Jumat, 27 Desember 2013

Globalisasi Budaya “Stdui Kasus: Pengaruh Korean Wave sebagai Soft Power terhadap Perkembangan Ekonomi Korea Selatan dan Dampaknya terhadap Indonesia”



Abstract
This paper will describe the influence of Korean Wave to South Korea's economic growth. By using the theory Soft Power proposed Joseph S. Nye interesting to see how the implementation of the Korean Wave as Soft Power diplomacy of South Korea with other countries, including Indonesia and provide benefits for South Korea. In addition, interesting how the implementation of the Korean Wave is facilitated by other actors, such as state, mass media and MNC and the impacts for Indonesia.

Key Words: Korean Wave; Soft Power

PENDAHULUAN
            Globalisasi budaya pop Korea Selatan atau lebih dikenal dengan gelombang Korea (Hallyu) berhasil mempengaruhi masyarakat. Beragam produk budaya Korea mulai dari drama, film, lagu, fashion, hingga produk-produk industri menghiasi ranah kehidupan masyarakat di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.  Hal ini tidak dapat terlepas dari peran media massa yang secara sadar atau tidak telah membantu terjadinya aliran budaya Korea Selatan tersebut. Pemerintah Korea Selatan menyadari bahwa Korean Wave membuka jalan bagi kemajuan ekonomi Korea Selatan, sehingga mereka rela mengucurkan dana untuk membiayai produksi hiburan mulai dari film, sinetron, hingga musik. Bedasarkan situs www.kbs.co.kr, sekitar 8,5 juta wisatawan asing berkunjung ke Korea pada akhir tahun 2010. Jumlah ini sangat jauh berbeda dibandingkan tahun 2000 yaitu sekitar 1,5 juta wisatawan asing saja.
Dewasa ini, Korea Selatan telah berkembang menjadi salah satu negara paling makmur di Asia yang ditandai dengan perekonomian terbesar ketiga di Asia dan ke-13 di dunia.[1] Hal penunjang kebangkitan ekonomi Korea Selatan tidak lain karena sektor industri teknologi transportasi dan teknologi komunikasi yang juga didukung oleh sektor kebudayaannya melalui Korean Wave. Pada tahun 2004, ekspor film dan program televisi bersama dengan pariwisata dan produk K-Pop menghasilkan pendapatan total hampir US$2 miliar.[2] Selain itu, menurut statistik Bank Of Korea dari bidang ekspor budaya dan jasa hiburan, industri musik K-pop telah menghasilkan US$794 juta tahun 2011 dan mengalami peningkatan 25% dari US$637 juta di tahun 2010 seiring K-pop semakin diminati oleh masyarakat internasional.[3]
Hubungan diplomatik Korea Selatan dan Indonesia secara resmi telah terjalin sejak 18 September 1973 dan direkatkan melalui pembentukan Kemitraan Strategis pada kunjungan Presiden Roh Moo Hyun ke Jakarta tanggal 4-6 Desember 2006. Pembentukan Kemitraan Strategis tersebut mencakup kerja sama di bidang politik, keamanan, ekonomi, perdagangan dan sosial budaya. Hubungan bilateral melalui sosial-kebudayaan Korea Selatan dan Indonesia semakin intens dilakukan seiring budaya Korean Wave semakin digemari masyarakat Indonesia. Popularitas Korean wave di Indonesia ditandai dengan diselenggarakannya serangkaian kegiatan pameran kebudayaan Korea sejak tahun 2009 hingga 2011 yakni “Korea-Indonesia Week”. Pergelaran budaya tersebut diselenggarakan oleh Kedutaan Besar Republik Korea di Indonesia untuk memperkuat hubungan bilateral di bidang sosial kebudayaan karena melihat respon positif masyarakat Indonesia terhadap budaya Korea Selatan, khususnya Korean Wave. Di samping itu, Pemerintah Korea Selatan membangun Pusat Kebudayaan Korea di Jakarta agar dapat berfungsi sebagai pusat informasi kebudayaan Korea Selatan.[4]
Perkembangan K-pop didukung oleh peran sinkronisasi antara aktor negara, yakni Pemerintah Korea Selatan itu sendiri dengan aktor non-negara seperti para pelaku bisnis, masyarakat, selebritis dan media. Pemerintah Korea Selatan menjadikan K-Pop sebagai upaya pembangunan citra ataupun nation-branding Korea Selatan. Penyebaran pengaruh Korean Wave bukan hanya meningkatkan peluang untuk melaksanakan pertukaran budaya, meningkatkan interaksi budaya, tetapi juga sarana untuk menghegemoni. Hegemoni tercipta karena kemajuan media serta pengalaman populer terkait dengan konsumsi. Media menciptakan popularitas konsumsi barang komoditi. Dalam hal ini Korea berusaha untuk menghegemoni dalam hal budaya yang dapat mempengaruhi pola pikir dan pola bertindak masyarakat di dunia sekalipun.
Berdasarkan pada pemaparan diatas, penulis ingin melihat bagaimana Korea Selatan melalui korean wave dapat mencapai pertumbuhan ekonomi dan bagaimana budaya korean wave memberikan dampak terhadap budaya di Indonesia.  
“Bagaimanakah Pengaruh ‘Korean Wave’ sebagai ‘Soft Power’ terhadap Perkembangan Ekonomi Negara Korea Selatan dan dampakanya terhadap Indonesia?”

Kajian Teori
Global Pop Culture
Global Pop Culture adalah budaya populer dalam suatu wilayah atau region yang kemudian dipopulerkan hingga ke taraf dunia atau lingkup global. Dalam sebuah situs atau pranala, dikatakan sebagai faktor utama penyebab globalisasi budaya adalah pesatnya perkembangan teknologi informasi, khususnya pada awal abad ke-20. [5]
Sementara itu, pranala lainnya yang membahas tentang global pop culture menyatakan sejumlah faktor penyebab terjadinya globalisasi budaya adalah sebagai berikut:
“Causes included the development of new technologies and the economic globalization of capital, labor, natural resources, production, and consumption. Political factors also played a role, from imperialism and nationalism to totalitarian states and the Cold War; so to did social struggles over the construction of race, class, ethnicity, religion, and gender.
Ternyata, perkembangan teknologi tidak semata menjadi faktor utama, dalam hal ini globalisasi ekonomi juga ikut berperan, bahkan hingga kepada faktor-faktor politik. Hal ini juga menjelaskan mengapa globalisasi tidak terlepas dari politik, ekonomi, bahkan budaya, yang ditenggarai sebagai globalisasi ketiga.

Teori Soft Power
Dalam pandangan Joseph S. Nye, power merupakan kekuatan atau kemampuan mempengaruhi pihak lain untuk mendapatkan hasil yang diinginkan[6]. Di mana, power ini terbagi  menjadi dua spektrum perilaku yang berbeda, yaitu hard power termasuk dalam spektrum perilaku command power, yaang merupakan kemampuan untuk mengubah apa yang pihak lain lakukan (what others do) dan soft power yang termasuk dalam spektrum perilaku co-optive power, yang merupakan kemampuan yang digunakan sehingga dapat mempengaruhi dan membentuk apa yang pihak lain inginkan (what others want)[7]. Co-optive power diperoleh melalui dua cara, yaitu:[8] a) agenda setting, dengan cara memanipulasi agenda pilihan politik sehingga pihak lain gagal mengekspresikan suatu preferensi politik tertentu karena merasa preferensi tersebut terlihat tidak realistis yang bersumber pada institusi; dan b) attraction, didasarkan pada daya tarik yang bersumber pada budaya, nilai-nilai serta kebijakan yang dimiliki.
Selanjutnya Soft power dijelaskan Nye sebagai suatu kekuatan atau kemampuan yang digunakan untuk mempengaruhi pihak lain sebagai upaya mendapatkan hasil yang diinginkan (power) melalui penggunaan daya tarik daripada penggunaan kekerasan (coercion) atau imbalan (payment)[9]. Nye memaparkan bahwa soft power suatu negara utamanya berasal dari tiga sumber, yaitu[10]: a) kebudayaan (culture), sehingga membuat negara tersebut menarik bagi pihak lain; b) nilai politik (political values) yang dianut negara tersebut di dalam maupun luar negeri; dan c). kebijakan luar negeri (foreign policies) yang membuat negara memiliki legitimasi dan otoritas moral.
Nye kemudian mengungkapakan bahwa kebudayaan sebagai salah satu sumber soft power terbagi lagi menjadi dua jenis, yaitu:[11] a) high culture, seperti seni, literatur, dan pendidikan yang menarik perhatian elit tertentu dan b) pop culture, di mana berfokus pada produksi hiburan massal (mass entertainment). Di samping itu, dalam memahami implementasi soft power perlu juga memperhatikan aktor yang terlibat dalam pengimplementasianya.
Menurut Nye, aktor-aktor yang terlibat dalam pembentukan soft power diistilahkan sebagai “referees” dan “receivers” soft power[12]. “Referees” soft powerdipahami sebagai pihak yang menjadi sumber rujukan legitimasi dan kredibilitas soft power.  Sedangkan “receivers” soft power adalah target yang dituju sebagai sasaran penerima soft power.[13]

PEMBAHASAN
Perkembangan Korean Wave atau “Hallyu”
Korean Wave, atau “Hallyu” dalam bahasa Korea merujuk pada fenomena gelombang budaya Korea Selatan yang dimulai pada tahun 1990-an di Asia Timur dan berkembang hingga ke Amerika, Eropa dan Timur Tengah[14]. Istilah Korean Wave sendiri muncul pada pertengahan tahun 1999 oleh media yang tekejut dengan gelombang kepopuleran produk budaya Korea pada kalangan muda di Cina[15]. Kini istilah Korean Wave lebih sering digunakan untuk menjelaskan mengenai penyebaran budaya populer Korea di berbagai negara[16].
Korean Wave merepresentasikan aliran produk budaya populer Korea ke berbagai negara melalui media seperti televisi, film, animasi, games, serta musik populer. Sejak ekspor drama televisi pertama di Cina pada tahun 1990-an,[17] Korea Selatan terus memperluas pengaruh Korean Wave dengan mengekspor lebih banyak drama televisi, film, dan merambah pada ekspor industri musik populer yang sering diistilahkan dengan K-Pop ke berbagai negara di Asia, Amerika dan Eropa. Berbagai jurnalis kemudian juga berpendapat bahwa ekspor drama televisi, film, dan musik Korea Selatan berpengaruh terhadap promosi produk budaya lainnya seperti makanan tradisional, bahasa dan juga pada industri pariwisata di Korea Selatan.[18]
Di Asia Tenggara, negara yang paling awal mendapatkan pengaruh Korean Wave adalah Vietnam, yakni ketika drama televisi masuk pada akhir tahun 1990-an bersamaan dengan Cina dan Taiwan.[19] Kemudian pada tahun 2000 hingga kini, drama televisi Korea Selatan dan produk budaya populer lainnya terutama K-Pop mulai diterima dan populer di negara-negara Asia Tenggara lainnya, termasuk Indonesia.[20]
Amerika dan Eropa baru menerima efek Korean Wave pada pertengahan tahun 2000-an baik melalui media drama televisi dan K-Pop serta media lain seperti animasi dan games. Animasi paling populer di Korea, “Pororo the Little Penguin” berhasil dijual ke lebih dari 120 negara termasuk di Eropa, yakni Perancis dan Inggris. Menurut data terkini dari Statistik Korea Selatan, animasi tersebut berhasil meraih rating tertinggi 57% pada penyiarannya di stasiun televisi Perancis TF1 pada tahun 2004.[21] Online games juga menjadi produk yang berhasil dijual ke Amerika Utara seperti Ragnarok Violet oleh NEO-CYON dan permainan jaringan sosial Rule the Sky.[22]

Terbentuknya Korean Wave sebagai Soft Power Korea Selatan.
Terciptanya Korean Wave sebagai soft power Korea Selatan tidak terlepas dari unsur-unsur pembentuknya, yaitu seperti sumber soft power, aktor yang terlibat dalam hal ini referees” dan “receivers”, serta agenda setting dan attraction yang disertai dengan faktor-faktor pendukung daya tarik soft power.  
Menurut Nye, soft power suatu negara bersumber dari tiga hal, [23] yaitu kebijakan luar negeri, nilai-nilai dan kebijakan domestik, serta kebudayaan. Dalam konteks, Korean Wave sendiri yang merupakan soft power Korea Selatan  bersumber pada budaya populer (pop culture). Korean Wave dapat terbentuk sebagai soft power Korea Selatan karena sumber budaya populer tersebut telah diekspor ke berbagai Negara termasuk Indonesia dalam berbagai bentuk produk antara lain drama televisi, film, musik K-Pop, animasi dan games. Budaya populer seperti ini diciptakan untuk dapat dinikmati oleh masyarakat luas dari berbagai kalangan dan generasi.
Terkait dengan nilai-nilai yang terkandung dalam pembuatan budaya populer, terutama dalam drama televisi dan film, Korea Selatan berusaha mengkolaborasikan antara modernitas dan teknologi dengan tradisi dan nilai kekeluargaan yang ada di Korea Selatan, sehingga drama tersebut dapat diterima banyak kalangan, terutama masyarakat Indonesia. Begitupun dalam konteks K-Pop, Korea Selatan memproduksi produk budaya yang diminati oleh masyarakat luas karena keunikan unsur domestik khas Korea dengan teknologi dan modernitas ala Barat.[24]  Sebagai contoh adalah dalam video klip grup boyband Big Bang yang menampilkan Hangul atau Hanja (semacam Barongsai) sebagai bagian dari seni tardisional masyarakat Korea Selatan. Dengan upaya ini Korea Selatan berhasil menjembatani budaya Barat dan Timur, sehingga menghasilkan suatu produk yang bisa diterima oleh keduanya.
Dalam kaitanya dengan pihak atau aktor yang terlibat dalam pembentukan Korean Wave sebagai soft power Korea Selatan, terdiri dari referees yaitu pemerintah, media (televisi, internet), industri produk budaya (industri drama televisi, musik, film, animasi, games), industri produk komersial (MNC seperti Samsung dan LG) sebagai serta “receivers sebagai penerima yang merupakan penerima kebudayaan tersebut yaitu, publik negara-negara di Eropa dan Amerika, Asia termasuk Indonesia. Pemerintah Korea Selatan sebagai referees, terlibat dalam upaya mendukung promosi budaya populer melalui kebijakan-kebijakannya. Sedangkan media berperan sebagai sarana dalam menyebarluaskan dan menikmati produk budaya seperti drama, film, animasi, K-Pop dan online games. Industri drama televisi, film, musik, animasi dan games merupakan pihak yang terlibat dalam produksi kreatif budaya populer Korea Selatan tersebut. Industri produk komersial seperti perusahaan multinasional Samsung dan LG adalah pihak yang terlibat dalam mendukung sekaligus memanfaatkan Korean Wave sebagai alat promosi produk komersial.
Korean Wave sebagai soft power melibatkan agenda setting dan attraction sebagai bagian dalam spektrum co-optive power. Agenda setting atau pembentukan agenda Korean Wave sebagai soft power, merujuk kepada upaya Korea Selatan dalam meningkatan perekonomian Korea Selatan pasca krisis ekonomi dengan institusi pemerintah Korea Selatan sebagai referee yang menentukan agenda tersebut. Menurut The Economist, Korean Wave direncanakan sebagai suatu potensi soft power terutama semenjak kejatuhan ekonomi Korea Selatan ketika krisis finansial Asia tahun 1998 yang mana menunjukan bahwa GDP yang turun drastis hingga 7%[25]. Pemerintahan Korea Selatan mulai melihat Hallyu (Korean Wave) sebagai instrumen soft power, dengan sebuah harapan bahwa ekspansi profil Korea Selatan ke luar negeri melalui Korean Wave akan diikuti oleh permintaan terhadap ekspor produk budaya dan pariwisata Korea Selatan.[26]
Sedangkan attraction atau daya tarik dari Korean Wave ini memiliki beberapa faktor sebagai pendukung popularitas, sehingga dapat diterima oleh publik negara-negara lain.  Faktor-faktor tersebut di antaranya kebijakan Pemerintah Korea Selatan terkait Korean Wave; nilai-nilai konfusianisme dan modernitas; kreativitas produksi produk budaya; pemanfaatan media internet. [27]
Faktor pertama adalah kebijakan pemerintah terkait Korean Wave seperti dukungan anggaran finansial untuk perkembangan promosi budaya Korea ke luar negeri dan kebijakan liberal pemerintah Korea Selatan yang menghormati kreativitas individu, mengijinkan adanya struktur pasar budaya yang transparan serta kemampuan membangun suatu budaya populer yang kritis dan mampu bersaing. Dukungan finansial oleh pemerintah dapat dilihat melalui tindakan pemerintah Korea Selatan dalam beberapa tahun terakhir melalui Kementerian Kebudayaan, Olahraga dan Pariwisata yang mulai menaruh perhatian lebih pada pengembangan industri budaya populer di Korea Selatan dengan memberikan dukungan administratif bagi ekspor budaya Korea. Sebagai contoh adalah  dengan pembentukan pusat-pusat kebudayaan Korea di luar negeri sebagai sarana diplomasi publik untuk mempromosikan Korean Wave. Selain itu juga adanya dukungan finansial bagi industri budaya populer seperti memberi subsidi pada industri musik sebesar 40 miliar Won pada tahun 2007 serta investasi sebesar 2 triliun Won pada tahun 2008 untuk membentuk “Korean Wave Hollywood” sebagai upaya untuk membentuk Budaya Asia Timur yang dapat disandingkan dengan Hollywood di Amerika Serikat.[28]
 Faktor kedua adalah nilai-nilai konfusianisme dan modernitas yang disajikan melalui produk budaya seperti drama televisi dan film. Konfusianisme adalah tradisi yang secara historis dimiliki bersama oleh negara-negara di Asia Timur yang membuat negara-negara tersebut memiliki kedekatan kultural.[29] Tema-tema drama televisi dalam Korean Wave menggunakan nilai-nilai dalam Konfusianisme seperti nilai-nilai kekeluargaan, penghormatan terhadap generasi yang lebih tua, ketaatan terhadap tradisi sebagai bagian dari dramatisasi Korea Selatan akan “sensibilitas Asia”[30] yang membuat drama-drama Korea Selatan dapat dinikmati lintas generasi, terutama di negara-negara Asia Timur yang berbagi kesamaan nilai Konfusianisme[31].
Nilai domestik lain yang juga dimuat dalam drama-drama televisi Korea Selatan adalah modernitas. Hal ini terlihat pada penggambaran Korea Selatan sebagai negara yang cool, happen­ing, dan modern[32]. Bagi publik negara-negara di Asia, gaya hidup dan tren yang diusung melalui penggambaran modernitas Korea Selatan dalam drama Korea ini dianggap sebagai daya tarik dan ingin mereka tiru[33]. Korea Selatan juga menggambarkan modernitas dengan memadukan teknologi dan drama melalui penyertaan produk teknologi terkini dalam sebagian besar drama televisi baik itu alat-alat elektronik, gadget, kendaraan, maupun teknologi informasi.
Faktor ketiga adalah kreativitas produksi produk budaya dalam Korean Wave. Dalam mempertahankan penerimaan Korean Wave di berbegai negara, Korea Selatan melakukan perkembangan strategi produksi produk budayanya.  Salah satu usaha yang juga dilakukan oleh Korea Selatan adalah mengupayakan strategi lokalisasi dengan mendekati pasar lokal di negara lain. Strategi ini dilakukan dengan cara memberangkatkan artis Korea Selatan ke kota-kota di Asia seperti di Jepang dan Cina untuk lebih memperkenalkan diri mereka pada pasar lokal melalui kolaborasi pembuatan produk drama televisi dengan artis dan perusahaan lokal[34]. Selain itu dalam industri musik K-Pop, terutama di Asia telah dikenal dalam meproduksi lagu-lagu yang dibuat dalam multibahasa untuk memperluas penyimak musik K-Pop. Grup musik seperti Super Junior, Girls Generation, Wonder Girls, maupun penyanyi solo seperti BoA dan Rain selalu menyanyikan beberapa lagu terpopuler milik mereka dalam bahasa Korea, Inggris, Jepang maupun Mandarin. Bahkan salah satu lagu milik Wonder Girls yang berjudul “Nobody” berhasil menjadi hits di Amerika Serikat setelah dinyanyikan dalam bahasa Inggris[35].
Faktor keempat adalah pemanfaatan media internet khususnya dalam mepromosikan produk drama televisi dan K-Pop. Di Amerika dan Eropa, bahkan Indonesia, drama televisi dan K-Pop berhasil menggaet banyak minat publik melalui media internet. Youtube adalah sarana untuk mengakses musik Korea yang membuat K-Pop lebih mudah menyebar ke publik di Amerika dan Eropa. Dari penelitian internet, jumlah akses video terkait dengan K-Pop di Youtube mencapai 123.47 juta di Amerika Utara dan 55,37 juta di Eropa dari total akses K-Pop 793.57 juta di seluruh dunia[36]. Sedangkan untuk akses drama televisi, terdapat situs seperti DramaFever.com dan DramaCrazy.com yang menyediakan akses legal untuk menonton drama televisi Korea yang disertai dengan teks terjemahan berbahasa Inggris bagi publik Amerika Serikat dan Kanada[37].


Pengaruh Korean Wave terhadap Pertumbuhan Ekonomi Korea Selatan
Keuntungan ekonomi bagi Korea Selatan melalui Korean Wave tercapai tidak hanya melalui keuntungan yang diperoleh dari ekspor produk budaya namun juga ketika kepopuleran Korean Wave di negara-negara lain dimanfaatkan sebagai alat promosi dalam memasarkan produk bernilai ekonomi lainnya seperti pariwisata dan produk komersial. Pemanfaatan Korean Wave sebagai soft power dalam memperoleh keuntungan ekonomi bagi Korea Selatan tersebut dapat dilihat dalam dua hal, yakni digunakannya kepopuleran Korean Wave sebagai daya tarik dalam industri pariwisata serta pemasaran produk budaya dan produk komersial Korea Selatan ke berbagai negara.
Korean Wave sebagai daya tarik dalam industri pariwisata dicerminkan dalam penggunaan Korean Wave sebagai ikon promosi organisasi pariwisata Korea Selatan (Korean Tourism Organization/KTO). Sejak kepopuleran drama televisi “Winter Sonata”, lokasi syuting drama televisi mulai dimanfaatkan dalam industri pariwisata di Korea Selatan. KTO pun mulai menyediakan paket-paket wisata sesuai dengan yang muncul di drama televisi yang ingin dikunjungi oleh para turis. Salah satu kunjungan terbesar dari model pemasaran obyek wisata seperti ini adalah kunjungan dari turis Jepang[38].
Keuntungan yang diperoleh Korea Selatan terkait dengan pemanfaatan Korean Wave dalam  industri pariwisata dapat dilihat pada perkembangan jumlah turis asing yang datang ke Korea pada periode tahun 1990-2010 berikut:
Tabel I.4[39]
Jumlah Kedatangan Turis Asing di Korea Selatan Periode Tahun 1990-2012
                                                                                                                                                    ( ) = Growth(%)
Year
Visitor Arrivals
(Number)
1990
2,958,839(8.5)
1991
3,196,340(8.0)
1992
3,231,081(1.1)
1993
3,331,226(3.1)
1994
3,580,024(7.5)
1995
3,753,197(4.8)
1996
3,683,779(-1.8)
1997
3,908,140(6.1)
1998
4,250,216(8.8)
1999
4,659,785(9.6)
2000
5,321,792(14.2)
2001
5,147,204(-3.3)
2002
5,347,468(3.9)
2003
4,752,762(-11.1)
2004
5,818,138(22.4)
2005
6,022,752(3.5)
2006
6,155,047(2.2)
2007
6,448,240(4.8)
2008
6,890,841(6.9)
2009
7,817,533(13.4)
2010
8,797,658(12.5)
2011
9,794,796(11.3)
2012
11,140,028(13.7)

Dari hasil statistik pariwisata di Korea Selatan sejak tahun 1990 hingga tahun 2010, dapat dilihat bahwa jumlah kedatangan turis ke Korea Selatan cenderung meningkat. Dari hanya sekitar 2,95 juta orang di tahun 1990, jumlah turis pasca booming Korean Wave meningkat hingga mencapai 8,79 juta orang pada tahun 2010.[40] Serupa dengan hasil statistik KTO di atas, Pusat Statistik Korea (KOSTAT) juga melaporkan jumlah turis yang datang ke Korea Selatan pada tahun 2010 mencapai 8,8 juta orang, yang merupakan kenaikan sebanyak 70,9% dari jumlah turis pada tahun 2001 yang hanya sejumlah 5,1 juta orang[41]. Data di atas menunjukkan pada periode kemunculan Korean Wave dari akhir tahun 1990-an hingga tahun 2010, industri pariwisata di Korea Selatan mengalami keuntungan peningkatan jumlah turis asing. Bahkan tahun 2012 jumlah turis asing yang berkunjung ke Korea Selatan mencapai 11,1 Juta orang.
Di samping keuntungan pada industri pariwisata, Korea Selatan melalui penggunaan Korean Wave mendapatkan keuntungan yang lebih besar pada pemasaran dan penjualan produk budaya serta produk komersialnya. Ekspor produk budaya yang dilakukan dalam aliran Korean Wave terutama di negara-negara Asia adalah ekspor produk drama televisi, produk industri musik, film, animasi dan online games.
Ekspor Korea Selatan dalam produk program televisi mengalami peningkatan yang cukup signifikan sejak tahun 2000 (yang termasuk dalam periode awal kemunculan Korean Wave) hingga tahun 2007 dengan hanya 13 juta US dollar pada tahun 2000 menjadi 162 juta US dolar  pada tahun 2007. Bahkan jika sebelumnya pada tahun 2000 impor Korea lebih tinggi dari ekspornya, yakni 29 juta US dolar, pada tahun 2007 neraca berbalik ketika Korea Selatan mengekspor sekitar 130 juta US dolar lebih banyak dari jumlah impornya yang hanya sebesar 32 juta US dollar.
Winter Sonata”, salah satu produk drama televisi terpopuler dari Korea Selatan memberikan efek ekonomi yang besar ketika berhasil meraup keuntungan sebesar 1,1 miliyar US dolar di Jepang[42]. Kemudian keuntungan juga diperoleh melalui produk musik K-Pop dilihat dari jumlah kopi lagu yang terjual serta popularitas lagu tersebut di tangga lagu luar negeri. Grup musik H.O.T. berhasil menjual 100.000 kopi musiknya di Cina pada tahun 2001 dan lagu Korea selalu menempati 10 besar dalam tangga lagu di Cina pada saat itu[43]. Di Perancis, SM Town World Tour, sebuah tur penampilan artis dan grup musik Korea Selatan di bawah naungan SM Town Management, menjual 7000 kursi dalam 15 menit untuk menyaksikan penampilan grup musik dari manajemen tersebut[44]. Rain, salah satu bintang K-Pop juga muncul sebagai peraih kepopuleran Korean Wave di Asia dengan menjual lebih dari 130.000 kursi dalam konsernya di berbagai kota di Asia pada tahun 2005[45].
Ekspor budaya Korea Selatan dalam Korean Wave tidak hanya menguntungkan dari sisi keuntungan ekspor produk budaya, namun juga meningkatkan keuntungan pemasaran produk komersial lain ke pasar internasional. Kepopuleran produk budaya dalam Korean Wave, seperti drama televisi membiasakan publik dengan gaya hidup ala Korea yang digambarkan dalam drama tersebut. Pembiasaan ini dapat mendorong konsumsi publik terhadap produk-produk yang digunakan dalam penggambaran gaya hidup ala Korea, misalnya gadget dengan teknologi terkini atau pakaian dan kosmetik untuk mendapatkan penampilan ala Korea.
Beberapa contoh produk komersial yang berhasil dipasarkan dan dijual oleh Korea Selatan adalah produk elektronik dan teknologi komunikasi yang diproduksi oleh perusahaan Samsung dan LG Electronics. Dalam pemasaran produk komersial tersebut, perusahaan seperti Samsung dan LG Electronics memanfaatkan kepopuleran drama televisi Korea sekaligus aktris dan aktor dalam drama televisi tersebut dengan mempromosikannya bersamaan dengan produk komersial mereka di luar negari. LG Electronics misalnya, mempromosikan drama televisi Korea di Vietnam dengan cara membantu stasiun televisi lokal Vietnam untuk menyiarkan drama Korea secara gratis bahkan membayar untuk men-dubbing tayangan drama tersebut[46]. Samsung mempromosikan drama seri interaktif “Twenty, the Start of Wave” dalam produk terbaru Samsung Wave 3 untuk mempromosikan drama Korea dengan aktor dengan generasi lebih muda sekaligus mempromosikan produk terbarunya[47]. Samsung memasarkan produk komputer di Cina dengan memasang aktor sekaligus penyanyi Ahn Jae-wook dalam iklannya[48]. Begitupun dalam konteks Indonesia sendiri, bagaimana produk Kakao Talk yang pendirinya adalah Beom Soo Kim adalah mantan CEO NHN Corporation yang berbasis di Seoul, juga menampilkan kolaborasi antara grup boyband Korea Selatan Big Bang dan artis Indonesia Sherina Munaf sebagai bintang iklan produk tersebut.
Pemasaran produk komersial dengan menggunakan kepopuleran budaya Korea dalam Korean Wave ini memberikan keuntungan bagi perusahaan-perusahaan Korea tersebut. Di Jepang, produk smartphone Galaxy S II keluaran Samsung Electronics Co. pada bulan Juni 2011 menjadi telepon seluler dengan penjualan terbaik di Jepang menurut badan riset BCN Inc[49] dan membantu Korea Selatan menaikkan ekspor produk komersial sebanyak 50% pada enam bulan pertama tahun 2011. Begitupun dalam konteks Indonesia, Samsung dan LG juga berhasil mendapatkan keuntungan dengan mengontrol lebih dari 30% pasar produk komersial[50]. Selain produk elektronik, di Thailand dan Indonesia produk kosmetik asal Korea seperti Etude, Skin Food dan Face Shop juga menjadi populer di kalangan mahasiswi yang meniru penampilan ala artis Korea[51]. Face Shop misalnya, menjadi merek produk kosmetik yang digemari sejak tahun 2005 di Indonesia dengan dibantu kepopuleran aktor/penyanyi Rain dan Kim Hyun-Joong sebagai bintang iklannya[52]. Produk online games juga sukses ditransfer ke pasar internasional dan membuat industri online games Korea Selatan menjadi industri online games nomor dua terbesar di dunia.[53] Sehingga berdasarkan pemaparan di atas, dapat terlihat bagaimana Korean Wave memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan Ekonomi negara Korea Selatan.

KESIMPULAN
Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya perkembangan gelombang budaya Korea Selatan atau Korean Wave (Hallyu) telah berhasil mempengaruhi masyarakat daengan produk budaya Korea mulai dari drama, film, lagu, fashion, hingga produk-produk industri.  Hal tesebut merupakan suatu fenomena yang tentunya memberikan keuntungan untuk negara Korea Selatan, yang salah satunya adalah dalam hal pertumbuhan ekonomi negara. Dikembangkanya Korean Wave oleh negara Korea Selatan secara teori merupakan sebuah implementasi dari Soft Power negara Korea Selatan guna memperoleh keuntungan dan kepentingan nasional negaranya terutama dalam bidang ekonomi.  Soft Power tersebut didasarkan pada daya tarik yang dimiliki Korea Selatan, seperti halnya pariwisata, modernitas teknologi negara Korea Selatan dan budaya populer atau K-Pop yang menjadi suatu pemikat masyarakat dunia, sehingga tertarik untuk menikmatinya. Di sisi lain,  menarik bagaimana melihat implementasi dari Korean Wave yang difasilitasi oleh beberapa aktor terkait seperti negara, media massa dan perusahaan multinasional, masyarakat menjadi salah satu faktor pendukung dalam memperbaikai kondisi ekonomi negara Korea Selatan pasca krisis ekonomi tahun 1997 yang melanda Asia yang tentunya memberikan dampak positif terhadap perkembangan ekonomi negara Korea Selatan.




Daftar Pustaka

Sumber Buku:
Vivian, John. The Media of Mass Communcation.  Boston: Pearson, 2008.

Sumber Disertasi:
Ju, H.J. Globalization of the Korean Popular Culture in East Asia: Theorizing the Korean Wave [Disertasi]. University of Oklahoma, 2010.
Suryani, Ni Putu Elvina. Korean Wave sebagai Soft Power dalam Memperoleh Keuntungan Ekonomi bagi Korea Selatan [Tugas Akhir]. Depok: Universitas Indonesia, 2012.

Sumber Artikel (PDF):
Cho H. J. Reading the “Korean Wave” as a Sign of Global Shift. Korea Jurnal 45(4):147-182, 2005.
Chua B.H. Korean Pop Culture: Malaysian journal of media studies volume 12 Vol. 12, no. 1:15-24, 2010.
Huang, S.  Nation-branding and transnational consumption: Japan-mania and the Korean wave in Taiwan Media, Culture & Society, 33(1): 3–18, 2011.
Kim, J. Y.  Rethinking Media Flow Under Globalisation: Rising Korean Wave and Korean TV and Film Policy Since 1980s -
Korean Culture and Information Service.  The Korean Wave: A New Pop Culture Phenomenon.  Korean Culture and Information Service, Ministry of Culture, Sports and Tourism, 2011.
Lee, S.J. The Korean Wave: The Seoul of Asia.  The Elon Journal of Undergraduate Research in Communications Vol. 2, No. 1: 85-93,  2011.
Liu, X. The Rising Korean wave among Chinese Youth, CSP 104 Academic Writing Skills, Chua Chongjin, 2007.
Nye, J.S. Public Diplomacy and Soft Power: THE ANNALS of the American Academy of Political and Social Science; 2008. 616;94-109.
Nye, J.S. Soft Power and Higher Education. Forum for the Future of Higher Education, 2005 diunduh dari http://www.educause.edu/Resources/SoftPowerandHigherEducation/158676,  Senin, 16 Desember 2013; Pukul 07.41 WIB

Sumber Website:
BBC News. South Korea Profile dalam http://www.bbc.co.uk/news/world-asia-pacific-15289563. Diakses pada Selasa, 17 Desember 2013; Pukul 07.42 WIB
Foreign Direct Investment (FDI), http://www.korea.net/AboutKorea/Economy/Foreign-Direct-Investment, diakses pada Senin, 16 Desember 2013;  Pukul 23.28 WIB
Ilbo, Chosun. 2012. K-Pop Leads Record Earnings from Cultural Exports dalam http://english.chosun.com/site/data/html_dir/2012/02/07/2012020700892.html. Diakses pada Selasa, 17 Desember 2013; Pukul 19.20 WIB
Kedutaan Besar Republik Korea untuk Indonesia dalam  http://idn.mofat.go.kr/worldlanguage/asia/idn/bilateral/politik/sejarah/index.jsp Diakses pada Selasa, 17 Desember 2013; Pukul 19.32 WIB
Korea in the world seen through statistics [2] Culture and Travel, 2011/11/17, http://www.hancinema.net/korea-in-the-world-seen-through-statistics-2-culture-and-travel-35406.html, diakses pada tanggal Selasa, 17 Desember 2013; Pukul 04.01 WIB
Kumwilaisak, W., Hallyu, Making A Good Korean Image in Thailand, http://webzine.kofice.or.kr/201102/eng/sub_01_01.htm diakses pada Selasa, 19 November 2013 pukul 19.41 WIB
Mariz, E., ‘From Heartthrobs to Hairdos, Welcome to the Korean Wave’, The Jakarta Globe, 19 Februari 2013; http://www.thejakartaglobe.com/lifeandtimes/from-heartthrobs-to-hairdos-welcome-to-the-korean-wave/498900, diakses pada Senin, 16 Desember 2013;  Pukul 19.05 WIB
The Economist, South Korea’s pop-cultural exports: Hallyu, yeah! A “Korean wave” washes warmly over Asia, 25 Januari 2010, (Seoul dan Phnom Penh) dalam http://www.economist.com/node/15385735, diakses pada Selasa, 17 Desember  2013; pukul 19.54 WIB
VOA News. Asia Goes Crazy Over K-Pop dalam http://english.chosun.com/site/data/html_dir/2006/01/07/2006010761003.html. Diakses pada Selasa, 17 Desember 2013; Pukul 07.45 WIB
Yasu, M. dan M. Shiraki.  K-Pop Stars Lure Japanese Consumers to Buy Samsung, LG Goods, http://www.bloomberg.com/news/2011-07-25/k-pop-stars-lure-japanese-consumers-to-buy-samsung-lg-goods.html diakses pada Senin, 16 Desember 2013;  Pukul 19.20 WIB
NN. Samsung Korea luncurkan drama seri interaktif berbasis Wave 3, 22 Maret 2012, http://badaindonesia.blogspot.com/2012/03/samsung-korea-luncurkan-drama-seri.html#.T7aj2lIUQ2w diakses pada Selasa,  17 Desember 2013; Pukul 03.38 WIB

Sumber Gambar:
www.unisesarviju.com diakses pada Selasa, 17 Dsember 2013; Pukul 09.59 WIB.


Sumber Tabel:
Visitor Arrivals, Korean Departures, International Tourism Receipts &Expenditures, http://kto.visitkorea.or.kr/eng/tourismStatics/keyFacts/visitorArrivals.kto, diakses pada Selasa, 17 Desember 2013; Pukul 05.31 WIB






[1] BBC News. South Korea Profile dalam http://www.bbc.co.uk/news/world-asia-pacific-15289563. Diakses pada Selasa, 17 Desember 2013; Pukul 07.42 WIB.
[2]VOA News. 2006. Asia Goes Crazy Over K-Pop dalam http://english.chosun.com/site/data/html_dir/2006/01/07/2006010761003.html. Diakses pada Selasa, 17 Desember 2013; Pukul 07.45 WIB.
[3] Chosun Ilbo. 2012. K-Pop Leads Record Earnings from Cultural Exports dalam http://english.chosun.com/site/data/html_dir/2012/02/07/2012020700892.html. Diakses pada Selasa, 17 Desember 2013; Pukul 19.20 WIB.
[4] Kedutaan Besar Republik Korea untuk Indonesia dalam  http://idn.mofat.go.kr/worldlanguage/asia/idn/bilateral/politik/sejarah/index.jsp Diakses pada Selasa, 17 Desember 2013; Pukul 19.32 WIB.
[5], John Vivian. The Media of Mass Communcation  (Boston: Pearson, 2008),  hlm. 67.
[6] Nye, J.S. Public Diplomacy and Soft Power: THE ANNALS of the American Academy of Political and Social Science; 2008. 616;94-109, hlm. 94.
[7] Nye, J.S. Soft Power and Higher Education. Forum for the Future of Higher Education, 2005 diunduh dari http://www.educause.edu/Resources/SoftPowerandHigherEducation/158676,  Senin, 16 Desember 2013; Pukul 07.41 WIB.
[8] Ibid.,
[9] Nye, J.S. Op. Cit.,
[10] Ibid., hlm. 96
[11] Ibid.,
[12] Merupakan pengistilahan yang digunakan dalam tulisan Joseph S. Nye, Ibid.,
[13] Ibid., hlm. 107.
[14] Lee, S.J. The Korean Wave: The Seoul of Asia.  The Elon Journal of Undergraduate Research in Communications Vol. 2, No. 1: 85-93,  2011. hlm. 85
[15] Kim, J. Y.  Rethinking Media Flow Under Globalisation: Rising Korean Wave and Korean TV and Film Policy Since 1980s - Warwick Research Archive Portal, Welcome to Warwick Research Archive Portal – Warwick Research Archive Portal, 2007 dalam http://wrap.warwick.ac.uk/1153/ dalam Ibid., hlm. 86
[16] Ju, H.J. Globalization of the Korean Popular Culture in East Asia: Theorizing the Korean Wave [Disertasi] (University of Oklahoma, 2010), hlm. 2
[17] Korean Culture and Information Service.  The Korean Wave: A New Pop Culture Phenomenon (Korean Culture and Information Service, Ministry of Culture, Sports and Tourism, 2011), hlm. 20
[18] Cho H. J. Reading the “Korean Wave” as a Sign of Global Shift. Korea Jurnal 45(4):147-182, 2005. hlm. 150
[19] Korean Culture and Information Service.  Op. Cit.,
[20] Ju, H.J. Op. Cit., hlm. 59
[21] Korea in the world seen through statistics [2] Culture and Travel, 2011/11/17, http://www.hancinema.net/korea-in-the-world-seen-through-statistics-2-culture-and-travel-35406.html, diakses pada tanggal Selasa, 17 Desember 2013; Pukul 04.01 WIB
[22] Ibid.,
[23] Nye, J.S. (2008), Op. Cit.,
[24] Informasi lebih lanjut mengenai animasi dan games Korea Selatan dapat diakses pada http://www.hancinema.net/korea-in-the-world-seen-through-statistics-2-culture-and-travel-35406.html
[25] The Economist, South Korea’s pop-cultural exports: Hallyu, yeah! A “Korean wave” washes warmly over Asia, 25 Januari 2010, (Seoul dan Phnom Penh) dalam http://www.economist.com/node/15385735, diakses pada Selasa, 17 Desember  2013; pukul 19.54 WIB.
[26] Ibid.,
[27] Dalam Tugas Akhir Ni Putu Elvina Suryani. Korean Wave sebagai Soft Power dalam Memperoleh Keuntungan Ekonomi bagi Korea Selatan (Depok: Universitas Indonesia, 2012), hlm. 63.
[28] Liu, X. The Rising Korean wave among Chinese Youth, CSP 104 Academic Writing Skills, Chua Chongjin, 2007. hlm. 4
[29] Chua B.H. Korean Pop Culture: Malaysian journal of media studies volume 12 Vol. 12, no. 1:15-24, 2010. hlm. 16
[30] Korean Culture and Information Service.  Op. Cit., hlm. 72
[31] Chua B.H. Op. Cit.
[32] Huang, S.  Nation-branding and transnational consumption: Japan-mania and the Korean wave in Taiwan Media, Culture & Society, 33(1): 3–18, 2011. hlm.7
[33] Korean Culture and Information Service. Op. Cit.,
[34] Korean Culture and Information Service.  Ibid., hlm. 70
[35] Ibid., hlm. 48
[36]Ibid., hlm. 38
[37] Ibid., hlm. 54
[38] Kim, E..M. dan  Ryoo, J.W. Op. Cit., hlm. 121
[39]Visitor Arrivals, Korean Departures, International Tourism Receipts &Expenditures, http://kto.visitkorea.or.kr/eng/tourismStatics/keyFacts/visitorArrivals.kto, diakses pada Selasa, 17 Desember 2013; Pukul 05.31 WIB

[40] Visitor Arrivals, Korean Departures, International Tourism Receipts &Expenditures, http://kto.visitkorea.or.kr/eng/tourismStatics/keyFacts/visitorArrivals.kto, diakses pada tanggal Selasa, 17 Desember 2013; Pukul 04.28 WIB.
[41] Korea in the world seen through statistics [2] Culture and Travel, 2011/11/17, http://www.hancinema.net/korea-in-the-world-seen-through-statistics-2-culture-and-travel-35406.html, diakses pada  Selasa, 17 Desember 2013; Pukul 02.29 WIB.
[42] Kim, E..M. dan Ryoo, J.W. Op. Cit., hlm. 129
[43] Yi, J.H. Op. Cit., hlm. 151
[44] Ibid., hlm. 48
[45] http://www.jype.com  The New York Times January 29, 2005 dalam Kim, E..M. dan Ryoo, J.W. Op. Cit., hlm. 131
[46] Dikutip dari Nae-oe Economic Daily, (2001), Hanryu Star Marketing Getting Hot, 31 Jul.:1 dalam Shim, D. Op.Cit., hlm.7
[47] Samsung Korea luncurkan drama seri interaktif berbasis Wave 3, 22 Maret 2012, http://badaindonesia.blogspot.com/2012/03/samsung-korea-luncurkan-drama-seri.html#.T7aj2lIUQ2w diakses pada Selasa,  17 Desember 2013; Pukul 03.38 WIB
[48] Ibid.,

[49] Yasu, M. dan M. Shiraki.  K-Pop Stars Lure Japanese Consumers to Buy Samsung, LG Goods, http://www.bloomberg.com/news/2011-07-25/k-pop-stars-lure-japanese-consumers-to-buy-samsung-lg-goods.html diakses pada Senin, 16 Desember 2013;  Pukul 19.20 WIB.

[50] Mariz, E., ‘From Heartthrobs to Hairdos, Welcome to the Korean Wave’, The Jakarta Globe, 19 Februari 2013; http://www.thejakartaglobe.com/lifeandtimes/from-heartthrobs-to-hairdos-welcome-to-the-korean-wave/498900, diakses pada Senin, 16 Desember 2013;  Pukul 19.05 WIB.
[51] Kumwilaisak, W., Hallyu, Making A Good Korean Image in Thailand, http://webzine.kofice.or.kr/201102/eng/sub_01_01.htm diakses pada Selasa, 19 November 2013 pukul 19.41 WIB
[52] Mariz, E., ‘From Heartthrobs to Hairdos, Welcome to the Korean Wave’, The Jakarta Globe, 19 Februari 2013, http://www.thejakartaglobe.com/lifeandtimes/from-heartthrobs-to-hairdos-welcome-to-the-korean-wave/498900, diakses Selasa, 17 Desember 2013; Pukul 04.33 WIB.
[53] Foreign Direct Investment (FDI), http://www.korea.net/AboutKorea/Economy/Foreign-Direct-Investment, diakses pada Senin, 16 Desember 2013;  Pukul 23.28 WIB.

1 komentar: