Jumat, 17 Mei 2013

“Tantangan Globalisasi dalam Kebijakan Knowledge-Based Economy (KBE) Singapura”


oleh: Alpiadi Prawiraningrat
Artikel  Landa Low yang berjudul Globalisation and the Political Economy of Singapore’s Policy on Foreign Talent and High Skillsmerupakan sebuah tulisan yang berisikan tentang analisa terhadap kebijakan ekonomi Singapura dalam menghadapi globalisasi.  Tulisan ini memaparkan bagaimana Singapura mencoba menerapkan suatu kebijakan yang membuka kesempatan kepada para tenaga kerja asing profesional untuk bekerja dan mengimplementasikan keahliannya di Singapura. Penulis mengajak pembaca untuk mendiskusikan mengenai beberapa hal utama, yaituBagaimanakah implementasi kebijakan negara Singapura dalam menghadapi globalisasi? dan Apakah hambatan serta tantangan yang dihadapi Singapura dalam mengimplemetasikan kebijakan tersebut?
Singapura dikenal sebagai negara yang memiliki potensi yang sangat besar dalam bidang bisnis.  Ekonomi negara Singapura dianggap sebagai yang terbaik dalam sektor keuangan.[1] Ribuan karyawan menjalankan peran dan kontribusinya, baik di perusahaan-perusahaan multinasional yang memberikan akses Singapura kepada peta persaingan global, sistem ekonomi pasar dikembangkan dengan sangat baik dalam bidang ekspor dan impor, karena di dukung lokasinya yang strategis dan perannya sebagai negara pelabuhan, yang merupakan salah satu pelabuhan tersibuk di dunia yang juga mempunyai peran sebagai pusat perdagangan foreign exchange (penukaran mata uang asing) terbesar keempat setelah London, Tokyo dan New York.[2]
Posisi dan peran Singapura yang sangat vibrant dalam perekonomian baik di kawasan regional ASEAN maupun di dunia internasional telah menjadikannya masuk dalam daftar Empat macan Asia yang mengatur pasar di Asia bersama dengan Hong Kong, Korea Selatan dan Taiwan, yang dihasilkan dari produk industri berkualitas tinggi sebagai penopang utama ekonomi Singapura dengan industri manufaktur di seluruh bidang elektronik yang menyumbang hampir 26% terhadap GDP negara Singapura.[3]
Singapura juga mempekerjakan ribuan tenaga ahli dari seluruh dunia. Tidak heran, berbagai kebijakan ekonomi yang dicanangkan pemerintah Singapura salah satunya adalah Knowledge-Based Economy (KBE) yang diimplementasikan dengan memberikan akses kepada masyarakat asing dengan melakukan pencarian kompetensi tenaga kerja yang dapat diasimilasikan dengan keterampilan masyarakat lokal Singapura, sehingga dapat memberikan dampak positif terhadap perkembangan ekonomi Singapura sendiri. 
Kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh Singapura tersebut tidak dapat terlepas dari tantangan globalisasi.  Singapura sebagai negara kecil dengan populasi masyarakat yang rendah mengharuskan dirinya untuk membuka akses besar terhadap masyarakat asing untuk masuk dan ikut serta berkontribusi dalam membangun perekonomian Singapura. Menuju Knowledge-Based Economy (KBE) Singapura telah berjuang untuk melakukan berbagai upaya, baik dalam bidang perdagangan sebagai komoditi utama negara, investasi asing dan pariwisata demi mempertahankan posisi Singapura dalam pergaulan globalisasi yang didasarkan atas produktivitas industri dalam negeri, pasokan dan pengiriman barang-barang melalui kegiatan ekspor impor khususnya bidang teknologi tinggi.
Namun, bagi Singapura untuk bertahan dalam persaingan globalisasi dan menjadikan ekonomi didasarkan pada modal intelektual memerlukan transformasi besar dalam pola pikir dan budaya. Sebagaimana kita ketahui  bahwa dominasi ekonomi dan politik rezim Partai Aksi Rakyat atau Peoples Action Party (PAP) sejak tahun 1959 telah menghasilkan kesuksesan di bidang ekonomi melalui dominasi politik yang selalu dilakukan oleh partai tersebut.
Dalam perjalanannya, sebetulnya Singapura telah relatif berhasil mengembangkan sumber daya manusia (SDM) dengan menggabungkan sistem pendidikan yang modern, pelatihan keterampilan informal yang terus menerus diperbaharui dan disesuaikan dengan kebutuhan jaman, serta keterbukaan akses informasi dalam bidang ekonomi guna meningkatkan partisipasi yang mendorong produktivitas masyarakat Singapura.[4]  Namun demikian, Singapura memiliki tantangan untuk memiliki tenaga kerja profesional dan teknisi terampil untuk menyerap, mengolah dan menerapkan pengetahuan dan menerapkanya sebagai upaya menciptakan perekonomian Singapura yang didasarkan atas pengetahuan atau Knowledge-Based Economy (KBE). 
Bagi Singapura industri tetap merupakan sektor pertumbuhan paling dinamis sebagai penyumbang terbesar bagi pendapatan ekonomi negara dan merupakan perhatian utama dalam hal produksi, penanaman modal dan penempatan tenaga kerja.[5] Oleh karena itu, Visi Singapura sebagai negara industri dan menerapkan perekonomian yang didasarkan atas pengetahuan atau Knowledge-Based Economy (KBE) terus dipromosikan dengan memberikan kesempatan kepada para tenaga kerja asing yang terampil dan profesional untuk bermukim di Singpura serta dapat mengembangkan potensi mereka yang digunakan sebagai modal bakat dan memanfaatkannya dalam upaya mewujudkan Singapura sebagai pusat bisnis internasional. Hal tersebut disertai dengan melakukan pelatihan, serta melaksanakan pendidikan dan keterampilan berkualitas bagi masyarakatnya sebagai bentuk layanan ekspor yang diharapkan dapat memberikan dampak positif terhadap perekonomian Singapura[6] dan menjaga eksistensi Singapura dalam hubungan internasional.
Meskipun Singapura telah memiliki relatif bakat asing yang cukup tinggi dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya, yang dilakukan sebagai salah upaya untuk menghubungkannya dengan pusat-pusat ekonomi global di dunia dalam kaitannya dengan tantangan globalisasi. Namun, ketergantungan Singapura pada tenaga kerja asing harus memperhatikan sejumlah kekhawatiran ekonomi politik regional. Meskipun menjadi kota global, kebijakan migrasi selektif terstruktur berdasarkan prioritas ekonomi haruslah tetap menjadi perhatian untuk mencegah migrasi yang tidak diinginkan. Di samping itu, kebijakan Singapura sebagai negara yang melaksanakan ekonomi berbasiskan pengetahuan perlu juga memperhatikan beberapa aspek lainnya yang juga memiliki peran sangat penting yang kurang diungkapkan dalam artikel ini, yaitu beberapa permasalahan yang dihadapi oleh Singapura sendiri. Sebagai contoh adalah persoalan merosotnya angka kelahiran penduduk di Singapura, penolakan terhadap imigran asing dari masyarakat Singapura dan persaingan dengan beberapa negara di kawasan regional sendiri.
 Dalam pemikiran saya, dibukanya akses untuk tenaga asing profesional bekerja di Singapura bukan sepenuhnya upaya terbaik dalam meningkatkan perekonomian dan produktivitas Singapura dalam menghadapi tantangan globalisasi. Namun bagaimana pemerintah Singapura melakukan pemberdayaan masyarakat secara jauh lebih maksimal dengan harus terus berupaya dalam menghadapi persoalan penurunan angka kelahiran yang terus berlangsung memperlihatkan batas pengaruh pemerintah di negara yang disebut “nanny state” (negara pengasuh) ini.[7]
Bagi pusat perdagangan dan keuangan global seperti Singapura, keterbukaan terhadap para tenaga kerja profesional untuk bekerja di Singapura hanyalah sebagai salah satu alternatif saja dalam menghadapi tantangan globalisasi. Sebaliknya, pemberdayaan penduduk Singapura sendiri perlulah menjadi suatu perhatian yang serius. Namun, bagaimana bisa diberdayakan jika populasi penduduk Singapura sendiri jumlahnya rendah? Angka kesuburan dan kelahiran yang sangat rendah memiliki implikasi bagi pertumbuhan ekonomi Singapura sendiri, pendapatan pajak, biaya kesehatan dan kebijakan imigrasi, seiring jumlah penduduk lanjut usia diperkirakan meningkat tiga kali lipat pada 2030. Saat ini ada 6,3 orang usia bekerja untuk setiap penduduk usia lanjut.[8]
Pada tingkat sekarang ini, angka kelahiran menunjukkan bahwa penduduk lokal Singapura akan berkurang setengahnya dalam satu generasi, ujar Sanjeev Sanyal, ahli strategi global dari Deutsche Bank yang berbasis di Singapura.[9] Oleh karena itu, Para pejabat dan pemerintah Singapura harus berusaha keras guna meningkatkan jumlah kelahiran di Singapura yang dapat diimplementasikan dengan pembuatan kebijakan-kebijakan yang dapat merangsang peningkatan jumlah kelahiran penduduk.
Meskipun Singapura terbuka terhadap bakat asing yang diperlukan untuk pertumbuhan ekonomi Singapura dalam menghadap tantangan globalsasi,  hal ini justru akan menjadi sebuah kekhawatiran di masa depan. Kekhawatiran mungkin meletus jika reaksi terhadap bakat asing tidak dikelola dengan hati-hati. Hal ini terkait dengan akses penduduk lokal dalam memperoleh lapangan pekerjaan yang dimasa depan yang akan bersaing dengan imigran asing, sebagaimana unjuk rasa masyarakat Singapura yang memprotes rencana pemerintah untuk terus mendatangkan warga asing untuk menanggulangi masalah populasi.[10] Mereka mengeluhkan dorongan imigrasi seperti itu telah meningkatkan biaya hidup di Singapura. Sehingga, penting untuk pemerintah Singapura memberlakukan pengawasan yang lebih ketat terhadap jumlah orang asing yang boleh masuk dan bekerja ke Singapura, terutama pekerja tidak terampil dan berupah rendah.
Singapura juga harus memperhatikan persaingan ekonomi dengan negara-negara di kawasan regional Asia tenggara.  Sebagai contoh adalah Malaysia yang merupakan rival persaingan ekonomi Singapura dalam hal keuangan perbankan.[11]  Juga tantangan ekonomi Cina yang meningkat pesat dalam bidang perdagangan di kawasan regional Asia Tenggara.[12] Singapura juga tidak dapat menampik melemahnya kinerja sektor perindustrian dan ekspor serta kenaikan inflasi yang dialami saat ini yang terjadi akibat berbagai faktor di dalam negeri, di antaranya biaya transportasi swasta yang tinggi, mahalnya harga makanan, dan layanan rumah tangga, data terbaru inflasi di Singapura menunjukkan indeks harga konsumen (IHK) pada Februari lalu naik 4,9 persen dibandingkan bulan sama tahun sebelumnya.[13]  pembuat kebijakan di negara tersebut didesak untuk menyusun skala prioritas dalam mengatasi tantangan tersebut. 
Berkaitan dengan hal tersebut dan kebijakan ekonomi Singapura yang didasarkan atas pengetahuan atau Knowledge-Based Economy (KBE) dengan membuka kesempatan seluas-luasnya dan menarik bakat asing untuk bekerja di Singapura sebagai bentuk dari respon terhadap tantangan global, hemat saya hanyalah solusi kecil terhadap persoalan dan tantangan ekonomi Singapura. Di samping itu, ancaman dari dalam seperti menurunya angka kelahiran, penolakan terhadap imigran asing oleh masyarakat Singapura, hingga persaingan dengan negara lain di kawasan regional Asia tenggara perlu untuk menjadi perhatian serius pemerintah Singapura. Karena menarik bakat asing dengan kualitas bagus diperlukan keberlangsungan sosial politik dan stabilitas yang hanya dapat disediakan oleh penduduk lokal yang kuat.
Tulisan ini secara keseluruhan telah mendeskripsikan unsur-insir penting berkaitan dengan kebijakan pemerintah Singapura dalam menghadapi tantangan global.  Fakta dan data empiris yang dipaparkan penulis dalam karyanya, diperlihatkan dalam berbagai tabel serta diagram yang menjadi pelengkap dalam memhamai pertumbuhan ekonomi Singapura.  Sebagai seorang peneliti, Linda Low tidak malas memanfaatkan data yang ada untuk memperkuat tesisnya. Sehingga pengembaraan intelektualnya tidak lagi berjarak dengan fakta empiris, melainkan memang berangkat dari realitas yang berkembang dalam kondisi Ekonomi Masyarakat Singapura

Daftar Pustaka
Sumber Utama:
Low, Landa. Globalisation and the Political Economy of Singapore’s Policy on Foreign Talent and High Skills. Journal of Education and Work, Vol. 15, No. 4, 2002.
Referensi Buku:
Azizah, Wan. Renaisans Asia: Gelombang Reformasi di Ambang Alaf Baru. Bandung: Mizan, 1998.
Pian, Kobkua Suwannathat. Dua Dekade Penyelidikan Sejarah, Bahasa dan Kebudayaan. Selangor: Universiti Kebangsaan Malaysia, 1992.
Terrace, Heng Mui Keng. ASEAN Economic Co-operation Transition and Transformation. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1997.
-------. Regional Outlook Southeast Asian 1999-2000. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2000.
 (tanpa nama). Singapura Fakta dan Gambar 1971. Jakarta: Penerbit Kementrian Kebudayaan, 1971.
Sumber Website

Xinhua.  Prediksi Ekonomi Singapura 2013 Tumbuh 2,8%. http://www.analisadaily.com/news/2013/3563/ekonom-prediksi-ekonomi-singapura-2013-tumbuh-2-8/. Diakses pada Minggu, 28 April 2013. Pukul 16. 45 WIB.

Xinhua. Ekonomi Singapura Tumbuh 3-4% untuk Sisa Dekade Ini. http://www.analisadaily.com/news/2013/1040/ekonomi-singapura-tumbuh-3-4-untuk-sisa-dekade-ini/. Diakses pada Sabtu, 27 April 2013; Pukul 16.50 WIB.

Reuters and John O'Callaghan. Singapura Hadapi Ekonomi Suram Karena Tingkat Kelahiran Rendah. http://www.voaindonesia.com/content/singapura-hadapi-ekonomi-suram-karena-tingkat-kelahiran-rendah/1499099.html. Diakses pada Selasa, 23 April 2013; Pukul 05.54 WIB.

Bisnis Indonesia. Bersaing rebut Danamon. http://cybermed.cbn.net.id/cbprtl/cybernews/detail.aspx?x=Economy&y=cybernews%7C0%7C0%7C3%7C5752. Diakses pada Senin, 22 April 2013; Pukul 18.40 WIB.



[1] Xinhua.  Prediksi Ekonomi Singapura 2013 Tumbuh 2,8%. http://www.analisadaily.com/news/2013/3563/ekonom-prediksi-ekonomi-singapura-2013-tumbuh-2-8/. Diakses pada Minggu, 28 April 2013. Pukul 16. 45 WIB.

[2] Heng Mui Keng Terrace. ASEAN Economic Co-operation Transition and Transformation (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1997), hlm. 141.

[3] Xinhua.  Ekonomi Singapura Tumbuh 3-4% untuk Sisa Dekade Ini. http://www.analisadaily.com/news/2013/1040/ekonomi-singapura-tumbuh-3-4-untuk-sisa-dekade-ini/. Diakses pada Sabtu, 27 April 2013; Pukul 16.50 WIB.

[4] Heng Mui Keng Terrace. Regional Outlook Southeast Asian 1999-2000 (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2000), hlm. 43-44.
[5] (tanpa nama). Singapura Fakta dan Gambar 1971 (Jakarta: Penerbit Kementrian Kebudayaan, 1971), hlm. 31.
[6] Departemen Tenaga Kerja SIngapura, 1999, hal. 18. Dalam Landa Low. Globalisation and the Political Economy of Singapore’s Policy on Foreign Talent and High Skills. Journal of Education and Work, Vol. 15, No. 4, 2002.

[7] Reuters/John O'Callaghan. Singapura Hadapi Ekonomi Suram Karena Tingkat Kelahiran Rendah. http://www.voaindonesia.com/content/singapura-hadapi-ekonomi-suram-karena-tingkat-kelahiran-rendah/1499099.html. Diakses pada Selasa, 23 April 2013; Pukul 05.54 WIB.

[8] Reuters/John O'Callaghan. Ibid.,
[9] Reuters/John O'Callaghan. Ibid.,
[10] Chun Han Wong. Demo Antri Imigran di Singapura.  http://indo.wsj.com/posts/2013/02/19/demo-anti-imigran-di-singapura/Diakses pada Minggu, 28 April 2013 WIB.
[11] Bisnis Indonesia. Singapura & Malaysia bersaing rebut Danamon. http://cybermed.cbn.net.id/cbprtl/cybernews/detail.aspx?x=Economy&y=cybernews%7C0%7C0%7C3%7C5752. Diakses pada Senin, 22 April 2013; Pukul 18.40 WIB.

[12](tanpa nama). Singapura Minta AS Ganjal Pertumbuhan Cina di Asia. 

[13] (tanpa nama). Ekonomi Singapura dalam Dilema. http://m.koran-jakarta.com/?id=115734&mode_beritadetail=1. Diakses pada Senin, 22 April 2013; Pukul 18.45 WIB.

Reading Comment: Indonesia and the Quest for “Democracy”


oleh Alpiadi Prawiraningrat
Artikel karya Priyambudi Sulistyanto dan Maribeth Erb dengan judul Indonesia and the Quest for “Democracy” menjelaskan mengenai proses demokrasi yang terjadi di Indonesia.  Penulis memaparkan secara sistematis berdasarkan periodesasi perjalanan demokrasi Indonesia dari masa ke masa dengan setiap presiden yang berbeda. Selain itu, secara khusus dan spesifik tema utama yang menjadi pokok pembahasan dalam artikel ini adalah membahas relasi antara pemilihan umum atau pemilu dengan proses demokrasi di Indoensia.  Persoalan seputar desentralisasi, konsolidasi politik dan makna dari pemilu itu sendiri menjadi bagian yang tidak luput menjadi perhatian penulis dalam artikel ini.
Terdapat hal menarik dari apa yang diungkapkan penulis berkaitan dengan desentralisasi terhadap pemerintah lokal, bahwa:
“Desentralisasi dan demokrasi  akan bergabung menjadi satu dan berjalan dengan beriringan, dan memperkenalkan pemilihan umum secara langsung di daerah mengarah kepada konsolidasi demokrasi yang ada di Indonesia.
Jika kita mencoba kaitkan dengan tulisan Archon Fung dan Erik Olin wright dalam artikelnya yang berjudul Deepening Democracy: Innovations in Empowered Participatory Governancebahwa seharusnya tidak hanya dipahami dalam arti sempit, bahwa "Demokrasi" hanya dengan pemilu yang kompetitif di setiap wilayah. Tapi demokrasi harus dapat melakukan sebuah transformasi, sehingga dapat sesuai dengan kehidupan masyarakat saat ini dan sesuai dengan cita-cita demokrasi itu sendiri, yaitu: memfasilitasi keterlibatan politik aktif warga negara, penempaan konsensus politik melalui dialog, merancang dan mengimplementasikan kebijakan publik dan, secara lebih radikal versi egaliter cita-cita demokrasi, memastikan bahwa semua warga mendapat manfaat dari kekayaan bangsa.
          Jika kita melihat asusmsi penulis mengenai keterkaitan desentralisasi dengan pemilihan umum kepala daerah atau pemilukada. Sebenarnya tidak berbeda jauh dengan apa yang diungkapkan Syarief Hidayat dalam tulisannya “Pilkada, Money Politics and The Dangers of Informal Governance Practices” yang mengungkapkan bahwa di Indonesia sendiri ditetapkanya UU No. 32 Tahun 2004 adalah salah satu bentuk legitimasi langkah besar dan fundamental menuju pemerintah lokal yang lebih demokratis atau disebut dengan “local good governance”. Namun, yang menjadi persoalan adalah apakah konsep desentralisasi tersebut benar-benar bebas nilai dan bisa diimplementasikan dengan asumsi-asumsinya yang apolitis?
          Permaslahan yang muncul di Indonesia.  “Democratic behaviour” yang dipahami sebagai perilaku pemilih dalam menentukan keputusan pemilihan umum, yang telah cukup memiliki pengetahuan tentang politik dan kemampuan menentukan pilihan kandidat yang tepat dengan didasarkan atas keputusan yang rasional. Namun dalam konteks Indonesia baru terjadi di tingkat intstitusional dan tipe ini masih dalam kategori demokrasi prosedural dan belum dapat dikatakan sebagai demokrasi yang substantif.  Sebagai akibat dari demokrasi yang prosedural, proses politik didominasi oleh interaksi, kompetisi dan kompromi yang dilakukan oleh aktor-aktor pemerintah, dikarenakan pemilih tidak memahami pentingnya partisipasi politik dalam Pilkada dan berimplikasi kepada pembuatan keputusan yang bersifat pragmatis karena lebih melihat keuntungan apa yang akan mereka dapatkan jika memilih kandidat tertentu.  Hal ini sangat membuka kesempatan pihak-pihak tertentu melakukan money politics sebagai upaya penting dalam melakukan mobilisasi konstituen. Tidak mengherankan jika proses Pilkada di Indonesia selalu diwarnai oleh politik dan aliansi bisnis sehingga setelah Pilkada usai, kepala daerah yang terpilih akan mendedikasikan dirinya kepada politisi dan klien bisnis dibandingkan dengan rakyat dan inilah yang dimaksud oleh penulis sebagai informal governance di mana pemerintahan dikontrol oleh kekuatan sosial, ekonomi dan politik yang mengatur struktur pemerintah formal.
Jika kita melihat dengan fenomena yang terjadi di Indonesia, apakah mungkin dapat dikatakan bahwa Pemilukada sebagai implementasi dari desentralisasi dan upaya perwujudan demokrasi di tingkat lokal merupakan cara yang efektif dan efisien? Meskipun demikian, saya menyadari bahwa demokrasi bukanlah sesuatu yang instant atau magic yang langsung memberikan efek tatkala diimplementasikan dalam masyarakat.
Begitupun dengan implemetasi dari Pemilukada di Indonesia sebagai perwujudan demokrasi juga merupakan suatu proses yang panjang. Demokrasi mungkin tidak secara langsung mengatasi masalah perkembangan ataupun pertumbuhan ekonomi di suatu negara atau justru sebaliknya mengakibatkan munculnya persoalan di tingkat lokal pemerintahan misalnya. Tetapi demokrasi dapat menjadi alat dalam merusumuskan solusi dalam menyelaskan persoalan tersebut yang tentunya dengan penerapan kebijakan yang memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi secara aktif.
Selain itu, Demokrasi melalui Pemilukada juga membuka jalan terhadap isu atau persoalan yang tidak dianggap penting oleh suatu rezim pemerintahan di suatu daerah tertentu sehingga dapat dibahas bersama dan dicarikan solusinya, sesuai dengan kondisi sosial, ekonomi, budaya dan politik daerah setempat. Hal ini menunjukan bahwa pelan tapi pasti demokrasi akan menuntun negara menuju ke arah yang lebih baik.
Referensi
Priyambudi Sulistyanto dan Maribeth Erb. Indonesia and the Quest for “Democracy”. Hlm. 1-37
Syarif Hidayat, Pilkada, Money Politics and The Dangers of Informal Governance Practices,
hlm. 125-143.
Amartya Sen. Development as Freedom: The Importance of Democracy.



“Tantangan Globalisasi dalam Kebijakan Knowledge-Based Economy (KBE) Singapura”


oleh: Alpiadi Prawiraningrat
Artikel  Landa Low yang berjudul Globalisation and the Political Economy of Singapore’s Policy on Foreign Talent and High Skillsmerupakan sebuah tulisan yang berisikan tentang analisa terhadap kebijakan ekonomi Singapura dalam menghadapi globalisasi.  Tulisan ini memaparkan bagaimana Singapura mencoba menerapkan suatu kebijakan yang membuka kesempatan kepada para tenaga kerja asing profesional untuk bekerja dan mengimplementasikan keahliannya di Singapura. Penulis mengajak pembaca untuk mendiskusikan mengenai beberapa hal utama, yaituBagaimanakah implementasi kebijakan negara Singapura dalam menghadapi globalisasi? dan Apakah hambatan serta tantangan yang dihadapi Singapura dalam mengimplemetasikan kebijakan tersebut?
Singapura dikenal sebagai negara yang memiliki potensi yang sangat besar dalam bidang bisnis.  Ekonomi negara Singapura dianggap sebagai yang terbaik dalam sektor keuangan.[1] Ribuan karyawan menjalankan peran dan kontribusinya, baik di perusahaan-perusahaan multinasional yang memberikan akses Singapura kepada peta persaingan global, sistem ekonomi pasar dikembangkan dengan sangat baik dalam bidang ekspor dan impor, karena di dukung lokasinya yang strategis dan perannya sebagai negara pelabuhan, yang merupakan salah satu pelabuhan tersibuk di dunia yang juga mempunyai peran sebagai pusat perdagangan foreign exchange (penukaran mata uang asing) terbesar keempat setelah London, Tokyo dan New York.[2]
Posisi dan peran Singapura yang sangat vibrant dalam perekonomian baik di kawasan regional ASEAN maupun di dunia internasional telah menjadikannya masuk dalam daftar Empat macan Asia yang mengatur pasar di Asia bersama dengan Hong Kong, Korea Selatan dan Taiwan, yang dihasilkan dari produk industri berkualitas tinggi sebagai penopang utama ekonomi Singapura dengan industri manufaktur di seluruh bidang elektronik yang menyumbang hampir 26% terhadap GDP negara Singapura.[3]
Singapura juga mempekerjakan ribuan tenaga ahli dari seluruh dunia. Tidak heran, berbagai kebijakan ekonomi yang dicanangkan pemerintah Singapura salah satunya adalah Knowledge-Based Economy (KBE) yang diimplementasikan dengan memberikan akses kepada masyarakat asing dengan melakukan pencarian kompetensi tenaga kerja yang dapat diasimilasikan dengan keterampilan masyarakat lokal Singapura, sehingga dapat memberikan dampak positif terhadap perkembangan ekonomi Singapura sendiri. 
Kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh Singapura tersebut tidak dapat terlepas dari tantangan globalisasi.  Singapura sebagai negara kecil dengan populasi masyarakat yang rendah mengharuskan dirinya untuk membuka akses besar terhadap masyarakat asing untuk masuk dan ikut serta berkontribusi dalam membangun perekonomian Singapura. Menuju Knowledge-Based Economy (KBE) Singapura telah berjuang untuk melakukan berbagai upaya, baik dalam bidang perdagangan sebagai komoditi utama negara, investasi asing dan pariwisata demi mempertahankan posisi Singapura dalam pergaulan globalisasi yang didasarkan atas produktivitas industri dalam negeri, pasokan dan pengiriman barang-barang melalui kegiatan ekspor impor khususnya bidang teknologi tinggi.
Namun, bagi Singapura untuk bertahan dalam persaingan globalisasi dan menjadikan ekonomi didasarkan pada modal intelektual memerlukan transformasi besar dalam pola pikir dan budaya. Sebagaimana kita ketahui  bahwa dominasi ekonomi dan politik rezim Partai Aksi Rakyat atau Peoples Action Party (PAP) sejak tahun 1959 telah menghasilkan kesuksesan di bidang ekonomi melalui dominasi politik yang selalu dilakukan oleh partai tersebut.
Dalam perjalanannya, sebetulnya Singapura telah relatif berhasil mengembangkan sumber daya manusia (SDM) dengan menggabungkan sistem pendidikan yang modern, pelatihan keterampilan informal yang terus menerus diperbaharui dan disesuaikan dengan kebutuhan jaman, serta keterbukaan akses informasi dalam bidang ekonomi guna meningkatkan partisipasi yang mendorong produktivitas masyarakat Singapura.[4]  Namun demikian, Singapura memiliki tantangan untuk memiliki tenaga kerja profesional dan teknisi terampil untuk menyerap, mengolah dan menerapkan pengetahuan dan menerapkanya sebagai upaya menciptakan perekonomian Singapura yang didasarkan atas pengetahuan atau Knowledge-Based Economy (KBE). 
Bagi Singapura industri tetap merupakan sektor pertumbuhan paling dinamis sebagai penyumbang terbesar bagi pendapatan ekonomi negara dan merupakan perhatian utama dalam hal produksi, penanaman modal dan penempatan tenaga kerja.[5] Oleh karena itu, Visi Singapura sebagai negara industri dan menerapkan perekonomian yang didasarkan atas pengetahuan atau Knowledge-Based Economy (KBE) terus dipromosikan dengan memberikan kesempatan kepada para tenaga kerja asing yang terampil dan profesional untuk bermukim di Singpura serta dapat mengembangkan potensi mereka yang digunakan sebagai modal bakat dan memanfaatkannya dalam upaya mewujudkan Singapura sebagai pusat bisnis internasional. Hal tersebut disertai dengan melakukan pelatihan, serta melaksanakan pendidikan dan keterampilan berkualitas bagi masyarakatnya sebagai bentuk layanan ekspor yang diharapkan dapat memberikan dampak positif terhadap perekonomian Singapura[6] dan menjaga eksistensi Singapura dalam hubungan internasional.
Meskipun Singapura telah memiliki relatif bakat asing yang cukup tinggi dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya, yang dilakukan sebagai salah upaya untuk menghubungkannya dengan pusat-pusat ekonomi global di dunia dalam kaitannya dengan tantangan globalisasi. Namun, ketergantungan Singapura pada tenaga kerja asing harus memperhatikan sejumlah kekhawatiran ekonomi politik regional. Meskipun menjadi kota global, kebijakan migrasi selektif terstruktur berdasarkan prioritas ekonomi haruslah tetap menjadi perhatian untuk mencegah migrasi yang tidak diinginkan. Di samping itu, kebijakan Singapura sebagai negara yang melaksanakan ekonomi berbasiskan pengetahuan perlu juga memperhatikan beberapa aspek lainnya yang juga memiliki peran sangat penting yang kurang diungkapkan dalam artikel ini, yaitu beberapa permasalahan yang dihadapi oleh Singapura sendiri. Sebagai contoh adalah persoalan merosotnya angka kelahiran penduduk di Singapura, penolakan terhadap imigran asing dari masyarakat Singapura dan persaingan dengan beberapa negara di kawasan regional sendiri.
 Dalam pemikiran saya, dibukanya akses untuk tenaga asing profesional bekerja di Singapura bukan sepenuhnya upaya terbaik dalam meningkatkan perekonomian dan produktivitas Singapura dalam menghadapi tantangan globalisasi. Namun bagaimana pemerintah Singapura melakukan pemberdayaan masyarakat secara jauh lebih maksimal dengan harus terus berupaya dalam menghadapi persoalan penurunan angka kelahiran yang terus berlangsung memperlihatkan batas pengaruh pemerintah di negara yang disebut “nanny state” (negara pengasuh) ini.[7]
Bagi pusat perdagangan dan keuangan global seperti Singapura, keterbukaan terhadap para tenaga kerja profesional untuk bekerja di Singapura hanyalah sebagai salah satu alternatif saja dalam menghadapi tantangan globalisasi. Sebaliknya, pemberdayaan penduduk Singapura sendiri perlulah menjadi suatu perhatian yang serius. Namun, bagaimana bisa diberdayakan jika populasi penduduk Singapura sendiri jumlahnya rendah? Angka kesuburan dan kelahiran yang sangat rendah memiliki implikasi bagi pertumbuhan ekonomi Singapura sendiri, pendapatan pajak, biaya kesehatan dan kebijakan imigrasi, seiring jumlah penduduk lanjut usia diperkirakan meningkat tiga kali lipat pada 2030. Saat ini ada 6,3 orang usia bekerja untuk setiap penduduk usia lanjut.[8]
Pada tingkat sekarang ini, angka kelahiran menunjukkan bahwa penduduk lokal Singapura akan berkurang setengahnya dalam satu generasi, ujar Sanjeev Sanyal, ahli strategi global dari Deutsche Bank yang berbasis di Singapura.[9] Oleh karena itu, Para pejabat dan pemerintah Singapura harus berusaha keras guna meningkatkan jumlah kelahiran di Singapura yang dapat diimplementasikan dengan pembuatan kebijakan-kebijakan yang dapat merangsang peningkatan jumlah kelahiran penduduk.
Meskipun Singapura terbuka terhadap bakat asing yang diperlukan untuk pertumbuhan ekonomi Singapura dalam menghadap tantangan globalsasi,  hal ini justru akan menjadi sebuah kekhawatiran di masa depan. Kekhawatiran mungkin meletus jika reaksi terhadap bakat asing tidak dikelola dengan hati-hati. Hal ini terkait dengan akses penduduk lokal dalam memperoleh lapangan pekerjaan yang dimasa depan yang akan bersaing dengan imigran asing, sebagaimana unjuk rasa masyarakat Singapura yang memprotes rencana pemerintah untuk terus mendatangkan warga asing untuk menanggulangi masalah populasi.[10] Mereka mengeluhkan dorongan imigrasi seperti itu telah meningkatkan biaya hidup di Singapura. Sehingga, penting untuk pemerintah Singapura memberlakukan pengawasan yang lebih ketat terhadap jumlah orang asing yang boleh masuk dan bekerja ke Singapura, terutama pekerja tidak terampil dan berupah rendah.
Singapura juga harus memperhatikan persaingan ekonomi dengan negara-negara di kawasan regional Asia tenggara.  Sebagai contoh adalah Malaysia yang merupakan rival persaingan ekonomi Singapura dalam hal keuangan perbankan.[11]  Juga tantangan ekonomi Cina yang meningkat pesat dalam bidang perdagangan di kawasan regional Asia Tenggara.[12] Singapura juga tidak dapat menampik melemahnya kinerja sektor perindustrian dan ekspor serta kenaikan inflasi yang dialami saat ini yang terjadi akibat berbagai faktor di dalam negeri, di antaranya biaya transportasi swasta yang tinggi, mahalnya harga makanan, dan layanan rumah tangga, data terbaru inflasi di Singapura menunjukkan indeks harga konsumen (IHK) pada Februari lalu naik 4,9 persen dibandingkan bulan sama tahun sebelumnya.[13]  pembuat kebijakan di negara tersebut didesak untuk menyusun skala prioritas dalam mengatasi tantangan tersebut. 
Berkaitan dengan hal tersebut dan kebijakan ekonomi Singapura yang didasarkan atas pengetahuan atau Knowledge-Based Economy (KBE) dengan membuka kesempatan seluas-luasnya dan menarik bakat asing untuk bekerja di Singapura sebagai bentuk dari respon terhadap tantangan global, hemat saya hanyalah solusi kecil terhadap persoalan dan tantangan ekonomi Singapura. Di samping itu, ancaman dari dalam seperti menurunya angka kelahiran, penolakan terhadap imigran asing oleh masyarakat Singapura, hingga persaingan dengan negara lain di kawasan regional Asia tenggara perlu untuk menjadi perhatian serius pemerintah Singapura. Karena menarik bakat asing dengan kualitas bagus diperlukan keberlangsungan sosial politik dan stabilitas yang hanya dapat disediakan oleh penduduk lokal yang kuat.
Tulisan ini secara keseluruhan telah mendeskripsikan unsur-insir penting berkaitan dengan kebijakan pemerintah Singapura dalam menghadapi tantangan global.  Fakta dan data empiris yang dipaparkan penulis dalam karyanya, diperlihatkan dalam berbagai tabel serta diagram yang menjadi pelengkap dalam memhamai pertumbuhan ekonomi Singapura.  Sebagai seorang peneliti, Linda Low tidak malas memanfaatkan data yang ada untuk memperkuat tesisnya. Sehingga pengembaraan intelektualnya tidak lagi berjarak dengan fakta empiris, melainkan memang berangkat dari realitas yang berkembang dalam kondisi Ekonomi Masyarakat Singapura

Daftar Pustaka
Sumber Utama:
Low, Landa. Globalisation and the Political Economy of Singapore’s Policy on Foreign Talent and High Skills. Journal of Education and Work, Vol. 15, No. 4, 2002.
Referensi Buku:
Azizah, Wan. Renaisans Asia: Gelombang Reformasi di Ambang Alaf Baru. Bandung: Mizan, 1998.
Pian, Kobkua Suwannathat. Dua Dekade Penyelidikan Sejarah, Bahasa dan Kebudayaan. Selangor: Universiti Kebangsaan Malaysia, 1992.
Terrace, Heng Mui Keng. ASEAN Economic Co-operation Transition and Transformation. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1997.
-------. Regional Outlook Southeast Asian 1999-2000. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2000.
 (tanpa nama). Singapura Fakta dan Gambar 1971. Jakarta: Penerbit Kementrian Kebudayaan, 1971.
Sumber Website

Xinhua.  Prediksi Ekonomi Singapura 2013 Tumbuh 2,8%. http://www.analisadaily.com/news/2013/3563/ekonom-prediksi-ekonomi-singapura-2013-tumbuh-2-8/. Diakses pada Minggu, 28 April 2013. Pukul 16. 45 WIB.

Xinhua. Ekonomi Singapura Tumbuh 3-4% untuk Sisa Dekade Ini. http://www.analisadaily.com/news/2013/1040/ekonomi-singapura-tumbuh-3-4-untuk-sisa-dekade-ini/. Diakses pada Sabtu, 27 April 2013; Pukul 16.50 WIB.

Reuters and John O'Callaghan. Singapura Hadapi Ekonomi Suram Karena Tingkat Kelahiran Rendah. http://www.voaindonesia.com/content/singapura-hadapi-ekonomi-suram-karena-tingkat-kelahiran-rendah/1499099.html. Diakses pada Selasa, 23 April 2013; Pukul 05.54 WIB.

Bisnis Indonesia. Bersaing rebut Danamon. http://cybermed.cbn.net.id/cbprtl/cybernews/detail.aspx?x=Economy&y=cybernews%7C0%7C0%7C3%7C5752. Diakses pada Senin, 22 April 2013; Pukul 18.40 WIB.


[1] Xinhua.  Prediksi Ekonomi Singapura 2013 Tumbuh 2,8%. http://www.analisadaily.com/news/2013/3563/ekonom-prediksi-ekonomi-singapura-2013-tumbuh-2-8/. Diakses pada Minggu, 28 April 2013. Pukul 16. 45 WIB.

[2] Heng Mui Keng Terrace. ASEAN Economic Co-operation Transition and Transformation (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1997), hlm. 141.

[3] Xinhua.  Ekonomi Singapura Tumbuh 3-4% untuk Sisa Dekade Ini. http://www.analisadaily.com/news/2013/1040/ekonomi-singapura-tumbuh-3-4-untuk-sisa-dekade-ini/. Diakses pada Sabtu, 27 April 2013; Pukul 16.50 WIB.

[4] Heng Mui Keng Terrace. Regional Outlook Southeast Asian 1999-2000 (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2000), hlm. 43-44.
[5] (tanpa nama). Singapura Fakta dan Gambar 1971 (Jakarta: Penerbit Kementrian Kebudayaan, 1971), hlm. 31.
[6] Departemen Tenaga Kerja SIngapura, 1999, hal. 18. Dalam Landa Low. Globalisation and the Political Economy of Singapore’s Policy on Foreign Talent and High Skills. Journal of Education and Work, Vol. 15, No. 4, 2002.

[7] Reuters/John O'Callaghan. Singapura Hadapi Ekonomi Suram Karena Tingkat Kelahiran Rendah. http://www.voaindonesia.com/content/singapura-hadapi-ekonomi-suram-karena-tingkat-kelahiran-rendah/1499099.html. Diakses pada Selasa, 23 April 2013; Pukul 05.54 WIB.

[8] Reuters/John O'Callaghan. Ibid.,
[9] Reuters/John O'Callaghan. Ibid.,
[10] Chun Han Wong. Demo Antri Imigran di Singapura.  http://indo.wsj.com/posts/2013/02/19/demo-anti-imigran-di-singapura/Diakses pada Minggu, 28 April 2013 WIB.
[11] Bisnis Indonesia. Singapura & Malaysia bersaing rebut Danamon. http://cybermed.cbn.net.id/cbprtl/cybernews/detail.aspx?x=Economy&y=cybernews%7C0%7C0%7C3%7C5752. Diakses pada Senin, 22 April 2013; Pukul 18.40 WIB.

[12](tanpa nama). Singapura Minta AS Ganjal Pertumbuhan Cina di Asia. 

[13] (tanpa nama). Ekonomi Singapura dalam Dilema. http://m.koran-jakarta.com/?id=115734&mode_beritadetail=1. Diakses pada Senin, 22 April 2013; Pukul 18.45 WIB.