Selasa, 04 Februari 2014

Mahasiswa Purwakarta, jangan hanya membanggakan diri dan mengkritisi tanpa solusi.


oleh Alpiadi Prawiraningrat
Tulisan ini berdasarkan pengamatan terhadap fenomena yang dialami saya pribadi di kota kelahiran Purwakarta, yang terjadi setiap liburan semester perkuliahan tiba.  Ya, liburan semester bagi mahasiswa daerah seperti saya, kerap kali dimanfaatkan sebagai kesempatan untuk pulang ke kampung halaman yang diisi dengan kegiatan bertemu dengan keluarga ataupun teman-teman dengan kegiatan ngumpul bareng atau bahasa anak jaman sekarang kongkow ataupun liburan, karena sudah tidak berjumpa selama berbulan-bulan lamanya. 
Akan tetapi, disamping aktivitas menyenangkan tersebut kerap kali  ajang silaturahmi yang dilakukan bersama teman-teman terganggu dengan arogansi individu terhadap sesuatu hal yang dibanggakannya, yang kerap kali muncul ditengah obrolan menyenangkan. Beberapa diantara teman-teman mahasiwa mungkin pernah mendengar atau mengalami bagaimana sahabat kita mulai menceritakan kesibukannya di kampus, seperti:
Iya nih gue emang jarang pulang, maklumlah gue lagi sibuk banget di kampus. Secara gitu gue kan lagi ikutan kepanitiaan A, B dan C, belum lagi acara himpunan yang gak bisa banget gue tingalin, kalau lo sendiri gimana?.
 Banyaknya tugas dan kerennya universitas atau institut tempat dirinya kuliah karena masuk peringkat perguruan tinggi terfavorit di Indonesia bahkan dunia:
Iya sama banget, gue juga banyak banget tugas ampe begadang terus gue ngerjain tugas, belum lagi laporan  terus persentasi mata kuliah X, Y dan Z, harus praktek ke laboratorium lah, tapi maklumlah kampus gue kan masuk kategori universitas terfavorit TOP 10 di Indonesia cuy, jadi pastilah banyak tugas, ga kaya Universitas Y yang mahasiwanya santai-santai aja tuh.
Membandingkan kota tempat dirinya kuliah dan kota kelahiranya hingga menceritakan aktivitas ke-gaul-an bersama teman-teman di universitasnya:
Habis males gue balik ke sini, kaga ada apa-apa. Mendingan di tempat gue kuliah, kalau mau kongkow bareng temen, tinggal ke Mall B deket, mau ke tempat nongkrong L bisa banget, belum lagi tempat gue di sana dingin, sejuk enak banget. Nah disini panas banget, males banget gue.
Atau dengan sangat emosi mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah dan mulai mengajak berdebat, bahkan yang diungkapkan dengan berbagai kalimat, seperti di bawah ini:
 “Baru aja gue ninggalin beberapa bulan doang kok jadi sering macet sih nih kota, pemerintah tuh gimana sih, katanya kota istimewa, istimewa macetnya sih iya. katanya mengistimewakan rakyatnya, tapi masa macet aja gak diperhatiin, pengusaha kecil industri keramik di kecamatan P aja dicuekin, ga ada perhatianya, ga peduli sama rakyat malah ngehias-hias kota lagi ga ada kerjaan banget sih.”
Sangat disayangkan, tindakan ataupun ucapan tersebut yang muncul atas arogansi individu, terkadang terlihat sebagai keinginan untuk menunjukan eksistensi dirinya sebagai individu yang sangat aktif di kampusnya ataupun individu yang kritis, ditambah statusnya sebagai mahasiswa menjadi semacam legalitas untuk berbicara dan mengkritisi seenaknya. 
Memang, tindakan atau ucapan di atas tidak sepenuhnya salah, di sisi lain hal tersebut masih menunjukan rasa peduli terhadap berbagai fenomena disekitarnya.  Akan tetapi nampaknya jauh lebih bijaksana apalagi sebagai seorang mahasiswa yang diyakini sebagai salah satu aktor yang berperan terhadap perubahan bangsa, ungkapan kebanggaan atas aktivitas, kesibukan, kecintaan terhadap universitas kritikan yang dikemukakan dibarengi dengan solusi-solusi praktis atas dasar analitis dengan data-data yang empris disertai dengan aksi nyata terhadap pembangunan daerahnya. Sehingga, mahasiswa Purwakarta tidak hanya dinilai sebagai individu yang tong kosong nyaring bunyinya tapi juga mampu memberikan solusi dan kontribusi nyata untuk pembangunan Purwakarta.  Misalkan bersama-sama mahasiswa asal Purwakarta dari berbagai universitas bekerjasama mengadakan festival perguruan tinggi untuk memberikan informasi dan motivasi seputar cara masuk perguruan tinggi kepada adik-adik siswa/i SMA di Purwakarata ataupun bersama teman-teman dari universitas yang sama melakukan bakti sosial bahkan penelitian pengembangan potensi daerah yang hasilnya dapat publikasikan kepada pemerintah daerah ataupun masyarakat sebagai bahan acuan perumusan kebijakan pemerintah selanjutnya. Karena kalau hanya mengkritik dan berkoar-koar tanpa memberikan solusi  dan aksi nyata, (maaf) kasarnya tukang becak dan preman pasar yang tidak sekolahpun dapat dengan mudah melakukanya.
Nah, kita sebagai generasi muda dengan label mahasiswa, seharusnya mulai mengurangi dan berhenti mengisi obrolan dalam aktivitas liburan pulang kampung dengan tindakan dan ucapan arogan yang hanya ingin menunjukan kehebatan pribadi dan merendahkan orang lain, apalagi mengkritisi dengan tanpa solusi dan implementasi. Karena orang-orang disekitar kita tidak butuh mahasiswa yang membanggakan dirinya, kesibukanya, universitasnya bahkan kritikan-kritikan tanpa solusi yang mampu diberikanya tapi tindakan nyata yang memberikan dampak positif untuk daerahnya. Karena masyarakat kota kita Purwakarta tidak peduli warna jaket alamamter-mu tapi solusi dan kontribusi nyatamu sebagai generasi muda bernama mahasiswa. Oleh karena itu, jadilah mahasiswa asal Purwakarta yang tidak hanya pandai mengkritisi tapi juga dapat memberikan solusi dan kontribusi.  Cag!
SEMANGAT PURWAKARTA, SEMANGAT INDONESIA..!!!!