Rabu, 01 Agustus 2012

Menelaah Tragedi Pemerkosaan di Sarana Transportasi Umum”

oleh Alpiadi Prawiraningrat

Dari tahun ke tahun tingkat kejahatan dengan kekerasan secara kuantitatif semakin cenderung meningkat dengan modus operasional yang beragam dengan dampak yang serius terhadap korban kejahatan.  Keprihatinan terhadap korban semakin mengemuka karena banyaknya kasus pemerkosaan yang tidak terselesaikan secara tuntas, sedangkan dampak terhadap korban pada saat kejafian hingga pascaviktimisasi cukup mengenaskan dan membawa dampak traumatik yang berkepanjangan.  Yang bila ditelusuri lebih lanjut korban dari kejahatan tersebut adalah perempuan dengan tindakan kekerasan seperti kekerasan seksual, tindak perkosaan dan pelecehan seksual.
Sebagai contoh dari kasus ini adalah pemerkosaan yang terjadi di sarana transportasi umum di ibukota Jakarta yang dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, data humas metro jaya menunjukan pada tahun 2011 telah terjadi kenaikan kasus sebanyak 13,33% dari kasus yang terjadi tahun 2010.
Mengutip data dari Polda Metro Jaya, dalam harian kompas.com. (19/11/2011) Menyebutkan, “selama tahun 2011 terjadi 68 kasus perkosaan. Tahun 2010, ada 60 kasus perkosaan. Terjadi peningkatan 13,33 persen. Ini sangat mengkhawatirkan,.Tiga di antaranya terjadi di jalan umum, termasuk dalam angkot.[1]
Kekerasan tersebut dipahami sebagai kekerasan yang berbasis gender atau gender based violence.  Konsep ini sejatinya mengacu pada posisi subordinasi perempuan karena relasi keduanya mencermikan powerless dan powerful, dengan kata lain terdapat ketimpangan natra  
Berbagai hasil studi menunjukan bahwa tindakan pemerkosaan di sarana transportasi umum terkait dengan rasa aman dan fear of crime.  Dibuktikan dengan banyaknya perempuan yang merasa tidak aman dan dihantui rasa takut berada di luar rumah pada malam hari karena mereka merasa terancam terhadap berbagai kekerasan fisik dan seksual dan seakan menajadikan terror bagi perempuan dan perlu di tindak tegas.
Sebagaiamna yang dikemukakan oleh Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Priyo Budi Santoso, Minggu (22/1/2012) mengatakan “Perlakuan biadab ini sudah menjadi teror bagi perempuan. Ini sudah di luar batas toleransi kita sebagai masyarakat beradab. Hukum harus tegak, tangkap pelakunya!" kata Priyo melalui pesan singkat kepada Kompas.com
Di sisi lain, kejahatan seks dimulai dari proses perilaku seks, dan pelecehan seks bermuara pada kejahtan seks.  Oleh karena itu, perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh lingkungan hidupnya.  Begitupun dengan permasalahan pemerkosaan di sarana transportasi umum.  Perlu analisis tentang pengaruh nilai sosial budaya. Terutama berkaitan dengan ideologi gender.  Hubungan perempuan dan laki-laki di Indonesia masih di dominasi oleh ideologi gender yang membuaahkan budaya patriarki.  Budaya ini tidak mengakomodasi kesetaraan, keseimbangan, sehingga perempuan menjadi tidak penting untuk diperhitungkan.[2] 
Ketika perbedaan seks dan gender tidak dilihat secara kritis, maka muncullah masalah gender yang berwujud ketidakadilan gender.  Pemerkosaan di sarana transportasi umum dengan korban mayoritas perempuan menunjukan masih adanya stereotype terhadap perempuan yang di identikan sebagai kaum yang lemah dan mudah untuk dilecehkan, dengan pandangan bahwa derajat perempuan lebih rendah dari laki-laki.  Sehingga, menjadi salah satu alasan laki-laki berani melakukan tindakan ketidakadilan atau diskriminasi gender dalam lingkungan masyarakat.  Salah satu bentuk dari ketidakadilan tersebut adalah tindakan  Kekerasan/Violence.
Lee Ellis (1989), dalam karyanya Theories of Rape khususnya pada bagian The Feminist theory of Rafe mengemukakan tentang posisi perempuan relevansinya dengan tindakan pemerkosaan. Secara mendasar pemerkosaan berakar pada tradisis sosial bahwa laki-laki telah mendominasi semua aktivitas penting secara politik maupun ekonomi.  Perempauan dikeluarkan dari posisis kekuasaan ekonomi dan politik dan perempuan di pandang sebagai partisipan yang tdiak setra dalam hubungan/interaksi interpersonal (unequal participants in interpersonal interactions).  Kasus perkosaan di atas menunjukan bahwa fungsi langsung dari kekuasan ekonomi  dan politik peran perempuan yang relatif kurang dibandingkan laki-laki dan merupakan hasil keputusan dan respons hubungan ketidaksetaraan secara sosial.  Hal tersebut memepengaruhi laki-laki dalam bertindak/ berinterkasi secara seksual untuk mengekspresikan cara pendomisilan seta mekanisme kontrol pada diri perempaun.  Motif tindak perkosaan utamanya bukan kepuasaan seksual, tetapi pembuktian akan supermasi, dominasi dan kontrol terhadap perempuan.
Dengan memperhatikan permasalahan dan tantangan yang dihadapi, berkaitan dengan permasalahan pemerkosaan di sarana transportasi umum.  Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk meminimalisir dampak tersebut, dengan melakukan razia terhadap supir angkot tembak (supir angkot sewaan), serta razia terhadap mobil angkutan yang tidak memenuhi atau melanggar standar peraturan.  Salah satunya kaca film yang melebihi batas yang ditetapkan.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Kabid Humas Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Baharudin Djafar, meminta pemilik angkutan umum untuk tidak memakai kaca film gelap.  Ia melanjutkan, sebenarnya aturan terkait kaca film ini sudah tertuang di dalam Surat Keputusan Menteri Perhubungan RI yang menyebutkan kaca film kendaraan bermotor baik pribadi maupun angkutan umum maksimal 60 persen.  Namun, meski banyak menemukan pelanggaran, polisi tidak bisa menindaknya.  "Itu kewenangan Dinas Perhubungan. Kami hanya bisa mengimbau agar pengelola angkutan umum untuk tidak memakai kaca film gelap," katanya.
Sementara itu, Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Udar Pristono, membenarkan kaca film kendaraan bermotor maksimal memiliki keterangan cahaya sampai 60 persen, tidak boleh lebih. "Tetapi, sampai sekarang kami belum pernah melihat ada kendaraan umum yang pakai kaca gelap," kata Pristono. Ia mengatakan kendaraan umum yang paling banyak melakukan pelanggaran adalah Kopaja, Metro Mini, dan Mikrolet. Pelanggaran yang biasa dilakukan terkait dengan kelaikan jalan. "Misalnya ban botak, kaca pecah. Kalau sampai kaca film sepertinya tidak ada karena kebanyakan dari mereka masalahnya tidak ada perawatan, untuk merawat saja susah apalagi beli kaca film," kata Pristono.
Namun, pernyataan Pritono tesebut terbantahkan denag hasil razia yang dilakukan oleh Bidang Pengendalian Operasional Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Senin (19/9/2011), melakukan razia kaca film gelap pada angkutan umum (angkot) di Terminal Kampung Rambutan, Jakarta Timur. Razia tersebut dilakukan untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan.  Sebelumnya, razia kaca film pada angkot dilakukan di Terminal Lebak Bulus dan Terminal Pulo Gadung.
"Hari ini kami lalukan pencopotan saja. Jika memang masih bandel, maka akan ditilang dan disita surat izinnya," kata Kabid Pengendalian Operasional Dinas Perhubungan DKI, Arifin Hamonangan di Terminal Kampung Rambutan, Jakarta, Senin (19/9/2011).
Dari 50 angkutan umum yang diperiksa, ada enam angkutan umum yang kedapatan menggunakan kaca film. Di antaranya Angkutan Umum 03 jurusan Kampung Rambutan-Cililitan dan Angkutan Umum 121 jurusan Kampung Rambutan-Cileungsi.
Di samping itu, pendataan terhadap kepemilikan sarana transportasi umum tersebut harus jelas dengan melakukan razia terutama pada sopir tembak yang tidak memiliki kelengkapan berkendaraan seperti Surat Izin Mengemudi (SIM) dan Surat Tanda Naik Kendaran (STNK). 
Sebagaimana diungkapkan oleh Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Royke Lumowa, mengungkapkan, pihaknya menyadari kerawanan kriminalitas yang terjadi di angkutan umum belakangan meningkat. Karena itu, razia sopir tembak pun akan dilakukan kepolisian.
Razia nantinya akan lebih difokuskan pada domain pihak kepolisian, yakni kelengkapan dokumen seperti Surat Izin Mengemudi (SIM). "Kalau tidak punya SIM, pasti akan kami tilang," kata Royke.
Dia mengatakan, untuk membedakan sopir tembak atau bukan tidak terlalu sulit. Pasalnya, hampir sebagian besar sopir tembak tidak memiliki SIM sesuai ketentuan. "Rata-rata SIM sopir tembak itu biasanya polos. Polsek-polsek juga harusnya mendata. Di line ini sopirnya siapa," ucap Royke.  Menambahkan, untuk mencegah adanya sopir tembak, di tiap angkutan umum harusnya ada tanda pengenal pengemudi dan kondektur resmi dari pihak operator. "Mereka juga harus memakai tanda pengenal dan seragam," ujar Royke.
Apabila ditemukan ada yang menyalahi, Royke mengatakan pihak operator bisa mendapatkan teguran. Namun, razia kelayakan sopir ini merupakan kewenangan Dinas Perhubungan DKI.
"Ini sebenarnya kewenangan mereka. Tapi kalau mereka tidak mampu, kami siap membantu. Kalau situasinya sudah rawan begini, tidak usah saling lempar wewenang," kata Royke.
Meskipun dalam hal peraziaan ini terkesaan adanya lempar wewenang di anatara pihak kepolisian dengan dinas Perhubungan DKI Jakarta.  Namun dari pihak kepolisan bersedia membantu jika diperlukan.  Guna mewujudkan rasa aman terhadap masyarakat.
Selain itu, pemerintah juga mengupayakan melalui kebijakan peraturan perundang-undangan dalam menangani masalah terkait, diantaranya: (1) sosialisasi UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Perempuan terutama bagi aparat penegak hukum di tingkat provinsi dan kabupaten/kota; (2) sosialisasi Peraturan perundang-undangan UU No 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban, dan (3) UU No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang telah mengatur jaminan perlindungan terhadap para perempuan korban pemerkosaan.  Peraturan perundang-undangan tersebut berkaitan dengan hak-hak yang dimiliki oleh korban pemerkosaan salah satunya adalah pemohonan perlindungan.
Disayangkan, kurangnya sosialisasi dari pemerintah mengenai peraturan undang-undang tersebut kepada masyarakat.  Menyebbakan para korban tindak pelecehan seksual tidak mengetahui dan memahami hak-hak dan kewajibanya sebagai korban.  Sebagaimana yang dikemukakan oleh Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris Semendawai menyatakan, masih minimnya jumlah permohonan perlindungan yang diajukan korban pemerkosaan membuktikan bahwa korban belum mengetahui tentang hak-haknya sesuai ketentuan perundang-undangan.
Menurut Ketua LPSK di Jakarta, Kamis (22/9),[3]sepanjang tahun 2010-2011, dari sekitar kurang lebih 64 kasus pemerkosaan dan tindak pelecehan seksual, hanya ada 10 korban pemerkosaan dan pencabulan yang mengajukan permohonan perlindungan ke LPSK.  LPSK memandang bahwa minimnya jumlah permohonan perlindungan yang diajukan korban pemerkosaan ini membuktikan bahwa korban belum banyak mengetahui tentang hak-haknya sesuai ketentuan Undang-Undang. Peraturan perundang-undangan tersebut adalah UU No 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban, UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan UU No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang telah mengatur jaminan perlindungan terhadap para perempuan korban pemerkosaan.
Sesuai dengan amanat UU No 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban, menurut anggota LPSK Penanggungjawab Bidang Bantuan, Kompensasi dan Restitusi, Lili Pintauli Siregar, LPSK memiliki kewajiban dalam memberikan perlindungan dan bantuan terhadap korban pemerkosaaan, mulai dari perlindungan hukum, fisik dan perlindungan psikis.
"Selain pemberian perlindungan perlindungan hukum, fisik dan perlindungan psikis, korban juga berhak mengajukan upaya restitusi, agar pelaku dibebankan untuk memberi ganti kerugian terhadap korban dan keluarga korban," ujar Lili.
Dari persoalan di atas diperlukan dukungan aparat penegak hukum serta pemerintah daerah setempat untuk menginformasikan secara massif terhadap korban pemerkosaan mengenai hak-haknya serta melakukan upaya pencegahan agar tidak terjadi tindakan pemerkosaan dan pencabulan yang akan mengancam posisi perempuan dan anak yang rentan menjadi korban.
Selain itu pula, penguatan-penguatan advokasi dan perlindunagn hak-hak perempaun menjadi kebutuhan fundamental bagi korban kekerasan seksual.  Pembaruan emnasipatif dalam proses peradilan pidana menjadi sesuatu yang esensial.[4]  Carol Smart dan feminis lainnya yang menelaah hukum baerdasarkan perpektif gender menemukan adanya kebutuhan yang aspiratif terhadap kepentingan perempuan korab kekerasan atai pelecehan seksual.  Carol smart menjelaskan bahwa yang perlu direformasi adalah ahak-hak bari perempuan korban pemerkosaan. Dengan menghadirkan dokter perempuan, aparat kepolisian perempuan, dan menciptakan suatu legal advocate untuk memebantu melindungi kepentingan korban selama proses peradilan.
Berbagai kebijakan dan peraturan yang telah dijelaskan di atas, tidak lain adalah upaya dalam mewujudkan kesetaraan gender di Indonesia.  Sehingga tidak menimbulkan permasalahan di masyarakat.  Sebaik apapun produk hukum, akan sulit di implementasikan tanpa disertai adanya kesadaran bahwa tindakan kekerasan terhadap perempuan merupakan persoalan kita semua bukan persoalan mereka (perempuan) semata.  Penyelesaian kasus kekerasan melalui jalur hukum merupakan suatu keharusan.  Usulan dari berbagai pihak guna menetapkan hukman minimal serta hukuman yang berat terhadap pelaku dipercaya dapat menangkal individu melakukan berbagai tindak kekerasan seksual terhadap perempuan.[5]  Akan tetapi itu saja belum cukup mereformasi keseluruhan sistem hukum dan kinerja jajarannya yang mengakomodasi kebutuhan dan pengalaman perempuan, merupakan bagian yang paling fundamental.
Proteksi hukum terhadap korban dan saksi perlu segera direalisasikan mengingat seringnya korban mendapat terror, intimidasi, ancaman sebagai instrumen menghentikan pengaduan dan tuntutan.  Selain anksi pidana, restitusi sebagai ganti rugi yang harus diberikan pelaku terhadap korban perlu diatur secara memadai.[6] Karena pasca viktimisasi berbagai penderitaan menimpa korban,.  Selain itu, korban memerlukan biaya penyembuhan,.  Pendampingan baik oleh seorang ahli hukum, medis, psikolog selama korban menjadi saksi atau berurusan dengan tata peradilan pidana menjadi sangat strategis menjamin kenyamnan dan dukungan moril selama menjalani proses sebagi saksi.  Hal ini dilakukan sebagai upaya dalam menjamin hak-hak perempuan sebagai warga negara.  Sehingga hak tersebut dapat terjamin dan meminimalisir frekuensi tindakan kekerasan atau pelecehan seskusal terhadap perempuan.  Sebagai upaya dalam mewujudkan kesetaraan gender di Indonesia dan mencapai Integrasi Nasional.




[1] (http://megapolitan.kompas.com/read/2012/01/27/22391148/Kasus.Perkosaan.di.Angkot.Memprihatinkan)
[2] Sihite, Romany.  2006.  Perempuan, Kesetaraan dan keadilan.  Jakarta: Rajawali pers.
[3] Dikutip dari http://www.suarapembaruan.com/home/lpsk-banyak-korban-perkosaan-tak-tahu-hak-haknya/11553
[4] Murniati, Agustino P.  2004.  Getar Gender: Perempuan Indonesia dalam Pespektif Sosial, Politik, Ekonomi, Hukum dan HAM.  Magelang:  Indonesiatera.
[5] Sihite, Romany.  2006.  Perempuan, Kesetaraan dan keadilan.  Jakarta: Rajawali pers.
[6] Ibid,.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar