Rabu, 23 April 2014

Masyarakat & Budaya Politik di Filipina: Sejarah Kolonialisasi, Dinasti Politik dan Refleksinya untuk Indonesia



 oleh Alpiadi Prawiraningrat

Pertanyaan mendasar yang mengawali tulisan ini adalah dimanakah Filipina? Sebuah pertanyaan pemicu yang menitikberatkan bukan pada jawaban terhadap letak geografis negara, akan tetapi identitas masyarakatnya, sebagai konsekuensi percampuran berbagai negara melalui penjajahan, seperti Spanyol selama kurang lebih tiga setengah abad. Selanjutnya memperoleh “pendidikan politik” dalam kekuasaan Amerika Serikat, hingga pengaruh negara Jepang sebagai akibat keikutsertaan dalam Perang Dunia ke-2 sampai akhirnya memperoleh kemerdekaan pada tahun 1946. Berkaitan dengan hal tersebut, tulisan ini akan mencoba menjelaskan mengenai masyarakat dan budaya politik Filipina sebagai sebuah hasil cipta yang tidak dapat dilepaskan dari sejarah masa lalunya sebagai negara yang mengalami penjajahan.
Membahas mengenai identitas masyarakat Filipina, tidak dapat dipisahkan dari keberagaman masyarakatnya, yang terdiri dari berbagai macam jenis ras, etnis, agama dan suku yang didominasi oleh Melayu, Cina, Mestizo serta pribumi yang tersebar secara tidak merata di antara 7.100 pulau, dengan hanya 1.000 pulau berpenduduk dengan pulau Luzon sebagai tempat tinggal 45% warga negara Filipina, karena lahan pulau tersebut yang sangat cocok digunakan untuk bertani padi, yang berbeda dengan pulau-pulau lainnya berupa wilayah pegunungan dan lembah sehingga menyulitkan pembangunan infrakstruktur dan pengembangan komunitas masyarakat. Hal tersebut juga akhirnya melahirkan keberagaman linguistik, dengan bahasa Tagalog sebagai bahasa nasional yang sebelumnya merupakan bahasa daerah penduduk Pulau Luzon dan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua Filipina, karena 40 tahun dibawah pengaruh Amerika Serikat. Sedangkan dalam konteks agama cenderung seragam dan mudah diidentifikasi, karena sekitar 85% masyarakat Filipina beragama Katolik, sebagai pengaruh peran misionaris Spanyol yang datang ke Filipina beberapa abad silam.
Di sisi lain, terdapat dua jenis kehidupan yang terlihat dari pembagian warga kota (urban dwellers) yang secara eksklusif berdomisili di wilayah Ibukota Manila dan didominasi oleh kelas menengah dengan kehidupan modern karena mayoritas dari institusi modern universitas, kantor media, hingga pusat kegiatan politik berada di Manila dan kehidupan desa di wilayah-wilayah pelosok Filipina yang didominasi oleh para petani dan nelayan yang cenderung sederhana dan konservatif.
Keberagaman identitas masyarakat Filipina tidak dapat dipisahkan dari sejarah yang membentuknya. Sejarah merupakan salah satu aspek yang penting dalam pembentukan suatu negara. Sejarah mempengaruhi bagaimana stabilitas, persatuan, dan keamanan negara Filipina yang tidak terlepas dari kolonialisasi yang dilakukan Spanyol dan Amerika Serikat serta penjajahan yang dilakukan oleh Jepang. Akan tetapi, otoritariansime yang dilakukan oleh aktor politik Filipina, menjadikan persoalan pencarian identitas menjadi terabaikan dan konstalasi polyik Filipina hanya diwarnai oleh skandal korupsi, kolusi dan nepotisme.
Pada tahun 1521 merupakan awal datangnya bangsa Spanyol di wilayah Filipina, dengan penduduk asli wilayah Filipina yang diidentifikasikan sebagai komunitas Melayu non-Islam yang tidak memiliki afiliasi dengan kerajaan-kerajaan Jawa dan Sumatera, sehingga Spanyol tidak melihat bahwa Filipina sebagai suatu potensi ancaman dari komunitas tersebut akibat jumlah mereka yang juga tidak terlalu banyak.
Sektor agrikultur sebagai karakteristik masyarakat di pedalam dan perdagangan sebagai karakteristik masyarakat kota merupakan dua sektor yang berkembang pada saat itu. Filipina telah berhasil memproduksi gula, abaca (pisang khas Filipina), dan tembakau untuk diperdagangkan di pasar internasional dan membawa pengaruh besar terhadap struktur sosial negara dengan memunculkan suatu kelas baru dalam masyarakat bernama caciques yang merupakan tuan tanah keturunan mestizo Cina yang berorientasi pada keuntungan komersial, berada dan tersebar di kepulauan-kepulauan di Filipina dan berperan besar dalam menciptakan desentralisasi dan pembagian struktur kekuasaan di Filipina sebagai akibat absennya para aristokrat dan birokrat lokal, mereka berevolusi menjadi kelas ekonomi elit yang independen dari kelas pengontrol yaitu Spanyol. 
Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa Bangsa Spanyol mendominasi sektor ekonomi domestik wilayah pelosok Filipina melalui sistem feodal.  Para elit, biarawan dan pastur membeli tanah luas kemudian mempekerjakan penduduk lokal untuk menggarap tanah tersebut menjadi lahan pertanian. Sedangkan perekonomian wilayah perkotaan bergantung pada perdagangan kapal perang khas Spanyol bernama Galleon yang dikonstruksikan oleh tenaga kerja lokal pula. Konsekuensi dari hal tersebut adalah budaya yang diturunkan oleh para pastur dan biarawan lebih bersifat sosial seperti menyebarkan nilai-nilai sosial yang bersumber dari Alkitab, penyebaran nilai-nilai ini berhasil mengubah sejumlah besar masyarakat Filipina menjadi penganut Katolik.  Sedangkan dalam konteks politik sendiri hanya  berdasar pada institusi pemerintahan lokal di berbagai wilayah Filipina, sehingga budaya politik serta tata cara birokrasi “model” pemerintahan negara Spanyol tidak terlalu menurun pada masyarakat Filipina.
Di sisi lain, revolusi pemberontakan penduduk lokal Filipina terhadap bangsa Spanyol sendiri diawali pada tahun 1870 secara sembunyi-sembunyi dan kemudian secara terbuka pada tahun 1896, namun sifat dari pemberontakan penduduk lokal Filipina masih sangat terfragmentasi oleh perbedaan ideologi, kepentingan serta persiteruan yang terjadi antara komunitas penduduk lokal. Akan tetapi dalam implementasinya faktor penting keberhasilan dari revolusi pemberontakan penduduk lokal Filipina terhadap bangsa Spanyol adalah terjadinya perang antara Amerika Serikat dan Spanyol pada tahun 1898, yang kemudian dimenangkan oleh Amerika Serikat yang kemudian secara resmi pada tahun yang sama mengambil alih kolonialisasi Spanyol di wilayah Filipina.   
Sebagai salah satu upaya untuk mempertahankan status quo dan menstabilkan kondisi sosial politik penduduk lokal Filipina, Amerika Serikat akhirnya membentuk dewan legislatif pada tahun 1907 dengan beberapa anggotanya berasal dari kaum elit Filipina.  Namun demikian, kurangnya warga Amerika Serikat di Filipina yang dapat dipekerjakan sebagai birokrat serta pejabat pemerintah, pada tahun 1912 secara perlahan semakin mulai bertambah pos pemerintahan yang diisi oleh elit Filipina yang sebelumnya pada masa pendudukan Spanyol hanya berstatus sebagai tuan tanah dan tidak pernah menduduki posisi yang memiliki legitimasi nasional. Hal tersebut mengakibatkan sebuah bentuk “pendidikan politik” yang cukup unik, karena memberikan penekanan terhadap penggunaan kemampuan terapan sebagai upaya mencapai keuntungan personal atau keluarga para birokrattersebut dan bukan pada kemampuan terapan yang bersifat substantif. Konsekuensinya birokrat yang tercipta bukanlah merupakan birokrat profesional seperti Administrative State, akan tetapi birokrasi digunakan sebagai cara untuk memperoleh kekayaan dan kekuasaan terhadap masyarakat, dan hal tersebut telah menjadi bagian dari budaya politik dan dinilai masih mendominasi perpolitikan Filipina sampai sekarang ini yang selalu penuh dengan janji dan visi misi yang terlalu idealistis, nepotisme dan korupsi.
Di sisi lain, Perang Dunia II telah menjadi semacam paradoks bagi Filipina.  Pada satu sisi, Filipina mengalami penjajahan oleh Jepang. Di sisi lain,  perang tersebut juga membawa suatu hubungan dekat antara Filipina dan Amerika Serikat, yang kemudian memperoleh kemerdekaannya pada tahun 1946. Akan tetapi hal tersebut dinilai sebagai strategi Amerika Serikat untuk tetap terus mempertahankan pengaruhnya yang didasarkan pada alasan bahwa Amerika Serikat gagal melakukan rehabilitasi pasca perang dan sebagai upaya menciptakan kondisi perjanjian ekonomi dan militer pasca perang yang berujung pada terciptanya suatu hubungan neo-kolonialisme.
Konsekuensi dari hubungan kerjasama antara Amerika Serikat dan Filipina tersebut  adalah menimbulkan ketergantungan dan menyebabkan ciri khas “kebudayaan” pasar di Filipina yang lebih memilih produk impor AS ketimbang produk lokal, baik dalam pasar makanan, elektronik, industri perfilman hingga kantor-kantor media. Konsekuensi lain akibat perang adalah munculnya pandangan skeptis masyarakat Filipina terhadap para elit. Hal ini akibat pandangan kontroversial dalam masyarakat yang mengatakan bahwa para elit di Filipina berkolaborasi dengan Jepang selama masa penjajahan. Hal ini menciptakan perpecahan dalam elit di Filipina dan ketidakpercayaan masyarakat.
Meskipun nilai-nilai Barat masuk ke Filipina, tetapi terdapat juga nilai-nilai tradisional yang akhirnya menjadi budaya politik tradisonal di Filipina, di antaranya adalah kekeluargaan yang diperkuat melalui kebiasaan, ditempelkan dalam ajaran Katolik, dan diproklamirkan oleh Konstitusi 1987. Tali kekeluargaan di Filipina bahkan bisa memasukkan orang di luar keluarga asli menjadi keluarga, yang biasa digunakan untuk menciptakan suatu kondisi sosio-ekonomi yang setara atau disebut dengan compadrazgo. Budaya politik tradisional tersebut secara tidak langsung telah menciptakan pola hubungan personalisme dan partikularisme. Masyarakat Filipina beranggapan bahwa keputusan politikhanya ditentukan oleh sekelompok orang bersifat personalisme dibandingkan sebagai hasil dari suatu sistem atau institusi. Akibatnya, perdebatan mengenai ideologi dan institusi menjadi hal yang jarang di Filipina. Selain itu, partikulturalisme dilakukan para pembuat kebijakan dengan menggunakan kekuasaannya untuk menghasilkan keuntungan segelintir orang atau kelompoknya dan menjatuhkan atau menyingkirkan kelompok lain yang berdampak pada peningkatkan praktik nepotisme dan dinasti politik. 
Budaya politik Filipina juga diwarnai kesenjangan sosial yang cukup tinggi. Kelas menengah atas di Filipina cenderung lebih aktif terlibat dalam kegiatan politik akibat latar belakang pendidikan serta mudahnya akses ke dalam institusi politik negara, sedangkan masyarakat Filipina yang tinggal di wilayah pedesaan cenderung apolitis dan konservatif atau takut pada perubahan. Hal tersebut merupakan suatu fenomena yang berbahaya karena para penduduk desa dapat dengan mudah dikelabui oleh para politisi yang mayoritas merupakan kaum elit kota-kota besar Filipina untuk dipengaruhi hak suara mereka dalam pemilihan umum.
Pemaparan di atas, kembali mengingatkan pada berita politik yang cukup populer beberapa waktu lalu, ketika Seorang pebisnis perempuan Filipina, yang dituduh sebagai tokoh sentral dalam skandal korupsi, mengaku tidak bersalah. Pengusaha bernama Janet Napoles itu dituding menggelapkan dana publik sebesar $220 juta atau sekitar Rp2,4 triliun.[1]
Skandal ini juga meretaskan protes masyarakat terhadap dewan legislatif dan presiden. Anggota dewan di Filipina memang mendapat jatah anggaran negara, untuk dimanfaatkan dalam proyek-proyek yang memajukan daerah pemilihannya. Masyarakat setempat menyebut dana ini sebagai “gentong babi”. Pengungkap fakta, yang terdiri dari keluarga dan mantan karyawan Napoles, menuduh pebisnis perempuan itu sebagai tokoh sentral korupsi dan diduga terlibat dalam pembentukan lembaga-lembaga fiktif yang menyedot dana bantuan itu. Kasus Napoles sudah meluas hingga jejaring sosial. Para pengguna media sosial Filipina mulai mengungkap kekecewaan berikut pandangan mereka.
Sebetulnya, apabila lebih mendalam menelaah bahwa faktor kunci yang memberikan kontribusi kelangsungan dinasti politik di Filipina adalah sistem partai politik yang lemah. Partai politik besar seperti Partai Liberal yang berkuasa, Aliansi Persatuan Nasionalis dan Partai Nacionalista hanya ada melalui aliansi yang ditempa antara keluarga politik yang kuat. Para pemimpin partai dan kandidat untuk jabatan publik yang direkrut tidak melalui proses kaku seleksi dalam partai politik, tetapi melalui jaringan kekerabatan tradisional.Hal tersebut akhirnya melahirkan pandangan skeptis terhadap pemerintah, hukum, dan keadilan bahwa jabatan publik yang diperoleh tidak lain hanyalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan kekuasaan dari pemegang jabatan serta memberi keuntungan pada anggota keluarganya. Sedangkan, masyarakat kalangan bawah tidak pernah diperhatikan dan yang terjadi adalah skandal korupsi, kolusi dan nepotisme di setiap level pemerintahan yang justru akhirnya semakin menambah pandangan skeptis dalam masayrakat Filipina.
Masyarakat Filipina juga terkenal dengan Pakikisama yaitu penekanan terhadap keharmonisan hubungan inter-personal ketimbang harus adanya kemunculan konflik demi pemecahan suatu permasalahan. Hal ini juga memiliki dampak yang besar terhadap budaya politik di Filipina yang cenderung mengutamakan image atau gambaran seorang anggota pemerintahan dalam masyarakat serta hubungannya dengan para stakeholders ketimbang mengutamakan substansi isu atau kepentingan rakyat yang seharusnya didahulukan.
Akan tetapi, kasus Militer Filipina yang didukung artileri, menyerang gerilyawan Pejuang Pembebasan Islam Bangsamoro (BIFF) di satu desa terpencil di pulau selatan Mindanao,[2] memicu pertempuran yang memaksa ratusan warga sipil melarikan diri menimbulkan pertanyaan baru akan eksistensi Pakikisama.  MILF telah memimpin pemberontakan di Filipina selatan sejak 1970-an ditujukan untuk mencapai kemerdekaan atau otonomi untuk minoritas Muslim negara itu  di Mindanao, yang mereka anggap sebagai tanah air leluhur mereka. Sekitar 150.000 orang diperkirakan telah tewas dalam konflik. Setelah 18 tahun perundingan, MILF Sabtu menyepakati bagian akhirdari perjanjian perdamaian yang akan memberikan warga Muslim sebuah tingkat otonomi lebih besar di selatan, termasuk kendali atas banyak sumber daya alam di wilayah itu. BIFF memisahkan diri dari MILF secara bertahap setelah pemimpinnya, Ulama Ameril Umbrakato yang dilatih di Arab Saudi, menuduh kelompok Muslim utama mengkhianati keinginan wilayah itu untuk mencapai  kemerdekaan. 
Peritiwa tersebut menunjukan, bahwa nampaknya Pakikisama telah mulai luntur dalam kehidupan masyarakat Filipina.  Berbagai skandal politik seperti korupsi, kolusi dan nepotisme seperti yang telah dipaparkan di atas, ternyata tidak hanya melahirkan pandangan skeptis di masyarakat.  Akan tetapi, juga telah melunturkan nilai tradisional masyarakat Filipina dalam menjaga keharmonisan dalam hubungan masyarakat.  Hal tersebut harusnya menjadi refleksi bagi elit politik Filipina, yang harus segera menata dan memperbaiki diri dihadapan masyarakat. Perbaikan tersebut, tidak hanya sebatas pencitraan image semata, tetapi harus menjadi substansi yang diimplemenasikan dalam aktivtas politik yang berpihak pada kepentingan rakyat Filipina bukan hanya kepada segelintir elit atau penguasa.
Berdasarkan keseluruhan pemaparan di atas, apabila melihat latar belakang sejarahnya, sistem otoriter telah terimplementasi di Filipina mulai dari zaman kolonialisasi Spanyol hingga persemakmuran dan pendudukan Jepang pun demikian. Bahkan Benigno Aquino yang menenatang pemerintahan Marcos mengatakan bahwa siapa pun yang menjadi sukesesor Marcos, memerlukan kekuatan diktator untuk membangun ulang kekuasaan.sehingga, tidaklah mengherankan apabila sering terjadi perdebatan mengenai ketidaksesuaian di Filipina antara retorika demokrasi dan kesediaan untuk mempraktikkan hal tersebut.  Masalah lain yang nampaknya menjadi persoalan di Filipina adalah nasionalisme yang tidak tidak mencapai akhir bahagia, karena kaum nasionalis Filipina gagal untuk mencapai suatu konsensus tentang apa itu kepentingan nasional dan bagaimana cara mencapai hal tersebut.
Dalam konteks lain, nampaknya dapat disimpulkan bahwa Filipina sebagai suatu entitas negara masih belum dapat mandiri secara independen. Secara ekonomi dan militer masih sangat bergantung pada Amerika Serikat, secara identitas kebudayaan sosial memiliki perbedaan diantara negara-negara tetangganya, secara politik masih menghadapi korupsi serta nepotisme dan fenomena dinasti keluarga pemilik modal yang merupakan oligarki perekonomian dan politik domestik negara tersebut.
Namun demikian, fenomena dinasti politik di Filipina tersebut menjadi refleksi bagi Indonesia.  Meskipun beberapa kasus di Indoensia menunjukan sebuah dinasti politik seperti fenomena Dinati Politik Ratu Atut di Provinsi Banten, temasuk dinasti politik Partai Demokrat akan tetapi karena dinasti politik di Indonesia belum meluas seperti di Filipina, masih ada banyak kesempatan bagi pihak berwenang Indonesia untuk membalikkan kecenderungan kenaikan dinasti regional dalam rangka menghindari kekisruhan politik seperti dialami oleh demokrasi Filipina. Lahirnya sebuah undang-undang anti-dinasti dan peningkatan sistem partai politik tidak dapat dijadikan satu-satunya langkah untuk proliferasi klan politik. Setiap stakeholders termasuk masyarakat sendiri sebagai bagian dari aktor penting dalam politik harus berpartisipasi aktif terhadap keberlangsungan sistem politik yang ada dengan meneliti platform dan rekam jejak calon, bukan nama keluarga mereka.  Sehingga diharapkan bahwa pengalam dinasti politik yang telah menjadi benalu dan mengakar di Filipina tidak dialami oleh negara Indonesia.


[1]Cris Larano. Sidang Skandal Politik Uang Filipina dalam

 http://indo.wsj.com/posts/2013/11/08/sidang-skandal-politik-uang-filipina/ diakses pada Kamis, 23 April 2014; Pukul 16.07 WIB.
[2] Tanpa Nama. Militer Filipina Serang Pembelot Biff Garis Keras dalam http://beritasore.com/2014/01/27/militer-filipina-serang-pembelot-biff-garis-keras/ diakses pada Rabu, 23 April 2014; Pukul 16.38 WIB.