Jumat, 27 Desember 2013

“Pengaruh Politik Domestik dan Diplomasi Internasional terhadap Perkembangan Demokrasi di Taiwan ”

 oleh Alpiadi Prawiraningrat
Tidak dapat dipungkiri bahwa Taiwan dengan statusnya sebagai negara yang unik adalah merupakan salah satu "negara" demokratis di Asia. Taiwan menggunakan dan memiliki sistem politik yang berbeda dengan sistem politik di Republik Rakyat Cina (RRC), karena sietem politik yang digunakan adalah demokrasi dan liberalisme yang mayoritas digunakan oleh negara-negara Barat.[1] Pada mulanya, di dalam lingkup pemerintahan China yang komunis, Taiwan juga memberlakukan sistem partai tunggal yakni Kuomintang (Pan Blue). Pada era tersebut, terjadi pembatasan pers politik dan pebatasan partai oposisi lainnya yang juga berpengaruh pada kehidupan masyarakat Taiwan. Namun setelah Chiang Kai Sek lengser dan digantikan oleh putranya Chiang Ching Kuo dunia perpolitikan mulai melunak dimana ada kebebasan pers dan mengemukakan pendapat. Situasi politik Taiwan dengan Chinapun memanas pada masa kepemimpinan Lee Teng Hui[2] dari partai DPP (Democratic Progressive Party) karena memproklamirkan Taiwan, bukan Republik Cina. Pergantian presiden selanjutnya dipegang oleh Chen Shui Bian yang berupaya menjadikan Taiwan memperoleh pengakuan Internasional sebagai Taiwan yang independen melalui keanggotaanya di PBB yang didukung kondisi ekonomi Taiwan yang kuat dan secara de facto Taiwan telah diakui oleh 29 negara.[3]
Reformasi politik Taiwan dilakukan dengan mendesak Pusat agar mempercepat demokratisasinya. Proses reformasi Taiwan melahirkan kekuatan lain dalam politik yakni Parati Nasionalis Taiwan (Pan Green) yang merupakan oposisi dari Kuomintang/KMT (Pan Blue). Pan Green menilai KMT sebagai penjajah Taiwan yang telah masuk dalam pemerintahan dengan dominasinya pada eksekutif, legislatif dan yudikatif.[4] Oleh karena itu, Pan Green menuntut perlunya kemerdekaan Taiwan. Dengan munculnya pihak oposisi menjadikan politik Taiwan lebih kompleks dimana Pan Blue mengusung re-unifikasi sedangkan Pan green mengusung pro-kemerdekan. Namun sengketa dua pandangan mengenai re-unifikasi seperti Hongkong dan Makau dengan prinsip”one country two system” maupun merdeka melalui perjuangan yang keras, harus mampu diselesaikan melalui perudingan damai yang dilakukan oleh kedua pihak untuk menginplementasikan nilai demokrasi Taiwan. Hal ini mulai terlihat setelah terpilihnya Ma Ying Jeou di tahun 2008 semakin mengimplementasikan “One China”. Taiwan dan China menandatangani berbagai kesepakatan di bidang ekonomi sehingga keduanya sangat terlihat pada kegiatan investasi, kunjungan turis dan membuka penerbangan langsung Cina-Taiwan. Adanya kesepakatan anatara Taiwan dan China menunjukkan bahwa Taiwan terbuka terhadap kehidupan eksternal. Terlebih seperti yang dikatakan oleh Overholt, dimana terdapat integrasi AS untuk mendukung Taiwan dan bahkan pemerintahan sayap kanan di Jepang merupakan pihak yang mendorong Taiwan untuk meraih kemerdekaannya sendiri.[5]  Meskipun dipandang semkain menambah kompleksipitas situasi politik Taiwan, hadirnya oposisi dalam sistem politik Taiwan seperti dijelaskan diatas telah menujukan suatu implementasi dari check and balances yang merupakan prinsip demokrasi di negara Taiwan.
Tidak dapat disangkal bahwa Cina memegang peranan penting dalam pengukuhan eksistensi Taiwan. Cina berusaha untuk menarik kembali Taiwan ke dalam RRC, atau setidaknya untuk mencegah deklarasi independen Taiwan. Dalam hal ini, Cina berusaha untuk menekan peran Taiwan di dunia internasional dan berusaha mengisolasi politik luar negeri Taiwan.[6] Penekanan Cina terhadap Taiwan ini menyebabkan Taiwan ingin menjadi pengatur yang berlegitimasi di daratan Cina.[7] Namun dalam perkembangannya, kemerdekaan yang tidak mungkin dimiliki Taiwan menyebabkannya mau menerima kondisi keleluasaan yang diberikan Cina.
Taiwan kehilangan pengakuan kedaulatannya dari negara-negara dunia dan hanya diklaim sebagai provinsi dari Cina. Keadaan ini membuat terbentuknya tensi yang tinggi antara China dan Taiwan, dimana Selat Taiwan menjadi tempat yang paling riskan dan berbahaya atas gesekan militer selama beberapa tahun, Cina mengarahkan ratusan misilnya ke arah Taiwan hingga akhirnya pada tahun 2005 Ciina menyetujui pengurangan kekerasan dan deterrence dalam hubungan mereka.[8] Hubungan antara Cina dan Taiwan kemudian dikenal dengan hubungan Taiwan Strait.
Oleh karena itu, kondisi dilematis yang dialami Taiwan memiliki pengaruh terhadap kebijakan eksternal, terutama politik luar negeri Taiwan. Hal tersebut berimplikasi terhadap politik luar negeri Taiwan berfokus pada upaya penggalangan dukungan terhadap pengakuan eksistensinya sebagai negara yang berdaulat baik de jure maupun de facto. Salah satu implementsi penggalangan dukungan internasional dilakukan melalui vacation diplomacy yang dijalankan oleh mantan Presiden Lee Teng-hui.[9] Diplomasi dilakukan dengan cara penggunaan visa dalam kunjungan ke Taiwan, serta mengadakan berbagai kunjungan diplomatik ke berbagai negara dan demokrasi yang dianut Taiwan merupakan bargaining position untuk menarik simpati internasional dan oleh karenanya berhak memperoleh kemerdekaan.[10]
Hubungan diplomatik dengan negara-negara lain umumnya didasarkan pada kerjasama ekonomi dan perdagangan, sekaligus menjadi saluran hubungan diplomatik tidak resmi. Taiwan merupakan pintu gerbang para investor untuk melakukan investasi di kawasan ini selain Hong Kong dan Singapura. Taiwan juga memperbesar investasinya di Asia Tenggara dan berusaha menyakinkan bahwa perekonomian Cina akan hancur dalam krisis Asia dan perdagangan dan investasi dengan Taiwan akan lebih aman daripada dengan Cina.[11] Perusahaan multinasional Taiwanpun terus dikembangkan di berbagai negara, dengan kekuatan utama terletak pada pendirian perusahaan di Amerika Serikat sehingga bisa mendanai kegiatan politik untuk menyebarkan pengaruh politik Taiwan.[12] Taiwan pun berusaha menjadi partner yang baik bagi Amerika dan meyakinkan Amerika untuk membangun hubungan yang lebih dalam dengannya, terutama dalam bidang ekonomi dan militer.[13]
Upaya hubugan internatiosionalpun semakin meningkatkan nasionalisme Taiwan hingga pemilihan umum di tahun 2008 yang menjadikan Ma Ying-Jeou sebagai presiden Taiwan yang baru. Seperti yang dituliskan oleh pengamat politik Baohui Zhang, pemilihan presiden ini membuat dinamika baru dalam hubungan Selat Taiwan/Taiwan Strait. Baohui berpendapat bahwa apabila People Republic of Cina (PRC) tidak lagi memaksakan reunifikasi One China pada Taiwan, maka hubungan non-kekerasan seperti saat ini akan tetap berlanjut, walaupun hal tersebut berarti ketidakjelasan status Taiwan terus berlanjut.[14]
Kebijakan Satu Cina atau One China, dengan reunifikasi Taiwan ke Cina, terbukti tidak berhasil karena baik Cina maupun Taiwan bersikukuh pada posisi masing-masing secara substantif.[15] Taiwan menghendaki agar proses demokrasi, posisi otonomi yang dimilikinya, serta perdagangan dan investasi yang terus meningkat dengan daratan tetap terpelihara. Di sisi lain, Cina menghendaki prinsip “satu Cina atau One China” untuk menjamin situasi internasional yang stabil guna menjaga laju pertumbuhan ekonomi. Dalam perkembangan dinamika relasi Cina dan Taiwan saat ini menunjukan fakta bahwa hubungan kedua negara diwarnai dengan tren untuk menjaga stabilitas perdamaian. Meskipun agenda unifikasi Cina-Taiwan tetap tidak mungkin terjadi, akan tetapi Taiwan tetap berkomitmen untuk tidak melakukan aksi separatisme dengan Cina, Taiwan ingin melestarikan status quo yang dimilikinya. Menanggapi ini, Cina kemudian menjamin bahwa Taiwan boleh menjalankan sistem politiknya, menggunakan mata uangnya, dan bahkan mempertahakan angkatan bersenjatanya sendiri. Hal ini berimplikasi pada international space international yang memang diinginkan Taiwan. Di sisi lain, Saat ini Cina pun mulai meredam tindakan agresifnya untuk menundukkan Taiwan. Walaupun agenda unifikasi Taiwan-Cina masih menjadi tujuan utama Cina, namun untuk sementara ini, pemerintah Cina cukup merasa puas dengan prestasi di bidang integrasi budaya dan ekonominya dengan Taiwan.




Daftar Pustaka
Sumber Buku:
Overholt, William H. Asia, America and Tranformation of Geopolitics.  New York: Cambridge University Press, 2008.
Sutter, Robert G.  Chinese Foreign Relation: Power and Policy Since The Cold War.  Maryland: Rowman and Littlefield Publisher, Inc, 2008.
Rigger, Shelley.  Taiwan Rising Rationalism: Generations, Politics and “Taiwanese Nationalism”.  Washington: East-West Center, 2006.

Sumber Website:
Jiang, Rinto. Demokrasi Taiwan: Kemajuan atau Kemunduran? dalam http://www.forums.apakabar.ws/viewtopic.php?f=1&t=21565&start=0 diakses pada Rabu, 18 Desember 2013; Pukul 06.28 WIB.
Yuliantoro, Nur Rachmat.  Hubungan China-Taiwan dan Pandangan Asia Tenggara dalam http://rachmat.staff.ugm.ac.id/artikel/China-Taiwan.pdf diakses pada Rabu, 18 Desember 2013; Pukul 06.31 WIB.

Sumber PDF:
Baohui, Zhang. Taiwan’s Political Balancing Act. Global Asia Feature Essay Taiwan’s Presidential Election. Vol 3. No 2. PDF version., hlm. 82-89.



[1] Rinto Jiang. Demokrasi Taiwan: Kemajuan atau Kemunduran? dalam http://www.forums.apakabar.ws/viewtopic.php?f=1&t=21565&start=0 diakses pada Rabu, 18 Desember 2013; Pukul 06.28 WIB.
[2] Ibid.,
[3] Ibid.,
[4] Ibid.,
[5] William H. Overholt.  Asia, America and Tranformation of Geopolitics (New York: Cambridge University Press, 2008), hlm. 153.
[6] Robert G. Sutter.  Chinese Foreign Relation: Power and Policy Since The Cold War (Maryland: Rowman and Littlefield Publisher, Inc, 2008), hlm. 191.
[7] William H. Overholt.  Ibid., hlm. 143.
[8] Shelley Rigger.  Taiwan Rising Rationalism: Generations, Politics and “Taiwanese Nationalism” (Washington: East-West Center, 2006), hlm. 1.
[9] William H. Overholt. Ibid., hlm. 147.
[10] William H. Overholt. Ibid., hlm. 141
[11] Robert G. Sutter. Op. Cit.,  hlm. 192
[12] William H. Overholt. Op. Cit., hlm. 152
[13] Robert G. Sutter. Op. Cit., hlm. 195
[14] Zhang Baohui. Taiwan’s Political Balancing Act. Global Asia Feature Essay Taiwan’s Presidential Election. Vol 3. No 2. PDF version., hlm. 88.
[15]Nur Rachmat Yuliantoro.  Hubungan China-Taiwan dan Pandangan Asia Tenggara dalam http://rachmat.staff.ugm.ac.id/artikel/China-Taiwan.pdf diakses pada Rabu, 18 Desember 2013; Pukul 06.31 WIB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar