Rabu, 01 Agustus 2012

Menelaah Tragedi Pemerkosaan di Sarana Transportasi Umum”

oleh Alpiadi Prawiraningrat

Dari tahun ke tahun tingkat kejahatan dengan kekerasan secara kuantitatif semakin cenderung meningkat dengan modus operasional yang beragam dengan dampak yang serius terhadap korban kejahatan.  Keprihatinan terhadap korban semakin mengemuka karena banyaknya kasus pemerkosaan yang tidak terselesaikan secara tuntas, sedangkan dampak terhadap korban pada saat kejafian hingga pascaviktimisasi cukup mengenaskan dan membawa dampak traumatik yang berkepanjangan.  Yang bila ditelusuri lebih lanjut korban dari kejahatan tersebut adalah perempuan dengan tindakan kekerasan seperti kekerasan seksual, tindak perkosaan dan pelecehan seksual.
Sebagai contoh dari kasus ini adalah pemerkosaan yang terjadi di sarana transportasi umum di ibukota Jakarta yang dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, data humas metro jaya menunjukan pada tahun 2011 telah terjadi kenaikan kasus sebanyak 13,33% dari kasus yang terjadi tahun 2010.
Mengutip data dari Polda Metro Jaya, dalam harian kompas.com. (19/11/2011) Menyebutkan, “selama tahun 2011 terjadi 68 kasus perkosaan. Tahun 2010, ada 60 kasus perkosaan. Terjadi peningkatan 13,33 persen. Ini sangat mengkhawatirkan,.Tiga di antaranya terjadi di jalan umum, termasuk dalam angkot.[1]
Kekerasan tersebut dipahami sebagai kekerasan yang berbasis gender atau gender based violence.  Konsep ini sejatinya mengacu pada posisi subordinasi perempuan karena relasi keduanya mencermikan powerless dan powerful, dengan kata lain terdapat ketimpangan natra  
Berbagai hasil studi menunjukan bahwa tindakan pemerkosaan di sarana transportasi umum terkait dengan rasa aman dan fear of crime.  Dibuktikan dengan banyaknya perempuan yang merasa tidak aman dan dihantui rasa takut berada di luar rumah pada malam hari karena mereka merasa terancam terhadap berbagai kekerasan fisik dan seksual dan seakan menajadikan terror bagi perempuan dan perlu di tindak tegas.
Sebagaiamna yang dikemukakan oleh Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Priyo Budi Santoso, Minggu (22/1/2012) mengatakan “Perlakuan biadab ini sudah menjadi teror bagi perempuan. Ini sudah di luar batas toleransi kita sebagai masyarakat beradab. Hukum harus tegak, tangkap pelakunya!" kata Priyo melalui pesan singkat kepada Kompas.com
Di sisi lain, kejahatan seks dimulai dari proses perilaku seks, dan pelecehan seks bermuara pada kejahtan seks.  Oleh karena itu, perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh lingkungan hidupnya.  Begitupun dengan permasalahan pemerkosaan di sarana transportasi umum.  Perlu analisis tentang pengaruh nilai sosial budaya. Terutama berkaitan dengan ideologi gender.  Hubungan perempuan dan laki-laki di Indonesia masih di dominasi oleh ideologi gender yang membuaahkan budaya patriarki.  Budaya ini tidak mengakomodasi kesetaraan, keseimbangan, sehingga perempuan menjadi tidak penting untuk diperhitungkan.[2] 
Ketika perbedaan seks dan gender tidak dilihat secara kritis, maka muncullah masalah gender yang berwujud ketidakadilan gender.  Pemerkosaan di sarana transportasi umum dengan korban mayoritas perempuan menunjukan masih adanya stereotype terhadap perempuan yang di identikan sebagai kaum yang lemah dan mudah untuk dilecehkan, dengan pandangan bahwa derajat perempuan lebih rendah dari laki-laki.  Sehingga, menjadi salah satu alasan laki-laki berani melakukan tindakan ketidakadilan atau diskriminasi gender dalam lingkungan masyarakat.  Salah satu bentuk dari ketidakadilan tersebut adalah tindakan  Kekerasan/Violence.
Lee Ellis (1989), dalam karyanya Theories of Rape khususnya pada bagian The Feminist theory of Rafe mengemukakan tentang posisi perempuan relevansinya dengan tindakan pemerkosaan. Secara mendasar pemerkosaan berakar pada tradisis sosial bahwa laki-laki telah mendominasi semua aktivitas penting secara politik maupun ekonomi.  Perempauan dikeluarkan dari posisis kekuasaan ekonomi dan politik dan perempuan di pandang sebagai partisipan yang tdiak setra dalam hubungan/interaksi interpersonal (unequal participants in interpersonal interactions).  Kasus perkosaan di atas menunjukan bahwa fungsi langsung dari kekuasan ekonomi  dan politik peran perempuan yang relatif kurang dibandingkan laki-laki dan merupakan hasil keputusan dan respons hubungan ketidaksetaraan secara sosial.  Hal tersebut memepengaruhi laki-laki dalam bertindak/ berinterkasi secara seksual untuk mengekspresikan cara pendomisilan seta mekanisme kontrol pada diri perempaun.  Motif tindak perkosaan utamanya bukan kepuasaan seksual, tetapi pembuktian akan supermasi, dominasi dan kontrol terhadap perempuan.
Dengan memperhatikan permasalahan dan tantangan yang dihadapi, berkaitan dengan permasalahan pemerkosaan di sarana transportasi umum.  Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk meminimalisir dampak tersebut, dengan melakukan razia terhadap supir angkot tembak (supir angkot sewaan), serta razia terhadap mobil angkutan yang tidak memenuhi atau melanggar standar peraturan.  Salah satunya kaca film yang melebihi batas yang ditetapkan.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Kabid Humas Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Baharudin Djafar, meminta pemilik angkutan umum untuk tidak memakai kaca film gelap.  Ia melanjutkan, sebenarnya aturan terkait kaca film ini sudah tertuang di dalam Surat Keputusan Menteri Perhubungan RI yang menyebutkan kaca film kendaraan bermotor baik pribadi maupun angkutan umum maksimal 60 persen.  Namun, meski banyak menemukan pelanggaran, polisi tidak bisa menindaknya.  "Itu kewenangan Dinas Perhubungan. Kami hanya bisa mengimbau agar pengelola angkutan umum untuk tidak memakai kaca film gelap," katanya.
Sementara itu, Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Udar Pristono, membenarkan kaca film kendaraan bermotor maksimal memiliki keterangan cahaya sampai 60 persen, tidak boleh lebih. "Tetapi, sampai sekarang kami belum pernah melihat ada kendaraan umum yang pakai kaca gelap," kata Pristono. Ia mengatakan kendaraan umum yang paling banyak melakukan pelanggaran adalah Kopaja, Metro Mini, dan Mikrolet. Pelanggaran yang biasa dilakukan terkait dengan kelaikan jalan. "Misalnya ban botak, kaca pecah. Kalau sampai kaca film sepertinya tidak ada karena kebanyakan dari mereka masalahnya tidak ada perawatan, untuk merawat saja susah apalagi beli kaca film," kata Pristono.
Namun, pernyataan Pritono tesebut terbantahkan denag hasil razia yang dilakukan oleh Bidang Pengendalian Operasional Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Senin (19/9/2011), melakukan razia kaca film gelap pada angkutan umum (angkot) di Terminal Kampung Rambutan, Jakarta Timur. Razia tersebut dilakukan untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan.  Sebelumnya, razia kaca film pada angkot dilakukan di Terminal Lebak Bulus dan Terminal Pulo Gadung.
"Hari ini kami lalukan pencopotan saja. Jika memang masih bandel, maka akan ditilang dan disita surat izinnya," kata Kabid Pengendalian Operasional Dinas Perhubungan DKI, Arifin Hamonangan di Terminal Kampung Rambutan, Jakarta, Senin (19/9/2011).
Dari 50 angkutan umum yang diperiksa, ada enam angkutan umum yang kedapatan menggunakan kaca film. Di antaranya Angkutan Umum 03 jurusan Kampung Rambutan-Cililitan dan Angkutan Umum 121 jurusan Kampung Rambutan-Cileungsi.
Di samping itu, pendataan terhadap kepemilikan sarana transportasi umum tersebut harus jelas dengan melakukan razia terutama pada sopir tembak yang tidak memiliki kelengkapan berkendaraan seperti Surat Izin Mengemudi (SIM) dan Surat Tanda Naik Kendaran (STNK). 
Sebagaimana diungkapkan oleh Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Royke Lumowa, mengungkapkan, pihaknya menyadari kerawanan kriminalitas yang terjadi di angkutan umum belakangan meningkat. Karena itu, razia sopir tembak pun akan dilakukan kepolisian.
Razia nantinya akan lebih difokuskan pada domain pihak kepolisian, yakni kelengkapan dokumen seperti Surat Izin Mengemudi (SIM). "Kalau tidak punya SIM, pasti akan kami tilang," kata Royke.
Dia mengatakan, untuk membedakan sopir tembak atau bukan tidak terlalu sulit. Pasalnya, hampir sebagian besar sopir tembak tidak memiliki SIM sesuai ketentuan. "Rata-rata SIM sopir tembak itu biasanya polos. Polsek-polsek juga harusnya mendata. Di line ini sopirnya siapa," ucap Royke.  Menambahkan, untuk mencegah adanya sopir tembak, di tiap angkutan umum harusnya ada tanda pengenal pengemudi dan kondektur resmi dari pihak operator. "Mereka juga harus memakai tanda pengenal dan seragam," ujar Royke.
Apabila ditemukan ada yang menyalahi, Royke mengatakan pihak operator bisa mendapatkan teguran. Namun, razia kelayakan sopir ini merupakan kewenangan Dinas Perhubungan DKI.
"Ini sebenarnya kewenangan mereka. Tapi kalau mereka tidak mampu, kami siap membantu. Kalau situasinya sudah rawan begini, tidak usah saling lempar wewenang," kata Royke.
Meskipun dalam hal peraziaan ini terkesaan adanya lempar wewenang di anatara pihak kepolisian dengan dinas Perhubungan DKI Jakarta.  Namun dari pihak kepolisan bersedia membantu jika diperlukan.  Guna mewujudkan rasa aman terhadap masyarakat.
Selain itu, pemerintah juga mengupayakan melalui kebijakan peraturan perundang-undangan dalam menangani masalah terkait, diantaranya: (1) sosialisasi UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Perempuan terutama bagi aparat penegak hukum di tingkat provinsi dan kabupaten/kota; (2) sosialisasi Peraturan perundang-undangan UU No 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban, dan (3) UU No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang telah mengatur jaminan perlindungan terhadap para perempuan korban pemerkosaan.  Peraturan perundang-undangan tersebut berkaitan dengan hak-hak yang dimiliki oleh korban pemerkosaan salah satunya adalah pemohonan perlindungan.
Disayangkan, kurangnya sosialisasi dari pemerintah mengenai peraturan undang-undang tersebut kepada masyarakat.  Menyebbakan para korban tindak pelecehan seksual tidak mengetahui dan memahami hak-hak dan kewajibanya sebagai korban.  Sebagaimana yang dikemukakan oleh Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris Semendawai menyatakan, masih minimnya jumlah permohonan perlindungan yang diajukan korban pemerkosaan membuktikan bahwa korban belum mengetahui tentang hak-haknya sesuai ketentuan perundang-undangan.
Menurut Ketua LPSK di Jakarta, Kamis (22/9),[3]sepanjang tahun 2010-2011, dari sekitar kurang lebih 64 kasus pemerkosaan dan tindak pelecehan seksual, hanya ada 10 korban pemerkosaan dan pencabulan yang mengajukan permohonan perlindungan ke LPSK.  LPSK memandang bahwa minimnya jumlah permohonan perlindungan yang diajukan korban pemerkosaan ini membuktikan bahwa korban belum banyak mengetahui tentang hak-haknya sesuai ketentuan Undang-Undang. Peraturan perundang-undangan tersebut adalah UU No 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban, UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan UU No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang telah mengatur jaminan perlindungan terhadap para perempuan korban pemerkosaan.
Sesuai dengan amanat UU No 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban, menurut anggota LPSK Penanggungjawab Bidang Bantuan, Kompensasi dan Restitusi, Lili Pintauli Siregar, LPSK memiliki kewajiban dalam memberikan perlindungan dan bantuan terhadap korban pemerkosaaan, mulai dari perlindungan hukum, fisik dan perlindungan psikis.
"Selain pemberian perlindungan perlindungan hukum, fisik dan perlindungan psikis, korban juga berhak mengajukan upaya restitusi, agar pelaku dibebankan untuk memberi ganti kerugian terhadap korban dan keluarga korban," ujar Lili.
Dari persoalan di atas diperlukan dukungan aparat penegak hukum serta pemerintah daerah setempat untuk menginformasikan secara massif terhadap korban pemerkosaan mengenai hak-haknya serta melakukan upaya pencegahan agar tidak terjadi tindakan pemerkosaan dan pencabulan yang akan mengancam posisi perempuan dan anak yang rentan menjadi korban.
Selain itu pula, penguatan-penguatan advokasi dan perlindunagn hak-hak perempaun menjadi kebutuhan fundamental bagi korban kekerasan seksual.  Pembaruan emnasipatif dalam proses peradilan pidana menjadi sesuatu yang esensial.[4]  Carol Smart dan feminis lainnya yang menelaah hukum baerdasarkan perpektif gender menemukan adanya kebutuhan yang aspiratif terhadap kepentingan perempuan korab kekerasan atai pelecehan seksual.  Carol smart menjelaskan bahwa yang perlu direformasi adalah ahak-hak bari perempuan korban pemerkosaan. Dengan menghadirkan dokter perempuan, aparat kepolisian perempuan, dan menciptakan suatu legal advocate untuk memebantu melindungi kepentingan korban selama proses peradilan.
Berbagai kebijakan dan peraturan yang telah dijelaskan di atas, tidak lain adalah upaya dalam mewujudkan kesetaraan gender di Indonesia.  Sehingga tidak menimbulkan permasalahan di masyarakat.  Sebaik apapun produk hukum, akan sulit di implementasikan tanpa disertai adanya kesadaran bahwa tindakan kekerasan terhadap perempuan merupakan persoalan kita semua bukan persoalan mereka (perempuan) semata.  Penyelesaian kasus kekerasan melalui jalur hukum merupakan suatu keharusan.  Usulan dari berbagai pihak guna menetapkan hukman minimal serta hukuman yang berat terhadap pelaku dipercaya dapat menangkal individu melakukan berbagai tindak kekerasan seksual terhadap perempuan.[5]  Akan tetapi itu saja belum cukup mereformasi keseluruhan sistem hukum dan kinerja jajarannya yang mengakomodasi kebutuhan dan pengalaman perempuan, merupakan bagian yang paling fundamental.
Proteksi hukum terhadap korban dan saksi perlu segera direalisasikan mengingat seringnya korban mendapat terror, intimidasi, ancaman sebagai instrumen menghentikan pengaduan dan tuntutan.  Selain anksi pidana, restitusi sebagai ganti rugi yang harus diberikan pelaku terhadap korban perlu diatur secara memadai.[6] Karena pasca viktimisasi berbagai penderitaan menimpa korban,.  Selain itu, korban memerlukan biaya penyembuhan,.  Pendampingan baik oleh seorang ahli hukum, medis, psikolog selama korban menjadi saksi atau berurusan dengan tata peradilan pidana menjadi sangat strategis menjamin kenyamnan dan dukungan moril selama menjalani proses sebagi saksi.  Hal ini dilakukan sebagai upaya dalam menjamin hak-hak perempuan sebagai warga negara.  Sehingga hak tersebut dapat terjamin dan meminimalisir frekuensi tindakan kekerasan atau pelecehan seskusal terhadap perempuan.  Sebagai upaya dalam mewujudkan kesetaraan gender di Indonesia dan mencapai Integrasi Nasional.




[1] (http://megapolitan.kompas.com/read/2012/01/27/22391148/Kasus.Perkosaan.di.Angkot.Memprihatinkan)
[2] Sihite, Romany.  2006.  Perempuan, Kesetaraan dan keadilan.  Jakarta: Rajawali pers.
[3] Dikutip dari http://www.suarapembaruan.com/home/lpsk-banyak-korban-perkosaan-tak-tahu-hak-haknya/11553
[4] Murniati, Agustino P.  2004.  Getar Gender: Perempuan Indonesia dalam Pespektif Sosial, Politik, Ekonomi, Hukum dan HAM.  Magelang:  Indonesiatera.
[5] Sihite, Romany.  2006.  Perempuan, Kesetaraan dan keadilan.  Jakarta: Rajawali pers.
[6] Ibid,.

“Human Rights and Gender Relations in Postcolonial Africa: Options and Limits for the Subjects of Legal Pluralism”


                                                                         By Anne Hellum

            This article is very interesting for me, because it provides information about human rights and gender relations are an important component of social relations was still a lot of experience as an example of the relationship issues of gender relations and human rights in Africa.  The contentious relationship between gender equality, custom, and culture is reflected in varying legislative and judicial strategies that have been pursued by the different postcolonial African states as a means of reconciling greater equality with the protection of custom and culture  quite caught my attention.
            The article explain about contentious relationship between gender equality, custom, and culture is reflected in varying legislative and judicial strategies that have been pursued by the different postcolonial African states as a means of reconciling greater equality with the protection of custom and culture.   The social, cultural, economic, and legal differences between and within the countries that have ratified the Women’s Convention have made its implementation problematic.  Part of the problem is that customary norms sometimes operate to women’s disadvantage but other times do not.  for example, The Kenyan constitution embodies the principle of gender equality but at the same time protects the customary laws of the different ethnic groups and Hindu and Islamic law.  
By the article Anne Hellum suggested how women are contesting and transforming asymmetric power relations in terms of gendered prescriptions about speech, behavior, and distribution of resources, all these studies show that internationally initiated law reform gradually is taking root in local African communities. What all these studies demonstrate is the shortcoming of simplistic and one-dimensional dichotomies, such as Western versus African, traditional versus modern, folk law versus state law and universalism versus cultural relativism. Insight into women’s different and complex needs implies rejecting both the universalist and the relativist theories that assume harmonious and balanced societies based on complementary gender roles.
I things to do to understand the problem that law should be analyzed as a process of producing fixed gender identities rather than as the application of gender-neutral law to Previously gendered subjects. This is done to create a unified system applicable to all groups or to continue with a plural system of laws and customary That accommodate the religious laws of the different ethnic Populations. so that the convention requires states to undertake constitutional, legislative, and socioeconomic reform Aiming at the elimination of discrimination against women in the private as well as in the public sphere.

“Indonesia and ASEAN Free Trade Agreement: Nationalist and Regional Integration Strategy”


By Alexander C. Chandra. Lanham

The book Indonesia and ASEAN Free Trade Agreement by Alexander C. Chandra. Laham very interesting for me, because it provides information does not address the current global crisis. However, it examines the debate between globalization, regionalization, and ethnonationalism, particularly related to the development in Indonesia after the regional Asian financial crisis in 1997-1998.
This book explain  regionalism as a mechanism to achieve a new world order, to combat the excess of globalization and minimize the control and abuse by the state, to obtain a better world order, and to improve the regional structure of governance.  He also showed the possible symbiotic relationship between nationalism and regionalism, though there were cases where one benefited more than the others and where no group benefited from the symbiosis.  Indeed, this symbiotic relationship was the hypothesis that the author examines in this book that the two could be mutually reinforcing.  Regionalism should not been seen as a replacement of nationalism, but it was a means to protect the citizens of interdependent international communities.  To examine his hypothesis, he carried out a case study on Indonesian nationalism and ASEAN regional integration, with a special focus on the ASEAN Free Trade Agreement (AFTA).  Indonesia was chosen because Chandra saw that Indonesia's development had been shaped with nationalism.  ASEAN was selected because of its commitment towards regionalism.
The writer suggested that the world had become both integrated and fragmented at the same time. Global capitalism reminded the leaders of a more internationalized world economy, continuing to widen the search for more profitable ways of production and distribution of goods and services.  On the other hand, nationalist economic policies in both developing and developed economies were also active in countering globalization, with the purpose of protecting their own citizens.
I argued that regionalism had emerged in response to both the rising trend of globalization and nationalism. Traditionally, nationalism was seen as threatening regionalization and globalization.  Nevertheless, today nationalism was very different from that in the past.  Today, nationalism was not necessarily a threat to regionalization and globalization. It could be an important step towards strengthening regionalization and globalization.  Therefore, Regionalism should not been seen as a replacement of nationalism, but it was a means to protect the citizens of interdependent international communities.






“Differences Characteristics of Villages and Cities in Indonesia”


                                                    
by Alpiadi Prawiraningrat

Today’s human settlements are very complex. People have created a place where in the political, economic, military, social, and environmental concerns of different countries are associated with one another affecting each other’s political and economic stability.
In ancient times this wasn’t the situation. People then were grouped in families that led nomadic lives in search of food and to evade natural enemies. They hunted animals and gathered fruits for food going from one place to another. They did not settle in one place like people do today living in cities, towns, and villages. These settlements are composed of several families. And although they are similar in terms of providing a permanent place for people to live, they are distinct entities. It is a firm belief on the part of people that there is a big difference between village and city life. It is absolutely true that the life in a village and that in a city varies so much that the difference is glaring at times. There are several different characteristics  between villages and cities in Indonesia.  The difference can be seen from the characteristics of the facilities, community, the majority of the work performed, and population.
It is a firm belief on the part of people that there is a big difference between village life and city life. It is absolutely true that the life in a village and that in a city varies so much that the difference is glaring at times.
We would not find many facilities and opportunities in a village. Parents would be happy to send their children to cities for higher studies rather than to villages. Cities are endowed with quality higher education institutions whereas villages are not endowed with high quality colleges and universities.  In addition to schools and colleges, city life is preferred for improved medical facilities. If someone falls ill in the family, you tend to take him or her to a popular hospital in a city since villages are not equipped with the best of medical attention. The number of hospitals in a city and the facilities are far more when compared to that in a village.  A city has banks, cinema theaters, parks, sports stadiums, clubs, hostels and shopping malls.
Next, the characteristics of people in a city is different from that of the people in a village.  People in a city are generally unfriendly and they maintain distant from others. The people in villages on the other hand are warm-hearted and friendly. Villagers receive you well where as city-dwellers tend to be within doors. People in villages are very helpful in nature whereas people living in cities tend to be more selfish in their attitude. Villagers has a traditional nature of the society with a ancestral trait, helping each other and still have the nature of tolerance. While the city and its community have individual properties height and modern.
In addition, there is a great disparity in the majority of the work performed between people in villages and city communities.  For example, the majority of the work of the community in the village depending on the condition of nature such as agriculture, raising water and cultivation. While the majority of the citizens of the city, working in the private sector as an office employer, workers factory and trade.
The last obvious difference population between villages and cities in Indonesia.   City and its community are very heterogeneous and very dense populations of the community who came from various backgrounds either ethnic or religious. With some metropolitan areas now measured by the tens of millions, a city can have a very large number of people. On the other hand, a village has a population that is often measured in the thousands or even less than that.  The village has a population of extremely low with a homogenous society with a plurality is very low. In contrast to the
Although, there are differences between rural and urban characteristics. Both of areas must still establish cooperation and coordination  to avoid gaps between villages and cities and minimalize urban refraction.


“Idealnya Sebuah Parlemen untuk Indonesia Lebih Baik”


Oleh: Alpiadi Prawiraningrat

Negara adalah suatu organisasi yang mengatur keseluruhan hubungan antara individu satu dengan individu lain dalam masyarakat.  Kranenburg berpendapat bahwa negara adalah suatu organisasi kekuasaan yang diciptakan oleh sekelompok manusia yang disebut bangsa, dengan tujuan untuk menyelenggarakan kepentingan bersama.  Sedangkan menurut  Roger Soltau, negara adalah alat atau wewenang yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama, atas nama masyarakat.    
Uraian singkat di atas memperlihatkan dua unsur penting dalam negara yaitu kekuasaan yang berorientasi kepada usaha mewujudkan suatu tujuan dan kesejahteraan bersama.  Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau kelompok tertentu dalam mempengaruhi individu atau kelompok lain sehingga sesuai dengan apa yang dikehendakinnya.[1] Sehingga diperlukan individu atau kelompok yang berkompeten dalam “memainkan” peran kekuasaan yang dimiliki, sehingga mampu merealisasikannya dalam sebuah tindakan positif dan berpihak terhadap kepentingan rakyat.  Salah satu bentuk dari penerapan kekuasaan tersebut adalah parlemen.          
Indonesia sebagai negara demokrasi memilki struktur kekuasaan yang berbeda.  Sebagaimana diungkapkan dalam asas trias politica berupa anggapan bahwa kekuasaan negara terdiri dari tiga macam kekuasaan, yaitu kekuasaan membuat UU, kekuasaan melaksanakan UU, dan kekuasaan mengadili atas pelanggaran UU.  Dalam prakteknya terdiri dari badan eksekutif, legislatif dan yudikatif.  Adapaun untuk anggota parlemen di Indonesia sendiri terdiri atas DPR-RI (Dewan Perwakilan Rakyat), DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) dan DPD (Dewan Perwakilan Daerah).             
            Pembagian kekuasaan tersebut diharapkan menumbuhkan suatu kesadaran untuk setiap cabang kekuasaan agar dapat mengawasi dan mengimbangi cabang kekuasaan lain (check and balances).  Selain itu, Andrew Heywood mengungkapkan: “Assembly plays an important role in providing a relationship between the government and people.[2]  Dapat diartikan bahwa  majelis yang didalamnya terdapat DPR-RI, DPRD dan DPD memegang peranan penting dalam hubungan antara pemerintah dan rakyat.  Hubungan di sini adalah bahwa setiap keputusan yang diambil oleh majelis harus selalu berorientasi dalam upaya mencapai kesejahteraan masyarakat.
Namun masih jelas dalam ingatan kita ironi yang muncul berkaitan dengan parlemen, diantaranya korupsi yang semakin merajalela, ricuh pada saat pengambilan keputusan (kasus Bank Century), menonton film porno ketika rapat berlangsung (anggota dari fraksi PKS, Arifinto) dan kebiasaan tidur tatkala sidang berlangsung serta tindakan-tindakan memalukan lainya.  Ironi memang, mengingat besarnya harapan terhadap  anggota dewan untuk dapat mengemban dan menyampaikan amanah rakyat, tetapi dalam kinerjanya mereka justru mengecewakan rakyat.  Padahal bila mengingat-ingat asal usulnya, mereka (anggota parlemen) dapat duduk dan menikmati kursi empuk di parlemen, dikarenakan dukungan rakyat, mendapatkan gajipun dari rakyat melalui pajak meskipun sebagian pajak “dilipat” dalam kantong pejabat negara, serta menikmati berbagai fasilitas negara lainya itupun dikarenakan “belaskasihan rakyat” ketika mereka (anggota parlemen) “mengemis-ngemis” meminta dukungan rakyat pada saat kampanye dengan mengobral janji yang diungkapkanya.  Namun seolah kacang lupa pada kulitnya, kenikmatan yang diberikan oleh empuknya kursi dewan  membuat mereka telah lupa akan janji yang diucapkanya tatkala kampanye.           
Hal lainya adalah sekitar bulan Mei 2011.  Ketika anggota Komisi VIII DPR berrencana untuk melakukan lawatan ke Australia guna mempelajari penanganan fakir miskin.  Kunjungan  tersebut menyedot dana sebesar Rp. 811 juta dengan masing-masing dianggarkan Rp 56 juta per anggota per tujuh hari.  Hal ini dilaksanakan ketika jutaan anak Indonesia tidak  bisa sekolah karena kemiskinan dan penyakit busung lapar yang semakin merajalela, mereka malah asyik berkunjung ke luar negeri tanpa menelaah terlebih dahulu kondisi negerinya sendiri.  Ironi memang melihat anggota parlemen Indonesia, tatkala ratusan juta rakyat Indonesia dengan ribuan masyarakat miskin didalamnya berharap besar bahwa kebijakan yang dibuat oleh anggota dewan berpihak kepada upaya mensejahterakan rakyat.  Namun dalam kenyataanya, anggota dewan yang “terhormat” malah asyik memainkan monopoli kekuasaan dengan saling sikut demi kepentingan pribadi dan partai politik yang menjadi kendaraanya menuju parlemen, serta sibuk bagi-bagi “hasil panen” dari dana proyek.
Parlemen pada dasarnya merupakan wakil dari rakyat sehingga seharusnya setiap keputusan serta kebijakan yang ditentukan haruslah berorientasi terhadap kepentingan rakyat.  Namun, dalam prakteknya hal tersebut sulit diwujudkan di hampir semua negara di dunia termasuk di Indonesia.  Anggota parlemen sering membawa-bawa kalimat demi kepentingan rakyat, akan tetapi pada kenyataanya justru hanya tuntutan kepentingan pribadi dan partai politiknya sebagai yang  lebih diutamkan.
Menyoroti kinerja parlemen Indonesia yang dari tahun ke tahun selalu mendapatkan kritik dari masyarakat atas tingkah laku anggotanya yang ‘aneh-aneh’ turut membuat penulis memikirkan hal ini.  Bisa dikatakan bahwa sistem pemerintahan negera kita cukup representatif, dikarenakan anggota parlemen (DPRD, DPD, DPR-RI) dan presidennya dipilih secara langsung. Tetapi, mengapa parlemen Indonesia dalam mengambil maupun merancang sebuah UU terkadang tidak sesuai dengan tuntutan rakyat.  Dalam kesempatan ini, penulis mencoba menuangakan ide-ide terhadap perkembangan parlemen di Indonesia, setidaknya sebagai bahan renungan dan refernsi agar format parlemen Indonesia menjadi lebih baik serta arif dan bijaksana dalam setiap tindaknya.  Penulis mengungkapkan ide tersebut berupa saran-saran yang terangkum dalam “Idealnya Sebuah Parlemen untuk Indonesia Lebih Baik”, adalah sebagai berikut: 
 1.           Memiliki visi dan misi yang jelas
Parlemen harus memiliki sebuah visi dan misi yang jelas.  Visi dan misi ini adalah prinsip dasar dan merupakan pemandu dalam menjalankan tugas sebagai wakil rakyat.  Bila diibaratkan, visi dan misi ini laksana cahaya bulan purnama yang terang benderang menerangi dan menuntun setiap langkah dalam menemukan tujuan dalam keadaan tersesat, yaitu jalan keluar di tengah gelap gulitanya hutan tatkala malam.  Dalam realisasinya, visi dan misi tersebut hendaknya berorintasi kepada kepentingan rakyat. Sehingga dalam perakteknya membuat atau menentukan suatu kebijakan sangat berguna bagi masyarakat.

2.      Memahami pekerjaan dasar
Parlemen hakikatnya adalah wakil dari rakyat, sehingga hendaknya  para anggota parlemen memahami hal tersebut dengan bekerja dan menentukan suatau kebijakan yang berorientasi terhadap kepentingan rakyat guna mensejahterakkan rakyat.  Parlemen seharusnya sebagai bagian yang independen dan profesional dalam menjalankan tugasnya.  Suarakan apa yang seharusnya diutarakan selama itu berpihak kepada kepentingan rakyat dan katakana tidak secara tegas tatkala suatu kebijakan tidak berpihak sama sekali terhadap rakyat.  Sehingga tidak mengutarakan ungkapan yang seolah-olah berorintasi pada rakyat namun hanya untuk kepentingan partai dan pribadi semata.

3.      Jujur dan terbuka
 Kejujuran mutlak diperlukan oleh parlemen selaku wakil rakyat.  Selain sebagai pengemban amanah dari rakyat, dalam menentukan kebijakan kejujuran dan keterbukkan harus tetap dijunjung tinggi.  Terutama berkaitan dengan pengajuan proyek-proyek yang sering dilakukan oleh para parlemen yang terkadang tidak masuk diakal.  Diharapkan untuk ke depanya lebih agar lebih jujur dan terbuka sehingga masyarakat tidak menebak-nebak sesuatu yang tidak akurat kebenarannya.

4.      Bertanggungjawab
Jelas sekali bahwa sebagai seorang wakil rakyat harus bertanggungjawab.   Hal tersebut sangatlah penting karena mereka (anggota parlemen) adalah wakil rakyat yang merupakan penyambung lidah rakyat serta mewakili rakyat Indonesia yang di pundaknya tersimpan amanah dari masyarakat.  Namun, penulis berpendapat bahwa diantara mereka masih banyak sekali yang kurang bertanggungjawab.  Sebagai contoh tatkala sidang yang didalamnya akan dibahas mengenai kepentingan dan tuntutan rakyat, sangat jarang sekali kursi anggota dewan terisi penuh.  Sekalipun mereka hadir, mereka hanya tertidur pada saat sidang berlangsung atau bahkan menonton film porno.   Sehingga parlemen yang bertanggungjawab sangat penting dan mutlak diperlukan dalam usaha mewujudkan pemerintahan Indonesia yang lebih baik.

5.      Sistem Dua Hak Menentukan
Pada saat pemilu, biasanya rakyat hanya diberi kesempatan untuk memilih wakilnya dengan cara mencontreng atau mencoblos wakil rakyat yang dia pilih untuk beberapa tahun kedepan menjadi wakil dalam meyampaikan aspirasnya di kursi senayan.  Namun tidak diberikan kesempatan untuk menurunkan wakil rakyatnya tatkala mereka anggota parlemen bertindak dari jalur dan kebijaknya tidak berorientasi kepada kepentingan rakyat. Yang dimaksudkan sistem dua hak menentukan disini adalah bahwa rakyat selain bisa menentukan untuk memilih anggota parlemen yang mewakili aspirasinya, seharusnya juga memiliki hak untuk menurunkan anggota parlemen yang dinilai kinerjanya merosot dan selalu “bertingkah” ketika melaksanakan pekerjaan.  Jadi, tidak perlu menunggu masa jabatan selama 5 tahun untuk menggantikan posisi mereka. Selain bisa memilih dan menaikkan , rakyat juga bisa menurunkan mereka secara langsung.

6.      Lembaga Independen
Selain asas check and balances dalam pembagian kekuassan yang di anut oleh negara indonesia, diperlukan juga lembaga independen dalam mengawasi parlemen.  Lembaga independen ini bebas dari keterikatan kepentingan politik dan interpensi pihak manapun.  Lembaga ini  bebas bertugas dalam mengawasai kinerja dari parlemen Indonesia namun tetap dalam peraturan UU yang berlaku.

Beberapa poin di atas merupakan hasil pemikiran penulis untuk memberikan sedikit saran dalam membentuk format parlemen ideal di indonesia. Sebagai bentuk kepedulian penulis terhadap nasib perpolitikan Indonesia dan sebagai bentuk ungkapan cinta seorang generasi muda Indonesia terhadap tanah airnya yang merindukan kejayaan “sang Garuda” laksana Majapahit dan Sriwijaya dimasa silam.
Serta untuk para anggota dewan, emban tugasmu dengan baik dan penuh tanggungjawab serta profesionalisme.  Karena dirimu adalah representasi dari rakyat dan amanah rakyat berada di pundakmu. SEMANGAT PARLEMEN INDONESIA BISA!

Referensi
Miriam, B. (2004). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.                                                                                                                   
Heywood, Andrew, 1997, Politics, London: Macmillan Press Ltc.



[1]   Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka , 2010), hal 17-18
[2]  Andrew Heywood, Politics, (London: Macmillan Press Ltd, 1997)