Kamis, 20 September 2012

“Memahami Paradigma sebagai Landasan Penelitian”



      oleh Alpiadi Prawiraningrat, 1106083372

Judul                   : Handbook of Qualitative Research: Competing Paradigms in Qualitative  Research.
Pengarang           :  Egon G. Guba dan Yvonna S. Lincoln.
Data Publikasi  : Egon G. Guba and Yvonna S. Incoln.  Handbook of Qualitative Research. Ch. 6:                          Competing Paradigms in Qualitative Research. 

            Bagimanakah arti penting dari paradigma?  Paradigma apa saja yang melandasi suatu penelitian?  Pertanyaan itu pula yang muncul sebagai pemicu kali ini.  Egon G. Guba dan Yvonna S. Lincoln, menulis mengenai Competing Paradigms in Qualitative Research.  Dengan tujuan agar pembaca dapat menjadikan paradigma sebagai kepercayaan dasar, pandangan awal yang digunakan untuk menganalisis dan mempertimbangkan suatu isu yang berkembang dalam suatu mayarakat.
            Metodelogi penelitian tidak dapat terlepas dari paradigma yang mendasarinya.  Artinya, bahwa metodelogi penelitian merupakan konsekuensi logis dari nilai-nilai, asumsi-asumsi, aturan-aturan serta kriteria yang menjadi bagain dari integral suatu paradigma.[1]
            Sejauh ini, pengelompokan mengenai teori-teori dan pendekatan sejumlah paradigma sangat bervariasi.  Guba dan Lincoln sendiri mengkategorisasikan 4 (empat) paradigma yaitu positivism, post-positivism, Critical Theory, dan Construtivism.  Mengutip dari karya Dedy N. Hidayat ”Penelitain proposal Penelitian untuk Pengembangan Ilmu.”  Bahwa untuk positivism dan postpositivism dapat disatukan menjadi classical paradigm karena pada prakteknya keduanya tidak jauh berbeda.  Sehingga untuk mempermudah dikelompokanlah menjadi 3 (tiga) paradigma, yaitu: (a) classical paradigm, yang menempatkan ilmu sosial sebagai metode yang terorganisir untuk menyatukan deductive logic dengan pengamatan empiris.  (b) Constructivism paradigm,  memandang ilmu sosial sebagai analisis sistematis terhadap socially meaningfull action melalui pengamatan langsung terhadap pelaku sosial;  (c) Critical paradigm, menilai ilmu sosial sebagai proses yang kritis berusaha mengungkap the real structures.
            Denzin dan Lincoln menyebutkan bahwa “ A paradigm encompasess three elements: epistemology, ontology, and methodology.[2]  Namun, di luar dimensi tersebut paradigma juga memuat elemen axiology yang berkaitan dengan posisi value judgments, etika atau pilihan moral peneliti dalam melakukan suatu penelitian dan kegiatan ilmiah.[3]
            Perbedaan antara paradigma di atas dapat dijelaskan dari 4 (empat) dimensi, sebagai berikut:  (1) Epistemologis, menyangkut asumsi mengenai hubungan antara peneliti dengan yang diteliti.   (2) Ontologis, berkaitan dengan objek atau realitas sosial yang diteliti.  (3) Metodelogis, asumsi mengenai bagaimana peneliti dapat memperoleh pengetahuan.  (4) Aksiologis, berkaitan dengan value judgments, etika dan pilihan moral peneliti dalam melakukan penelitian dan kegiatan ilmiah.
            Perlu digarisbawahi mengenai perbedaan ketiga paradigma tersebut.[4]  Pertama, paradigma klasik merasa harus menempatkan diri sebagai value free researcher, sehingga membuat pemisahan antara nilai subjektif dengan fakta objektif yang diteliti.  Sebaliknya, peneliti kubu kritis dan kontruktivis menilai hal tersebut merupakan sesuatu yang tidak mungkin dan tidak perlu dilakukan.  Karena setiap penelitian selalu melibatkan value judgments dan keberpihakan pada nilai tertentu.  Kedua, penelitain paradigma klasik berangkat dari asumsi ada suatu realitas sosial yang objektif, yakni untuk menghasilkan pengetahuan tentang suatu hal sperti apa adanya.  Sebaliknya,  peneliti paradigma kritis menilai bahwa objek atau relitas sosial yang mereka amati merupakan penampakan semu (virtual reality) atau ekspresi kesadaran palsu (false consciousness).  Ketiga, setiap paradigma memiliki kriteria penilaian kualitas suatu penelitian tersendiri (goodness criteria).
            Perbedaan Kualitatif dan kuantitatif berawal pada pandangan berkaitan dengan asumsi received view” dimana kematangan ilmiah diyakini muncul sebagai tingkat kuantifikasi ditemukan dalam peningkatan bidang tertentu.  Sehingga, menimbulkan suatu keyakinan umum bahwa hanya data kuantitatif yang pada akhirnya berlaku karena matematika sebagai “hard science” dinilai mampu menjadi kontrol dan landasan pengetahuan sedangkan “soft science” seperti ilmu sosial diyakini kurang mamapu melakukan hal tersbut.
                        Berdasarkan apa yang telah dijelaskan oleh Guba dan Lincoln maka dapat disimpulkan bahwa permasalah utamanaya bukanlah pembedaan antara penelitain kuantitatif dengan kualitatif, tetapi perbedaan epistimologi, ontology dan aksiologi.  Karena metodelogi kuantitatif ataupun kualitatif merupakan implikasi dari ke empat dimensi di atas.   Selain itu, suatu paradigma dibutuhkan sebagai landasan atau kepercayaan dasar mengenai suatu fenomena yang digunakan untuk menganalisis dan mempertimbangkan suatu isu yang berkembang dalam suatu mayarakat. 

Daftar Pustaka
Guba, E. G., and  Lincoln, Y. S.  Handbook of Qualitatvie Research: Competing Paradigms in  Qualitative Research.
Hidayat, N. Dedy.  (2000).  Penulisan Proposal Penelitian untuk Perkembangan Ilmu: Disampaikan untuk Workshop Pengembangan Kegiatan Penelitian Staf Pengajar FISIP-UI.  Kampus Depok.


[1] Suatu paradigma menurut Guba dalam Denzin dan Lincoln, tahun 1994.  Hal 107.  Dapat didefinisikan sebagai “…a set of basic beliefs (or metaphysics) that deals with ultimates or first principles…a world view that defines, for its holder, the nature of the world
[2] Denzin and Lincoln, 1994: hal. 99.
[3] Dikutip dari Dedy N. Hidayat ”Penelitain proposal Penelitian untuk Pengembangan Ilmu.”  Hal. 4.
[4] Ibid.,hal. 5.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar