Jumat, 27 Desember 2013

“ Peran Kapitalaisme terhadap Politik Indoneisa”



Apa itu Kapitalisme? Bagaimana Kapitalisme dapat berkembang di Indonesia? Bagaimanakah relasi antara kapitalis dengan negara? Pertanyaan tersebut menjadi pemicu kali ini.  Dalam tulisan yang berjudul Power In Motion: Capital Mobility and The Indonesian State yang ditulis oleh Jeffrey A. Winters diungkapkan bahwa perkembangan masyarakat kapitalis di dunia telah muncul sejak lama di tengah-tengah masyarakat, terutama sejak isu pemenuhan hak-hak manusia di muka bumi ini kian tumbuh perlahan dan meluas ke berbagai belahan dunia. Salah satu contoh yang dikemukakan Winters adalah Indonesia sebagai negara yang dijadikan contoh kasus dalam pengidentifikasian proses, masalah, serta keluaran dari praktek kapitalisme. Dalam kata pengantar tulisanya, Winters mengemukakan bahwa:

Capitalism is a system of production and social organization characterized by extreme assymetries of power.”[1]
Kapitalisme adalah suatu sistem dari produksi dan organisasi sosial yang dikarakterisasi oleh asimetris kekuasaan yang ekstrim.

Berdasarkan definisi di atas, Winters mencoba menjelaskan bahwa kapitalisme adalah suatu sistem dari produksi, dapat dikatakan bahwa kapitalisme erat dengan penguasaan sumber-sumber pribadi oleh individu, yang mana hal tersebut membawa  pada kontrol beberapa pihak terhadap sumber-sumber investasi.  Hal menarik adalah bagaimana para investor dalam bidang bisnis tersebut, tidak hanya berperan dalam hal bisnis keuangan dan ekonomi saja, tapi juga mampu mempengaruhi kehidupan politik. Mereka termasuk dalam kelompok kepentingan (interest group) yang tentu saja bersaing satu sama lain untuk merebut perhatian para pemimpin pemerintahan untuk memfasilitasi pemenuhan kepentingan.  Para investor tersebut juga berpartisipasi dalam kegiatan politik dan memberikan pengaruh terhadap kehidupan politik di mana mereka berada, baik terlibat secara langsung seperti menjadi anggota dewan ataupun tidak ikut serta secara langsung tapi memiliki relasi yang kuat dengan pemegang kekuasaan dan memiliki peran dalam melakukan kontrol terhadap mereka.
            Winters mengungkapkan bahwa kekuatan dan keutamaan tensi yang terdapat di dalam bentuk produksi kapitalis adalah adanya pemisahan antara kekuasaan ekonomi dengan kekuasaan politik. Namun adanya pemisahan ini bukan berarti tidak ada pengaruh di antara satu sama lain. Kekuasaan yang tengah memegang suatu negara menjadikan itu sebagai kepemilikan keistimewaan untuk mengatur dan membuat kebijakan.
Banyak juga ditemui sejumlah kasus di belahan dunia dimana penguasa-penguasa negara tersebut, terutama penguasa yang memerintah dengan penuh kediktatoran, memberikan komando bagi para pengontrol kapitalis untuk melayani rezim yang berada di tangan mereka, melayani masyarakat, atau melayani beberapa komunitas di negaranya. Namun jika kasusnya seperti ini, maka perwujudan kapitalisme tidak terjadi, para kapitalis tersebut tidak dapat memiliki hak-hak untuk mengontrol sumber-sumber untuk berinvestasi, sehingga tidak ada pengaruh politik yang istimewa bagi para investor.
Pengaruh kapitalisme terhadap suatu negara yang telah semakin berkembang.  Di mana kekuatan para pengontrol kapitalisme ini sangat terstruktur.  Mereka terkadang bertemu konflik yang cukup keras, ketika kontrol pemerintah pusat terhadap sumber daya yang dibutuhkan para investor tersebut terpisah sangat tinggi dan akses para investor dibatasi.
Lalu bagaimana dengan kasus Indonesia? Sebagaiamna diungkapkan dalam literatur Farchan Bulkin menunjukan struktur kapitalisme periferal yang ada di negara dunia ketiga, khususnya di Indonesia tidak melahirkan kekuatan-kekuatan ekonomi dan kemasyarakatan seperti yang dikenal di Eropa, tetapi telah memunculkan kekuatan-kekuatan yang dimanifestasikan oleh kapitalisme negara, kapitalisme imperial (kapitalisme asing), dan bureaucratic capitalism dan client capitalism, yang mana menunjukan bahwa golongan menengah Indonesa tidak mampu atau tidak bisa memiliki potensi ideologis dan politik seperti halnya kelas menengah di Eropa.[2]  Implikasinya adalah lahirnya kelas menengah yang menjadi informal governance,  contoh yang diungkapkan oleh Farchan ini dalam konteks Indonesia dapat dilihat pada tulisan Syarif Hidayat, Pilkada, Money Politics and The Dangers of Informal Governance Practices[3] yang menunjukan bagaimana kaitannya dengan ancaman informal governance yang didominasi golongan menengah di tingkat lokal yang dikenal dengan istilah shadow regims yang memiliki karakter, aliansi para birokrat, pembisnis, militer dan preman. Sehingga yang terjadi adalah penguasaan sumber daya oleh pihak-pihak swasta dan alinsi politik tertentu tanpa memberikan dampak yang positif terhadap masyarakat karena lemahnya institusi formal pemerintah.
Di samping itu, pengaruh kapitalisme dengan investor sebagai aktor didalamnya juga memberikan implikasi terhadap perkembangan politik di Indonesia. Munculnya ancaman informal governance penulis mengutip ungkapan Nordholt telah mengakibatkan desentralisasi di Indonesia tidak menunjukan demokrasi, good governance dan menguatnya civil society di tingkat lokal.  Namun yang terjadi adalah korupsi, dan kekerasan atau kejahatan yang dilakukan pemerintah lokal layaknya rezim Orde Baru. Selain itu, pemerintah lokal saat ini lebih dikuasai oleh shadow regims yang memiliki karakter, aliansi para birokrat, pembisnis, militer dan preman. Sehingga yang terjadi adalah penguasaan sumber daya oleh pihak-pihak swasta dan alinsi politik tertentu tanpa memberikan dampak yang positif terhadap masyarakat karena lemahnya institusi formal pemerintah.
“prospek demokratisasi “terletak bukan pada kaum inteligensia kota, seperti dalam dasawarsa 1950an dan 1960an, melainkan pada para kapitalis pribumi.” [4]
Sedangkan menarik apa yang diungkapkan oleh Yoon Hwan Shin dalam Demystifying the Capitalist State (1989),[5] apa yang ada di Indonesia bukanlah kelas kapitalis, melainkan “para kapitalis dalam pembentukan” dan mereka tidak sekuat seperti yang dibayangkan Robison, karena tetap akan tergantung pada pemerintah. Ekonomi-politik di Indonesia tetap ditentukan oleh faksionalisme dalam birokrasi negara di mana para kapitalis itu berlindung. Namun tentang potensi para kapitalis, Shin menunjuk pada prospek terjadinya “kontradiksi esensial”.
Di hadapan otoritarianisme negara, ke arah mana kekuatan sektor bisnis swasta akan bergerak? Dalam ‘Business and Government in Indonesia’ (1994), MacIntyre yakin bahwa sektor bisnis akan membawa rasionalisasi terhadap hubungan antara bisnis dan pemerintah.[6] Artinya, prinsip efisiensi-efektivitas para kapitalis (rasionalitas) akan mengubah praktik-praktik korup dan kolusif rezim otoriter (irrasionalitas).
Meski saling berbeda dan sering bertentangan, beberapa refleksi serius tentang kaitan bisnis dan pemerintah di Indonesia itu punya warna yang mirip. Ada satu refleksi penting lain yang diajukan oleh Jeffrey Winters menunjukan bahwa kebijakan ekonomi dan politik di Indonesia tidak ditentukan oleh kemauan pemerintah, melainkan oleh ‘mobilitas modal’ dan kontrol atas ‘modal yang mudah bergerak’ dalam bingkai ekonomi global.

Daftar Pustaka
Sumber Utama:
Winters, Jeffrey A. Power in Motion: Capital Mobility and Indonesian State.  Ithaca and London: Cornell University Press, 1996.

Sumber Buku Tambahan:
Bulkin, Farchan.  Pokok-Pokok Pikiran Kelas Menengah: Makalah untuk PAIS Percakapan Ahli Ilmu-Ilmu Sosial, 3-4 Oktober 1984.
Hidayat, Syarif. Pilkada, Money Politics and The Dangers of Informal Governance Practices.
Robison, Richard.  Indonesia: the Rise of Capital.  Aydbey: Allen and Unwin.
Shin, Yoon Hwan. Demystifying Capitalist State, Political Patronage,  Bureaucratic Interest, and Capita list Formation In Soeharto’s  Indonesia, Dissertation.  New York and Ithaca: Yale University Perss.

Sumber Website:
Priyono, B. Herry. Demokrasi dan Kapitalisme.  http://www.unisosdem.org/article_printfriendly.php?aid=84&coid=1&caid=34 diakses pada Kamis, 17 Oktober 2013; Pukul 11.44 WIB.






[1]Jeffrey A Winters. Power in Motion: Capital Mobility and Indonesian State (Ithaca and London: Cornell University Press, 1996), hlm. ix.

[2] Farchan Bulkin.  Pokok-Pokok Pikiran Kelas Menengah: Makalah untuk PAIS (Percakapan Ahli Ilmu-Ilmu Sosial, 3-4 Oktober 1984), hlm. 7.
[3] Syarif Hidayat. Pilkada, Money Politics and The Dangers of Informal Governance Practices, hlm. 132
[4] Richard Robison.  Indonesia: the Rise of Capital (Aydbey: Allen and Unwin), hlm. 366.
[5] Shin, Yoon Hwan. Demystifying Capitalist State, Political Patronage,  Bureaucratic Interest, and Capita list Formation In Soeharto’s  Indonesia, Dissertation (New York and Ithaca: Yale University Perss) dalam B. Herry Priyono. Demokrasi dan Kapitalisme.  http://www.unisosdem.org/article_printfriendly.php?aid=84&coid=1&caid=34 diakses pada Kamis, 17 Oktober 2013; Pukul 11.44 WIB.
[6] B. Herry Priyono. Demokrasi dan Kapitalisme.  http://www.unisosdem.org/article_printfriendly.php?aid=84&coid=1&caid=34 diakses pada Kamis, 17 Oktober 2013; Pukul 11.44 WIB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar