oleh Alpiadi Prawiraningrat
Pembangunan
fasilitas
umum, misalnya bandar udara pasti ada konsekuensinya. Tidak hanya membutuhkan
biaya besar, tetapi yang sering terjadi selama ini masalah tanah.
Kadang-kadang status kepemilikan tanah tidak dipersoalkan ketika fasilitas umum
yang dibangun sedang dikerjakan, tetapi setelah cukup lama ketika fasilitas
umum yang dibangun sudah dimanfaatkan, ada elemen masyarakat yang menggugat
status kepemilikan lahan dengan alasan belum ada ganti rugi dari pemerintah
atau instansi yang telah memanfaatkan lahan tersebut.
Salah satu contoh untuk masalah
tersebut adalah kasus di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), yang mana puncak
kejadianya adalah pendudukan Bandara El Tari di Kupang oleh ratusan warga dari
enam suku yang datang berbondong menuju Bandara El Tari Kupang pasa Selasa 17
Januari 2011. Peristiwa ini disinyalir
sebagai buntut dari tuntutan warga yang menuding TNI AU mencaplok lahan seluas
540 hektare milik mereka untuk pembangunan Bandara El Tari Kupang. Lahan itu
mereka klaim sebagai tanah ulayat. Akibat aksi pendudukan ini, puluhan
penumpang di bandara sempat tertahan di depan pintu masuk pada pagi hari.
Permasalahan tersebut memiliki
keterkaitan adat yang mengikat tanah sengketa seluas 540 hektare tersebut. Keterkaitan adat tersebut muncul dengan
adanya klaim bahwa tanah tersebut adalah tanah ulayat. Tanah ulayat sendiri adalah suatu bidang tanah yang padanya melengket hak
ulayat dari suatu persekutuan hukum adat.
Hak ulayat tersebut menurut Surojo Wignjodipuro merupakan hak persekutuan atas
tanah disebut juga hak pertuanan. Hak ini oleh Van Vollenhoven disebut
‘beschikkingsrecht’. beschickkingsrecht’
itu sendiri menggambarkan tentang hubungan antara persekutuan dan tanah itu
sendiri. Kini lazimnya dipergunakan istilah ‘hak ulayat’ sebagai terjemahannya
‘beschikkingsrecht’. Istilah-istilah daerah yang berarti lingkungan kekuasaan,
wilayah kekuasaan ataupun tanah yang merupakan wilayah yang dikuasai
persekutuan.
Sebagai
hak dari suatu persekutuan, hak ulayat itu merupakan hak yang terletak di
lapangan hukum publik yang berisi :
1.
kekuasaan
persekutuan untuk mengurus dan mengatur peruntukan, persediaan dan
pencadangan semua bidang-bidang tanah
dalam wilayah persekutuan (kewenangan menetapkan masterplan);
2.
kekuasaan
persekutuan untuk mengurus dan menentukan hubungan hukum antara warga
persekutuan dengan bidang tanah tertentu dalam wilayah persekutuan (kewenangan
pemberian izin / hak atas tanah).
3.
kekuasaan
persekutuan untuk mengurus dan mengatur hubungan hukum antar warga persekutuan
atau antara warga persekutuan dengan orang luar persekutuan berkenaan dengan
bidang-bidang tanah dalam wilayah persekutuan (izin-izin transaksi yang
berhubungan dengan tanah).
Di samping
keterkaitan adat, adanya pihak yang merasa dirugikan serta tidak puas atas tanggapan yang
menyebabkan kerugian terhadap
pihak bersangkutan seperti yang diungkapkan oleh Salah satu kepala suku yang
turut dalam aksi itu, Samuel Saba'at mengatakan lahan mereka dicaplok TNI AU
dengan dasar sertifikat tanah dikeluarkan Badan Pertanahan Kota Kupang tahun
1992. Parahnya, Samuel mengklaim, surat itu dikeluarkan tanpa sepengetahuan
enam kepala suku, sehingga memicu amarah karena merasa tidak dihormatinya hukum
adat wilayah setempat.
Keadaan
semakin diperparah dengan kekukuhan yang diungkapkan oleh pihak TNI AU dengan
melakukan bantahan terhadap tudingan masyarakat adat setempat. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Komandan
Pangkalan Udara TNI Angkatan Udara Kupang, Letnan Kolonel Navigasi Joko
Winarko, yang dihubungi di Kupang membantah tudingan warga.
Bantahan serupa juga datang dari Kepala Dinas Penerangan TNI AU, Marsekal Pertama Asman Yunus. Menurut dia, pembangunan Lanud El Tari menggunakan dokumen-dokumen yang sah.
Bantahan serupa juga datang dari Kepala Dinas Penerangan TNI AU, Marsekal Pertama Asman Yunus. Menurut dia, pembangunan Lanud El Tari menggunakan dokumen-dokumen yang sah.
Permasalahan ini harus segera di
selesaikan, karena menimbulkan berbagai kerugian. Selain kenyamanan tranportasi penerbangan di
bandara yang terganggu, jauh lebih kuas dikhawatitrkan jika masalah ini terus
dibiarkan akan berdampak sangat negatif terhadap tidak hanay integrasi sosial masyarakat
setempat melainkan kesatuan dan persatuan bangsaIndonesia atau integrasi
nasional. Sehingga perlulah upaya-upaya
nyata dan tegas untuk menaggulangi permasalahan sengketa tersebut
salah satu jalan yang dapat dietmpuh
adalah melalui jalur non litigasi yang merupakan mekanisme penyelesaian
sengketa diluar pengadilan. Hal ini dikarenakan situasi masyarakt yang
tengah dihadapi adalah masyarakat yang notabenya adalah golongan tradisional
dengan kepercayaan terhadap adat yang sangat kuat. Sehingga diperlukan strategi diplomasi yang
tpat sehingga masyarakat tersebut merasa tidak dirugikan.
Upaya
non ligitasi tersebut dapat dilakukan dengan beberapa cara diantaranyta negosiasi,
mediasi atau konsiliasi.
Ketiga cara tersebut dipilih dikarenakan memungkinkan kedua belah pihak
untuk duduk bersama dan saling bermusyawarah sehingga diperoleh suatu
kesepakatan bersama di antara kedua belah pihak.
Namun,
saya menilai bahwa upaya yang paling tepat adalah dengan melakukan mediasi di
antara kedua belah pihak, baik dari TNI AU sendiri serta masyarakat adat
setempat. Mediasi adalah suatu proses
penyelesaian sengketa secara pribadi, informal dimana seorang pihak yang netral
yaitu mediator, membantu para pihak yang bersengketa untuk mencapai suatu
kesepakatan umum melalui kompromi dan saling memberikan kelonggaran di mana mediatorlah sebagai
penengahnya.
Mediasi
dipilih sebgai upaya untuk meminimalisir hal atau perilaku negatif yang mungkin
muncul pada saat proses negosiasi yang diakbitakan ketegangan di antara
keduabelah pihak. Melalui mediasi para pihak yang
bersengketa baik
masyarakat adat dan TNI AU dapat melakukan suatu proses penjajakan
kembali akan hak dan kewajiban para pihak dengan/melalui suatu situasi yang
saling menguntungkan (win-win solution)
dengan memberikan atau melepaskan kelonggaran atas hak-hak tertentu berdasarkan
asas timbal balik
dengan bantuan mediator yang netral tentunya untuk
mengindentifikasikan isu-isu yang dipersengketakan mencapai kesepakatan.
Sehingga baik dari pihak TNI AU dan masyarakat adat tidak merasa
dirugikan dan kewajiban serta hak masing-masing pihak saling terpenuhi.
Persetujuan atau kesepakatan yang telah dicapai tersebut
dituangkan secara tertulis untuk ditandatangani oleh para pihak dan
dilaksanakan sebagaimana mestinya. Kesepakatan tertulis tersebut bersifat final
dan mengikat para pihak dan wajib didaftarkan di pengadilan negeri dalam jangka
waktu 30 hari terhitung sejak tanggal dicapainya kesepakatan.
Selain itu, sebaiknya pemerintah daerah
dan instansi terkait terlebih dahulu membereskan status kepemilikan tanah
dengan para pemilik tanah di kawasan sengketa tersebut. Jika duduk bersama
masyarakat pemilik lahan dan tokoh masyarakat untuk membicarakan ganti rugi
tanah di lokasi bandara tidak dilakukan oleh pemerintah daerah, akan terjadi
persoalan yang mungkin dapat lebih mengkhawatirkan.
Pemberian secara jelas mengenai status
kepemilikan tanah yang dilakukan pemerintah dibeberapa wilayah di Indonesia
setidaknya dapat meminimalisisr konflik yang dapat muncul dari persoalan tersebut. Semakin terminalisisrnya konflik tersebut
diharapkan akan dapat menjaga keamanan dan integrasi sosial maupun nasional
bangsa Indonesia. Selebihnya upaya
seperti negosiasi, konsiliasi ataupun mediasi, hanyalah sebgai upaya bahwa masyarakat
Indonesia masihlah menjunjung musyawarah dan mufakat sebagai solusi terbaik
untuk menyelesaikan permasalahan dibandingkan dengan pertarungan fisik yang
justru dapat menyebabkan kerugian fisik maupun jiwa. Semua upaya ini tidak lain hanyalah sebagai
usaha dalam mempertahankan integrasi nasional bangsa Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar