Rabu, 05 Maret 2014

Theoretical and Comparative Considerations: Labour and the Politics of Industrialisation dalam Pemikiran Vedi Hadiz



 oleh Alpiadi Prawiraningrat
           Secara keseluruhan, tulisan Vedi Hadiz yang berjudul Theoretical and Comparative Considerations: Labour and the Politics of Industrialisation menjelaskan tentang perbedaan model  akomodasi antra negara (state), pemilik modal (capital) dan buruh (labour) berdasarkan pengalaman perkembangan industrialisasi. Yang secara keseluruhan, rangkuman pada tulisan tersebut tertera pada tabel berikut:
Tabel I.1[1]
Historical Models of Accommodation between State, capital and Labor
Model of Accommodation
Social Democratic
Populis
Exclusionary
Historical Emergence
I.Britain; II. Later European Industrialisers
Late-late Latin American industrialisers
I.     Very late industrialisers of East Asia; and of, II. Southeast Asia
Associated Social and Political Framework
Liberal Democracies
Inclusionary Corporatism
Usually Exclusionary Corporatism
Environment
I.                Laissez-faire state; independent bourgeoisie, and; II. More authoritarian and directing sates and weaker bourdeoisie.
Weak or consolodating state usually linked to landed oligarchies, but with directing role; weaker bourgeoisie, also often linked to landed oligarchies
Strong states insulated from class forces and with directing role; initially weak bourgeoisie.
Characteristics of Accommodation
Strong, independent trade union movement with representational and some mobilisational roles, but largely confined to economic realm; welfare state
Relatively strong trade union movement, medium to high level of subordination to state; representational-and mobilisational roles; politicised; improving welfare primarly for urban. Higher-skilled wprkers
Very high level of trade union subordination to state; demobilisation and control of organised labour; labour movement confined to economic realm; exploitation of cheap labour; in original NICs, subsequent improvement of welfare levels of industrial workers
Major Sources of Contradiction
Fiscal crisis of the state; dismantiling of welfare state; peripheralisation of trade unions; higher unemployment levels; flexible production system; capital mobility
Initial industrial deepening increasing state repressive tendency versus strong tradition of labour militancy
Working class maturation; in some cases, emerging independent workers movement versus state repression, surplus labour market, capital mobility, and some flexible production system
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat dipahami bahwa dalam konteks kasus di Indonesia sebagai negara di kawasan Asia Tenggara dapat dikatakan bahwa perkembangan industri sangat terlambat.  Begitupun peran dari asosiasi atau serikat buruh yang biasanya subordinasi negara. Serta dalam hal ini demobilisasi dan kontrol buruh yang terorganisir, gerakan buruh terbatas pada bidang ekonomi, eksploitasi tenaga kerja dan salah satu aspek yang menjadi perjuangan serikat buruh adalah perbaikan tingkat kesejahteraan pekerja industri.  Serta alam beberapa kasus, muncul gerakan buruh independen terhadap represi negara, pasar tenaga kerja surplus, mobilitas modal, dan beberapa sistem produksi yang fleksibel.
Hal tersebut berbeda dengan negara maju seperti Inggris dan negara-negara eropa di mana pemerintahan yang kuat, berimplikasi terhadap gerakan serikat buruh yang independen dengan representasional dan beberapa peran mobilisational. Dan tujuan gerakan sebagian besar terbatas pada bidang ekonomi dan upaya mencapai kesejahteraan pekerja.
Begitupun dengan negara di Amerika Latin, yang dapat dikatakan sebagai negara perkembangan industri akhir, yang bercirikan Korporatisme inklusi lemah atau konsolidasi negara biasanya terkait dengan oligarki dan peran borjuis yang lemah.  Begitupun dalam konteks gerakan serikat buruh yang relatif kuat, menengah sampai tingkat tinggi menjadi subordinasi negara dan memiliki peran sebagai representasional dan mobilisational dan kerap kali dipolitisasi.  Ciri khas lainnya adalah bahwa pengembangan sektor industri meningkatkan kecenderungan represif negara terhadap tradisi kuat militansi buruh.
Nampaknya, lambatnya perkembangan industri di negara Indonesia tidak dapat dilepaskan dengan konteks sejarah perkembangan politik Indonesia sendiri, terutama pada saat rezim Orde Baru Soeharto. Sebagaimana dalam tulisan Vedi Hadiz  lainnya yang berjudul “Kapitalisme, Kekuasaan Oligarkis, dan Negara di Indonesia” dalam Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto bahwa walau bagaimanapun, sistem sosial, keamanan, politik bahkan ekonomi yang berkaitan dengan industrialisasi dan perburuhan yang telah dikontruksikan oleh rezim orde baru selama lebih dari 30 tahun tidak benar-benar hilang ketika taransisi demokrasi sudah bergulir, apalagi asumsi yang muncul bahwa sistem yang telah dibangun lama dengan biaya politik yang mahal justru akan memberikan dampak terhadap arah perjalanan bangsa Indonesia di masa datang. Namun perlu kita sadari melalui karya Vedi R. Hadiz menampilkan bahwa salah satu warisan besar yang ditinggalkan oleh rezim orde baru ketika Indonesia sudah melangkah ke fase reformasi menuju demokrasi adalah terpeliharanya sebuah sistem kekuasaan oligarkis yang melindungi para elit, terutama dari tekanan kelas bawah.[2]  Oligarkis sendiri adalah sebuah bentuk pemerintahan yang kekuatan politikinya berada di tangan sekelompok kecil (minoritas) anggota masyarakat.[3]
Hal ini mengakibatkan menggambarkan semacam prematurisasi praktik kenegaraan dan pemerintahan,[4] khususnya di daerah-daerah pasca bergulirnya wacana desentralisasi. Menurut Vedi Hadiz, demokrasi baru Indonesia ini rupanya dibangun oleh apa yang disebut dengan kaum predatoris,[5] yaitu para pelaku politik lama di tingkat paling dasar dalam simpul oligarki dan primordial orde baru yang masih resisten dan terbawa arus desentralisasi sampai ke daerah-daerah. yang dipupuk di bawah sistem patronase orde baru yang luas telah berhasil menata ulang diri mereka di dalam rezim baru pasca reformasi. Melalui aliansi-aliansi baru baru mereka secara efektif telah menguasai institusi demokrasi Indonesia. Ini fenomena bangkitnya politik lokal, yang selama orde baru terbenam di lapisan terbawah sebuah sistem patronase.
Dalam literatur lain, Hipotesis Martin S. Lipset yang menjadi salah satu acuan orde baru dalam membangun fondasi ekonominya mengalami pembusukan dikarenakan keserakahan jalinan kelompok oligarki yang hidup di masa itu. Ia menilai, negara yang berhasil mencapai kehidupan demokrasi liberal yang stabil adalah bangsa-bangsa yang sudah menimati tingkat pertumbuhan tinggi seperti negara-negara Barat.[6] Negara Indonesia di bawah orde baru mencoba mengdopsi teori tersebut, namun ketika pembangunan ekonomi telah mencapai pada pertumbuhannya yang tinggi, logika kekuasaan yang sebelumnya tidak dibayangkan mulai muncul, seperti sebuah ungkapan terkenal oleh Amien Rais bahwa seseorang yang telah memimpin terlalu lama ia akan mudah mengalami ketumpulan visi, dan ini dialami oleh Soeharto. Akhirnya demokrasi liberal dan kesejahteraan yang diidam-idamkan tidak kunjung datang dan implikasi lainnya seperti yang disinggung di atas, bahwa perkembangan industri sangat terlambat dan berimplikasi pada peran dari asosiasi atau serikat buruh yang biasanya subordinasi negara. Mengakibatkan eksploitasi tenaga kerja, sehingga salah satu aspek yang menjadi perjuangan serikat buruh adalah perbaikan tingkat kesejahteraan pekerja.
Daftar Pustaka
Sumber Utama:
Hadiz, Vedi R. Workers and the State in New Order Indonesia: Theoretical and Comparative Considerations Labour and the Politics of Industrialisation.  New York: Routledge, 1997.

Sumber Refrensi:
Hadiz, Vedi R. “Desentarlisasi dan Demokrasi di Indonesia: Sebuah Kritik terhadap Perspektif Neo-Institusionalis” dalam  Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto.  Jakarta: LP3ES, 2005.
Hadiz, Vedi R. Kapitalisme, Kekuasaan Oligarkis, dan Negara di Indonesai dalam Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto/  Jakarta: LP3ES, 2005.
Hadiz, Vedi R.. Reorganizing Political Power in Indonesia: a Reconsideration of so-called ‘democratic transitions’, The Pacific Review, vol. 16 N0. 4, 2003.
Lipson, Leslie. The Democratic Civilizationn.  New York: Oxford University Press, 1964.
Mas’oed, Mohtar.  Negara, Kapital dan Demokrasi.  Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994.


[1] Vedi Hadiz. Workers and the State in New Order Indonesia: Theoretical and Comparative Considerations Labour and the Politics of Industrialisation (New York: Routledge, 1997), hlm. 36.

[2] Vedi R Hadiz. Kapitalisme, Kekuasaan Oligarkis, dan Negara di Indonesai dalam Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto (Jakarta: LP3ES, 2005), hlm. 202.
[3] Leslie Lipson. The Democratic Civilizationn (New York: Oxford University Press, 1964), hlm. 1.
[4] Vedi R Hadiz. “Desentarlisasi dan Demokrasi di Indonesia: Sebuah Kritik terhadap Perspektif Neo-Institusionalis” dalam  Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto (Jakarta: LP3ES, 2005), hlm. 284.
[5] Vedi R. Hadiz. Reorganizing Political Power in Indonesia: a Reconsideration of so-called ‘democratic transitions’, The Pacific Review, vol. 16 N0. 4 2003, hal. 591
[6] Mohtar Mas’oed.  Negara, Kapital dan Demokrasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994),  hlm. 32

Tidak ada komentar:

Posting Komentar