Senin, 31 Maret 2014

“Perspektif terhadap Demokratisasi di Myanmar: Militer, Oposisi dan Media Massa”

oleh Alpiadi Prawiraningrat



Bagaimanakah perkembangan demokrasi di Myanmar? Berhasilkah gerakan demokratisasi di Myanmar dengan tokoh Aung San Suu Kyi? Kenapa beberapa pihak berpendapat bahwa gerakan demokratiasai meruntuhkan rezim militer di Myanmar tidak berhasil? Pertanyaan tersebut menjadi pemicu kali ini. Didasarkan pada tulisan Min Zin dan Brian Joseph berjudul The Opening in Burma: The Democrats Opportunity[1] tulisan ini berusaha menjelaskan mengenai perkembangan demokrasi di Myanmar dan menarik untuk melihat kesempatan Myanmar mengimplementasikan demokrasi di masa yang akan datang dengan tidak terlepasnya militer sebagai salah satu aktor dalam politik Myanmar.
            Militer dipahamai sebagai satu kelompok orang-orang yang diorganisir dengan disiplin untuk melakukan pertempuran, yang dibedakan dari orang-orang sipil.[2] Selain itu, menurut Muhammad Hatta, tugas militer yang sebenarnya di dalam negara ialah “melatih diri dan mengadakan perlengkapan untuk menghadapi musuh dari luar, mereka atau golongan militer harus bertanggung jawab dalam berbagai bidang keamanan dan keselamatan umum terhadap ancaman musuh dari luar.   Jadi, “fungsi militer” dalam suatu negara adalah untuk melakukan tugas pertahanan dan keamanan, sedangkan tugas diluar itu merupakan “fungsi non-militer” yang tentu menjadi tugas golongan sipil.[3]  Dalam konteks transisi demokrasi yang merupakan proses perubahan rezim dari rezim non-demokrasi (daam beberapa kasus dikuasai oleh militer) menjadi rezim demokrasi seringkali disebut dengan transisi demokrasi atau demokratisasi dan merupakan sebuah interval atau jarak antara rezim politik non-demokrasi dengan rezim politik demokrasi.[4]
Dalam konteks politik di Myanmar sendiri, sebetulnya telah berada dalam di bawah otoritas militer semenjak Maret 1962, baik secara langsung maupun tidak langsung.[5] Semenjak awal, sudah terlihat dengan jelas bahwa militer berambisi untuk memegang kekuasaan secara terus-menerus. Terhitung semenjak Tatmadaw telah berkuasa secara langsung, layaknya monarki mutlak atau kediktatoran, selama 35 tahun semenjak Maret 1962 (1962-1974, 1988-2011), dan secara tidak langsung melalui mandat militer dan kontrol atas BSPP selama 14 tahun (1974-1988). Pengaruh Tatmadaw (militer angkatan bersenjata Myanmar) telah berakar kuat di dalam semua lapisan masyarakat. Mereka telah mengontrol semua jalur mobilitas sosial. Mereka telah mendominasi ekonomi secara efektif, yang pertama melalui BSPP, dan kemudian melalui kendali mereka atas sektor publik, juga melalui Myanmar Economic Holdings Corporation dan Myanmar Economic Corporation (dua badan usaha ekonomi militer) yang dibentuk dan dikelola oleh pihak militer, dan melalui berbagai industri di bawah Office of Procurement of the Ministry of Defence (suatu Biro ekonomi di bawah Kementerian Pertahanan Myanmar). Sensor diterapkan terhadap semua media, buku-buku impor, dan beragam material sebagai upaya menyeluruh untuk mengisolasi rakyat Myanmar dari pengaruh-pengaruh luar yang dikhawatirkan akan memodernisasi masyarakat secara politik.
Akan tetapi awal tahun 2011, politik Myanmar dinilai mulai memasuki masa tranformasi. Thein Sein yang merupakan mantan komandan militer sebagai presiden yang terpilih pada pemilihan umum yang berlangsung diakhir tahun 2010 mulai menunjukan komitmenya terhadap implementasi di Myanmar, salah satu contohnya adalah melalui penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di negara tersebut, melalui pembebasan ratusan tahanan politik dan menyambut baik pemimpin oposisi Aung San Suu Kyi dan partai politik miliknya masuk dalam parlemen.[6]  Pembebasan tahanan politik dinilai pentig dalam konteks politik Myanmar, karena sebagai bagian dari upaya untuk menghormati azas-azas politik dan memungkinkan mereka yang dibebaskan membantu pembangunan bangsa.[7] Sejauh ini masih ada sekitar 60 tahanan politik yang belum dibebaskan.[8]
Di samping itu, reformasi politik demokratisasi di Myanmar juga dengan dikuranginya peran militer secara perlahan-lahan sebagaiamna dikemukakan oleh Presiden Myanmar, Thein Sein[9] dalam pidato di parlemen untuk menandai tiga tahun pemerintahan sipil sebagai penanda reformasi politik dan ekonomi. Dalam pandangan Thein Sein, bagaimanapun militer secara praktis masih memiliki kekuatan politik dengan memiliki hak veto di parlemen dan seperempat kursi di parlemen diberikan kepada anggota dari militer yang tidak dipilih lewat pemilihan umum. 
Militer memang memiliki peranan sangat penting dalam konteks politik Myanmar bahkan konstitusi juga memposisikan militer sebagai aktor politik yang memiliki peran penting dalam konteks politik Myanmar.[10] Sebagai contoh semenjak 1993 pertemuan nasional yang disponsori oleh pemerintah, sangat jelas merupakan upaya rekayasa pemerintah untuk menformulasikan panduan terhadap konstitusi yang baru, dari awal sudah direncanakan sebagai wadah untuk mengesahkan Tatmadaw (militer angkatan bersenjata Myanmar) sebagai pemimpin di dunia politik. Hal ini dijabarkan di dalam konstitusi yang menyatakan (Pasal 6): “Tujuan konsisten Negara persatuan adalah … (butir f) memungkinkan partisipasi anggota militer di dalam kepemimpinan politik nasional.” (lihat juga Pasal 20). Hal ini disetujui dengan suara bulat ala Stalin pada tahun 2008 (mungkin dipacu oleh trauma yang disebabkan oleh “revolusi saffron” saat para biksu berdemonstrasi menentang pemerintah pada tahun 2007). Berdasarkan konstitusi tersebut militer akan menduduki berbagai posisi politik yang strategis, 25 persen dari semua anggota dewan perwakilan, baik lokal maupun nasional, yang akan diduduki oleh personel militer aktif, mereka akan ditunjuk oleh Menteri pertahanan, yang juga harus merupakan birokrat aktif, layaknya Menteri dalam negeri (memegang kontrol atas kepolisian) dan menteri yang bertanggung jawab atas daerah-daerah minoritas. Komandan angkatan bersenjata dapat mengambil alih pemerintahan pada saat situasi darurat. Tidak satupun kerabat dekat dari seorang calon presiden atau calon wakil presiden (presiden dan wakil presiden ditunjuk secara tidak langsung oleh Dewan perwakilan) yang diperbolehkan untuk beraliansi dengan kekuatan asing. Pemisahan diri daerah tertentu dari Republik Persatuan Myanmar tidak diperbolehkan. Karena amandemen terhadap konstitusi membutuhkan persetujuan dari 75 persen dari seluruh anggota dewan, militer dapat mengontrol upaya-upaya yang menuntut perubahan secara langsung tanpa perlu menggunakan Union Solidarity and Development Party (Partai Pembangunan dan Solidaritas Persatuan, USDP) yang dikuasai oleh militer dan merupakan mayoritas di parlemen.
Kuatnya peran militer di Myanmar inilah yang melahirkan Partai oposisi Liga Nasional Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi yang melancarkan kampanye untuk mengubah konstitusi yang memberikan posisi istimewa terhadap militer namun hingga saat ini belum terwujud.  Terdapat beberapa alasan belum terwujudnya perubahan konstitusi Myanmar tersebut, yang selalu dikoreasikan dengan belum optimalnya gerakan deomkratisasi di Myanmar, diantaranya:[11]  bahwa kelemahan yang paling mendasar dan krusial dari gerakan pro demokrasi di Myanmar adalah, Aung San Suu Kyi itu sendiri secara riil politik belum bisa dianggap sebagai pemimpin alternatif  yang menjadi simbol pemersatu dari seluruh elemen gerakan kekuatan sipil, terutama pada saat penentangan rezim militer pimpinan Jenderal Than Shwe.   
Selanjutnya, meskipun Agama Buddha dianut oleh 89 persen warga Myanmar dan ada semacam kesepakatan umum di Myanmar bahwa para biksu atau tokoh spiritual Agama Buddha merupakan sumber kekuatan moral yang yang cukup potensial untuk memobilisasi penyikapan masyarakat terhadap rezim militer, pada kenyataannya Myanmar tidak mempunyai pemimpin gerakan yang mampu memobilisasi para Biksu menjadi sebuah kekuatan moral yang aktual dan efektif seperti yang pernah dilancarkan oleh tokoh pergerakan India Mahatma Gandhi melalui gerakan Ahimsa dan gerakan anti kekerasan ketika melawan pemerintahan kolonial Inggris pada dekade 1930-an.  sehingga, gerakan menuntut penggusuran rezim militer khususnya pada kasus pimpinan Jenderal Than Shwe yang bermula dari gerakan menentang kebijakan pemerintahan militer menaikkan harga Bahan Bakar Minyak, pada perkembangannya menjadi gerakan pro demokrasi yang bertumpu pada seorang pemimpin bernama Aung San Suu Kyi, namun tanpa kejelasan kepemimpinan dan strategi yang tepat sasaran.
Hal tersebutlah yang menjadi sisi rawan dari gerakan pro demokrasi pimpinan Suu Kyi yang terperangkap dalam ilusi bahwa gerakan NLD yang dia pimpin merupakan sebuah kekuatan rakyat yang solid, terorganisasi dengan rapih dan memiliki basis sosial-budaya yang kuat dan mengakar di kalangan masyarakat Myanmar. Karena secara faktual gerakan pro demokrasi NLD pada hakekatnya tidak memiliki basis sosial dan budaya yang mengakar di Myanmar, gerakan pro demokrasi Suu Kyi dan NLD pada umumnya, secara sadar atau tidak akhirnya masuk dalam skema dan agenda kekuatan-kekuatan negara asing seperti Amerika Serikat, Jepang dan Uni Eropa. Dengan kata lain, gerakan demokratisasi pimpinan Suu Kyi pada perkembangannya telah dirancang berdasarkan sistem demokrasi ala Amerika atau Uni Eropa. Meskipun dalam perjalananya, Aung San Suu Kyi mengatakan, Myanmar harus membangun bentuk demokrasinya sendiri, dan bisa jadi tidak akan seperti yang ada di Amerika.[12]
Bahkan dalam gerakan demonstrasi memprotes kenaikan harga BBM pada 23 September silam yang pada hakekatnya merupakan isu ekonomi, oleh para elemen NLD dan NCG telah digeser isu sentralnya menjadi gerakan menuntut pemindahan kekuasaan segera dari rezim militer ke pemerintahan sipil. Sehingga tidak heran jika Jenderal Shwe memanfaatkan celah ini dengan menuding Aung San Suu Kyi dan gerakan NCG sebagai gerakan pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah.
Lalu sebetulnya, bagaimanakah perkembangan demokrasi Myanmar di masa yang akan datang? Teori dan praktek pemerintahan modern di negara-negara Barat menyebutkan bahwa pemerintahan yang baik adalah suatu bentuk pemerintahan sipil (rakyat) yang melakukan kontrol atas militer. Di negara-negarakomunis pun, partai politik diharapkan memegang kontrol sementara pihak militer menuruti komando sambil tetap berpegang pada ideologi negara, sekalipun di dalam kondisi yang tidak memungkinkan.[13]
Dalam konteks Myanmar, meskipun militer memiliki peranan penting dalam ranah politik dan posisinya yang dinilai masih superior nampaknya jalan menuju demokrasi semakin terbuka, meskipun partai milik pemerintah secara efektif didominasi oleh para pensiunan militer. Masyarakat sipil sekarang menjadi lebih bebas, universitas-universitas telah menghapus sensor dan kekakuan intelektual walaupun proses belajar pola menghafal masih mendominasi. Kehidupan akademik telah bangkit kembali. Karir di bidang militer tetap merupakan profesi idaman, dan hal tersebut sepertinya tidak akan berubah, dan nama baik militer mungkin dapat dikembalikan lagi. Hubungan yang lebih dekat di antara militer dan warga sipil mungkin dapat menciptakan rasa saling menghargai yang telah pudar setelah bertahun-tahun Tatmadaw (militer angkatan bersenjata Myanmar) mencibir politisi sipil sebagai buruk, korup, dan tidak efektif.
Hal terpenting lainnya, dari keterbukaan jalan demokrasi Myanmar adalah terbukanya peran dari media dan pers di Myanmar.[14] Tema-tema yang semula dinilai tabu, sekarang bisa diangkat ke publik. Misalnya isu tentang militer, pelanggaran hak asasi manusia dan konflik dengan kelompok etnis. Namun demikian, masih berlakunya undang-undang yang membatasi kebebasan berpendapat dan belum adanya undang-undang yang menjamin kebebasan pers dan melindungi pekerjaan jurnalis masih menjadi kekhawatiran tersendiri bagi kalangan jurnalis Myanmar dan perlunya Masyarakat dan pemerintah masih harus mengembangkan kesadaran tentang pers yang bebas, setelah puluhan tahun ada sensor, terutama  memahami tugas dan peran media dalam masyarakat.  Apalagi menjelang pemilihan umum Myanmar tahun 2015 mendatang, diperlukan fasilitas dalam menyampaikan dan memperoleh informasi yang netral kepada masyarakat Myanmar.
Di sisi lain, hal yang perlu menjadi perhatian Myanmar apabila hendak mengoptimalkan demokrasi sebagai sistem politik negaranya adalah profesionalime militer. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Yahya Muhaimin bahwa dalam konteks negara demokrasi peran militer harus profesional, yaitu bahwa militer hanya memainkan peran pertahanan keamanan saja sehingga keahlian teknis mereka di perketat. Selain itu orientasi peran politiknya diberikan pada negara. Ciri-ciri peran militer pada tipe ini adalah peran politik yang minimal dan intervensi politik yang rendah, serta peran masyarakat sipil yang kuat.  Oleh karena itu, sebagaimana diungkapkan oleh David I. Steinberg, meskipun militer Myanmar telah merancang suatu sistem yang menjamin keberlangsungan kekuasaan dan otoritas militer, kemungkinan besar sistem tersebut akan mengalami erosi sedikit demi sedikit. Hal ini akan membuka kesempatan yang lebih luas bagi mayoritas masyarakat Myanmar termasuk bagi wanita. Tetapi, warga minoritas, baik secara etnis atau agama harus disadarkan tentang pluralisme dan ini membutuhkan upaya nyata dari pemerintah yang belum terlihat sampai pada saat ini.









DAFTAR PUSTAKA
Sumber Utama:
Zin, Min and Brian Joseph.  The Opening in Burma: The Democrats Opportunity. Journal od Democracy; October 2012, Volume 23, Number 4, hlm. 1-17.

Sumber Buku:
Yahya A. Muhaimin. Perkembangan Militer dalam Politik Indonesia 1945-1966.  Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002.
O’Donnell, Guillermo dan Phillippe C. Schmitter. Transitions From Authoriarian Rule: Tentative Conclusions About Uncertain Democracies.  London: The Johns Hopkins University Press, 1986.

Sumber Website:
Ebbighausen, Rodion.  Era Baru Bagi Pers di Myanmar dalam http://www.dw.de/era-baru-bagi-pers-di-myanmar/a-16785558 diakses pada Jumat, 28 Maret 2014; Pukul 22.13 WIB.

Fisher, Jonah. Myanmar Bebaskan 69 Tahanan Politik dalam http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2013/11/131115_myanmar_tahanan_politik.shtml diakses pada Jumat, 28 Maret 2014; Pukul 20.57 WIB.

Steinberg, David I.  Myanmar yang Bergerak: Masa Depan Kedudukan Penting Militer [terjemahan] dalam http://kyotoreview.org/issue-14/myanmar-yang-bergerak-masa-depan-kedudukan-penting-militer/ diakses pada Jumat, 28 Maret 2014; Pukul 19.24 WIB.

Tanpa Nama. Myanmar Janji Bebaskan Seluruh Tahanan Politik dalam http://www.dw.de/myanmar-janji-bebaskan-seluruh-tahanan-politik/a-16953058 diakses pada Jumat, 28 Maret 2014; Pukul 20.47 WIB.

Tanpa Nama. Peran Politik Militer Myanmar akan Dikurangi dalam  http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2014/03/140326_myanmar_militer.shtml diakeses pada Jumat, 28 Maret 2014; Pukul 19.21 WIB..,

Tanpa Nama. Aksi Destablisasi di Myanmar dalam http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=93&type=3 diakses pada Jumat, 28 Maret 2014; Pukul 21.35 WIB.
Tanpa Nama. Suu Kyi: Demokrasi ala Myanmar dalam http://www.dw.de/suu-kyi-demokrasi-ala-myanmar/a-16280493 diakses pada Jumat, 28 Oktober 2013; Pukul 21.46 WIB.



[1] Min Zin dan Brian Joseph.  The Opening in Burma: The Democrats Opportunity. Journal od Democracy; October 2012, Volume 23, Number 4, hlm. 1-17.
[2]  Yahya A. Muhaimin. Perkembangan Militer dalam Politik Indonesia 1945-1966 (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002), hlm. 1.
[3] Yahya A. Muhaimin. Ibid.,
[4] Guillermo O’Donnell dan Phillippe C. Schmitter. Transitions From Authoriarian Rule: Tentative Conclusions About Uncertain Democracies (London: The Johns Hopkins University Press, 1986), hlm. 6.

[5] David I. Steinberg. Myanmar yang Bergerak: Masa Depan Kedudukan Penting Militer [terjemahan] dalam http://kyotoreview.org/issue-14/myanmar-yang-bergerak-masa-depan-kedudukan-penting-militer/ diakses pada Jumat, 28 Maret 2014; Pukul 19.24 WIB.

[6] Tanpa nama. Myanmar Janji Bebaskan Seluruh Tahanan Politik dalam http://www.dw.de/myanmar-janji-bebaskan-seluruh-tahanan-politik/a-16953058 diakses pada Jumat, 28 Maret 2014; Pukul 20.47 WIB.

[7] Jonah Fisher. Myanmar Bebaskan 69 Tahanan Politik dalam http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2013/11/131115_myanmar_tahanan_politik.shtml diakses pada Jumat, 28 Maret 2014; Pukul 20.57 WIB.

[8] Jonah Fisher. Ibid.,

[9] Tanpa nama. Peran Politik Militer Myanmar akan Dikurangi dalam  http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2014/03/140326_myanmar_militer.shtml diakeses pada Jumat, 28 Maret 2014; Pukul 19.21 WIB.

[10] David I. Steinberg. Op. Cit.,
[11] Dikutip langsung dari artikel Aksi Destablisasi di Myanmar dalam http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=93&type=3 diakses pada Jumat, 28 Maret 2014; Pukul 21.35 WIB.

[12] Tanpa nama. Suu Kyi: Demokrasi ala Myanmar dalam http://www.dw.de/suu-kyi-demokrasi-ala-myanmar/a-16280493 diakses pada Jumat, 28 Oktober 2013; Pukul 21.46 WIB.

[13] David I. Steinberg. Op. Cit.,


[14] Rodion Ebbighausen.  Era Baru Bagi Pers di Myanmar dalam http://www.dw.de/era-baru-bagi-pers-di-myanmar/a-16785558 diakses pada Jumat, 28 Maret 2014; Pukul 22.13 WIB.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar