Apa
itu Kapitalisme? Bagaimana Kapitalisme dapat berkembang di Indonesia? Bagaimanakah
relasi antara kapitalis dengan negara? Pertanyaan tersebut menjadi pemicu kali
ini. Dalam tulisan yang berjudul Power In Motion: Capital Mobility and The
Indonesian State yang ditulis oleh Jeffrey A. Winters diungkapkan bahwa
perkembangan masyarakat kapitalis di dunia telah muncul sejak lama di
tengah-tengah masyarakat, terutama sejak isu pemenuhan hak-hak manusia di muka
bumi ini kian tumbuh perlahan dan meluas ke berbagai belahan dunia. Salah satu
contoh yang dikemukakan Winters adalah Indonesia sebagai negara yang dijadikan
contoh kasus dalam pengidentifikasian proses, masalah, serta keluaran dari
praktek kapitalisme. Dalam kata pengantar tulisanya, Winters mengemukakan
bahwa:
“Capitalism is a system of production and social organization characterized
by extreme assymetries of power.”[1]
Kapitalisme adalah suatu sistem
dari produksi dan organisasi sosial yang dikarakterisasi oleh asimetris
kekuasaan yang ekstrim.
Berdasarkan
definisi di atas, Winters mencoba menjelaskan bahwa kapitalisme adalah suatu sistem
dari produksi, dapat dikatakan bahwa kapitalisme erat dengan penguasaan
sumber-sumber pribadi oleh individu, yang mana hal tersebut membawa pada kontrol beberapa pihak terhadap
sumber-sumber investasi. Hal menarik
adalah bagaimana para investor dalam bidang bisnis tersebut, tidak hanya
berperan dalam hal bisnis keuangan dan ekonomi saja, tapi juga mampu mempengaruhi
kehidupan politik. Mereka termasuk dalam kelompok kepentingan (interest group) yang tentu saja bersaing
satu sama lain untuk merebut perhatian para pemimpin pemerintahan untuk
memfasilitasi pemenuhan kepentingan. Para
investor tersebut juga berpartisipasi dalam kegiatan politik dan memberikan
pengaruh terhadap kehidupan politik di mana mereka berada, baik terlibat secara
langsung seperti menjadi anggota dewan ataupun tidak ikut serta secara langsung
tapi memiliki relasi yang kuat dengan pemegang kekuasaan dan memiliki peran
dalam melakukan kontrol terhadap mereka.
Winters mengungkapkan bahwa kekuatan
dan keutamaan tensi yang terdapat di dalam bentuk produksi kapitalis adalah
adanya pemisahan antara kekuasaan ekonomi dengan kekuasaan politik. Namun
adanya pemisahan ini bukan berarti tidak ada pengaruh di antara satu sama lain.
Kekuasaan yang tengah memegang suatu negara menjadikan itu sebagai kepemilikan
keistimewaan untuk mengatur dan membuat kebijakan.
Banyak
juga ditemui sejumlah kasus di belahan dunia dimana penguasa-penguasa negara
tersebut, terutama penguasa yang memerintah dengan penuh kediktatoran,
memberikan komando bagi para pengontrol kapitalis untuk melayani rezim yang
berada di tangan mereka, melayani masyarakat, atau melayani beberapa komunitas
di negaranya. Namun jika kasusnya seperti ini, maka perwujudan kapitalisme
tidak terjadi, para kapitalis tersebut tidak dapat memiliki hak-hak untuk
mengontrol sumber-sumber untuk berinvestasi, sehingga tidak ada pengaruh
politik yang istimewa bagi para investor.
Pengaruh
kapitalisme terhadap suatu negara yang telah semakin berkembang. Di mana kekuatan para pengontrol kapitalisme
ini sangat terstruktur. Mereka terkadang
bertemu konflik yang cukup keras, ketika kontrol pemerintah pusat terhadap
sumber daya yang dibutuhkan para investor tersebut terpisah sangat tinggi dan
akses para investor dibatasi.
Lalu bagaimana dengan
kasus Indonesia? Sebagaiamna diungkapkan dalam literatur
Farchan Bulkin menunjukan struktur kapitalisme periferal yang ada di negara
dunia ketiga, khususnya di Indonesia tidak melahirkan kekuatan-kekuatan ekonomi
dan kemasyarakatan seperti yang dikenal di Eropa, tetapi telah memunculkan
kekuatan-kekuatan yang dimanifestasikan oleh kapitalisme negara, kapitalisme
imperial (kapitalisme asing), dan bureaucratic
capitalism dan client capitalism,
yang mana menunjukan bahwa golongan menengah Indonesa tidak mampu atau tidak
bisa memiliki potensi ideologis dan politik seperti halnya kelas menengah di
Eropa.[2] Implikasinya adalah
lahirnya kelas menengah yang menjadi informal
governance, contoh yang diungkapkan
oleh Farchan ini dalam konteks Indonesia dapat dilihat pada tulisan
Syarif Hidayat, Pilkada, Money Politics
and The Dangers of Informal Governance Practices[3] yang
menunjukan bagaimana kaitannya dengan ancaman informal governance yang didominasi
golongan menengah di tingkat lokal yang dikenal dengan istilah shadow regims yang memiliki karakter,
aliansi para birokrat, pembisnis, militer dan preman. Sehingga yang terjadi
adalah penguasaan sumber daya oleh pihak-pihak swasta dan alinsi politik
tertentu tanpa memberikan dampak yang positif terhadap masyarakat karena
lemahnya institusi formal pemerintah.
Di samping itu,
pengaruh kapitalisme dengan investor sebagai aktor didalamnya juga memberikan
implikasi terhadap perkembangan politik di Indonesia. Munculnya ancaman informal governance penulis mengutip
ungkapan Nordholt telah mengakibatkan desentralisasi di Indonesia tidak
menunjukan demokrasi, good governance
dan menguatnya civil society di
tingkat lokal. Namun yang terjadi adalah
korupsi, dan kekerasan atau kejahatan yang dilakukan pemerintah lokal layaknya
rezim Orde Baru. Selain itu, pemerintah lokal saat ini lebih dikuasai oleh shadow regims yang memiliki karakter,
aliansi para birokrat, pembisnis, militer dan preman. Sehingga yang terjadi
adalah penguasaan sumber daya oleh pihak-pihak swasta dan alinsi politik
tertentu tanpa memberikan dampak yang positif terhadap masyarakat karena
lemahnya institusi formal pemerintah.
“prospek demokratisasi
“terletak bukan pada kaum inteligensia kota, seperti dalam dasawarsa 1950an dan
1960an, melainkan pada para kapitalis pribumi.” [4]
Sedangkan menarik apa yang diungkapkan
oleh Yoon Hwan Shin dalam Demystifying
the Capitalist State (1989),[5] apa yang ada di Indonesia bukanlah
kelas kapitalis, melainkan “para kapitalis dalam pembentukan” dan mereka tidak
sekuat seperti yang dibayangkan Robison, karena tetap akan tergantung pada
pemerintah. Ekonomi-politik di Indonesia tetap ditentukan oleh faksionalisme
dalam birokrasi negara di mana para kapitalis itu berlindung. Namun tentang
potensi para kapitalis, Shin menunjuk pada prospek terjadinya “kontradiksi
esensial”.
Di hadapan otoritarianisme negara, ke
arah mana kekuatan sektor bisnis swasta akan bergerak? Dalam ‘Business and
Government in Indonesia’ (1994), MacIntyre yakin bahwa sektor bisnis akan
membawa rasionalisasi terhadap hubungan antara bisnis dan pemerintah.[6] Artinya, prinsip efisiensi-efektivitas
para kapitalis (rasionalitas) akan mengubah praktik-praktik korup dan kolusif
rezim otoriter (irrasionalitas).
Meski saling berbeda dan sering bertentangan, beberapa
refleksi serius tentang kaitan bisnis dan pemerintah di Indonesia itu punya
warna yang mirip. Ada satu refleksi penting lain yang diajukan oleh Jeffrey
Winters menunjukan bahwa kebijakan ekonomi dan politik di Indonesia tidak
ditentukan oleh kemauan pemerintah, melainkan oleh ‘mobilitas modal’ dan
kontrol atas ‘modal yang mudah bergerak’ dalam bingkai ekonomi global.
Daftar Pustaka
Sumber Utama:
Winters,
Jeffrey A. Power in Motion: Capital
Mobility and Indonesian State.
Ithaca and London: Cornell University Press, 1996.
Sumber Buku Tambahan:
Bulkin,
Farchan. Pokok-Pokok Pikiran Kelas Menengah: Makalah untuk PAIS Percakapan
Ahli Ilmu-Ilmu Sosial, 3-4 Oktober 1984.
Hidayat,
Syarif. Pilkada, Money Politics and The
Dangers of Informal Governance Practices.
Robison,
Richard.
Indonesia: the Rise of Capital.
Aydbey: Allen and Unwin.
Shin, Yoon Hwan. Demystifying Capitalist State, Political
Patronage, Bureaucratic Interest, and
Capita list Formation In Soeharto’s
Indonesia, Dissertation. New
York and Ithaca: Yale University Perss.
Sumber Website:
Priyono, B. Herry. Demokrasi dan Kapitalisme. http://www.unisosdem.org/article_printfriendly.php?aid=84&coid=1&caid=34 diakses pada Kamis, 17 Oktober 2013; Pukul 11.44 WIB.
[1]Jeffrey A Winters. Power in Motion: Capital Mobility and
Indonesian State (Ithaca and London: Cornell University Press, 1996), hlm.
ix.
[2] Farchan Bulkin. Pokok-Pokok
Pikiran Kelas Menengah: Makalah untuk PAIS (Percakapan Ahli Ilmu-Ilmu
Sosial, 3-4 Oktober 1984), hlm. 7.
[3] Syarif Hidayat. Pilkada, Money Politics and The Dangers of
Informal Governance Practices, hlm. 132
[4] Richard Robison.
Indonesia: the Rise of Capital (Aydbey: Allen and Unwin), hlm. 366.
[5] Shin, Yoon Hwan. Demystifying Capitalist State, Political
Patronage, Bureaucratic Interest, and
Capita list Formation In Soeharto’s
Indonesia, Dissertation (New York and Ithaca: Yale University Perss)
dalam B. Herry Priyono. Demokrasi dan Kapitalisme. http://www.unisosdem.org/article_printfriendly.php?aid=84&coid=1&caid=34 diakses pada Kamis, 17 Oktober
2013; Pukul 11.44 WIB.
[6] B. Herry Priyono. Demokrasi dan Kapitalisme. http://www.unisosdem.org/article_printfriendly.php?aid=84&coid=1&caid=34 diakses pada Kamis, 17 Oktober
2013; Pukul 11.44 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar