Rabu, 05 Maret 2014

Apa Kata Manuel Castells dan Amartya Sen tentang Identitas?



Oleh Alpiadi Prawiraningrat
Berbicara mengenai politik identitas dan kewarganegaraan selalu memiliki keterkaitan dengan dua orang akademisi yang memiliki concern terhadap tema tersebut, yaitu Manuel  Castells dan Amartya Sen.
Manuel Castells menyebutkan bahwa identitas (identity) dapat dipahami dalam tiga kategori utama, yaitu legitimate identity; resistance identity; dan project identity. Legitimate identity secara sederhana dapat dipahami sebagai identitas yang sudah absah secara legitimasi dan diakui secara internasional. Sebagai contoh adalah Kartu Tanda Penduduk (KTP), Passport, Kewarganegaraan, agama dan etnik.
Dalam konteks kewarganegaraan sendiri sebagai legitimate identity sebagai mana diungkapkan oleh Prof. Burhan Djabir Magenda, MA. Phd selaku dosen politik identitas dan kewarganegaraan bahwa dapat ditemui berbagai persoalan, di antaranya adalah state-less atau tidak memiliki kewarganegaraan seperti fenomena yang terjadi di Indonesia sekitar tahun 1966-1970-an ketika sekitar kurang lebih 400.000 orang yang mayoritas etnis Tionghoa “diputihkan” statusnya menjadi Warga Negara Indonesia (WNI). Persoalan lain tentang kewarganegaraan yaitu tentang dwi-kewarganegaraan, karena pernikahan kedua orang tua yang berbeda negara. Berdasarkan  hukum Indonesia hanya bisa dilakukan samai umur 18 tahun, setelah itu individu yang memilki dwi-kewarganegaraan tersebut harus segera menentukan atau memilih status kewarganegaraannya.
Dalam konteks etnik-pun jarang sekali negara yang berdasarkan pada etnik sebagai suatu identitas karena mayoritas negara di dunia berdasarkan pada lebih dari satu etnik atau juga multi etnik, kecuali negara Israel. Akan tetapi negara Israel-pun mengalami persoalan yang mana seperempat jumlah penduduk Israel terbagi menjadi dua yaitu murni etnik Yahudi dan percampuran dengan Arab.
Masih berkaitan dengan kewarganegaraan, perlu juga dibedakan antara warga negara sebagai individu atau kelompok yang menetap pada suatu negara tertentu dengan residents sebagai individu atau kelompok masyarakat yang hanya menetap sementara untuk urusan tertenu seperti urusan bisnis, sosial dan politik.  Residents ini juga dapat dipahami menjadi temporary residents yang menetap sementara kemudian kembali ke negaranya seperti para wisatawan dan permanent residents yang menetap cukup lama seperti para pelajar Indonesia yang berkuliah di negara asing. Dalam konteks Amerika Serikat misalnya memberikan kesempatan 5-10 tahun untuk kemudian setelah itu dapat dipertimbangkan menjadi warga negara Amerika Serikat.  Residents ini biasanya kemudian memperoleh Social Security Number (SSN) sebagai bentuk jaminan sosial dan implementasi dari sebuah negara kesejahteraan atau welfare state.
Selanjutya adalah resistance identity yang dipahami sebagai identitas yang diperjuangkan yang semula tidak diakui dan akhirnya menjadi suatu hal yang diupayakan ke absahannya. Sebagai contoh adalah kuota 30% keterwakilan perempuan di partai politik dan lembaga legislatif, daerah tertinggal dan daerah perbatasan.
Sedangkan project identity, adalah suatu identitas yang di proyeksiakan ke arah legitimate identity.  Sebagai contoh adalah perjuangan identitas seperti pernikahan sesama jenis, seprti LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual dan Trans Gender).
Lalu bagaimana dengan Amartya Sen, dalam pandanganya bahwa seseorang itu tidak memiliki identitas tunggal atau single identity, karena mereka memiliki multiple identity dalam dirinya.  Sebagai contoh adalah seoarang mahasiswa dapat memiliki berbagai identitas, sebagai laki-laki atau perempuan, etnik terntenu, agama tertentu, status yang berbeda dalam keluarga sebagai anak, adik atau kakak dan sebagainya. 
Amartya Sen juga mengungkapkan, kenapa identitas tersebut menjerumus ke arah violance. Salah satu alasan adalah karena kebanggaan terhadap fundamentalisme idententitas yang ekstrim, seperti halnya terhadap ideologi yang dipertahakannya dan bertentangan dengan masyarakat yang majemuk, sehingga tidak pelak menimbulkan permasalahan atau kejahatan. Sepeti hal-nya perilaku atau tindakan terorisme.
Dua pemaparan singkat tokoh di atas mengenai idenitas tampkanya dapat menjadi dasar atau landasan dalam memhamai identitas. Sehingga dalam pembahasan mengenai politik identitas dan kewarganegaraan nanti tidak menimbulkan persoalan dan mempermudah pemahaman.  Hal tersebut karena, pemahaman dasar tentang konsep atau teori pada suatu hal dapat menjadi acuan tentang pemahaman yang lebih luas tentang isu tersebut nantinya. Melalui tesis dua tokoh tersebut telah memberikan sumbangsih dalam khasanah pemahaman dasar tentang politik identitas dan kewarganegaraan sebelum memasuki persoalan yang lebih kompleks.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar