oleh Alpiadi Prawiraningrat
Resolusi konflik
seperti apa yang dapat digunakan dalam menangani konflik di Kamboja? Apakah
teori resolusi konflik dalam kasus perselisihan antara Kamboja dengan Vietnam
dapat diimplementasikan kembali dalam menangani persoalan Kamboja dengan
Thailand belakangan ini? Petanyaan tersebut menjadi pemicu kali ini. Didasarkan
pada artikel Ramses Amer yang berjudul The Resolution of the Cambodian Conflict:
Assessing the Explanatory Value of Zartman’s ‘Ripeness Theory’[1]
tulisan akan menjelaskan mengenai resolusi konflik yang pernah
diterapkan di Kamboja yang memiliki korelasi dengan teori Zartman tentang Ripeness Theory. Di sisi lain, hal menarik lainnya yang juga
akan dicoba dibahas adalah relevansi teori Zartman dengan konflik lain yang
terjadi antara Kamboja dan Thailand beberapa tahun silam.
Secara keseluruhan, artikel Ramses Amer menjelaskan mengenai kompleksitas
dalam memahami dan menjelaskan resolusi konflik di Kamboja, khususnya
persengketaanya dengan Vietnam yang didasarkan salah satu pendekatan teoritis
Zartman yang menunjukkan bahwa adanya potensi yang menyebabkan jalan buntu
resolusi konflik Kamboja dengan Vietnam disebabkan oleh perkembangan hubungan
Cina dengan Vietnam yang berpotensi mengancam dukungan eksternal terhadap
penyelesaian konflik tersebut. Selain itu, penyelesaian konflik Kamboja adalah
prasyarat untuk normalisasi hubungan antara Cina dan Vietnam, sehingga kedua
negara menerapkan tekanan pada pihak Kamboja untuk menyelesaikan perbedaan
mereka dan membuka jalan bagi penyelesaian konflik Kamboja. Selain itu,
kompleksitasnya penyelesaian konflik Kamboja, karena konflik Kamboja juga ada pada
tingkat regional dan tingkat global, kedua tingkat harus dipertimbangkan
perannya sehingga semakin menambah kompleksitas aktor yang ikut berperan dalam
penyelesaian konflik di Kamboja.
Zartman juga
mengungungkapkan beberapa konsep kunci pendekatan teoretis Zartman terhadap
konflik Resolusi, yaitu: hurting
stalemate, ripe moment dan ripe for resolution. Berkaitan dengan hurting stalmate dan ripe
moment dipahami sebagai:
“The basic component of a ripe moment is a deadlock
that keeps both parties from achieving their goals. But deadlock alone is not
enough; it must be a particular kind of stalemate that hurts both parties
enough to make them feel uncomfortable and unable to break out by an escalation
with acceptable costs. But a mutually hurting stalemate is not enough either;
in order to be effective, it generally needs to be riveted to the parties’
perception through a recent or looming catastrophe that acts as a deadline or
is remembered as a warning. (Zartman, 1991a: 16)[2]
[Komponen
dasar ripe moment adalah kebuntuan yang membuat kedua belah pihak yang
berkonflik mencapai tujuan mereka . Tapi kebuntuan saja tidak cukup, harus
situasi kebuntuan yang menyakitkan kedua belah pihak dan membuat pihak yang
berkonflik merasa tidak nyaman dan tidak mampu keluar dengan eskalasi dengan
biaya yang dapat diterima . Tapi hal tersebut saja tidak cukup, agar efektif
perlu terpaku ke persepsi pihak yang lan (mediator) atau menentukan pihak lain
yang bertindak sebagai penentu batas waktu dan memberi peringatan dalam konflik
yang terjadi.]
Sedangkan ripe for resolution Zartman
mengungkapkan bahwa:
“.....the
moment as ripe for resolution: both sides are locked in a situation from which
they cannot escalate the conflict with their available means and at an acceptable cost.” (Zartman,
1995: 8)[3]
[....ripe for resolution dipahami sebagai suatu waktu yang mana kedua
belah pihak yang berkonflik terkunci
dalam situasi dimana mereka tidak dapat meningkat konflik dengan sarana yang
tersedia dan pada biaya yang dapat diterima.]
Akan tetapi, hal yang justru menarik bagi penulis
adalah bahwa mutually hurting stalemate terjadi ketika kedua belah pihak yang
berkonflik merasa bahwa mereka menderita kebuntuan konflik tersebut. selain itu,
pihak yang terlibat konflik menyadari bahwa mereka tidak dapat
mengabaikan konflik dan tidak dapat meningkatan nya dengan cara secara sepihak agar memeperoleh
kemenangan, sehingga Peran mediasi dengan negosiasi merupakan salah cara
menyelesaikan masalah tersebut. Dalam konteks ini , masalah untuk alamat jika
intervensi pihak ketiga adalah bagian yang tidak terpisahkan.
Zartman juga mengungkapkan bahwa:
“Negotiation can be carried out directly by the
parties themselves, by a third party through
mediated negotiation, or in multilateral settings, by a mixture of the
two, with some parties serving as mediators among the others. (Zartman, 2001:
6)”[4]
[Negosiasi dapat
dilakukan secara langsung oleh pihak yang berkonflik, ataupun oleh pihak ketiga
melalui mediasi negosiasi , atau bahkan pengaturan multilateral dan campuran dari keduanya , dengan beberapa pihak
yang berfungsi sebagai mediator.
(Zartman , 2001: 6 )]
Dengan kata
lain, menurut Zartman , mediasi bukan merupakan prasyarat akan tetapi negosiasi
yang dilakukan oleh para pihak dalam suatu situasi konflik merupakan salah satu
cara konflik resolution.3
Berdasarkan pemaparan
tersebut, penulis sependapat bahwa negosiasi dengan mediasi yng melibatkan
pihak ketiga menjadi salah satu solusi dalam konflik yang sedang terjadi. Sebagaiamana dalam persoalan konflik antara Kamboja
dengan Vietnam yang dibahas dalam tulisan Ramses Amer, negosiasi
dan kompromi dan saling pengertian sudah lebih dulu dibuat dan dicapai pada tahun 1990, melalui keputusan Dewan Keamanan dan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Selain itu, sejumlah negara juga ikut terlibat sebagai mediator pihak ketiga pada berbagai tahap konflik selama tahun 1980 sampai awal 1990-an, di antaranya Indonesi , Australia dan Perancis. Namun demikian, hal yang perlu menjadi perhatian adalah bahwa kesepakatan atau konsensus yang diperoleh oleh pihak yang berkonflik berdasarkan penentuan negosiasi melalui mediasi ini merupakan solusi yang bukan merupakan tekanan mediator, artinya kewenangan penuh berasal dari pihak yang berkonflik dan mediator hanya sebagai fasilitator penyelesaian konflik.
dan kompromi dan saling pengertian sudah lebih dulu dibuat dan dicapai pada tahun 1990, melalui keputusan Dewan Keamanan dan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Selain itu, sejumlah negara juga ikut terlibat sebagai mediator pihak ketiga pada berbagai tahap konflik selama tahun 1980 sampai awal 1990-an, di antaranya Indonesi , Australia dan Perancis. Namun demikian, hal yang perlu menjadi perhatian adalah bahwa kesepakatan atau konsensus yang diperoleh oleh pihak yang berkonflik berdasarkan penentuan negosiasi melalui mediasi ini merupakan solusi yang bukan merupakan tekanan mediator, artinya kewenangan penuh berasal dari pihak yang berkonflik dan mediator hanya sebagai fasilitator penyelesaian konflik.
Selanjutnya, apakah
teori resolusi konflik dalam kasus perselisihan antara Kamboja dengan Vietnam
dapat diimplementasikan kembali dalam menangani persoalan Kamboja dengan
Thailand belakangan ini? nampaknya
mediasi melaluai negosiasi peran mediator merupakan salah satu cara yang dapat
digunakan dalam persoalan Kamboja dengan Thailand, terutama peran
institusi-institusi yang memiliki posisi penting, seperti negara ataupun
organisasi internasional seperti ASEAN dan Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB).
Khususnya sebagai
contoh adalah peran penting Indonesia dan ASEAN yang ditunjukan dengan
pertemuan informal para Menlu ASEAN yang diprakarsai Indonesia selaku Ketua
ASEAN,[5]
merupakan tindak lanjut dari hasil sidang Dewan Keamanan Perserikatan
Bangsa-Bangsa (DK PBB). Sidang itu sebelumnya meminta Thailand dan Kamboja
bekerjasama dengan ASEAN sebagai mediator untuk menuntaskan persoalan
perbatasan melalui jalan damai.[6] Ditetapkannya
Jakarta sebagai tuan rumah pertemuan informal Menlu ASEAN bukan faktor
kebetulan karena Indonesia Ketua ASEAN 2011, namun lebih dari pada itu
dikarenakan kapasitas Indonesia sebagai negara yang memiliki pengalaman dalam
menyelesaikan konflik internal di ASEAN.
Peran Indonesia sebagai mediator
diniilai penting, tidak hanya karena posisi Indonesia sebagai keta ASEAN pada
saat itu, tapi Indonesia memandang adanya 3 (tiga) sasaran yang prinsipil dan
saling menguatkan dalam upaya penyelesaian konflik antara Kamboja dan Thailand,
yaitu: [7]
Pertama, ASEAN mengajak dan mendorong
kedua pihak terkait untuk mewujudkan komitmennya untuk menyelesaikan secara
damai perselisihan yang ada dan menolak penggunaan dan ancaman untuk
menggunakan kekuatan sebagaimana tertuang dalam Perjanjian Persahabatan dan Kerjasama
atau TAC di Asia Tenggara dan Piagam ASEAN; Kedua, ASEAN mendukung upaya
yang dilakukan kedua pihak untuk menjamin penghormatan terhadap gencatan
senjata. Penguatan modalitas komunikasi kiranya dapat mulai diajukan; dan Ketiga, Upaya ASEAN untuk menjamin
kondisi yang kondusif untuk memulai kembali perundingan antara kedua belah
pihak. ASEAN kiranya dapat memfasilitasi pembicaraan bilateral dimaksud dan
senantiasa diinformasikan perkembangannya oleh kedua pihak terkait mengenai
garis besar perkembangannya
Selain itu, pengalaman
negara yang menjadi mediator dalam proses mediasipun dinilai penting. Sebagai contoh pada tahun tahun 1988-1989
Indonesia pernah menjadi tuan rumah Jakarta
Informal Meeting (JIM) untuk menyelesaikan konflik antara Kamboja dan Vietnam.
Pada saat itu Indonesia berhasil memfasiltasi dan memediasi kedua negara yang
sedang bermusuhan untuk bisa duduk bersama-sama mendiskusikan dan menyelesaikan
konflik diantara mereka. Hasilnya, Vietnam menarik pasukannya dari Kamboja dan
situasi damai di Kamboja tercipta. Belajar
dari pola penyelesaian yang diterapkan saat JIM, pola yang sama bisa diterapkan
kembali untuk kasus Thailand dan Kamboja, apalagi sejauh ini kedua negara
tersebut sudah menyatakan komitmennya untuk menyelesaikan konflik perbatasan
melalui mediasi ASEAN.
Karena
selain institusi negara seperti Indonesia. Peran ASEAN sebagai organisasi
regional di kawasan Asia Tenggara juga sama penting, sehingga ASEAN harus lebih
berperan aktif sebagaimana perspektif kelompok masyarakat sipil Thailand dan
Kamboja yang hadir dalam Konferensi Masyarakat Sipil ASEAN (ACSC)/Forum Rakyat
ASEAN (APF) menginginkan ASEAN lebih berperan dalam mengatasi sengketa
perbatasan diantara negara-negara mereka.[8]
Akan tetapi,
sebagaimana telah diungkapkan di atas bahwa kesepakatan atau konsensus yang
diperoleh oleh pihak yang berkonflik berdasarkan penentuan negosiasi melalui
mediasi ini merupakan solusi yang bukan merupakan tekanan mediator, artinya
kewenangan penuh berasal dari pihak yang berkonflik dan mediator hanya sebagai
fasilitator penyelesaian konflik.
Begitupun dalam konteks penyelesaian konflik Kamboja dan Thailand.
Meskipun, upaya untuk menstabilkan situasi dan menciptakan suasana kondusif
menjadi penekanan utama, bagaimana pun harus 2 negara terkait yang harus aktif
menyamakan pandangan dan mencari penyelesaian masalah berdasar kesepakatan
bersama[9]
dan negara seperti Indonesia yang ikut terlibat sebagai mediator tidak dapat
memaksakan kehendak. Begitupun ASEAN
juga tidak memaksakan kehendak dan pilihannya karena masalah ini harus
diselesaikan 2 (dua) negara tersebut. oleh karen itu, pihak yang menjadi
mediator baik Indonesia dan ASEAN bisa untuk ciptakan lingkungan yang kondusif
bagi penyelesaian secara bilarateral.
Kesesuaian mediasi
dengan melibatkan pihak ketiga sebagai mediator dengan menggunakan perspektif
teori Zartman sebagai resolusi konflik yang tidak hanya dalam kasus
perselisihan Kamboja dan Vietnam, akan tetapi juga Kamboja dan Thailand dapat
dilihat dari sikap Pemerintah Kamboja sudah menyepakati TOR (Terms of Reference) dan menunggunya
persetujuan Pemerintah Thailand sebagai upaya bagian dari resolusi konflik
tersebut. juga Kamboja dan Thailand dikabarkan menarik pasukannya dari wilayah
perbatasan yang menjadi sengeketa antar kedua negara.[10] serta
rencana dikirimnya tim observer Indonesia ke perbatasan Thailand dan Kamboja
terkait penyelesaian konflik.[11] Sehingga,
berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa teori Zartman berkaitan
dengan mediasi melalui pelibatan pihak ketiga sebagai mediator dapat digunakan
sebagai salah satu solusi resolusi konflik, terutama dalam kasus perselisihan
antara Kamboja dengan Viatnam dan Kamboja dengan Thailand. Cara tersebut, tidak
lain adalah sebagai salah satu upaya menciptakan stabilitas keamanan, sosial
dan politik di kawasan regional Asia Tenggara.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Utama:
Amer, Ramses. The
Resolution of the Cambodian Conflict: Assessing the Explanatory Value of
Zartman’s ‘Ripeness Theory Journal
of Peace Research, vol. 44, no. 6, 2007, pp. 729–742 Sage Publications (Los
Angeles, London, New Delhi and Singapore) http://jpr.sagepub.com
Sumber Website (Berita dan Artikel):
Ferida, Kharissa. RI Sempurnakan Tim Obsever Konflik Thailand-Kamboja dalam http://international.okezone.com/read/2012/01/24/411/562387/ri-sempurnakan-tim-obsever-konflik-thailand-kamboja diakses pada Minggu, 30 Maret 2014; Pukul 08.06 WIB.
Laksana, Razan. Thailand-Kamboja Tarik Pasukan dari Wilayah Sengketa dalam http://international.okezone.com/read/2012/07/18/411/665113/thailand-kamboja-tarik-pasukan-dari-wilayah-sengketa diakses pada Minggu, 30 Maret 2014; Pukul 08.06 WIB.
Maruli, Aditia. Secercah Harap Untuk Resolusi Konflik Thai-Kamboja dalam http://www.antaranews.com/berita/257488/secercah-harap-untuk-resolusi-konflik-thai-kamboja diakses pada Minggu, 30 Maret 2014; Pukul 08.05 WIB.
Nugraha, Pepih. Penyelesaian Konflik Thailand-Kamboja dalam http://internasional.kompas.com/read/2011/02/22/17270840/Penyelesaian.Konflik.Thailand-Kamboja diakses pada Minggu, 30 Maret 2014; Pukul 08.03 WIB.
Taufiqqurahman, Muhammad. ASEAN Upayakan Penyelesaian Konflik Kamboja-Thailand dalam http://news.detik.com/read/2011/02/07/120555/1561427/10/asean-upayakan-penyelesaian-konflik-kamboja-thailand diakses pada Minggu, 30 Maret 2014; Pukul 08.05 WIB.
Wibisono, B Kunto. DK PBB Serahkan Penyelesaian Konflik Thailand-Kamboja Kepada Asean dalam http://www.antaranews.com/berita/246145/dk-pbb-serahkan-penyelesaian-konflik-thailand-kamboja-kepada-asean diakses pada Minggu, 30 Maret 2014; Pukul 08.03 WIB.
Tanpa Nama. Menlu RI : Indonesia Mengupayakan Penyelesaian Konflik Kamboja dan Thailand Secara Damai dalam http://www.tabloiddiplomasi.org/previous-isuue/128-maret-2011/1054-menlu-ri-indonesia-mengupayakan-penyelesaian-konflik-kamboja-dan-thailand-secara-damai.html diakses pada Minggu, 30 Maret 2014; Pukul 08.04 WIB.
[1]Ramses Amer. The Resolution
of the Cambodian Conflict: Assessing the Explanatory Value of Zartman’s
‘Ripeness Theory Journal of
Peace Research, vol. 44, no. 6, 2007, pp. 729–742 Sage Publications (Los
Angeles, London, New Delhi and Singapore) http://jpr.sagepub.com
[2] Ramses Amer. Ibid., hlm. 3.
[3] Ramses Amer. Ibid.,
[4] Ramses Amer. Ibid., hlm. 4.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar