diambilnya dengan baik, tanpa menyertakan kepentingan-kepentingan kelompok lain—atas nama good governance.
Hadiz mengkritik bahwa asumsi tentang adanya serangkaian kepentingan fundamental dari civil society tidak mempunyai dasar empiris yang kuat, dan untuk memelihara civil society yang sehat diperlukan modal sosial yang kuat. Karena pada kenyataannya, justru banyak civil society yang sangat anti-demokrasi dan anti-pasar, konteks ini dapat diartikan bahwa banyaknya kepentingan yang berbeda-beda dari civil society itu sendiri. ‘Jaringan dinamis’ dari civil society akan terdiri dari berbagai entitas yang bertentangan satu sama lain. Perspektif neo-institusionalis hanya ‘berkhayal’ akan gambaran desentralisasi yang sehat secara teknokratis, dan melupakan bahwa sesungguhnya proses demokrasi adalah hasil dari berbagai kepentingan sosial.
Persoalan fundamentalnya adalah, desentralisasi mungkin lebih mencerminkan konstelasi kekuasaan tertentu dibanding tujuan kebaikan bersama yang dibayangkan. Contohnya, timbul pertanyaan, apakah desentralisasi keuangan akan berimplikasi pada korupsi yang lebih besar atau sedikit, apakah alokasi sumberdaya akan efisien atau tidak. Kenyataannya, dalam konteks Indonesia, persoalan tidak sesederhana pembagian kepentingan kerja lokal dan pusat. Yang terjadi adalah perebutan kepentingan dan sumber daya, bagaimana elite-elite lokal mengambil alih langsung atas kontrol sumber daya yang selama ini dipegang oleh pusat.
Hadiz banyak mengulang-ulang, bahwa persoalan utamanya bukanlah desain yang salah dari proses desentralisasi itu sendiri atau karena kurangnya komitmen untuk menetapkan desentralisasi. Pada kasus Indonesia, persoalan timbul karena adanya konstelasi kekuasaan predatoris sisa-sisa Orde Baru. Dalam desentralisasi, patronase politik lebih terlokalkan, oleh karena itu kekuatan akan lebih banyak dan otonom dari pusat, dibandingkan pada masa Soeharto. Dalam bahasa lain, elemen-elemen itu tetap hidup dengan jaringan patronase baru yang bersifat desentralistik, lebih cair, dan saling bersaing satu sama lain
Kelemahan penggunaan pendekatan neo-institusional tersebut yang kemudian hanya melihat bahwa perubahan institusional akan mengubah relasi kuasa, namun dalam kenyataannya tidak sesederhana itu. Pengabaian yang besar untuk memperhatikan pola relasi kuasa dalam proses refromasi memiliki dampak bahwa pola relasi bisnis dan politik dari Orde Baru ke refromasi berjalan secara kontinuitas.
Penutup
            Dengan argumentasi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pola relasi bisnis dan politik di era reformasi saat ini, di satu sisi lebih terbuka, namun di sisi lain juga berbentuk rent seeking. Pola bisnis dan politik yang berbentuk rent seeking ini, merupakan transformasi dari pola bisnis dan politik di era Orde Baru. Penjelasan dari adanya transformasi pola bisnis dan politik yang berbentuk rent seeking ini menjadi akar dari korupsi yang masih marak pada era desentralisasi dan demokratisasi. Penjelasan melalui rent seeking tersebut yang menjadi dasar bagaimana pola korupsi terjadi di masa sekarang.  
Pola rent seeking yang ada kemudian dapat dikategorisasikan menjadi korupsi, karena para pemburu rente ini akhirnya menggunakan sebagian besar sumber daya negara dengan memonopoli untuk kepentingan pribadi dan kerabatnya. Selain itu, dilakukan di luar hubungan publik dan formal, pebisnis yang melakukan lobi membayar atau memberikan uang (secara pribadi) ke pejabat publik, dan berkaitan dengan monopoli atas suatu sumber daya.
            Namun demikian, karena pengaruh perubahan institusional sebagai akibat dari proses refromasi, membuat pola rent seeking sedikit berbeda dengan apa yang terjadi di masa Orde Baru. Pasca adanya desentralisasi dan demokratisasi, pebisnis menggunakan perubahan institusional tersebut untuk dapat bertahan hidup. Akibatnya, pola rent seeking lebih tersebar, terdesentralisasi, dan tidak hanya berlaku di tataran pusat.
Argumentasi mengapa pola tersebut dapat bertahan dari Orde Baru ke era reformasi, menurut penulis, setidaknya terdiri dari empat hal, antara lain, pertama kekuatan struktural yang menguasai perekonomian saat ini relatif masih sama dengan kekuatan yang berkembang dan ada di Orde Baru. Para aktor ekonomi jaman Orde Baru ini bertransformasi dengan memanfaatkan perubahan institusional untuk bertahan hidup. Kedua, tidak munculnya kapitalis baru yang diakibatkan oleh dominannya kekuatan ekonomi yang lama dan desentralisasi. Ketiga, pola hubungan-hubungan kekuasaan yang predatoris, serta beberapa tokohnya baik nasional dan lokal yang berwatak sama. Keempat, pendekatan yang digubakan untuk menjalankan perubahan pasca reformasi menggunakan neo-institusionalisme yang mengabaikan relasi kuasa diantara aktor ekonomi-politik. Perpaduan dari keempat hal tersebut yang kemudian memuluskan bentuk kontinuitas atas relasi yang dulu terbangun di masa Orde Baru. Dengan itu maka, pola relasi bisnis dan politk yang berbentuk rent seeking dapat dipertahankan.

Daftar Puskata
Chua, Christian. “Capitalist Consolidation, Consolidated Capitalist: Indonesia’s  Conglomerates
between Authoritarianism and Democracy” dalam Mareo Bunte and Andreas Ufen (ed). Democratization in Post-Soeharto  Indonesia. Oxford: Routledge. 2009
Evans, Peter. “Predatory, Developmental, and Other Apparatuses: A Comparative Political
Economy Perspective on the Third World State”, Sociological Forum, Vol. 4, No. 4, Special Issue: Comparative National Development: Theory and Facts for the 1990s. (Dec., 1989),
Fatah, Eep Saefulloh. Bangsa Saya yang Menyebalkan: Catatan tentang Kekuasaan yang
Pongah. Bandung: Rosdakarya, 1998.
Girling, John. Corruption, Capitalism, and Democracy. London and New York: Routledge. 1997
Green, Keith. Decentralization and Good Governance : The Case in Indonesia. Munich:
Personal RePEc Archive Paper. 2005.
Hadiz, Vedi R. Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca Soeharto. Jakarta:
LP3ES, 2005.
Hart, Natasha Hamilton. “Government and Private Business: Rents, Representation and
Collective Action” dalam R. H Mcleod and A. MacIntyre (ed), Indonesia: Democracy, and the Promise of Good Governance. ISEAS. 2007
Krueger, Anne O. “The Political Economy of the Rent Seeking Society”, The American
Economic Review, Vol 46 No. 3, Juni 1974
Kunio, Yoshihara. Kapitalisme Semu Asia Tenggara. Jakarta : Penerbit LP3ES. 1991
Kuncoro, Ari. “Corruption and Business Uncertainty in Indonesia, ASEAN Economic Bulletin,
Vol. 23, No. 1, Riding Along a Bumpy Road: Indonesian Economy in an Emerging Democratic Era (April 2006), 
Kuncoro, Ari. “Decentralization and Corruption in Indonesia: Manufacturing Firm Survival
under Decentralization”. Working Paper. Vol. 2006-25. Desember 2006.
Lambsdorf, Johann Graf. “Corruption and Rent Seeking”, Public Choice, Vol 13. No. 1/ 2,
Oktober 2002,
Maclntyre, Andrew. Bussines and Politics in Indonesia. Sydney: Allen and Unwin, 1991
Shidiq, Akhmad Rizal. “Decentralisation and Rent-Seeking in Indonesia”, Ekonomi dan
Keuangan Indonesia, Vol. 51 2, 2003.
Rahman, Erna Zetha. Pencari Rente dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia, Tesis Gelar
Magister Bidang Ilmu Ekonomi Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia, 1997.
Robison, Richard and Vedi R Hadiz. Reorganizing Power in Indonesia: The Politic of Oligarchy
in an Age of Market. London and New York: Routledge. 2004.
Aribowo, Legislatif Rente : Persekongkolan Politik Kepala Daerah – DPRD Sebagai Dasar
Penyebab KKN di Jawa Timur, Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga, http://journal.unair.ac.id/filerPDF/03_aribowo_LEGISLATIF.pdf
“Korupsi di Kabupaten Buol”, diunduh dari
http://infokorupsi.com/id/geokorupsi.php?ac=326&l=kabupaten-buol diakses pada 4 Mei  2014 pukul 11.55 WIB
“Pilkada Pesta Korupsi Kepala Daerah”, diunduh dari
“Rekapitulasi Penindakan Pidana Korupsi”, diunduh dari http://acch.kpk.go.id/statistik diakses
pada 6 Mei 2014 pukul 13.00 WIB
“Statistik Penanganan Tindak Pidana Korupsi berdasarkan Jenis Perkara”, diunduh dari 






*Disampaikan pada persentasi mata kuliah Bisnis dan Politik oleh 
Daya Cipta S.; Dicky D. Ananta; Vany Ajis, Wiwied K; Zahrowati Adqiyah
[1] Vedi R Hadiz, ibid. hlm. 139
[2] Ibid. hlm. 140
[3] Richard Robison and Vedi R Hadiz, Reorganizing Power in Indonesia: The Politic of Oligarchy in an Age of Market, (London and New York: Routledge, 2004), p. 197
[4] Ibid. p. 200
[5] Richard Robison and Vedi R Hadiz, op.cit. p. 203
[6] Christian Chua, “Capitalist Consolidation, Consolidated Capitalist: Indonesia’s  Conglomerates between Authoritarianism and Democracy” dalam Mareo Bunte and Andreas Ufen (ed). Democratization in Post-Soeharto  Indonesia. Oxford: Routledge. 2009. p. 201-225.
[7] Ibid. p.214
[8] Ibid. p.. 215
[9] Ibid. p.217-218
[10] Ibid. p. 219
[11]  Ahmad Rizal Shidiq, op.cit. p. 196-198
[12] Ibid. p. 198
[13] Vedi R Hadiz, Dinamika Kekuasaan, ibid. hlm. 244
[14] Ibid, hlm. 253
[15] Peter Evans, “Predatory, Developmental, and Other Apparatuses: A Comparative Political Economy Perspective on the Third World State”, Sociological Forum, Vol. 4, No. 4, Special Issue: Comparative National Development: Theory and Facts for the 1990s. (Dec., 1989), pp. 567  
[16] Vedi R Hadiz, op.cit. hlm. 272


[1]Eep Saefulloh Fatah, “Bangsa Saya yang Menyebalkan: Catatan tentang Kekuasaan yang Pongah,” Bandung: Rosdakarya, 1998, hlm. 20
[2]Andrew Maclntyre, Bussines and Politics in Indonesia, Sydney:Allen and Unwin, 1991, p. 10
[3]
[4] Vedi R. Hadiz, Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca Soeharto, Jakarta: LP3ES, 2005. hlm hlm. 290-292
[5] “Rekapitulasi Penindakan Pidana Korupsi”, diunduh dari http://acch.kpk.go.id/statistik diakses pada 6 Mei 2014 pukul 13.00 WIB
[6] John Girling, Corruption, Capitalism, and Democracy, (London and New York: Routledge, 1997)
[7] Ibid. p. 7
[8] Ibid. p. 21
[9] Anne O. Krueger, “The Political Economy of the Rent Seeking Society”, The American Economic Review, Vol 46 No. 3, Juni 1974. p. 292
[10] Gordon Tullock,  dalam Johann Graf Lambsdorf, “Corruption and Rent Seeking”, Public Choice, Vol 13. No. 1/ 2, Oktober 2002, p. 99-100
[11] A. K. Jain, dalam Johann Graf Lambdorf, ibid, p. 104
[12] Ibid. p. 106
[13] Vedi R. Hadiz, op.cit.. hlm. 259
[14] Ibid.
[15]Andrew Maclntyre, op.cit, p. 15
[16] Yoshihara Kunio, Kapitalisme Semu Asia Tenggara, Jakarta : Penerbit LP3ES, 1991, Hal. 93-95
[17]Akhmad Rizal Shidiq, “Decentralisation and Rent-Seeking in Indonesia”, Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Vol. 51 2, 2003. p 178.
[18] Keith Green, 2005, Decentralization and Good Governance : The Case in Indonesia, (Munich: Personal RePEc Archive Paper, 2005), p. 2
[19] Shidiq, Op. Cit., hlm. 180.
[20] Natasha Hamilton Hart, “Government and Private Business: Rents, Representation and Collective Action” dalam R. H Mcleod and A. MacIntyre (ed), Indonesia: Democracy, and the Promise of Good Governance. ISEAS. 2007. 
[21] Ibid. p. 99
[22] Aribowo, Legislatif Rente : Persekongkolan Politik Kepala Daerah – DPRD Sebagai Dasar Penyebab KKN di Jawa Timur, Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga, http://journal.unair.ac.id/filerPDF/03_aribowo_LEGISLATIF.pdf Hal. 2
[23] Yoshihara Kunio, ibid., hlm. 93
[24] Erna Zetha Rahman, Pencari Rente dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia, Tesis Gelar Magister Bidang Ilmu Ekonomi Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia, 1997. hlm. 15
[25] Ari Kuncoro, Corruption and Business Uncertainty in Indonesia, ASEAN Economic Bulletin, Vol. 23, No. 1, Riding Along a Bumpy Road: Indonesian Economy in an Emerging Democratic Era (April 2006),  Hal. 11
[26] Kumpulan berita mengenai kasus ini bisa dilihat dalam “Korupsi di Kabupaten Buol”, diunduh dari http://infokorupsi.com/id/geo-korupsi.php?ac=326&l=kabupaten-buol diakses pada 4 Mei  2014 pukul 11.55 WIB
[27] “Statistik Penanganan Tindak Pidana Korupsi berdasarkan Jenis Perkara”, diunduh dari  http://acch.kpk.go.id/statistik-penanganan-tindak-pidana-korupsi-berdasarkan-jenis-perkara diakses pada 5 Mei 2014 pukul 16.20 WIB
[28] Jain dalam Johann Graf Lambsdorf, op.cit. p. 104-106
[29] “Pilkada Pesta Korupsi Kepala Daerah”, diunduh dari http://daerah.sindonews.com/read/2013/12/31/107/822446/pilkada-pesta-korupsi-kepala-daerah diakses pada 5 Mei 2014 pukul 19.30 WIB.