Pendahuluan
Terhitung sejak tahun 2006 hingga
sekarang, petani di pesisir selatan Kulon Progo banyak dibicarakan oleh
berbagai kalangan. Pembicaraan tersebut mengacu pada apa yang terjadi pada
mereka. Sejak periode tersebut, petani penggarap lahan pantai itu, mengalami
kasus land grabbing yang disebabkan
oleh adanya penambangan pasir besi. Perampasan tanah tersebut, seperti
biasanya, kemudian memicu konflik diantara petani, pemerintah lokal dan
perusahaan tambang. Konflik tersebut kemudian berbuntut pada kriminalisasi aktivis,
salah satunya Tukijo yang harus dipenjara elama tiga tahun karena
memperjuangkan hak atas tanahnya.[1]
Pada kasus ini, menjadi menarik untuk
dibahas mengenai dinamika yang terjadi di dalam konflik tersebut. Hal itu karena
di sana terlibat sebuah institusi besar yang bersifat feodal, dan dianggap oleh
sebagian orang sebagai kekuatan pelindung, yaitu keraton Yogyakarta.
Keterlibatan keraton ini melalui perusahaan yang didirikan oleh keluarga
keraton untuk menambang pasir besi tersebut. Dalihnya adalah untuk kemajuan
ekonomi masyarakat pesisi pantai selatan di wilayah Kulon Progo. Dari itu,
kemudian dapat dilihat bahwa keraton ternyata memiliki kekuatan ekonomi.
Dalam kasus ini, penulis sangat
tertarik untuk melihat keraton Yogyakarta sebagai kekuatan ekonomi di tingkat
lokal, khususnya pada kasus tambang pasir besi di Kulon Progo tersebutt. Untuk
itu, maka argumentasi yang akan dibangun penulis pada paper ini, pertama, berkaitan dengan keraton
sebagai kekuatan ekonomi lokal, dan kedua,
bagaimana bentuk dan karakter keraton sebagai kekuatan ekonomi di masa
reformasi ini. Untuk itu, agar paper ini bisa menjelaskan hal tersebut, maka
problematisasi yang diangkat dalam paper ini adalah “bagaimana bentuk kekuatan
ekonomi keraton pada masa reformasi, terutama dalam kasus tambang pasir besi di
Kulon Progo”
Oligarki
dan Kekuasaan Lokal Predatoris
Terdapat
satu bentuk khusus dari kekuatan ekonomi yang menjadi karakter di Indonesia.
Kekuatan ekonomi di Indonesia secara umum dikuasai oleh para Oligark yang muncul
dan dibesarkan oleh rezim Orde Baru.[2] Walaupun pada akhirnya
bentuk Oligarki ini dapat dibedakan antara masa Orde Baru dan pasca itu,
karakter Oligarki ini penting untuk dilihat sehingga bisa didapatkan gambaran
utuh mengenai kekuatan ekonomi di Indonesia saat ini. Dalam melihat bentuk
Oligarki yang ada di Indonesia, penulis menggunakan konsepsi Oligarki dari
Jeffrey A. Winters dalam bukunya, “Oligarki”.
Secara konseptual, istilah Oligarki
telah lama dikenal dalam studi politik. Istilah ini merentang dari jaman Yunani
Kuno hingga era kontemporer sekarang. Dalam International
Encyclopedia of Social Sciences, Oligarki didefinisikan sebagai “bentuk
pemerintahan dimana kekuasaan berada di tangan minoritas kecil”. Istilah
tersebut diambil dari bahasa Yunani,, “Oligarchia” yang berarti pemerintahan oleh yang sedikit,
yang terdiri dari kata oligoi
(sedikit), dan arkhein (memerintah).[3] Namun, pengertian singkat
tersebut sangat problematis, juga tidak memadai, untuk mendefinisikan Oligarki.
Hal itu karena menimbulkan kekaburan makna mengenai Oligarki itu sendiri.
Apalagi bila itu disematkan hanya
pada konsep “minoritas yang menguasai
mayoritas”. Bila konsep itu didasarkan pada hal demikian, maka hampir setiap
kekuasaan, pengaruh, atau pemerintahan minoritas dapat disebut Oligarki, misal,
soviet, milarder, Kardinal Gereja, direksi perusahaan, bahkan demokrasi
perwakilan itu sendiri adalah Oligarki karena hanya sedikiti orang yang
memerintah. Padahal, dalam pengertian
ini tidak begitu. Pada titik inilah, Jeffrey A. Winters, seorang Profesor di
Northwestern University, memberikan penekanan untuk mendefinisikan Oligarki
pada “bagaimana minoritas melakukannya dan melalui sumber daya apa”[4]
Teorisasi Oligarki menurut Winters, dimulai
dari adanya fakta bahwa ketidaksetaraan material menghasilkan ketidaksetaraan
politik ekstrem. Meskipun dalam demokrasi, kedudukan dan akses terhadap proses
politik dimaknai setara, namun kekayaan yang sangat besar di tangan minoritas
kecil menciptakan kelebihan kekuasaan yang signifikan di ranah politik pada
golongan tersebut. Klaim ini didasarkan pada distibusi sumber daya material
diantara anggota komunitas politik, demokrasi atau sistem lainnya, memiliki
pengaruh besar pada kekuasaan relatif. Dengan demikian, maka ketidaksetaraan besar
dalam kekayaan menghasilkan ketidaksetaraan dalam kekuasaan dan pengaruh
politik dalam demokrasi.
Berdasarkan fakta demikian, Winters
mendefinisikan Oligark sebagai “pelaku
yang menguasai dan mengendalikan konsentrasi besar sumber daya material yang
bisa digunakan untuk mempertahankan atau meningkatkan kekayaan pribadi dan
posisi sosial ekslusifnya”[5]
Dari itu, terdapat tiga hal yang saling bersangkut paut, antara lain, pertama, kekayaan adalah bentuk
kekuasaan material yang beda dengan sumber daya kekuasaan lain yang berpusat
pada minoritas; kedua, penguasaan dan
pengendalian sumber daya itu untuk kepentingan pribadi; dan ketiga, definisi
Oligark tetap konsisten di berbagai zaman dan kasus.
Sebelum
menjadi Oligarki sebagai sebuah sistem, Winters memperkenalkan konsep “pertahanan kekayaan”. Sepanjang
perjalanan sejarah, kekayaan material yang terkonsentrasi pada minoritas selalu
mengundang ancaman dari pihak luar yang ingin menguasai atau mendistribusi
ulang kekayaan tersebut. Ini dimaknai sebagai pengambil alihan sumber daya
material dari Oligark. Dengan itu, maka dinamika politik para Oligark selalu
berhubungan dengan ancaman tersebut, dan bagaimana Oligark mempertahankannya.
Pertahanan kekayaan ini mencangkup dua komponen, yaitu pertahanan harta dan
pertahanan pendapatan.[6] Dengan demikian, Winters
memberikan definisi Oligarki sebagai sebuah sistem merujuk pada “politik pertahanan kekayaan oleh pelaku
yang memiliki kekayaan material”[7].
Pada konsep Oligarki ini, Winters mengetengahkan aspek penting dari Oligarki,
yaitu kekayaan sebagai sumber daya material kekuasaan para Oligark dan dinamika
politik pertahanannya yang dikelola secara politis.
Aspek
pertahanan pada kekayaan sebagai sumber daya kekuasaan Oligark kemudian
menentukan bagaimana Oligarki akan berdiferensiasi dalam berbagai bentuk. Cara
pertahanan ini mengacu pada beragam konteks politik dan periode sejarah. Oleh
karena itu, definisi dari Oligarki bisa tetap, tapi bentuknya bisa
berbeda-beda. Oligarki bisa dalam suatu masa terlibat secara langsung dalam
politik, namun dalam suatu masa juga tidak. Keterlibatannya tersebut hanya
sebagai taktik berhubungan dengan
bagaimana pertahanan atas kekayaan dilakukan.
Aspek
penting dari konsep Oligarki yang diajukan Winters ini menunjukan bahwa
Oligarki tidak banyak dipengaruhi oleh reformasi non-material atau prosedur
politik. Dalam hal ini, lembaga politik hanya dapat mengatur, menjinakan, dan
mengubah bentuk Oligarki, tetapi tak bisa menghilangkannya. Karena itulah,
apapun bentuk pemerintahannya termasuk demokrasi, ketidaksetaraan politik
ekstrem merupakan kembaran dari kembaran ketidaksetaraan material yang ekstrem
pula. Menurut Winters, Oligark dan Oligarki akan lenyap bukan melalui perubahan
prosedur politik menjadi demokrasi, melainkan bila distribusi sumber daya
material yang sangat tidak seimbang ditiadakan, supaya tidak memberi kekuasaan
politik yang terlalu besar kepada segelintir pelaku.[8]
Pada kasus
Indonesia, Oligarki pada masa Suharto berbeda dengan masa setelahnya. Berbagai
perubahan institusional seperti desentralisasi dan demokratisasi menyebabkan pola
Oligarki harus beradaptasi. Dalam perkembangannya, perubahan institusional
tersebut tidak seperti diharapkan. Persoalan timbul karena adanya konstelasi
kekuasaan predatoris yang bertransformasi dari sisa-sisa Orde Baru. Dalam
desentralisasi, patronase politik lebih terlokalkan, oleh karena itu kekuatan
akan lebih banyak dan otonom dari pusat, dibandingkan pada masa Soeharto.
Kekuatan predatoris, Hadiz
merujuk pada Peter Evans, adalah pejabat publik (baik individu atau mengacu
pada bentuk korporatis) yang menguasai sumber daya negara untuk kepentingan
pribadi dan/atau kerabatnya.[9] Peter Evans, dalam
studinya yang berjudul Predatory, Developmental, and Other
Apparatuses: A Comparative Political Economy Perspective on the Third World
State menyebut keberadaan
kekuatan predoris erat hubungannya dengan keberadaan birokrasi yang
patrimonial, bila merujuk pada teori birokrasi ideal-non ideal Max Weber.[10]
Untuk
mengklasifikasikan suatu kekuatan politik dalam suatu negara memiliki kekuasaan
yang predatoris atau tidak, Evans membaginya berdasarkan kontinum. Negara,
didefinisikan dari negara yang predatoris sampai dengan negara developmentalis.
Negara dengan tingkat surplus investasi yang tinggi dan sumber daya yang
banyak, tetapi sangat sedikit menyediakan untuk keperluan warga negara,
didefinisikan sebagai negara predatoris.
Negara
predatoris, mempunyai aparatus negara ‘yang lain’ untuk melanggengkan kekuasaannya.
Evans menyebut keterlibatan pebisnis yang mempunyai hubungan dekat dengan para
birokrat dan politisi, yang kemudian mengaitkannya dengan konsepsi rent seeking. Evans, menyebut rent seeking adalah sebagai bentuk
korupsi karena akhirnya investasi yang tinggi dan sumber daya yang banyak milik
negara tidak teralokasikan untuk keperluan warga negara, tetapi masuk ke
aparatus negara dan kerabatnya. Perilaku aparatus negara ini, seperti yang
sudah disebutkan di atas, erat hubungannya dengan model birokrasi yang
patrimonial. Kekuatan predatoris adalah kekuatan yang ‘incumbent’ dalam
birokrasi, yang di dalamnya memperebutkan rente. Kekuatan predatoris ini dapat
langgeng karena mereka mempunyai kuasa dalam membuat dan mengeluarkan lisensi,
mengatur pajak, subsidi dan lain sebagainya.
Konflik
Pasir Besi Kulon Progo
Lahan
pasir pantai selatan Kulon Progo DIY merupakan lahan yang didominasi oleh tanah
pasir, materi pasir ini diendapkan oleh aktivitas gelombang laut di sepanjang
pantai. Pesisir pantai Kulon Progo sepanjang garis pantai dengan panjang ± 1.8
km, terbagi dalam 4 kecamatan dan 10 desa yang mempunyai wilayah pantai dengan
kondisi pesisir hampir 100% pasir dengan kedalaman air tanah antara hingga 12
meter. Lahan pasir ini juga tersebar hingga 2000 meter dari permukaan laut yang
diperkirakan luas lahan pasir pantai daerah Kulon Progo bisa mencapai 3.600.000
m2, atau sekitar 3600 ha. Namun dari 3600 ha tersebut, sebanyak 2500
lahan pantai digunakan untuk pertanian dan perkebunan.[11]
Dilihat
dari sisi historis, pada awalnya pesisir pantai Kulon Progo hanyalah gundukan
pasir pantai yang tidak memiliki nilai ekonomi dan tidak dikuasai oleh
siapapun, gundukan pasir tersebut tersebar di desa Banaran, Karang Sewu, Bugel,
Pleret, Garongan, dan Karangwoni. Namun pada awal tahun 1980-an, salah seorang
petani mencoba berinisiatif menanam produk hortikultura di lahan pasir
tersebut. Kegiatan bercocok tanam di atas lahan pasir berkembang pesat, baik
dari segi kualitas maupun kuantitas. Perkembangan teknik pengairan dan pemupukan
membuat hasil panen cabe, melon dan semangka yang semakin baik dan banyak.
Pada tahun
2003, Potensi pasir besi di pesisir selatan Kulonprogo mulai terdeteksi, hal
itu diindikasi dari temuan kajian geologi yang menyebutkan bahwa kandungan
pasir besi di Kulon Progo sendiri mencapai 300 juta ton kubik dengan
produktivitas mencapai 500.000 hingga 2 juta ton per hari. Potensi pasir besi
yang luar biasa ini berkaitan dengan sifat dan karakteristik mineral magnetik
yang terdapat di dalam pasir besi. Adanya variasi mineral magnetik di dalam
pasir besi memungkinkan munculnya pilihan alternatif dalam pemanfaatan pasir
besi yang lebih komersial. Adapun pilihan alternatif tersebut adalah kandungan
vanadium yang berharga di dalam perut pasir Kulonprogo. Dengan demikian, pasir
besi di pesisir selatan wilayah Kulon Progo tersebut dapat dikatakan emas
hitam, karena harganya bisa seribu kali lipat dibanding besi biasa.[12]
Untuk
melihat bagaimana Keraton Yogyakarta sebagai kekuatan ekonomi, spesifiknya pada
kasus tambang pasir besi di Kulon Progo ini, maka kita perlu melihat
aktor-aktor di dalamnya serta dengan cara apa Keraton aktor-aktor tersebut
melanggengkan tujuan-tujuan ekonominya. Dalam kasus di Kulon Progo,
keterlibatan dan awal terbentuknya PT Jogja Magasa Iron (JMI) serta aktor
lainnya perlu ditinjau agar kita dapat memiliki gambaran yang utuh mengenai
keraton sebagai kekuatan ekonomi di Yogyakarta.
Pada
awalnya, potensi yang besar dari keuntungan pasir besi di Kulon Progo ini yang menarik
keraton Yogyakarta dan investor untuk melakukan eskavasi pertambangan di daerah
tersebut, lalu keraton bersama investor mendirikan perusahaan dengan nama PT
Jogja Magasa Mining (JMM). PT. JMM ini kemudian akhirnya bertransformasi
menjadi Jogja Magasa Iron (JMI), perusahaan ini yang kemudian memegang lisensi
untuk menambang pasir di Kulon Progo.
Ketertarikan
tersebut tidak lepas dari keinginan pemimpin Kasultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat dan Puro Pakualaman yang ingin mengembangkan Provinsi Yogyakarta
melalui tambang pasir besi yang dianggap sangat potensial.[13] Keinginan kedua Raja
tersebut kemudian berkembang menjadi pendirian industri, tidak hanya wilayah
pertambangan, di pesisir pantai selatan yang merupakan tanah Sultan dan Paku
Alam jika kita merujuk pada segi historis wilayah tersebut. Atas dasar itulah
kemudian pada tanggal 6 Oktober 2005 dibentuk PT Jogja Magasa Mining (PT. JMM)
oleh Lutfi Heyder, Imam Syafi, GBPH Joyokusumo, GKR Pembayun dan BRMH Hario.
Tiga nama terakhir yang disebutkan merupakan keturunan dari Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat. Pembangunan PT Jogja Magasa Mining ini juga diikuti
dengan perjanjian kerja sama manajemen dengan AKD (Australian Kimberly Diamond
Limited) untuk melakukan penelitian awal potensi pasir besi.[14] Legitimasi untuk
melakukan kegiatan penambangan didapat ketika dikeluarkannya Kuasa Pertambangan
No. 008/KPTS/KP/EKPL/X/2005 pada tanggal 12 Oktober 2005 dengan lokasi
pertambangan terletak di sepanjang pantai antara Sungai Progo dan Sungai
Bogowonto, Kabupaten Kulon Progo, Provinsi Dearah Istimewa Yogyakarta yang
merupakan lahan Pakualaman, dengan luas area pertambangan 4.076,7 Ha.
Kisah ini kemudian
berlanjut pada tahun 2008 dengan dilakukanya join venture antara PT JMM dan Indomines Ltd dari Australia
sehingga PT JMM bertransformasi dan berubah nama menjadi PT JMI (Jogja Magasa
Iron). Seiring dengan transformasi tersebut, status Kuasa Pertambangan yang
sebelumnya dimiliki oleh PT JMM kemudian meningkat menjadi Kontrak Karya pada
tanggal 4 November 2008, dengan luas area 2.987,79 Ha, yang terletak di
sepanjang pantai antara Sungai Progo dan Sungai Serang.[15] Dalam proses
penandatanganan Kontrak Karya tersebut, PT. JMI diwakili oleh Presiden
Komisaris Lutfi Heyder dan Menteri ESDM
Purnomo Yusgiantoro sebagai perwakilan pemerintah.[16] Berdasarkan Kontrak Karya
tersebut, PT. JMI mengantongi izin operasi selama 30 tahun.
Dengan
adanya kontrak karya tersebut, PT Jogja Magasa Iron siap menanamkan investasi
1,7 miliar dolar AS untuk penambangan pasir besi (sand iron) sekaligus
memproduksi besi kasar (pig iron) di pesisir selatan Kulon Progo.
Rincian investasi itu 600 juta dolar AS untuk tambang dan 1,1 miliar dolar AS
untuk infrastruktur. Dari tambang pasir besi yang menggunakan sistem
pertambangan terbuka tersebut, negara akan mendapat tambahan penerimaan pajak
20 juta dolar AS per tahun, pendanaan lokal 7 juta dolar AS per tahun dan
royalti 11,25 juta dolar AS per tahun. Pemprov Yogyakarta dan Pemkab Kulon
Progo akan mendapat kontribusi pengembangan masyarakat dan wilayah sebesar 1,5
% dari penjualan atau senilai 7 juta dolar AS per tahun selama 10 tahun pertama
dan selanjutnya sebesar 2 %.18 Wilayah aplikasi kontrak karya seluas 2.987
hektar itu akan memiliki kapasitas produksi 1 juta ton di tahun pertama, per
2012, jika itu menguntungkan akan ditingkatkan
sampai 5 juta ton.[17]
Menjelang akhir 2012
misalnya, Indo Mines Limited tak lagi menguasai saham PT JMI karena dibeli oleh
Grup Rajawali. Ini merupakan kelompok bisnis raksasa milik Peter Sondakh. Saham
sebesar 57,12 persen milik perusahaan asal Australia tersebut dibeli secara
bertahap dengan dana hingga mencapai lebih dari Aus$ 50 juta.[18]
Kelompok bisnis itu bukanlah pemain baru, walaupun sempat turun-naik dihantam
krisis moneter pada 1998.
Sebelumnya, pada Desember
2010, Peter diumumkan sebagai salah satu orang terkaya kedelapan di Indonesia
oleh majalah Forbes.
Selain mengendalikan PT JMI, Grup Rajawali juga memiliki dua perusahaan
pertambangan lainnya yakni PT Golden Eagle Energy Tbk untuk batu bara, serta PT
Meares Soputan Mining, dengan komoditas emas. Dalam sejumlah laporan
disebutkan, Peter Sondakh pada periode 1980-an juga dikenal dekat dengan
anak mantan Presiden Soeharto: Bambang Trihatmodjo. Salah satu wujud
bisnisnya, keduanya mendirikan jaringan televisi swasta pertama, Rajawali
Citra Televisi Indonesia (RCTI) pada 1989.[19]
Potensi
ekonomi yang besar pada lahan yang ditempati oleh petani sejak tahun 1980-an
ini kemudian menjadi alasan land grabbing
terjadi pada para petani tersebut. Ini kemudian yang menjadi akar konflik
bagi kasus penambangan pasir besi yang melibatkan Keraton-Pemerintah Daerah,
baik Kulon Progo dan D.I. Yogyakarta, dengan petani hingga sekarang.
Keraton
Yogyakarta sebagai Kekuatan Ekonomi
Dalam kasus di atas, terlihat
bahwa keraton Yogyakarta menjadi salah satu kekuatan ekonomi yang penting.
Bukti dari itu adalah adanya perusahaan yang penambangan yang dirikan oleh keluarga
keraton Yogyakarta. Pada bagian ini, penulis akan menujukan bagaimana keraton
sebagai kekuatan ekonomi bertransformasi dari jaman kolonial hingga saat ini.
Transfromasi ini akan menunjukan bahwa dari dulu, dengan kajian kesejarahan,
sebenarnya keraton Yogyakarta telah menjadi kekuatan ekonomi lokal.
Daerah Kesultanan Yogyakarta
terbentuk pada masa pendudukan Hindia Belanda di Nusantara yakni setelah
disepakatinya perjanjian Giyanti atau sering juga disebut dengan Pilahan Nagari
(Pembagian Negeri) pada 13 Februari 1975 di Desa Giyanti.[20] Pangeran Mangkubumi
diangkat sebagai raja dengan gelar Sampeyan
dalem Ingkang Sinuwun Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalogo Ngabdurrachman
Sajidin Panotogomo Kalifatullah. Sultan Hamengku Buwono mendapat setengah
dari wilayah kerajaan Mataram di sebelah barat dengan nama kerajaan
Ngayogyakarto Hadiningrat.[21] Pada saat pendudukannya,
Belanda memberlakukan sistem indirect
rule dengan mengangkat Gubernur (Patih) dan Bupati dari daerah-daerah
jajahannya untuk menjalankan fungsi pemerintahan.[22] Patih dan para bupati
sendiri diangkat dan diberhentikan oleh Sultan setelah mendapat persetujuan
dari Belanda dan para pejabat rijks
berstuurder wajib mengangkat sumpah setia kepada Kompeni.[23] Sultan sebagai pemegang
tampuk kekuasaan bekerjasama dengan pemerintah kolonial yang diwakili oleh
Residen sebagai penyelenggara pemerintahan. Keduanya saling berhubungan dalam
melaksanakan pemerintahan. Melalui mekanisme indirect rule, Kesultanan mendapatkan kewenangan dalam mengurusi
Yogyakarta namun sangat dibatasi, misalnya Sri Sultan hanya akan menjual
bahan-bahan makanan dengan harga yang ditentukan Belanda. Selain itu, Sultan
harus menaati semua perjanjian (dengan Belanda) yang telah dilakukan oleh para
penguasa Mataram terdahulu.
Houben lebih jauh melihat bahwa
kecenderungan Belanda untuk mencampuri perpolitikan di Keraton secara khusus
dan juga pemberian kewenangan adalah karena Keraton Yogyakarta dianggap mampu
memobilisasi massa untuk melawan pemerintahan Belanda. Hal tersebut juga yang
dinyatakan oleh para peneliti sejarah sebagai alasan diberlakukannya politik devide et impera oleh Belanda di
Kerajaan Mataram. Adapun salah satu tujuan Belanda pada saat itu adalah
keuntungan finansial misalnya melalui eksploitasi tanah dalam praktik sewa
tanah. Praktik sewa tanah bukan hal baru di vorstenlanden
karena sudah berlangsung sejak abad ke-17 yang dilakukan orang-orang Cina.[24] Keraton sendiri kemudian
melalui mekanisme indirect rule
berkembang menjadi agen politik kolonial yang bekerjasama dalam melakukan
kontrol politik terhadap kemungkinan gejolak yang ada di tanah kerajaan. Di
tanah kerajaan terjadi proletarisasi, konsumerisasi, komersialisasi tenaga
kerja hingga sampai pedesaan yang membawa kesengsaraan sosio-ekonomi bagi
rakyat. Meskipun kemudian ada gerakan perlawanan dari rakyat misalnya Gerakan
Mangkuwiaya di Klaten namun gerakan tersebut dapat dibendung dengan kerjasama
antara kekuatan yang ada yakni antara Keraton, Belanda dan Penyewa Tanah.
Sedangkan para petinggi Keraton seperti Pangeran yang tidak setuju dengan
praktik yang terjadi tersingkir dari Keraton.
Melalui kerjasama antara orang
kerajaan dengan belanda serta mekanisme hukum yang diterapkan Belanda
(Agrarische Wet 1870), komersialisasi tanah dan penggunaan tanah oleh orang
Belanda baik untuk perusahaan maupun perumahan menjadi mudah dilakukan.
Dasar-dasar bagi eksistensi tanah dengan status hukum barat tersebut pada
gilirannya 70-80 tahun kemudian menjadi obyek yang bisa dikenai hukum tanah
nasional, Prora, dan UUPA.[25] Pada masa Orde Lama
dilakukan dekolonisasi hukum agraria dengan mengkaji ulang Agrarische Wet 1870
hingga akhirnya pada tanggal 24 September 1960, terbentuk dasar hukum baru
dalam Lembaran Negara No.104 Tahun 1960 sebagai Undang-Undang No. 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, atau dikenal dengan istilah UU PA.
UU PA diikuti oleh peraturan pengganti pemerintah, undang-undang No.56 Tahun
1960 (yang dikenal dengan undang-undang landreform).[26] UU PA di Indonesia
beserta peraturan pelaksanaannya pada umumnya berlaku sejak tanggal 24
September 1960, ketika program pembangunan semesta dicanangkan oleh Presiden
Soekarno. Namun di DIY sendiri, UU PA secara resmi mulai berlaku sejak 1 April
1984, berdasarkan Kepres No. 33/1984, dan dilanjutkan dengan Perda DIY No. 5
Tahun 1984.
Meski UU PA telah diberlakukan,
tanah yang dikenai UU PA kemudian adalah tanah berhukum Barat dan tanah-tanah
yang sebelumnya dikenai program Prona. Dengan demikian pemberlakuan UUPA
lagi-lagi bukan untuk memperjelas status tanah meski diidealkan oleh Sri Sultan
demikian, melainkan aspek politiklah yang justru mendominasi dimana Tanah
merupakan milik Keraton.[27] Tanah Sultan dan tanah
Paku Alaman merupakan semua tanah yang berada di wilayah keraton Kasultanan dan
Puro Paku Alaman kecuali tanah-tanah yang sudah diberikan hak kepemilikannya
kepada siapapun. Definisi ini mengacu pada domein
verklaring yang berlaku sejak zaman pendudukan Belanda yaitu tahun 1918 dan
dikukuhkan melalui Perda DIY No. 5 Tahun 1954, hingga dinyatakan kembali pada
tanggal 11 April 2000 pada acara Inventarisasi dan Sertifikasi Tanah-Tanah
Keraton DIY antara pemerintah dan instansi terkait. Jumlahnya berlaku susut
ketika dinyatakan Terjadi dualisme hukum dimana seharusnya melalui pemberlauan
UUPA, status tanah di eks-swapraja Yogyakarta beralih ke tangan negara. Pada
kenyataannya konsep Tanah Milik Raja (sebelum berlakunya domein verklaring) tetap berlaku dan dikukuhkan melalui UU No
3/1950 dilanjutkan dengan Perda DIY No. 5 Tahun 1954 yang mengatur keistimewaan
Yogyakarta. Melalui kebijakan tersebut, peraturan tanah di Yogyakarta bersifat
otonom, sehingga memberi tameng terhadap intervensi hukum tanah nasional
(UUPA).[28]
Keberadaan Tanah Sultan dan
tanah Paku Alaman tersebut diakui baik oleh masyarakat luas maupun pemerintah.
Hal tersebut terlihat dengan jelas dimana jika pemerintah daerah hendak
menggunakan tanah di wilayah Yogyakarta harus terlebih meminta izin pada pihak
Keraton. Demikian juga mereka kalangan usaha yang ingin berinvestasi di
Yogyakarta. Sementara masyarakat mengakui tanah itu ditandai dengan penerimaan
Surat Kekancingan yang ada di tangan masyarakat yang menjelaskan bahwa status
tanah yang ditempati adalah tanah magersari.
Dengan keadaan demikian dapat dilihat dengan jelas bahwa kekuasaan atas tanah
yang dapat memberikan keuntungan ekonomi di Yogyakarta masih dipegang oleh
pihak Keraton pasca diberlakukannya UUPA sekalipun.
Pada gilirannya, keadaan
tersebut telah melahirkan kekuatan Kesultanan yang kuat pada masa Orde Baru.
Melalui kerangka yang dijelaskan Vedi R Hadiz yang menguraikan bahwa
kebangkitan rezim Soeharto berhasil membentuk tatanan politik ‘patrimonial administrative state’.
Dalam kondisi demikian, kehidupan ekonomi ditentukan oleh framework arahan negara otoritarian sentralistik dengan jejaring
patronase yang mengambil keuntungan di dalamnya. Jaringan patronase yang
demikian mengakar dari pusat hingga sampai pada elit lokal, kota maupun
desa-desa dan di dalamnya termasuk Keraton Yogyakarta. Keraton berlindung di
bawah perlindungan rezim Soeharto dengan menjadi bagian dari jaringan patronase
tersebut serta membentuk hubungan bisnis dan politik yang menjadi kekuatan
oligarki ekonomi-politik yang berpusat pada Soeharto dan keluarganya.
Namun kemudian seiring jatuhnya
Orde Baru, kekuatan feodal kesultanan yang tersisa di Indonesia mengalami
krisis.[29] Krisis kekuasaan feodal
dan kesultanan di Indonesia yang dihadapi oleh Yogyakarta adalah krisis
legitimasi dan krisis ekonomi.[30] Krisis yang pertama
disebabkan oleh UU No 3 Tahun 1950 yang menyatakan bahwa ahli waris (keturunan)
sultan akan selalu menjadi gubernur provinsi tanpa pemilu yang tidak sesuai
dengan amandemen UUD 1945. Untuk mengatasi krisis tersebut, maka kesultanan
mencoba untuk menata kembali (reorganizing
atau reorganisasi) kekuatan melalui reorganisasi politik dan ekonomi.
Reorganisasi kekuatan ekonomi dilakukan melalui rekonsentrasi Tanah Sultan dan
Tanah Pakualaman serta menghidupkan kembali bisnis lama dan juga komoditisasi
aset dan properti kesultanan. Jadi, sama seperti kalangan oligarkhi lainnya,
Keraton juga turut beradaptasi dengan kondisi-kondisi baru seperti
desentralisasi serta mereorganisasi kekuasaannya yang ditandai dengan munculnya
kekuatan-kekuatan predatoris yang corrupt
warisan Orde Baru pada tingkat lokal di era reformasi termasuk di Keraton
Yogyakarta.
Setelah rekonsentrasi dilakukan,
ribuan hektar Tanah Sultan di seluruh Keraton kini terkonsentrasi di
Yogyakarta, Bantul dan Sleman sedang Tanah Paku Alaman terkonsentrasi di Kulon
Progo. Kedua jenis tanah keraton itu merupakan sumber pendapatan keraton dari
sahamnya di Hotel Ambarukmo, Ambarukmo
Plaza, Saphier Square, dan Padang
Golf Merapi.[31]
Keraton jelas memainkan peran tidak hanya sebagai pemimpin politik melainkan
melalui kekuasaan politiknya telah memainkan peran besar sebagai aktor ekonomi
di Yogyakarta. Hal tersebut terlihat dengan jelas dimana sebagian besar anggota
keluarga Sultan Hamengku Buwono X dan Paku Alam IX terjun dalam bisnis. Di
antara adik-adik Sultan yang paling menonjol adalah GBPH Prabukusumo.
Prabukusumo merupakan direktur utama PT Karka Adisatya Mataram, salah satu
perusahaan iklan luar ruang terbesar di Yogyakarta, dan Komisaris Utama Jogja
TV.[32] Contoh lainnya misal pada
tahun 2004, Sultan Hamengkubuwono X membangun sebuah pusat perbelanjaan besar
dengan menghapus sebuah sekolah dasar dan situs budaya serta meningkatkan beragam bentuk proyek
bisnis termasuk proyek pertambangan.[33] Salah satu bisnis penting
keluarga keraton Yogyakarta adalah perusahaan tambang pasir besi PT Jogya
Magasa Mining (JMM) di Kulonprogo.
Sementara, reorganisasi
kekuasaan politik dilakukan dengan menerbitkan Undang-undang Keistimewaan
Yogyakarta (UU Keistimewaan Yogyakarta) yang salah satu di dalamnya mengatur
hak politik untuk menunjuk keturunan Kesultanan sebagai satu-satunya gubernur
di Yogyakarta tanpa adanya pemilihan kepala daerah dan juga untuk menyelesaikan
tuntutan hukum terhadap tanah Kesultanan.[34] Legalisasi Tanah
Kesultanan diatur melalui UU Keistimewaan Yogyakarta yang sudah berkali-kali
ditekankan oleh Sultan Hamengkubuwono X.
Persetujuan parlemen nasional
atas Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta (UU Keistimewaan Yogyakarta) telah
memberikan hak secara legal bagi kesultanan untuk mengklaim dan mencabut hak
milik tanah misalnya seperti yang telah terjadi di tanah pesisir yang telah
dikelola oleh petani selama bertahun-tahun di Kulon Progo. Kesultanan mengklaim
hak milik atas tanah yang dikelola petani tersebut. Padahal, sebelumnya tidak
ada tanda-tanda keberatan atau adanya kepentingan dari kesultanan sebelum
munculnya proyek penambangan pasir yang akan dibahas lebih jauh dalam tulisan
ini untuk melihat reorganisasi kekuatan ekonomi yang terjadi.
Sama seperti era-era sebelumnya,
pada era reformasi pun tercipta suatu pemerintahan yang menyalahgunakan
kekuasaannya untuk mendapatkan keuntungan pribadi yang sebesar-besarnya dengan
mengabaikan kepentingan rakyat yang sesungguhnya. Lebih jauh, melalui paparan
di atas dapat dilihat secara keseluruhan bahwa secara historis kekuatan ekonomi
yang dimiliki oleh keraton pada era reformasi bukan merupakan hal yang baru
melainkan merupakan sebuah sejarah yang panjang. Hanya saja dinamika politik
dalam negeri telah mentransformasi bentuk dari kekuatan ekonomi tersebut.
Keraton
Yogyakarta: Kekuatan Ekonomi Oligarki dan Predatoris
Setelah
kita tahu bagaimana trasfromasi keraton menjadi kekuatan ekonomi di Yogyakarta,
maka kita dapat menganalisa bagaimana bentuk dan karakter keraton tersebut sebagai
kekuatan ekonomi di sana. Pada kasus ini, penulis menempatkan keraton sebagai
kekuatan ekonomi yang, mau tidak mau, harus diletakan dalam kerangka feodal
yang masih bertahan hingga saat ini. Karakter feodal tersebut berhubungan
dengan statusnya yang merupakan peninggalan kerajaan Jawa yang masih eksis
hingga sekarang. Bahkan eksistensi feodal ini telah melampaui demokrasi yang
sedang diterapkan di Indonesia dengan perlindungan status “keistimewaan”.[35]
Bentuk kekuatan ekonomi yang
diperankan oleh keraton Yogyakarta sebagai pemain utama pada kasus ini, atau
secara umum di Yogyakarta, sangat mirip dengan karakter Oligarki. Dengan itu,
maka elit keraton (baca: Sultan dan keluarganya) dapat dilihat sebagai Oligark.
Sebagaimana yang ditulis di atas, Oligark menurut Winters dapat kita
identifikasi sebagai “pelaku yang
menguasai dan mengendalikan konsentrasi besar sumber daya material yang bisa
digunakan untuk mempertahankan atau meningkatkan kekayaan pribadi dan posisi
sosial ekslusifnya”[36]
Namun, dalam Oligarki, hal yang sangat penting untuk diperhatikan berkaitan
dengan karakternya adalah basis kekuasaan yang berdasarkan pada kekayaan/
Sehingga, dasar konseptual dari Oligarki terletak pada kekayaan pribadi yang
dimiliki oleh segelintir orang. Kekayaan tersebut membuat Oligark memiliki
sumber daya material yang sangat timpang dengan mayoritas penduduk lainnya,
yang kemudian mewujud dalam ketimpangan pengaruh dan kekuasaan politik.
Sehingga dengan kekayaannya itu, ia bisa menjadi kelompok politik yang berkuasa
secara signifikan dalam suatu wilayah.
Sebagai
sebuah Oligarki, yang tentunya bertautan dengan polanya yang masih feodal,
sumber daya material yang dimiliki Keraton, dan terkonsentrasi padanya,
berwujud pada kepemilikan tanah. Tanah ini menjadi sumber daya material yang
kemudian mendatangkan kekayaan untuk diakumulasi dalam kepentingan pribadinya.
Tanah yang dimiliki Keraton ini disebut Sultaanat Ground (SG) dan Pakualamanaat
Ground (PAG). Sebagaimana dicatat oleh Anderson dan Case dalam Dian Yunardi,
peran kekuasaan lokal yang memiliki akses dan kontrol atas tanah, adalah
penting dalam menentukan arah perubahan agraria dan bagaimana tanah dijadikan untuk
akumulasi kekayaan sehingga dapat diubah menjadi bidang lain seperti sebagai
kekuatan politik dan kekuatan budaya.[37]
Luas tanah
yang dikuasai ini sangat besar dengan membentang di seluruh Propinsi Yogyakarta.
Data luas SG dan PAG yang dikeluarkan oleh Pemerintahan Propinsi Yogyakarta
pada tahun 2005 lebih dari 6000 Ha. Sedangkan dalam data lainnya yang dirilis Himmah, lebih kecil dari itu yaitu 3778
Ha.[38] Tanah SG kini
terkonsentrasi di Yogyakarta, Bantul dan Sleman.
Sedangkan, PAG banyak di Kulon Progo.[39] Jumlah
tanah tersebut, seperti telah dijelaskan sebelumnya, merupakan kepemilikan yang
dimiliki turun temurun dari perjanjian Giyanti tahun 1755. Bentangan SG dan PAG di DIY bisa luas tersebut, sebab
berdasarkan Rijksblad Kasultanan No. 16/1918 dan Rijksblad Kadipaten No.
18/1918, semua tanah yang tidak dapat dibuktikan merupakan hak eigendom (hak
milik) orang lain, otomatis menjadi milik kesultanan dan kadipaten. [40]
Kedua
jenis tanah tersebut menjadi alat untuk akumulasi kekayaan keraton yang
dilakukan dengan memanfaatkan tanah-tanah tersebut dalam kegiatan ekonomi,
misal usaha pertanian, pariwisata, hotel, mall, dan sebagainya. Dari tanah
tersebut, keraton kemudian memiliki saham pada beberapa usaha yang didirikan di
atas tanahnya, seperti Hotel Ambarukmo,
Ambarukmo Plaza, Saphier Square, dan padang golf Merapi.[41] Selain itu, tanah SG dan PAG
menjadi modal bisnis dan sosial, bagi keluarga keraton, seperti Adik Sultan yang paling menonjol adalah GBPH
Prabukusumo. Ia direktur utama PT Karka Adisatya Mataram, salah satu perusahaan
iklan luar ruang terbesar di Yogyakarta, dan Komisaris Utama Jogja TV.[42] Namun,
sebenarnya Puteri sulung Sri Sultan, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Pembayun, yang paling
aktif memanfaatkan tanah keraton warisan Perjanjian Giyanti 1755 itu. Selain
memimpin pabrik gula Madukismo, ia mendirekturi pabrik rokok kretek berlabel
Kraton Dalem yang punya kebun tembakau sendiri di Ganjuran, Bantul; budidaya
ulat sutera PT Yarsilk Gora Mahottama di Desa Karangtengah, Kecamatan Imogiri,
Bantul; serta tambak udang PT Indokor Bangun Desa di pantai Kuwaru, Bantul.[43]
Namun, sebagaimana disebutkan di
atas, dari beberapa kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh keraton tersebut,
penambangan pasir besi di Kulon Progo tetaplah primadona. Hal itu dikarenakan
nilainya yang besar bila dibandingkan dengan kegiatan bisnis lainnya. Hal itu
yang membuat Keraton sangat bernafsu untuk menguasai lahan seluas 3000 Ha yang
ada di pesisir selatan Kulon Progo tersebut. Untuk memuluskan itu, keraton
menggunakan klaim SG dan PAG pada lahan pertambangan tersebut, yang menurutnya
masih sah secara hukum milik keraton. Tanah SG dan PAG di kabupaten Kulon
Progo, menurut Himmah, seluas
8.374.928 meter persegi.[44] Sejumlah tanah tersebut
diklaim masuk dalam proyek pasir besi. Menurut Pemerintah DIY, yang juga
keraton Jogja, 80% tanah yang masuk dalam proyek tambang pasir besi itu adalah
PAG, artinya hampir seluas 2400 Ha diklaim milik Keraton.[45]
Padahal sebenarnya di wilayah
tersebut banyak tanah yang sudah dilegalisasi dengan sertifikasi tanah oleh
petani. Hal itu berdasarkan peraturan UU 5/1960 tentang Pokok Agraria dimana
setiap tanah tak bertuan yang sudah diduduki selama 20 tahun lebih, maka
dimungkinkan untuk dilakukan sertifikasi hak milik. Adapun dalam Peraturan
Daerah Nomor 5 Tahun 1954, di mana pasal 10 mengatakan bahwa orang yang memakai
tanah secara turun-temurun, (tanah itu) bisa dijadikan hak milik. Berdasarkan
itu, lahan dalam proyek tersebut yang menjadi milik keraton hanya seluas 200 Ha,
sisanya adalah milik petani dengan sertifikat yang dapat dibuktikan.[46] Meskipun demikian,
keraton tetap mengklaim tanah itu sebagai bagian dari SG dan PAG miliknya, yang
kemudian akan digunakan sebagai tambang.[47] Inilah yang menjadi
sumber konflik di Kulon Progo.
Terkonsentrasinya
tanah yang sangat luas pada keraton ini, sebagai implikasi kekuasaan feodal,
menjadi sumberdaya material yang membuat keraton dapat menumpuk kekayaannya.
Selain itu, kerajaan bisnis yang dikelola keluarga keraton turut menyumbangkan
bagaimana kekayaan terakumulasi secara terpusat pada keraton. Dari itu kemudian
keraton, selain sebagai kekuatan politik, juga menjadi kekuatan ekonomi di Yogyakarta.
Keraton menjadi sebuah Oligarki lokal yang relasinya dapat menguasai politik
dan sosial/kultural sekaligus. Dengan itu, maka bentuk kekuatan ekonomi dalam
keraton dapat dikatakan sebagai sebuah Oligarki karena terkonsentrasinya kekayaan
pada segelintir orang sehingga darinya ia memiliki kekuasaan politik yang
besar. Penguasaan atas kekuasaan politik ini menjadi penting sebagai bagian
dari pelanggengan kekuatan ekonomi.
Sebagaimana
menurut Winters di atas bahwa Oligarki merujuk pada “politik pertahanan kekayaan oleh pelaku yang memiliki kekayaan
material”[48],
maka sebenarnya dinamika politik yang melibatkan keraton pada dasarnya
berhubungan dengan konsep “pertahanan kekayaan” tersebut. Konsep pertahanan
kekayaan itu terdiri dari pengamanan kekayaan yang terdiri dari pendapatan dan
harta. Dinamika politik pertahanan yang dijalakan keraton, bila dibagi dalam
dua periode terdekat, yaitu Orde Baru dan reformasi sedikit berbeda. Hal itu
berhubungan dengan situasi dan kondisi politik yang berbeda pula. Menurut Dian
Yunardi, pada masa Orde Baru kekuasaan power feodal sebagai penjaga kekayaan
keraton tetap bertahan, bahkan melewati tantangan beberapa krisis. Hal itu
karena Yogyakarta sebagai propinsi memiliki keistimewaan yang membuat Sultan sebagai
Gubernur pula. Pasca itu, saat amandemen UUD 1945 dijalankan, dimana kekuasaan
lebih terdesentralisasi dan mensyaratkan bahwa kepala daerah harus dipilih
sebagai manifestasi demokratisasi lokal membuat kekuasaan Sultan sebagai
penguasa politik menjadi terancam. Terbukti dari adanya perubahan sistem ini
membuat profit dan kekayaan dari bisnis keraton menurun.[49]
Untuk
mengatasi itu, dan yang paling penting adalah untuk mempertahankan kekayaannya,
menurut Dian Yunardi, keraton kemudian melakukan reorganisasi kekuasaan melalui
ekonomi dan politik. Dalam hal ekonomi, keraton meningkatkan pemasukan melalui
rekonsentrasi SG dan PAG, menghidupkan kembali bisnis-bisnis lama, dan
komodifikasi aset dan property Sultan.[50] Kemudian, reorganisasi
politik dijalankan dengan menghidupkan kembali wacana RUU keistimewaan Yogyakarta.
UU ini kemudian disahkan menjadi UU KY pada 2012. Dalam UU tersebut, Sultan
mendapatkan privilege untuk menjadi
Gubernur seumur hidup dan tanpa pemilihan. Dengan begitu, kekayaan keraton tetap
aman menjadi aset turun temurun keluarga keraton.
Dengan
adanya UU tersebut, Sultan selain menjadi penguasa politik di Yogyakarta, juga
sebagai pebisnis dengan memanfaatka jaringan kekayaan yang dimiliki keraton.
Adaya UU KY kemudian menjustifikasi salah
satu kekayaan terbesar keraton, yaitu SG dan PAG kembali. Dan itu mengabaikan
adanya UU PA tahun 1960. Dengan itu, SG dan PAG yang dulunya tidak ditempati
orang, kemudian ditempati penduduk dan disertifikasi secara legal seperti di
Kulon Progo, harus kembali menjadi SG dan PAG.
Kekuatan ekonomi keraton yang
menjadi Oligark lokal dan berkelindan dengan kekuasaan politik membuatnya
menjadi kekuasaan lokal yang predatoris. Vedi R Hadiz mengutip pendapat Peter
Evans menyatakan bahwa kekuatan predatoris adalah pejabat publik (baik individu
atau mengacu pada bentuk korporatis) yang menguasai sumber daya negara untuk
kepentingan pribadi dan/atau kerabatnya.[51] Sedangkan Wasisto Raharjo
Jati, menyatakan bahwa karakteristik dari rezim predatoris tersebut adalah terjadinya
hubungan klientelisme yakni perselingkuhan bisnis dan politik karena basis
ekonomi yang lemah, penguasaan hasil tambang sumber daya alam yang dikuasai
oleh segelintir elite, dan adanya politik intimidasi terhadap masyarakat yang
mencoba melawan hegemoni dari rezim tersebut.[52] Kekuasan yang predatoris
ini menjadi konsekuensi logis dari adanya konsep “pertahanan kakayaan” dari oligark dan usaha untuk memperkaya diri
sendiri dari elit lokal, yang sebenarnya juga sama yaitu keraton Yogyakarta.
Kasus tambang pasir besi ini
secara nyata menunjukan bagaimana kekuatan predatoris lokal berpraktek. Relasi
bisnis dan politik yang berpola patrimonial menjadi salah satu pijakannya.
Dalam kasus tambang pasir besi ini, secara gamblang bahwa ditunjukan bagaimana pemerintah
lokal Kulon Progo mendukung land grabbing
yang dilakukan oleh Keraton daripada memenuhi tuntutan petani lahan pantai.
Dukungan ini menujukan sumber daya yang
banyak milik negara tidak teralokasikan untuk keperluan warga negara, tetapi
masuk ke aparatus negara dan kerabatnya. Kepentingan bisnis menjadi lebih utama
dari pada kepentingan warga.
Hal
tersebut dapat kita lihat dari bagaimana PT. JMI mendapatkan ijin penambangan. Untuk meneruskan
proses pertambangan di wilayah Kulon Progo, segala bentuk perizinan dilakukan
oleh PT. JMI agar mendapat legitimasi secara legal-formal untuk mengelola
wilayah tersebut. Mengenai hal ini, Pemerintah Daerah melalui Bupati
mengenluarkan Surat Keputusan Bupati Nomor 140/2010 tertanggal 11 Mei 2010 yang
berisi tentang pemberian izin pemanfaatan ruang wilayah pantai selatan seluas
2.987 hektar untuk penambangan pasir besi dan mineral pengikutnya kepada PT
JMI.[53] Akan tetapi, surat
keputusan yang dikeluarkan oleh Bupati tersebut kemudian ditentang oleh
berbagai kalangan.
Hal tersebut terjadi karena surat
keputusan yang dikeluarkan oleh Bupati tersebut bertentangan dengan
aturan-aturan lain yang turut berhubungan dengan kasus pertambangan ini. Pertama, pemberian izin tambang PT. JMI
yang diberikan oleh Pemerintah Daerah ini bertentangan dengan Peraturan Daerah
tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) 2003-2013.[54] Di dalam RTRW 2003-2013
disebutkan bahwa wilayah pesisir pantai selatan hanya diperuntukkan bagi
perikanan dan pertanian. Selain itu, pasir besi juga tidak masuk dalam delapan
jenis pertambangan yang ada dalam Perda RTRW tersebut
Kedua,
pelanggaran
RTRW tersebut kemudian berimplikasi ada pelanggaran UU Nomor 26 tahun 2007
tentang Tata Ruang.[55] Dalam pasal 37 ayat 7
dalam UU tersebut disebutkan bahwa setiap pejabat pemerintah yang berwenang
menerbitkan izin pemanfaatan ruang dilarang menerbitkan izin yang tidak sesuai
dengan rencana tata ruang. Dan, ketiga, penerbitan
izin ini pun telah menyalahi prosedur baku yang ada[56]. Dokumen AMDAL dibuat
justru setelah klausul dan kontrak karya ditandatangani padahal seharusnya
dokumen AMDAL dijadikan landasan dalam pembuatan klausul dalam kontrak karya
yang nantinya akan dibuat.
Karena ketidakjelasan proses
perijinan tersebut, PPLP (Petani Penggarap Lahan Pantai) melaporkan adanya
dugaan tindak korupsi dalam kasus tersebut. PPLP memandang kegiatan penambangan tersebut penuh
kejanggalan dan sudah semestinya diselidiki karena telah merugikan warga.
Tuntutan PPLP kepada sejumlah instansi tersebut yakni penyelidikan atas proses
pembebasan lahan dan dampak yang timbul dari keberadaan pabrik pengolahan pasir
besi JMI. Kejanggalan, lanjut Widodo, terdapat dalam beberapa pasal perjanjian
tersebut. Di antaranya pada pasal tentang partisipasi pengamanan lokasi
pembangunan pabrik JMI di Karangwuni, Wates, terkandung unsur paksaan pada
warga yang dapat memicu konflik horizontal dan pelanggaran atas keterbukaan
informasi publik mengenai isi perjanjian.[57]
Kemudian,
pada kasus tambang pasir besi di Kulon Progo ini kita bisa lihat bahwa jaringan
kekuatan ekonomi Orde Baru bekerja sama dengan kekuasaan lokal yang predatoris
berusaha mendapatkan sumber daya alam. Vedi R Hadiz, dalam tulisannya , menunjukan
bahwa pasca Orde Baru, kekuatan Oligark nasional yang dibesarkannya tidak mati.
Dengan melewati perubahan institusional yang ada, ia kemudian membangun
jaringan patronase baru yang terdesentralisasi.[58]
Hal ini mengikuti bagaimana kewenangan pusat saat ini yang banyak dialihkan ke
lokal. Kita bisa sebut bagaimana pembelian saham Indo Mines Limited oleh Peter
Gontha menunjukan demikian. Sebagaimana kita tahu, Peter Gontha ini adalah
pemilik Rajawali Group yang dulunya dibesarkan dibawah jaringan patronase
Bambang Triatmodjo. Dengan adannya kerjasama melalui perusahaan milik keraton,
Oligark nasional lama ini kembali bercokol dan menguasai bisnis pasir besi di Yogyakarta.
Berikutnya, contoh paling vulgar
dari adanya praktek kekuasan yang predatoris yang diinisiasi keraton adalah penyerangan
yang dilakukan oleh kubu yang diduga pro pada penambangan. Pada 27 Oktober
2008, ratusan orang tak dikenal menyerbu Desa Garongan dan Karangwuni di
kawasan pesisir selatan Kulonprogo. Dua desa itu dikenal sebagai basis
penentang rencana penambangan pasir besi oleh PT Jogja Magasa Mining (JMM).
Menurut penilaian warga, penyerbuan itu merupakan upaya untuk mengalihkan isu
penentangan rencana penambangan pasir ke masalah konflik antar warga. Muncul
desas-desus akan ada serangan susulan.[59]
Karakter kekuasaan lokal yang
predatoris digambarkan serupa oleh Vedi R Hadiz pada risetnya di Sumatera Utara
mengenai politik lokal dan preman yang umumnya saat ini kekuasaan lokal dikuasai
oleh preman yang dulunya berkuasa atau menjadi operator lokal saat Orde Baru.
Selain menjadi aktor politik, mereka juga bisa memobilisasi aktor kekerasan
lokal (baca; para militer atau preman).[60] Karakter penggunaan
kekerasan yang mengiringi proses politik ini yang menjadi salah satu ciri
bagaimana kekuasaan predatoris berjalan di tingkat lokal. Karakter seperti
itulah yang terjadi di Kulon Progo.
Demikian rangkaian paparan
mengenai bentuk dan karakter kekuatan ekonomi yang dijalankan oleh keraton Yogyakarta.
Pada akhirnya penulis di sini melihat bahwa praktek Oligarki yang berkelindan
dengan politik, kemudian menghasilkan kekuasaan yang bersifat predatoris. Hal
tersebut yang menurut penulis menjadi bentuk dan karakter kekuatan ekonomi
keraton Yogyakarta pada kasus tambang pasir besi di Kulon Progo ini. Bentuk dan
karakter ekonomi dari keraton Yogyakarta ini yang jarang diulas dalam kajian
ekonomi-politik lokal pada kasus tambang pasir besi di Kulon Progo.
Kesimpulan
Dengan argumentasi di atas,
penulis menyimpulkan bahwa keraton memang menjadi kekuatan ekonomi di tingkat
lokal. Dengan menelusuri dari kasus ini, penulis mendapatkan kesimpulan bahwa
keraton merupakan kekuatan ekonomi yang berbentuk Oligarki yang ada di tingkat
lokal sejak dulu, tepatnya jaman kolonial dan bertransfromasi hingga saat ini.
Sumber daya material yang menjadi sumber kekayaannya berasal dari tanah yang
dimilikinya. Hal ini tidak terlepas dari karakter feodal yang melekat pada
dirinya. Dengan modal tanah yang dinamakan SG dan PAG tersebut, keraton menjadi
Oligarki lokal yang menguasai politik dan budaya. Dengan menguasai politik,
yang diartikulasikan dalam bentuk pengangkatan Gubernur seumur hidup dan turun
temurun, maka sumber kekayyaan tersebut tetap terkendali dibawah kekuasaan keraton. Hal itu merupakan strategi
pertahanan dari Oligark untuk melestarikan harta dan pendapatannya. Di sisi
lain, karena ia menjadi kekuatan ekonomi sekaligus penuasa politik, maka
karakter yag terjadi dalam pemerintah lokal lebih bersifat predatoris. Hal itu
merupakan sebuah konsekuensi logis dari pertautan Oligarki dengan politik. Oleh
karena itu, bisa dilihat dari kasus tambang pasir besi ini, kebijakan pemrintah
lokal lebih memihak pada kepentingan bisnis daripada petani secara luas. Hal
tersebut kemudian secara telanjang diimplementasikan dalam UU KY yang disahkan
pada tahun 2012. Demikian kesimpulan kami, semoga dapat memberikan pengetahuan
baru bagi kita semua. Semoga bermanfaat.
*Disampaiakan dalam persentasi Mata Kuliah Kekuatan-Kekuatan Politik Indonesia oleh
Algadri Muhammad; Daya Cipta S; Dicky Dwi Ananta; Febri Angelia Saragih; Rayhan Rahman
[1]“Petani Tukijo Ditangkap Polisi Digugat” diunduh dari http://regional.kompas.com/read/2011/05/09/18503934/Petani.Tukijo.Ditangkap..Polisi.Digugat
diakses pada 7 Mei 2014 pukul 20.14 WIB
[2] Lihat Richard Robison and Vedi R Hadiz, Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Market
Age, (London and New York: Routledge Curzon, 2004)
[3] Jeffrey A. Winters, “Oligarki, terj.”, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2011), hlm. 1
[5] Ibid. hlm. 8
[6] Ibid. hlm. 9
[7] Ibid. hlm 10
[8] Ibid. hlm.15
[9] Vedi R Hadiz, Dinamika
Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Paca Soeharto, (Jakarta: LP3ES, 2005),
hlm. 201
[10] Peter Evans, “Predatory,
Developmental, and Other Apparatuses: A Comparative Political Economy
Perspective on the Third World State”, Sociological Forum, Vol.
4, No. 4, Special Issue: Comparative National Development: Theory and Facts for
the 1990s. (Dec., 1989), pp. 567
[11] Wasisto Raharjo Jati, “Predatory
Regime Dalam Ranah Lokal: Konflik Pasir Besi di Kab. Kulon Progo”, Jurnal
Demokrasi dan HAM Vol. 10, 2013 hal.94
[12] Ibid.hal.98
[13] “Sejarah Perusahaan PT. JMI”, diunduh dari http://jmi.co.id/id/his.htmldiakses
pada 27 April 2014 pukul 13.03
[14] Ibid.
[16]
AB. Widyanta, Konflik Mega Proyek Tambang
Pasir Besi Kulon Progo (Anatomi, Eskalasi, dan Resolusinya), Makalh tidak
diterbitkan, tanpa tahun.
[17] AB.Widyanta, ibid. hlm..5
[18] Anugerah Perkasa, ”Jejak
Hitam Keraton di Kulon Progo”, diunduh dari http://indoprogress.com/2014/04/jejak-hitam-keraton-di-kulonprogo/
diakses pada 2 Mei 2014 pukul 16.30 WIB
[19] Ibid.
[20] Kerajaan Mataram terlibat dalam konflik perang saudara yang
kemudian diselesaikan dengan membagi daerah kerajaan menjadi dua yakni Kesunanan
Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Lih M. C. Ricklefs dalam Ahmad Nashih
Luthfi, dkk, Keistimewaan Yogyakarta yang
Diingat dan yang Dilupakan. (Yogyakarta: Sekolah Tinggi Pertanahan
Nasional, 2009), hlm 50.
[21] Soedarisman Poerwokoesoemo dalam Ahmad Nashih Luthfi, dkk. Ibid., hlm 50-51.
[22] Lih Vincent J. H. Houben, Keraton
dan Kompeni: Surakarta dan Yogyakarta 1830–
1870, (Yogyakarta:
Bentang, 1994).
[23] Ahmad Nashih Luthfi, dkk. Op.cit.
[24] Vincent J. H. Houben, Op.cit.
[25] Nuraini Setiawati dalam Ahmad Nashih, dkk. Op.cit., hlm 159.
[26] Ibid., hlm 160.
[27] Ibid., hlm 175-176.
[28] Ibid.,
[29] Dian Yanuardi, Commoning,
Dispossession Projects and Resistance: A Land Dispossession Project for Sand
Iron Mining in Yogyakarta, Indonesia, hlm 17. Makalah disampaikan dalam
International Conference on Global Land Grabbing II pada 17-19 Oktober 2012.
(Organized by the Land Deals Politics Initiative (LDPI) and hosted by the
Department of Development Sociology at Cornell University, Ithaca, NY).
[30] Ibid.,
[31]George Junus Aditjondro. SG
dan PAG, Penumpang Gelap RUUK Yogyakarta. Harian sore Sinar Harapan, 31
Januari 2011. Diakses melalui http://indoprogress.com/2011/02/sg-dan-pag-penumpang-gelap-ruuk-yogyakarta/
pada 2 Mei pukul 21.36 WIB.
[32] Ibid.,
[33] Dian Yanuardi. Op.Cit.,
[34] Ibid., hlm 17-18.
[35] Kasus Keistimewaan ini menjadikan Gubernur Yogyakarta tidak dipih
secara mekanisme demokratis pada umumnya. Gubernur adalah Sultan yang
ditetapkan. Inilah yang saya maksudkan dengan feodalisme melampaui
demokrasi.
[36] Winters, op.cit, hlm.8
[37] Benedict Anderson dan William Case dalam Dian Yanuardi, op.cit. hlm. 14
[38] Dian Yanuardi, ibid. hlm.
15-16
[39] Geoge Junus Aditjondro, op.cit.
[40] Ibid.
[41] Ibid.
[42] Ibid.
[43] Ibid.
[44] Dian Yanuardi, op.cit. hlm.
16
[45] Ibid. hlm. 14
[46] Wasisto Raharjo Jati, op.cit.
hlm. 107
[47] Wawancara dengan Ferdhi Putra, Pegiat Tolak Tambang Kulon Progo, 5
Mei 2014
[48] Winters, op.cit, hlm.10
[49] Dian Yanuardi, op.cit. hlm.
17
[50] Ibid.
[51] Vedi R Hadiz, loc.cit.
[52] Wasisto, op.cit. hlm. 92
[53] “Walhi Laporkan
Bupati Kulon Progo” KOMPAS
– Selasa, 28 Desember 2010
[54] Ibid.
[55] Ibid.
[56]“Mengurai Konflik Tambang Pasir Besi Kulon Progo” diunduh dari http://www.map.ugm.ac.id/index.php/profil/184-mengurai-konflik-tambang-pasir-besi-kulon-progo diakses pada 23 April 2014
pukul 20.00 WIB
[57] “PPLP KUlon Progo SUrati KPK terkait Kejanggalan Penambangan Pasir”
diunduh dari http://www.tribunnews.com/regional/2014/03/25/pplp-kulonprogo-surati-kpk-terkait-kejanggalan-penambangan-pasir-besi
diakses pada 2 Mei 2014 pukul 13. 00 WIB
[58] Vedi R Hadiz, op.cit. hlm.
244
[59] AB. Widyanta, op.cit. hlm.
4
[60] Lihat Vedi R Hadiz, “Kekuasaan dan Politik di Sumatera Utara:
Reformasi yag Tidak Tuntas”, dalam Dinamika,
ibid. hlm.. 235-253
Tidak ada komentar:
Posting Komentar