Jumat, 16 Mei 2014

Keraton Yogyakarta sebagai Kekuatan Ekonomi Lokal: Studi Kasus pada Konflik Tambang Pasir Besi di Kulon Progo 2006-2014*



Pendahuluan
            Terhitung sejak tahun 2006 hingga sekarang, petani di pesisir selatan Kulon Progo banyak dibicarakan oleh berbagai kalangan. Pembicaraan tersebut mengacu pada apa yang terjadi pada mereka. Sejak periode tersebut, petani penggarap lahan pantai itu, mengalami kasus land grabbing yang disebabkan oleh adanya penambangan pasir besi. Perampasan tanah tersebut, seperti biasanya, kemudian memicu konflik diantara petani, pemerintah lokal dan perusahaan tambang. Konflik tersebut kemudian berbuntut pada kriminalisasi aktivis, salah satunya Tukijo yang harus dipenjara elama tiga tahun karena memperjuangkan hak atas tanahnya.[1]
            Pada kasus ini, menjadi menarik untuk dibahas mengenai dinamika yang terjadi di dalam konflik tersebut. Hal itu karena di sana terlibat sebuah institusi besar yang bersifat feodal, dan dianggap oleh sebagian orang sebagai kekuatan pelindung, yaitu keraton Yogyakarta. Keterlibatan keraton ini melalui perusahaan yang didirikan oleh keluarga keraton untuk menambang pasir besi tersebut. Dalihnya adalah untuk kemajuan ekonomi masyarakat pesisi pantai selatan di wilayah Kulon Progo. Dari itu, kemudian dapat dilihat bahwa keraton ternyata memiliki kekuatan ekonomi.
            Dalam kasus ini, penulis sangat tertarik untuk melihat keraton Yogyakarta sebagai kekuatan ekonomi di tingkat lokal, khususnya pada kasus tambang pasir besi di Kulon Progo tersebutt. Untuk itu, maka argumentasi yang akan dibangun penulis pada paper ini, pertama, berkaitan dengan keraton sebagai kekuatan ekonomi lokal, dan kedua, bagaimana bentuk dan karakter keraton sebagai kekuatan ekonomi di masa reformasi ini. Untuk itu, agar paper ini bisa menjelaskan hal tersebut, maka problematisasi yang diangkat dalam paper ini adalah “bagaimana bentuk kekuatan ekonomi keraton pada masa reformasi, terutama dalam kasus tambang pasir besi di Kulon Progo”   

Oligarki dan Kekuasaan Lokal Predatoris
Terdapat satu bentuk khusus dari kekuatan ekonomi yang menjadi karakter di Indonesia. Kekuatan ekonomi di Indonesia secara umum dikuasai oleh para Oligark yang muncul dan dibesarkan oleh rezim Orde Baru.[2] Walaupun pada akhirnya bentuk Oligarki ini dapat dibedakan antara masa Orde Baru dan pasca itu, karakter Oligarki ini penting untuk dilihat sehingga bisa didapatkan gambaran utuh mengenai kekuatan ekonomi di Indonesia saat ini. Dalam melihat bentuk Oligarki yang ada di Indonesia, penulis menggunakan konsepsi Oligarki dari Jeffrey A. Winters dalam bukunya, “Oligarki”. 
            Secara konseptual, istilah Oligarki telah lama dikenal dalam studi politik. Istilah ini merentang dari jaman Yunani Kuno hingga era kontemporer sekarang. Dalam International Encyclopedia of Social Sciences, Oligarki didefinisikan sebagai “bentuk pemerintahan dimana kekuasaan berada di tangan minoritas kecil”. Istilah tersebut diambil dari bahasa Yunani,, “Oligarchia”  yang berarti pemerintahan oleh yang sedikit, yang terdiri dari kata oligoi (sedikit), dan arkhein (memerintah).[3] Namun, pengertian singkat tersebut sangat problematis, juga tidak memadai, untuk mendefinisikan Oligarki. Hal itu karena menimbulkan kekaburan makna mengenai Oligarki itu sendiri. Apalagi bila itu disematkan hanya pada konsep  “minoritas yang menguasai mayoritas”. Bila konsep itu didasarkan pada hal demikian, maka hampir setiap kekuasaan, pengaruh, atau pemerintahan minoritas dapat disebut Oligarki, misal, soviet, milarder, Kardinal Gereja, direksi perusahaan, bahkan demokrasi perwakilan itu sendiri adalah Oligarki karena hanya sedikiti orang yang memerintah.  Padahal, dalam pengertian ini tidak begitu. Pada titik inilah, Jeffrey A. Winters, seorang Profesor di Northwestern University, memberikan penekanan untuk mendefinisikan Oligarki pada “bagaimana minoritas melakukannya dan melalui sumber daya apa”[4]
             Teorisasi Oligarki menurut Winters, dimulai dari adanya fakta bahwa ketidaksetaraan material menghasilkan ketidaksetaraan politik ekstrem. Meskipun dalam demokrasi, kedudukan dan akses terhadap proses politik dimaknai setara, namun kekayaan yang sangat besar di tangan minoritas kecil menciptakan kelebihan kekuasaan yang signifikan di ranah politik pada golongan tersebut. Klaim ini didasarkan pada distibusi sumber daya material diantara anggota komunitas politik, demokrasi atau sistem lainnya, memiliki pengaruh besar pada kekuasaan relatif. Dengan demikian, maka ketidaksetaraan besar dalam kekayaan menghasilkan ketidaksetaraan dalam kekuasaan dan pengaruh politik dalam demokrasi.          
             Berdasarkan fakta demikian, Winters mendefinisikan Oligark sebagai “pelaku yang menguasai dan mengendalikan konsentrasi besar sumber daya material yang bisa digunakan untuk mempertahankan atau meningkatkan kekayaan pribadi dan posisi sosial ekslusifnya”[5] Dari itu, terdapat tiga hal yang saling bersangkut paut, antara lain, pertama, kekayaan adalah bentuk kekuasaan material yang beda dengan sumber daya kekuasaan lain yang berpusat pada minoritas; kedua, penguasaan dan pengendalian sumber daya itu untuk kepentingan pribadi; dan ketiga, definisi Oligark tetap konsisten di berbagai zaman dan kasus. 
Sebelum menjadi Oligarki sebagai sebuah sistem, Winters memperkenalkan konsep “pertahanan kekayaan”. Sepanjang perjalanan sejarah, kekayaan material yang terkonsentrasi pada minoritas selalu mengundang ancaman dari pihak luar yang ingin menguasai atau mendistribusi ulang kekayaan tersebut. Ini dimaknai sebagai pengambil alihan sumber daya material dari Oligark. Dengan itu, maka dinamika politik para Oligark selalu berhubungan dengan ancaman tersebut, dan bagaimana Oligark mempertahankannya. Pertahanan kekayaan ini mencangkup dua komponen, yaitu pertahanan harta dan pertahanan pendapatan.[6] Dengan demikian, Winters memberikan definisi Oligarki sebagai sebuah sistem merujuk pada “politik pertahanan kekayaan oleh pelaku yang memiliki kekayaan material”[7]. Pada konsep Oligarki ini, Winters mengetengahkan aspek penting dari Oligarki, yaitu kekayaan sebagai sumber daya material kekuasaan para Oligark dan dinamika politik pertahanannya yang dikelola secara politis.
Aspek pertahanan pada kekayaan sebagai sumber daya kekuasaan Oligark kemudian menentukan bagaimana Oligarki akan berdiferensiasi dalam berbagai bentuk. Cara pertahanan ini mengacu pada beragam konteks politik dan periode sejarah. Oleh karena itu, definisi dari Oligarki bisa tetap, tapi bentuknya bisa berbeda-beda. Oligarki bisa dalam suatu masa terlibat secara langsung dalam politik, namun dalam suatu masa juga tidak. Keterlibatannya tersebut hanya sebagai taktik berhubungan dengan bagaimana pertahanan atas kekayaan dilakukan.
Aspek penting dari konsep Oligarki yang diajukan Winters ini menunjukan bahwa Oligarki tidak banyak dipengaruhi oleh reformasi non-material atau prosedur politik. Dalam hal ini, lembaga politik hanya dapat mengatur, menjinakan, dan mengubah bentuk Oligarki, tetapi tak bisa menghilangkannya. Karena itulah, apapun bentuk pemerintahannya termasuk demokrasi, ketidaksetaraan politik ekstrem merupakan kembaran dari kembaran ketidaksetaraan material yang ekstrem pula. Menurut Winters, Oligark dan Oligarki akan lenyap bukan melalui perubahan prosedur politik menjadi demokrasi, melainkan bila distribusi sumber daya material yang sangat tidak seimbang ditiadakan, supaya tidak memberi kekuasaan politik yang terlalu besar kepada segelintir pelaku.[8]   
Pada kasus Indonesia, Oligarki pada masa Suharto berbeda dengan masa setelahnya. Berbagai perubahan institusional seperti desentralisasi dan demokratisasi menyebabkan pola Oligarki harus beradaptasi. Dalam perkembangannya, perubahan institusional tersebut tidak seperti diharapkan. Persoalan timbul karena adanya konstelasi kekuasaan predatoris yang bertransformasi dari sisa-sisa Orde Baru. Dalam desentralisasi, patronase politik lebih terlokalkan, oleh karena itu kekuatan akan lebih banyak dan otonom dari pusat, dibandingkan pada masa Soeharto.
Kekuatan predatoris, Hadiz merujuk pada Peter Evans, adalah pejabat publik (baik individu atau mengacu pada bentuk korporatis) yang menguasai sumber daya negara untuk kepentingan pribadi dan/atau kerabatnya.[9] Peter Evans, dalam studinya yang berjudul Predatory, Developmental, and Other Apparatuses: A Comparative Political Economy Perspective on the Third World State menyebut keberadaan kekuatan predoris erat hubungannya dengan keberadaan birokrasi yang patrimonial, bila merujuk pada teori birokrasi ideal-non ideal Max Weber.[10]
Untuk mengklasifikasikan suatu kekuatan politik dalam suatu negara memiliki kekuasaan yang predatoris atau tidak, Evans membaginya berdasarkan kontinum. Negara, didefinisikan dari negara yang predatoris sampai dengan negara developmentalis. Negara dengan tingkat surplus investasi yang tinggi dan sumber daya yang banyak, tetapi sangat sedikit menyediakan untuk keperluan warga negara, didefinisikan sebagai negara predatoris.
Negara predatoris, mempunyai aparatus negara ‘yang lain’ untuk melanggengkan kekuasaannya. Evans menyebut keterlibatan pebisnis yang mempunyai hubungan dekat dengan para birokrat dan politisi, yang kemudian mengaitkannya dengan konsepsi rent seeking. Evans, menyebut rent seeking adalah sebagai bentuk korupsi karena akhirnya investasi yang tinggi dan sumber daya yang banyak milik negara tidak teralokasikan untuk keperluan warga negara, tetapi masuk ke aparatus negara dan kerabatnya. Perilaku aparatus negara ini, seperti yang sudah disebutkan di atas, erat hubungannya dengan model birokrasi yang patrimonial. Kekuatan predatoris adalah kekuatan yang ‘incumbent’ dalam birokrasi, yang di dalamnya memperebutkan rente. Kekuatan predatoris ini dapat langgeng karena mereka mempunyai kuasa dalam membuat dan mengeluarkan lisensi, mengatur pajak, subsidi dan lain sebagainya.

Konflik Pasir Besi Kulon Progo
Lahan pasir pantai selatan Kulon Progo DIY merupakan lahan yang didominasi oleh tanah pasir, materi pasir ini diendapkan oleh aktivitas gelombang laut di sepanjang pantai. Pesisir pantai Kulon Progo sepanjang garis pantai dengan panjang ± 1.8 km, terbagi dalam 4 kecamatan dan 10 desa yang mempunyai wilayah pantai dengan kondisi pesisir hampir 100% pasir dengan kedalaman air tanah antara hingga 12 meter. Lahan pasir ini juga tersebar hingga 2000 meter dari permukaan laut yang diperkirakan luas lahan pasir pantai daerah Kulon Progo bisa mencapai 3.600.000 m2, atau sekitar 3600 ha. Namun dari 3600 ha tersebut, sebanyak 2500 lahan pantai digunakan untuk pertanian dan perkebunan.[11]
Dilihat dari sisi historis, pada awalnya pesisir pantai Kulon Progo hanyalah gundukan pasir pantai yang tidak memiliki nilai ekonomi dan tidak dikuasai oleh siapapun, gundukan pasir tersebut tersebar di desa Banaran, Karang Sewu, Bugel, Pleret, Garongan, dan Karangwoni. Namun pada awal tahun 1980-an, salah seorang petani mencoba berinisiatif menanam produk hortikultura di lahan pasir tersebut. Kegiatan bercocok tanam di atas lahan pasir berkembang pesat, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Perkembangan teknik pengairan dan pemupukan membuat hasil panen cabe, melon dan semangka yang semakin baik dan banyak.
Pada tahun 2003, Potensi pasir besi di pesisir selatan Kulonprogo mulai terdeteksi, hal itu diindikasi dari temuan kajian geologi yang menyebutkan bahwa kandungan pasir besi di Kulon Progo sendiri mencapai 300 juta ton kubik dengan produktivitas mencapai 500.000 hingga 2 juta ton per hari. Potensi pasir besi yang luar biasa ini berkaitan dengan sifat dan karakteristik mineral magnetik yang terdapat di dalam pasir besi. Adanya variasi mineral magnetik di dalam pasir besi memungkinkan munculnya pilihan alternatif dalam pemanfaatan pasir besi yang lebih komersial. Adapun pilihan alternatif tersebut adalah kandungan vanadium yang berharga di dalam perut pasir Kulonprogo. Dengan demikian, pasir besi di pesisir selatan wilayah Kulon Progo tersebut dapat dikatakan emas hitam, karena harganya bisa seribu kali lipat dibanding besi biasa.[12]
Untuk melihat bagaimana Keraton Yogyakarta sebagai kekuatan ekonomi, spesifiknya pada kasus tambang pasir besi di Kulon Progo ini, maka kita perlu melihat aktor-aktor di dalamnya serta dengan cara apa Keraton aktor-aktor tersebut melanggengkan tujuan-tujuan ekonominya. Dalam kasus di Kulon Progo, keterlibatan dan awal terbentuknya PT Jogja Magasa Iron (JMI) serta aktor lainnya perlu ditinjau agar kita dapat memiliki gambaran yang utuh mengenai keraton sebagai kekuatan ekonomi di Yogyakarta.
Pada awalnya, potensi yang besar dari keuntungan pasir besi di Kulon Progo ini yang menarik keraton Yogyakarta dan investor untuk melakukan eskavasi pertambangan di daerah tersebut, lalu keraton bersama investor mendirikan perusahaan dengan nama PT Jogja Magasa Mining (JMM). PT. JMM ini kemudian akhirnya bertransformasi menjadi Jogja Magasa Iron (JMI), perusahaan ini yang kemudian memegang lisensi untuk menambang pasir di Kulon Progo.
Ketertarikan tersebut tidak lepas dari keinginan pemimpin Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Puro Pakualaman yang ingin mengembangkan Provinsi Yogyakarta melalui tambang pasir besi yang dianggap sangat potensial.[13] Keinginan kedua Raja tersebut kemudian berkembang menjadi pendirian industri, tidak hanya wilayah pertambangan, di pesisir pantai selatan yang merupakan tanah Sultan dan Paku Alam jika kita merujuk pada segi historis wilayah tersebut. Atas dasar itulah kemudian pada tanggal 6 Oktober 2005 dibentuk PT Jogja Magasa Mining (PT. JMM) oleh Lutfi Heyder, Imam Syafi, GBPH Joyokusumo, GKR Pembayun dan BRMH Hario. Tiga nama terakhir yang disebutkan merupakan keturunan dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Pembangunan PT Jogja Magasa Mining ini juga diikuti dengan perjanjian kerja sama manajemen dengan AKD (Australian Kimberly Diamond Limited) untuk melakukan penelitian awal potensi pasir besi.[14] Legitimasi untuk melakukan kegiatan penambangan didapat ketika dikeluarkannya Kuasa Pertambangan No. 008/KPTS/KP/EKPL/X/2005 pada tanggal 12 Oktober 2005 dengan lokasi pertambangan terletak di sepanjang pantai antara Sungai Progo dan Sungai Bogowonto, Kabupaten Kulon Progo, Provinsi Dearah Istimewa Yogyakarta yang merupakan lahan Pakualaman, dengan luas area pertambangan 4.076,7 Ha.
Kisah ini kemudian berlanjut pada tahun 2008 dengan dilakukanya join venture antara PT JMM dan Indomines Ltd dari Australia sehingga PT JMM bertransformasi dan berubah nama menjadi PT JMI (Jogja Magasa Iron). Seiring dengan transformasi tersebut, status Kuasa Pertambangan yang sebelumnya dimiliki oleh PT JMM kemudian meningkat menjadi Kontrak Karya pada tanggal 4 November 2008, dengan luas area 2.987,79 Ha, yang terletak di sepanjang pantai antara Sungai Progo dan Sungai Serang.[15] Dalam proses penandatanganan Kontrak Karya tersebut, PT. JMI diwakili oleh Presiden Komisaris Lutfi Heyder dan  Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro sebagai perwakilan pemerintah.[16] Berdasarkan Kontrak Karya tersebut, PT. JMI mengantongi izin operasi selama 30 tahun.
Dengan adanya kontrak karya tersebut, PT Jogja Magasa Iron siap menanamkan investasi 1,7 miliar dolar AS untuk penambangan pasir besi (sand iron) sekaligus memproduksi besi kasar (pig iron) di pesisir selatan Kulon Progo. Rincian investasi itu 600 juta dolar AS untuk tambang dan 1,1 miliar dolar AS untuk infrastruktur. Dari tambang pasir besi yang menggunakan sistem pertambangan terbuka tersebut, negara akan mendapat tambahan penerimaan pajak 20 juta dolar AS per tahun, pendanaan lokal 7 juta dolar AS per tahun dan royalti 11,25 juta dolar AS per tahun. Pemprov Yogyakarta dan Pemkab Kulon Progo akan mendapat kontribusi pengembangan masyarakat dan wilayah sebesar 1,5 % dari penjualan atau senilai 7 juta dolar AS per tahun selama 10 tahun pertama dan selanjutnya sebesar 2 %.18 Wilayah aplikasi kontrak karya seluas 2.987 hektar itu akan memiliki kapasitas produksi 1 juta ton di tahun pertama, per 2012,  jika itu menguntungkan akan ditingkatkan sampai 5 juta ton.[17]
Menjelang akhir 2012 misalnya, Indo Mines Limited tak lagi menguasai saham PT JMI karena dibeli oleh Grup Rajawali. Ini merupakan kelompok bisnis raksasa milik Peter Sondakh. Saham sebesar 57,12 persen milik perusahaan asal Australia tersebut dibeli secara bertahap dengan dana hingga mencapai lebih dari Aus$ 50 juta.[18] Kelompok bisnis itu bukanlah pemain baru, walaupun sempat turun-naik dihantam krisis moneter pada 1998.
Sebelumnya, pada Desember 2010, Peter diumumkan sebagai salah satu orang terkaya kedelapan di Indonesia oleh majalah Forbes. Selain mengendalikan PT JMI, Grup Rajawali  juga memiliki dua perusahaan pertambangan lainnya yakni PT Golden Eagle Energy Tbk untuk batu bara, serta PT Meares Soputan Mining, dengan komoditas emas. Dalam sejumlah laporan disebutkan, Peter Sondakh  pada periode 1980-an juga dikenal dekat dengan anak mantan Presiden Soeharto: Bambang Trihatmodjo. Salah satu wujud bisnisnya,  keduanya mendirikan jaringan televisi swasta pertama, Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) pada 1989.[19]
Potensi ekonomi yang besar pada lahan yang ditempati oleh petani sejak tahun 1980-an ini kemudian menjadi alasan land grabbing terjadi pada para petani tersebut. Ini kemudian yang menjadi akar konflik bagi kasus penambangan pasir besi yang melibatkan Keraton-Pemerintah Daerah, baik Kulon Progo dan D.I. Yogyakarta, dengan petani hingga sekarang.

Keraton Yogyakarta sebagai Kekuatan Ekonomi
                Dalam kasus di atas, terlihat bahwa keraton Yogyakarta menjadi salah satu kekuatan ekonomi yang penting. Bukti dari itu adalah adanya perusahaan yang penambangan yang dirikan oleh keluarga keraton Yogyakarta. Pada bagian ini, penulis akan menujukan bagaimana keraton sebagai kekuatan ekonomi bertransformasi dari jaman kolonial hingga saat ini. Transfromasi ini akan menunjukan bahwa dari dulu, dengan kajian kesejarahan, sebenarnya keraton Yogyakarta telah menjadi kekuatan ekonomi lokal.
                Daerah Kesultanan Yogyakarta terbentuk pada masa pendudukan Hindia Belanda di Nusantara yakni setelah disepakatinya perjanjian Giyanti atau sering juga disebut dengan Pilahan Nagari (Pembagian Negeri) pada 13 Februari 1975 di Desa Giyanti.[20] Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai raja dengan gelar Sampeyan dalem Ingkang Sinuwun Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalogo Ngabdurrachman Sajidin Panotogomo Kalifatullah. Sultan Hamengku Buwono mendapat setengah dari wilayah kerajaan Mataram di sebelah barat dengan nama kerajaan Ngayogyakarto Hadiningrat.[21] Pada saat pendudukannya, Belanda memberlakukan sistem indirect rule dengan mengangkat Gubernur (Patih) dan Bupati dari daerah-daerah jajahannya untuk menjalankan fungsi pemerintahan.[22] Patih dan para bupati sendiri diangkat dan diberhentikan oleh Sultan setelah mendapat persetujuan dari Belanda dan para pejabat rijks berstuurder wajib mengangkat sumpah setia kepada Kompeni.[23] Sultan sebagai pemegang tampuk kekuasaan bekerjasama dengan pemerintah kolonial yang diwakili oleh Residen sebagai penyelenggara pemerintahan. Keduanya saling berhubungan dalam melaksanakan pemerintahan. Melalui mekanisme indirect rule, Kesultanan mendapatkan kewenangan dalam mengurusi Yogyakarta namun sangat dibatasi, misalnya Sri Sultan hanya akan menjual bahan-bahan makanan dengan harga yang ditentukan Belanda. Selain itu, Sultan harus menaati semua perjanjian (dengan Belanda) yang telah dilakukan oleh para penguasa Mataram terdahulu.
                Houben lebih jauh melihat bahwa kecenderungan Belanda untuk mencampuri perpolitikan di Keraton secara khusus dan juga pemberian kewenangan adalah karena Keraton Yogyakarta dianggap mampu memobilisasi massa untuk melawan pemerintahan Belanda. Hal tersebut juga yang dinyatakan oleh para peneliti sejarah sebagai alasan diberlakukannya politik devide et impera oleh Belanda di Kerajaan Mataram. Adapun salah satu tujuan Belanda pada saat itu adalah keuntungan finansial misalnya melalui eksploitasi tanah dalam praktik sewa tanah. Praktik sewa tanah bukan hal baru di vorstenlanden karena sudah berlangsung sejak abad ke-17 yang dilakukan orang-orang Cina.[24] Keraton sendiri kemudian melalui mekanisme indirect rule berkembang menjadi agen politik kolonial yang bekerjasama dalam melakukan kontrol politik terhadap kemungkinan gejolak yang ada di tanah kerajaan. Di tanah kerajaan terjadi proletarisasi, konsumerisasi, komersialisasi tenaga kerja hingga sampai pedesaan yang membawa kesengsaraan sosio-ekonomi bagi rakyat. Meskipun kemudian ada gerakan perlawanan dari rakyat misalnya Gerakan Mangkuwiaya di Klaten namun gerakan tersebut dapat dibendung dengan kerjasama antara kekuatan yang ada yakni antara Keraton, Belanda dan Penyewa Tanah. Sedangkan para petinggi Keraton seperti Pangeran yang tidak setuju dengan praktik yang terjadi tersingkir dari Keraton.
                Melalui kerjasama antara orang kerajaan dengan belanda serta mekanisme hukum yang diterapkan Belanda (Agrarische Wet 1870), komersialisasi tanah dan penggunaan tanah oleh orang Belanda baik untuk perusahaan maupun perumahan menjadi mudah dilakukan. Dasar-dasar bagi eksistensi tanah dengan status hukum barat tersebut pada gilirannya 70-80 tahun kemudian menjadi obyek yang bisa dikenai hukum tanah nasional, Prora, dan UUPA.[25] Pada masa Orde Lama dilakukan dekolonisasi hukum agraria dengan mengkaji ulang Agrarische Wet 1870 hingga akhirnya pada tanggal 24 September 1960, terbentuk dasar hukum baru dalam Lembaran Negara No.104 Tahun 1960 sebagai Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, atau dikenal dengan istilah UU PA. UU PA diikuti oleh peraturan pengganti pemerintah, undang-undang No.56 Tahun 1960 (yang dikenal dengan undang-undang landreform).[26] UU PA di Indonesia beserta peraturan pelaksanaannya pada umumnya berlaku sejak tanggal 24 September 1960, ketika program pembangunan semesta dicanangkan oleh Presiden Soekarno. Namun di DIY sendiri, UU PA secara resmi mulai berlaku sejak 1 April 1984, berdasarkan Kepres No. 33/1984, dan dilanjutkan dengan Perda DIY No. 5 Tahun 1984.
                Meski UU PA telah diberlakukan, tanah yang dikenai UU PA kemudian adalah tanah berhukum Barat dan tanah-tanah yang sebelumnya dikenai program Prona. Dengan demikian pemberlakuan UUPA lagi-lagi bukan untuk memperjelas status tanah meski diidealkan oleh Sri Sultan demikian, melainkan aspek politiklah yang justru mendominasi dimana Tanah merupakan milik Keraton.[27] Tanah Sultan dan tanah Paku Alaman merupakan semua tanah yang berada di wilayah keraton Kasultanan dan Puro Paku Alaman kecuali tanah-tanah yang sudah diberikan hak kepemilikannya kepada siapapun. Definisi ini mengacu pada domein verklaring yang berlaku sejak zaman pendudukan Belanda yaitu tahun 1918 dan dikukuhkan melalui Perda DIY No. 5 Tahun 1954, hingga dinyatakan kembali pada tanggal 11 April 2000 pada acara Inventarisasi dan Sertifikasi Tanah-Tanah Keraton DIY antara pemerintah dan instansi terkait. Jumlahnya berlaku susut ketika dinyatakan Terjadi dualisme hukum dimana seharusnya melalui pemberlauan UUPA, status tanah di eks-swapraja Yogyakarta beralih ke tangan negara. Pada kenyataannya konsep Tanah Milik Raja (sebelum berlakunya domein verklaring) tetap berlaku dan dikukuhkan melalui UU No 3/1950 dilanjutkan dengan Perda DIY No. 5 Tahun 1954 yang mengatur keistimewaan Yogyakarta. Melalui kebijakan tersebut, peraturan tanah di Yogyakarta bersifat otonom, sehingga memberi tameng terhadap intervensi hukum tanah nasional (UUPA).[28]
                Keberadaan Tanah Sultan dan tanah Paku Alaman tersebut diakui baik oleh masyarakat luas maupun pemerintah. Hal tersebut terlihat dengan jelas dimana jika pemerintah daerah hendak menggunakan tanah di wilayah Yogyakarta harus terlebih meminta izin pada pihak Keraton. Demikian juga mereka kalangan usaha yang ingin berinvestasi di Yogyakarta. Sementara masyarakat mengakui tanah itu ditandai dengan penerimaan Surat Kekancingan yang ada di tangan masyarakat yang menjelaskan bahwa status tanah yang ditempati adalah tanah magersari. Dengan keadaan demikian dapat dilihat dengan jelas bahwa kekuasaan atas tanah yang dapat memberikan keuntungan ekonomi di Yogyakarta masih dipegang oleh pihak Keraton pasca diberlakukannya UUPA sekalipun.
                Pada gilirannya, keadaan tersebut telah melahirkan kekuatan Kesultanan yang kuat pada masa Orde Baru. Melalui kerangka yang dijelaskan Vedi R Hadiz yang menguraikan bahwa kebangkitan rezim Soeharto berhasil membentuk tatanan politik ‘patrimonial administrative state’. Dalam kondisi demikian, kehidupan ekonomi ditentukan oleh framework arahan negara otoritarian sentralistik dengan jejaring patronase yang mengambil keuntungan di dalamnya. Jaringan patronase yang demikian mengakar dari pusat hingga sampai pada elit lokal, kota maupun desa-desa dan di dalamnya termasuk Keraton Yogyakarta. Keraton berlindung di bawah perlindungan rezim Soeharto dengan menjadi bagian dari jaringan patronase tersebut serta membentuk hubungan bisnis dan politik yang menjadi kekuatan oligarki ekonomi-politik yang berpusat pada Soeharto dan keluarganya.
                Namun kemudian seiring jatuhnya Orde Baru, kekuatan feodal kesultanan yang tersisa di Indonesia mengalami krisis.[29] Krisis kekuasaan feodal dan kesultanan di Indonesia yang dihadapi oleh Yogyakarta adalah krisis legitimasi dan krisis ekonomi.[30] Krisis yang pertama disebabkan oleh UU No 3 Tahun 1950 yang menyatakan bahwa ahli waris (keturunan) sultan akan selalu menjadi gubernur provinsi tanpa pemilu yang tidak sesuai dengan amandemen UUD 1945. Untuk mengatasi krisis tersebut, maka kesultanan mencoba untuk menata kembali (reorganizing atau reorganisasi) kekuatan melalui reorganisasi politik dan ekonomi. Reorganisasi kekuatan ekonomi dilakukan melalui rekonsentrasi Tanah Sultan dan Tanah Pakualaman serta menghidupkan kembali bisnis lama dan juga komoditisasi aset dan properti kesultanan. Jadi, sama seperti kalangan oligarkhi lainnya, Keraton juga turut beradaptasi dengan kondisi-kondisi baru seperti desentralisasi serta mereorganisasi kekuasaannya yang ditandai dengan munculnya kekuatan-kekuatan predatoris yang corrupt warisan Orde Baru pada tingkat lokal di era reformasi termasuk di Keraton Yogyakarta.
                Setelah rekonsentrasi dilakukan, ribuan hektar Tanah Sultan di seluruh Keraton kini terkonsentrasi di Yogyakarta, Bantul dan Sleman sedang Tanah Paku Alaman terkonsentrasi di Kulon Progo. Kedua jenis tanah keraton itu merupakan sumber pendapatan keraton dari sahamnya di Hotel Ambarukmo, Ambarukmo Plaza, Saphier Square, dan Padang Golf Merapi.[31] Keraton jelas memainkan peran tidak hanya sebagai pemimpin politik melainkan melalui kekuasaan politiknya telah memainkan peran besar sebagai aktor ekonomi di Yogyakarta. Hal tersebut terlihat dengan jelas dimana sebagian besar anggota keluarga Sultan Hamengku Buwono X dan Paku Alam IX terjun dalam bisnis. Di antara adik-adik Sultan yang paling menonjol adalah GBPH Prabukusumo. Prabukusumo merupakan direktur utama PT Karka Adisatya Mataram, salah satu perusahaan iklan luar ruang terbesar di Yogyakarta, dan Komisaris Utama Jogja TV.[32] Contoh lainnya misal pada tahun 2004, Sultan Hamengkubuwono X membangun sebuah pusat perbelanjaan besar dengan menghapus sebuah sekolah dasar dan situs budaya  serta meningkatkan beragam bentuk proyek bisnis termasuk proyek pertambangan.[33] Salah satu bisnis penting keluarga keraton Yogyakarta adalah perusahaan tambang pasir besi PT Jogya Magasa Mining (JMM) di Kulonprogo.
                Sementara, reorganisasi kekuasaan politik dilakukan dengan menerbitkan Undang-undang Keistimewaan Yogyakarta (UU Keistimewaan Yogyakarta) yang salah satu di dalamnya mengatur hak politik untuk menunjuk keturunan Kesultanan sebagai satu-satunya gubernur di Yogyakarta tanpa adanya pemilihan kepala daerah dan juga untuk menyelesaikan tuntutan hukum terhadap tanah Kesultanan.[34] Legalisasi Tanah Kesultanan diatur melalui UU Keistimewaan Yogyakarta yang sudah berkali-kali ditekankan oleh Sultan Hamengkubuwono X.
                Persetujuan parlemen nasional atas Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta (UU Keistimewaan Yogyakarta) telah memberikan hak secara legal bagi kesultanan untuk mengklaim dan mencabut hak milik tanah misalnya seperti yang telah terjadi di tanah pesisir yang telah dikelola oleh petani selama bertahun-tahun di Kulon Progo. Kesultanan mengklaim hak milik atas tanah yang dikelola petani tersebut. Padahal, sebelumnya tidak ada tanda-tanda keberatan atau adanya kepentingan dari kesultanan sebelum munculnya proyek penambangan pasir yang akan dibahas lebih jauh dalam tulisan ini untuk melihat reorganisasi kekuatan ekonomi yang terjadi.
                Sama seperti era-era sebelumnya, pada era reformasi pun tercipta suatu pemerintahan yang menyalahgunakan kekuasaannya untuk mendapatkan keuntungan pribadi yang sebesar-besarnya dengan mengabaikan kepentingan rakyat yang sesungguhnya. Lebih jauh, melalui paparan di atas dapat dilihat secara keseluruhan bahwa secara historis kekuatan ekonomi yang dimiliki oleh keraton pada era reformasi bukan merupakan hal yang baru melainkan merupakan sebuah sejarah yang panjang. Hanya saja dinamika politik dalam negeri telah mentransformasi bentuk dari kekuatan ekonomi tersebut.

Keraton Yogyakarta: Kekuatan Ekonomi Oligarki dan Predatoris
Setelah kita tahu bagaimana trasfromasi keraton menjadi kekuatan ekonomi di Yogyakarta, maka kita dapat menganalisa bagaimana bentuk dan karakter keraton tersebut sebagai kekuatan ekonomi di sana. Pada kasus ini, penulis menempatkan keraton sebagai kekuatan ekonomi yang, mau tidak mau, harus diletakan dalam kerangka feodal yang masih bertahan hingga saat ini. Karakter feodal tersebut berhubungan dengan statusnya yang merupakan peninggalan kerajaan Jawa yang masih eksis hingga sekarang. Bahkan eksistensi feodal ini telah melampaui demokrasi yang sedang diterapkan di Indonesia dengan perlindungan status “keistimewaan”.[35]
            Bentuk kekuatan ekonomi yang diperankan oleh keraton Yogyakarta sebagai pemain utama pada kasus ini, atau secara umum di Yogyakarta, sangat mirip dengan karakter Oligarki. Dengan itu, maka elit keraton (baca: Sultan dan keluarganya) dapat dilihat sebagai Oligark. Sebagaimana yang ditulis di atas, Oligark menurut Winters dapat kita identifikasi sebagai “pelaku yang menguasai dan mengendalikan konsentrasi besar sumber daya material yang bisa digunakan untuk mempertahankan atau meningkatkan kekayaan pribadi dan posisi sosial ekslusifnya”[36] Namun, dalam Oligarki, hal yang sangat penting untuk diperhatikan berkaitan dengan karakternya adalah basis kekuasaan yang berdasarkan pada kekayaan/ Sehingga, dasar konseptual dari Oligarki terletak pada kekayaan pribadi yang dimiliki oleh segelintir orang. Kekayaan tersebut membuat Oligark memiliki sumber daya material yang sangat timpang dengan mayoritas penduduk lainnya, yang kemudian mewujud dalam ketimpangan pengaruh dan kekuasaan politik. Sehingga dengan kekayaannya itu, ia bisa menjadi kelompok politik yang berkuasa secara signifikan dalam suatu wilayah.   
Sebagai sebuah Oligarki, yang tentunya bertautan dengan polanya yang masih feodal, sumber daya material yang dimiliki Keraton, dan terkonsentrasi padanya, berwujud pada kepemilikan tanah. Tanah ini menjadi sumber daya material yang kemudian mendatangkan kekayaan untuk diakumulasi dalam kepentingan pribadinya. Tanah yang dimiliki Keraton ini disebut Sultaanat Ground (SG) dan Pakualamanaat Ground (PAG). Sebagaimana dicatat oleh Anderson dan Case dalam Dian Yunardi, peran kekuasaan lokal yang memiliki akses dan kontrol atas tanah, adalah penting dalam menentukan arah perubahan agraria dan bagaimana tanah dijadikan untuk akumulasi kekayaan sehingga dapat diubah menjadi bidang lain seperti sebagai kekuatan politik dan kekuatan budaya.[37]
Luas tanah yang dikuasai ini sangat besar dengan membentang di seluruh Propinsi Yogyakarta. Data luas SG dan PAG yang dikeluarkan oleh Pemerintahan Propinsi Yogyakarta pada tahun 2005 lebih dari 6000 Ha. Sedangkan dalam data lainnya yang dirilis Himmah, lebih kecil dari itu yaitu 3778 Ha.[38] Tanah SG kini terkonsentrasi di Yogyakarta, Bantul dan Sleman. Sedangkan, PAG banyak di Kulon Progo.[39] Jumlah tanah tersebut, seperti telah dijelaskan sebelumnya, merupakan kepemilikan yang dimiliki turun temurun dari perjanjian Giyanti tahun 1755. Bentangan SG dan PAG di DIY bisa luas tersebut, sebab berdasarkan Rijksblad Kasultanan No. 16/1918 dan Rijksblad Kadipaten No. 18/1918, semua tanah yang tidak dapat dibuktikan merupakan hak eigendom (hak milik) orang lain, otomatis menjadi milik kesultanan dan kadipaten. [40]
Kedua jenis tanah tersebut menjadi alat untuk akumulasi kekayaan keraton yang dilakukan dengan memanfaatkan tanah-tanah tersebut dalam kegiatan ekonomi, misal usaha pertanian, pariwisata, hotel, mall, dan sebagainya. Dari tanah tersebut, keraton kemudian memiliki saham pada beberapa usaha yang didirikan di atas tanahnya, seperti Hotel Ambarukmo, Ambarukmo Plaza, Saphier Square, dan padang golf Merapi.[41] Selain itu, tanah SG dan PAG menjadi modal bisnis dan sosial, bagi keluarga keraton, seperti Adik Sultan yang paling menonjol adalah GBPH Prabukusumo. Ia direktur utama PT Karka Adisatya Mataram, salah satu perusahaan iklan luar ruang terbesar di Yogyakarta, dan Komisaris Utama Jogja TV.[42] Namun, sebenarnya Puteri sulung Sri Sultan, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Pembayun, yang paling aktif memanfaatkan tanah keraton warisan Perjanjian Giyanti 1755 itu. Selain memimpin pabrik gula Madukismo, ia mendirekturi pabrik rokok kretek berlabel Kraton Dalem yang punya kebun tembakau sendiri di Ganjuran, Bantul; budidaya ulat sutera PT Yarsilk Gora Mahottama di Desa Karangtengah, Kecamatan Imogiri, Bantul; serta tambak udang PT Indokor Bangun Desa di pantai Kuwaru, Bantul.[43]  
Namun, sebagaimana disebutkan di atas, dari beberapa kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh keraton tersebut, penambangan pasir besi di Kulon Progo tetaplah primadona. Hal itu dikarenakan nilainya yang besar bila dibandingkan dengan kegiatan bisnis lainnya. Hal itu yang membuat Keraton sangat bernafsu untuk menguasai lahan seluas 3000 Ha yang ada di pesisir selatan Kulon Progo tersebut. Untuk memuluskan itu, keraton menggunakan klaim SG dan PAG pada lahan pertambangan tersebut, yang menurutnya masih sah secara hukum milik keraton. Tanah SG dan PAG di kabupaten Kulon Progo, menurut Himmah, seluas 8.374.928 meter persegi.[44] Sejumlah tanah tersebut diklaim masuk dalam proyek pasir besi. Menurut Pemerintah DIY, yang juga keraton Jogja, 80% tanah yang masuk dalam proyek tambang pasir besi itu adalah PAG, artinya hampir seluas 2400 Ha diklaim milik Keraton.[45]
Padahal sebenarnya di wilayah tersebut banyak tanah yang sudah dilegalisasi dengan sertifikasi tanah oleh petani. Hal itu berdasarkan peraturan UU 5/1960 tentang Pokok Agraria dimana setiap tanah tak bertuan yang sudah diduduki selama 20 tahun lebih, maka dimungkinkan untuk dilakukan sertifikasi hak milik. Adapun dalam Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 1954, di mana pasal 10 mengatakan bahwa orang yang memakai tanah secara turun-temurun, (tanah itu) bisa dijadikan hak milik. Berdasarkan itu, lahan dalam proyek tersebut yang menjadi milik keraton hanya seluas 200 Ha, sisanya adalah milik petani dengan sertifikat yang dapat dibuktikan.[46] Meskipun demikian, keraton tetap mengklaim tanah itu sebagai bagian dari SG dan PAG miliknya, yang kemudian akan digunakan sebagai tambang.[47] Inilah yang menjadi sumber konflik di Kulon Progo. 
Terkonsentrasinya tanah yang sangat luas pada keraton ini, sebagai implikasi kekuasaan feodal, menjadi sumberdaya material yang membuat keraton dapat menumpuk kekayaannya. Selain itu, kerajaan bisnis yang dikelola keluarga keraton turut menyumbangkan bagaimana kekayaan terakumulasi secara terpusat pada keraton. Dari itu kemudian keraton, selain sebagai kekuatan politik, juga menjadi kekuatan ekonomi di Yogyakarta. Keraton menjadi sebuah Oligarki lokal yang relasinya dapat menguasai politik dan sosial/kultural sekaligus. Dengan itu, maka bentuk kekuatan ekonomi dalam keraton dapat dikatakan sebagai sebuah Oligarki karena terkonsentrasinya kekayaan pada segelintir orang sehingga darinya ia memiliki kekuasaan politik yang besar. Penguasaan atas kekuasaan politik ini menjadi penting sebagai bagian dari pelanggengan kekuatan ekonomi.
Sebagaimana menurut Winters di atas bahwa Oligarki merujuk pada “politik pertahanan kekayaan oleh pelaku yang memiliki kekayaan material”[48], maka sebenarnya dinamika politik yang melibatkan keraton pada dasarnya berhubungan dengan konsep “pertahanan kekayaan” tersebut. Konsep pertahanan kekayaan itu terdiri dari pengamanan kekayaan yang terdiri dari pendapatan dan harta. Dinamika politik pertahanan yang dijalakan keraton, bila dibagi dalam dua periode terdekat, yaitu Orde Baru dan reformasi sedikit berbeda. Hal itu berhubungan dengan situasi dan kondisi politik yang berbeda pula. Menurut Dian Yunardi, pada masa Orde Baru kekuasaan power feodal sebagai penjaga kekayaan keraton tetap bertahan, bahkan melewati tantangan beberapa krisis. Hal itu karena Yogyakarta sebagai propinsi memiliki keistimewaan yang membuat Sultan sebagai Gubernur pula. Pasca itu, saat amandemen UUD 1945 dijalankan, dimana kekuasaan lebih terdesentralisasi dan mensyaratkan bahwa kepala daerah harus dipilih sebagai manifestasi demokratisasi lokal membuat kekuasaan Sultan sebagai penguasa politik menjadi terancam. Terbukti dari adanya perubahan sistem ini membuat profit dan kekayaan dari bisnis keraton menurun.[49] 
Untuk mengatasi itu, dan yang paling penting adalah untuk mempertahankan kekayaannya, menurut Dian Yunardi, keraton kemudian melakukan reorganisasi kekuasaan melalui ekonomi dan politik. Dalam hal ekonomi, keraton meningkatkan pemasukan melalui rekonsentrasi SG dan PAG, menghidupkan kembali bisnis-bisnis lama, dan komodifikasi aset dan property Sultan.[50] Kemudian, reorganisasi politik dijalankan dengan menghidupkan kembali wacana RUU keistimewaan Yogyakarta. UU ini kemudian disahkan menjadi UU KY pada 2012. Dalam UU tersebut, Sultan mendapatkan privilege untuk menjadi Gubernur seumur hidup dan tanpa pemilihan. Dengan begitu, kekayaan keraton tetap aman menjadi aset turun temurun keluarga keraton.
Dengan adanya UU tersebut, Sultan selain menjadi penguasa politik di Yogyakarta, juga sebagai pebisnis dengan memanfaatka jaringan kekayaan yang dimiliki keraton. Adaya UU KY kemudian  menjustifikasi salah satu kekayaan terbesar keraton, yaitu SG dan PAG kembali. Dan itu mengabaikan adanya UU PA tahun 1960. Dengan itu, SG dan PAG yang dulunya tidak ditempati orang, kemudian ditempati penduduk dan disertifikasi secara legal seperti di Kulon Progo, harus kembali menjadi SG dan PAG.
Kekuatan ekonomi keraton yang menjadi Oligark lokal dan berkelindan dengan kekuasaan politik membuatnya menjadi kekuasaan lokal yang predatoris. Vedi R Hadiz mengutip pendapat Peter Evans menyatakan bahwa kekuatan predatoris adalah pejabat publik (baik individu atau mengacu pada bentuk korporatis) yang menguasai sumber daya negara untuk kepentingan pribadi dan/atau kerabatnya.[51] Sedangkan Wasisto Raharjo Jati, menyatakan bahwa karakteristik dari rezim predatoris tersebut adalah terjadinya hubungan klientelisme yakni perselingkuhan bisnis dan politik karena basis ekonomi yang lemah, penguasaan hasil tambang sumber daya alam yang dikuasai oleh segelintir elite, dan adanya politik intimidasi terhadap masyarakat yang mencoba melawan hegemoni dari rezim tersebut.[52] Kekuasan yang predatoris ini menjadi konsekuensi logis dari adanya konsep “pertahanan kakayaan”  dari oligark dan usaha untuk memperkaya diri sendiri dari elit lokal, yang sebenarnya juga sama yaitu keraton Yogyakarta.
Kasus tambang pasir besi ini secara nyata menunjukan bagaimana kekuatan predatoris lokal berpraktek. Relasi bisnis dan politik yang berpola patrimonial menjadi salah satu pijakannya. Dalam kasus tambang pasir besi ini, secara gamblang bahwa ditunjukan bagaimana pemerintah lokal Kulon Progo mendukung land grabbing yang dilakukan oleh Keraton daripada memenuhi tuntutan petani lahan pantai. Dukungan ini menujukan sumber daya yang banyak milik negara tidak teralokasikan untuk keperluan warga negara, tetapi masuk ke aparatus negara dan kerabatnya. Kepentingan bisnis menjadi lebih utama dari pada kepentingan warga.
            Hal tersebut dapat kita lihat dari bagaimana PT. JMI mendapatkan ijin penambangan. Untuk meneruskan proses pertambangan di wilayah Kulon Progo, segala bentuk perizinan dilakukan oleh PT. JMI agar mendapat legitimasi secara legal-formal untuk mengelola wilayah tersebut. Mengenai hal ini, Pemerintah Daerah melalui Bupati mengenluarkan Surat Keputusan Bupati Nomor 140/2010 tertanggal 11 Mei 2010 yang berisi tentang pemberian izin pemanfaatan ruang wilayah pantai selatan seluas 2.987 hektar untuk penambangan pasir besi dan mineral pengikutnya kepada PT JMI.[53] Akan tetapi, surat keputusan yang dikeluarkan oleh Bupati tersebut kemudian ditentang oleh berbagai kalangan.
            Hal tersebut terjadi karena surat keputusan yang dikeluarkan oleh Bupati tersebut bertentangan dengan aturan-aturan lain yang turut berhubungan dengan kasus pertambangan ini. Pertama, pemberian izin tambang PT. JMI yang diberikan oleh Pemerintah Daerah ini bertentangan dengan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) 2003-2013.[54] Di dalam RTRW 2003-2013 disebutkan bahwa wilayah pesisir pantai selatan hanya diperuntukkan bagi perikanan dan pertanian. Selain itu, pasir besi juga tidak masuk dalam delapan jenis pertambangan yang ada dalam Perda RTRW tersebut
Kedua, pelanggaran RTRW tersebut kemudian berimplikasi ada pelanggaran UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Tata Ruang.[55] Dalam pasal 37 ayat 7 dalam UU tersebut disebutkan bahwa setiap pejabat pemerintah yang berwenang menerbitkan izin pemanfaatan ruang dilarang menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang. Dan, ketiga, penerbitan izin ini pun telah menyalahi prosedur baku yang ada[56]. Dokumen AMDAL dibuat justru setelah klausul dan kontrak karya ditandatangani padahal seharusnya dokumen AMDAL dijadikan landasan dalam pembuatan klausul dalam kontrak karya yang nantinya akan dibuat.
            Karena ketidakjelasan proses perijinan tersebut, PPLP (Petani Penggarap Lahan Pantai) melaporkan adanya dugaan tindak korupsi dalam kasus tersebut. PPLP memandang kegiatan penambangan tersebut penuh kejanggalan dan sudah semestinya diselidiki karena telah merugikan warga. Tuntutan PPLP kepada sejumlah instansi tersebut yakni penyelidikan atas proses pembebasan lahan dan dampak yang timbul dari keberadaan pabrik pengolahan pasir besi JMI. Kejanggalan, lanjut Widodo, terdapat dalam beberapa pasal perjanjian tersebut. Di antaranya pada pasal tentang partisipasi pengamanan lokasi pembangunan pabrik JMI di Karangwuni, Wates, terkandung unsur paksaan pada warga yang dapat memicu konflik horizontal dan pelanggaran atas keterbukaan informasi publik mengenai isi perjanjian.[57]
            Kemudian, pada kasus tambang pasir besi di Kulon Progo ini kita bisa lihat bahwa jaringan kekuatan ekonomi Orde Baru bekerja sama dengan kekuasaan lokal yang predatoris berusaha mendapatkan sumber daya alam. Vedi R Hadiz, dalam tulisannya , menunjukan bahwa pasca Orde Baru, kekuatan Oligark nasional yang dibesarkannya tidak mati. Dengan melewati perubahan institusional yang ada, ia kemudian membangun jaringan patronase baru yang terdesentralisasi.[58] Hal ini mengikuti bagaimana kewenangan pusat saat ini yang banyak dialihkan ke lokal. Kita bisa sebut bagaimana pembelian saham Indo Mines Limited oleh Peter Gontha menunjukan demikian. Sebagaimana kita tahu, Peter Gontha ini adalah pemilik Rajawali Group yang dulunya dibesarkan dibawah jaringan patronase Bambang Triatmodjo. Dengan adannya kerjasama melalui perusahaan milik keraton, Oligark nasional lama ini kembali bercokol dan menguasai bisnis pasir besi di Yogyakarta. 
Berikutnya, contoh paling vulgar dari adanya praktek kekuasan yang predatoris yang diinisiasi keraton adalah penyerangan yang dilakukan oleh kubu yang diduga pro pada penambangan. Pada 27 Oktober 2008, ratusan orang tak dikenal menyerbu Desa Garongan dan Karangwuni di kawasan pesisir selatan Kulonprogo. Dua desa itu dikenal sebagai basis penentang rencana penambangan pasir besi oleh PT Jogja Magasa Mining (JMM). Menurut penilaian warga, penyerbuan itu merupakan upaya untuk mengalihkan isu penentangan rencana penambangan pasir ke masalah konflik antar warga. Muncul desas-desus akan ada serangan susulan.[59]   
Karakter kekuasaan lokal yang predatoris digambarkan serupa oleh Vedi R Hadiz pada risetnya di Sumatera Utara mengenai politik lokal dan preman yang umumnya saat ini kekuasaan lokal dikuasai oleh preman yang dulunya berkuasa atau menjadi operator lokal saat Orde Baru. Selain menjadi aktor politik, mereka juga bisa memobilisasi aktor kekerasan lokal (baca; para militer atau preman).[60] Karakter penggunaan kekerasan yang mengiringi proses politik ini yang menjadi salah satu ciri bagaimana kekuasaan predatoris berjalan di tingkat lokal. Karakter seperti itulah yang terjadi di Kulon Progo.
Demikian rangkaian paparan mengenai bentuk dan karakter kekuatan ekonomi yang dijalankan oleh keraton Yogyakarta. Pada akhirnya penulis di sini melihat bahwa praktek Oligarki yang berkelindan dengan politik, kemudian menghasilkan kekuasaan yang bersifat predatoris. Hal tersebut yang menurut penulis menjadi bentuk dan karakter kekuatan ekonomi keraton Yogyakarta pada kasus tambang pasir besi di Kulon Progo ini. Bentuk dan karakter ekonomi dari keraton Yogyakarta ini yang jarang diulas dalam kajian ekonomi-politik lokal pada kasus tambang pasir besi di Kulon Progo.
 
Kesimpulan
                Dengan argumentasi di atas, penulis menyimpulkan bahwa keraton memang menjadi kekuatan ekonomi di tingkat lokal. Dengan menelusuri dari kasus ini, penulis mendapatkan kesimpulan bahwa keraton merupakan kekuatan ekonomi yang berbentuk Oligarki yang ada di tingkat lokal sejak dulu, tepatnya jaman kolonial dan bertransfromasi hingga saat ini. Sumber daya material yang menjadi sumber kekayaannya berasal dari tanah yang dimilikinya. Hal ini tidak terlepas dari karakter feodal yang melekat pada dirinya. Dengan modal tanah yang dinamakan SG dan PAG tersebut, keraton menjadi Oligarki lokal yang menguasai politik dan budaya. Dengan menguasai politik, yang diartikulasikan dalam bentuk pengangkatan Gubernur seumur hidup dan turun temurun, maka sumber kekayyaan tersebut tetap terkendali dibawah  kekuasaan keraton. Hal itu merupakan strategi pertahanan dari Oligark untuk melestarikan harta dan pendapatannya. Di sisi lain, karena ia menjadi kekuatan ekonomi sekaligus penuasa politik, maka karakter yag terjadi dalam pemerintah lokal lebih bersifat predatoris. Hal itu merupakan sebuah konsekuensi logis dari pertautan Oligarki dengan politik. Oleh karena itu, bisa dilihat dari kasus tambang pasir besi ini, kebijakan pemrintah lokal lebih memihak pada kepentingan bisnis daripada petani secara luas. Hal tersebut kemudian secara telanjang diimplementasikan dalam UU KY yang disahkan pada tahun 2012. Demikian kesimpulan kami, semoga dapat memberikan pengetahuan baru bagi kita semua. Semoga bermanfaat.      


*Disampaiakan dalam persentasi Mata Kuliah Kekuatan-Kekuatan Politik Indonesia oleh
Algadri Muhammad; Daya Cipta S; Dicky Dwi Ananta; Febri Angelia Saragih; Rayhan Rahman
[1]“Petani Tukijo Ditangkap Polisi Digugat” diunduh dari http://regional.kompas.com/read/2011/05/09/18503934/Petani.Tukijo.Ditangkap..Polisi.Digugat diakses pada 7 Mei 2014 pukul 20.14 WIB 
[2] Lihat Richard Robison and Vedi R Hadiz, Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Market Age, (London and New York: Routledge Curzon, 2004)
[3]  Jeffrey A. Winters, “Oligarki, terj.”, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), hlm. 1
[4] Ibid., hlm. 4
[5] Ibid. hlm. 8
[6] Ibid. hlm. 9
[7] Ibid. hlm 10
[8] Ibid. hlm.15
[9] Vedi R Hadiz, Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Paca Soeharto, (Jakarta: LP3ES, 2005), hlm. 201 
[10] Peter Evans, “Predatory, Developmental, and Other Apparatuses: A Comparative Political Economy Perspective on the Third World State”, Sociological Forum, Vol. 4, No. 4, Special Issue: Comparative National Development: Theory and Facts for the 1990s. (Dec., 1989), pp. 567
[11] Wasisto Raharjo Jati, “Predatory Regime Dalam Ranah Lokal: Konflik Pasir Besi di Kab. Kulon Progo”, Jurnal Demokrasi dan HAM Vol. 10, 2013 hal.94
[12] Ibid.hal.98
[13] “Sejarah Perusahaan PT. JMI”, diunduh dari http://jmi.co.id/id/his.htmldiakses pada 27 April 2014 pukul 13.03
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[16] AB. Widyanta, Konflik Mega Proyek Tambang Pasir Besi Kulon Progo (Anatomi, Eskalasi, dan Resolusinya), Makalh tidak diterbitkan, tanpa tahun.  
[17] AB.Widyanta, ibid.  hlm..5
[18] Anugerah Perkasa, ”Jejak Hitam Keraton di Kulon Progo”, diunduh dari http://indoprogress.com/2014/04/jejak-hitam-keraton-di-kulonprogo/ diakses pada 2 Mei 2014 pukul 16.30 WIB
[19] Ibid.
[20] Kerajaan Mataram terlibat dalam konflik perang saudara yang kemudian diselesaikan dengan membagi daerah kerajaan menjadi dua yakni Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Lih M. C. Ricklefs dalam Ahmad Nashih Luthfi, dkk, Keistimewaan Yogyakarta yang Diingat dan yang Dilupakan. (Yogyakarta: Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, 2009), hlm 50.
[21] Soedarisman Poerwokoesoemo dalam Ahmad Nashih Luthfi, dkk. Ibid., hlm 50-51.
[22] Lih Vincent J. H. Houben, Keraton dan Kompeni: Surakarta dan Yogyakarta 1830–
1870, (Yogyakarta: Bentang, 1994).
[23] Ahmad Nashih Luthfi, dkk. Op.cit.
[24] Vincent J. H. Houben, Op.cit.
[25] Nuraini Setiawati dalam Ahmad Nashih, dkk. Op.cit., hlm 159.
[26] Ibid., hlm 160.
[27] Ibid., hlm 175-176.
[28] Ibid.,
[29] Dian Yanuardi, Commoning, Dispossession Projects and Resistance: A Land Dispossession Project for Sand Iron Mining in Yogyakarta, Indonesia, hlm 17. Makalah disampaikan dalam International Conference on Global Land Grabbing II pada 17-19 Oktober 2012. (Organized by the Land Deals Politics Initiative (LDPI) and hosted by the Department of Development Sociology at Cornell University, Ithaca, NY).
[30] Ibid.,
[31]George Junus Aditjondro. SG dan PAG, Penumpang Gelap RUUK Yogyakarta. Harian sore Sinar Harapan, 31 Januari 2011. Diakses melalui http://indoprogress.com/2011/02/sg-dan-pag-penumpang-gelap-ruuk-yogyakarta/ pada 2 Mei pukul 21.36 WIB.
[32] Ibid.,
[33] Dian Yanuardi. Op.Cit.,
[34] Ibid., hlm 17-18.
[35] Kasus Keistimewaan ini menjadikan Gubernur Yogyakarta tidak dipih secara mekanisme demokratis pada umumnya. Gubernur adalah Sultan yang ditetapkan. Inilah yang saya maksudkan dengan feodalisme melampaui demokrasi. 
[36] Winters, op.cit, hlm.8
[37] Benedict Anderson dan William Case dalam Dian Yanuardi, op.cit. hlm. 14
[38] Dian Yanuardi, ibid. hlm. 15-16
[39] Geoge Junus Aditjondro, op.cit.
[40] Ibid.
[41] Ibid.
[42] Ibid.
[43] Ibid.
[44] Dian Yanuardi, op.cit. hlm. 16
[45] Ibid. hlm. 14
[46] Wasisto Raharjo Jati, op.cit. hlm. 107
[47] Wawancara dengan Ferdhi Putra, Pegiat Tolak Tambang Kulon Progo, 5 Mei 2014
[48] Winters, op.cit, hlm.10
[49] Dian Yanuardi, op.cit. hlm. 17
[50] Ibid.
[51] Vedi R Hadiz, loc.cit.
[52] Wasisto, op.cit. hlm. 92
[53]Walhi Laporkan Bupati Kulon Progo  KOMPAS – Selasa, 28 Desember 2010
[54] Ibid.
[55] Ibid.
[56]“Mengurai Konflik Tambang Pasir Besi Kulon Progo” diunduh dari http://www.map.ugm.ac.id/index.php/profil/184-mengurai-konflik-tambang-pasir-besi-kulon-progo diakses pada  23 April 2014 pukul 20.00 WIB
[57] “PPLP KUlon Progo SUrati KPK terkait Kejanggalan Penambangan Pasir” diunduh dari   http://www.tribunnews.com/regional/2014/03/25/pplp-kulonprogo-surati-kpk-terkait-kejanggalan-penambangan-pasir-besi diakses pada 2 Mei 2014 pukul 13. 00 WIB
[58] Vedi R Hadiz, op.cit. hlm. 244
[59] AB. Widyanta, op.cit. hlm. 4
[60] Lihat Vedi R Hadiz, “Kekuasaan dan Politik di Sumatera Utara: Reformasi yag Tidak Tuntas”, dalam Dinamika, ibid. hlm.. 235-253

Tidak ada komentar:

Posting Komentar