oleh Alpiadi Prawiraningrat
Apa yang ditulis oleh Mikaela Nyman “The Challenges of Civil Society Of
The Post Suhrto Era” mengenai berbagai tantangan dan perubahan yang harus
dialami oleh masyarakat sispil di Indonesia setelah rubuhnya rezim Suharto
menarik untuk diperhatikan. Mengawali
tulisannya Mikaela mencoba memaparkan terutama dalam bukunya yaitu “The Challenges of Civil Society Of
The Reformasi” bahwa isu mengenai civil society merupakan isu
yang cukup menarik dan cukup sulit dipahami oleh seorang peneliti. Hal ini berkaitan dengan pemahaman akan
pendefinisian masyarakat sendiri, dan bagiamana memilih dan membatasi objek yang menjadi analisis civil society. Dalam tulisan ini, Mikaela Nyman memfokuskan analisisnya terhadap
masyarakat sipil Indonesia stelah kejatuhan
rezim orde baru tahun 1998 menuju pemerintahan demokratis. Secara khusus, Nyman berfokus
pada tiga gerakan sosial yang dilakukan oleh sekelompok golongan yang dinilai
memiliki peran yang sangat penting baik dalam fase akhir dari rezim otoriter maupun ketika
angin segar demokrasi muncul. Tiga kelompok
tersebut adalah mahasiswa, tenaga kerja atau buruh dan wanita.
Terdapat sebuah pemikiran menarik
yang ditulis oleh Mikalea Nyman bahwa gerakan masyarakat sipil yang
terjadi yang jauh dari menyatu dikarenakan keberagaman
serta fragmentasi dari gerakan demokrasi Indonesia dan kegagalannya untuk
mencapai reformasi di Indonesia pada saat menjelang
reformasi sebetulnya bukan hanya merupakan kelemahan semata, melainkan substansi dan aset yang paling penting. Pendapat Mikalea Nyman ini didasarkan kepada ketidakjelasaan tuntutan utama
dari gerakan mahasiswa agar Soeharto turun dari jabatannya sebagai presiden,
dan tuntutan reformasi, tanpa memberikan makna yang jelas terhadap arti dari
reformasi itu sendiri.
Namun, sejalan dengan
teori gerakan sosial, yang berargumentasi bahwa ‘terfragmentasi dan terpecah
belah’ belum tentu menyiratkan ‘lemah’, yang didasarkan pada tindakan berbagai aktor-aktor politik,
organisasi, pendukung serta simpatisan disatukan di bawah panggilan umum untuk
reformasi dan perubahan, mereka tetap mempertahankan agenda serta tujuan mereka
pribadi yang berbeda-beda. Tindakan yang
dilakukan Para mahasiswa, yaitu memobilisasikan
massa tanpa melihat pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut strategi dan taktik
dalam upaya penggulingan rezim otoriter telah berhasil. Dikarenakan sejak tahun 1996, mobilisasi yang
berasal dari rakyat (grassroots
mobilization) telah memberikan ancaman terhadap kepemimpinan politik,
selagi meningkatkan kesadaran di antara masyarakat. Meskipun muncul kritikan bahwa mahasiswa
kurang mengambil kesempatan untuk mendapatkan kekuatan politik yang
institusional, serta gerakan yang dilakukan kurang radikal untuk membuat
perubahan. Namun, upaya tersebut telah menunjukan kekuatan dari
gerakan-gerakan sosial yang tersebar dan membuat mereka semakin sulit untuk
ditaklukkan oleh suatu pemerintahan yang otoriter.
Anggapan bahwa gerakan-gerakan
sosial dalam civil society sering
memiliki karakteristik moralitas dan berpegang pada nilai-nilai. Seperti
gerakan tahun 1998 dan kritikan bahwa gerakan tersebut kurang mengambil
kesempatan untuk mendapatkan kekuatan politik yang institusional, serta gerakan
yang dilakukan kurang radikal untuk membuat perubahan. Mikalea Nyman berpendapat, perlunya memperhatikan
dari segi aspek perubahan dan bagaimana mengukur ‘kesuksesan’ dari gerakan
tersebut. Bahkan ketika gerakan-gerakan sosial tidak ‘berhasil’ dalam artian
melaksanakan tujuan-tujuan yang utama dan resmi, mereka tetap menantang sistem
politik yang ada dengan sangat serius dan mengikis tatanan kekuasaan yang ada.
Dari aktivitas-aktivitas mereka sendiri, mereka merupakan pemicu untuk
perubahan sosial dan politik. Serta
membuka jalan untuk melakukan tata pemerintahan yang lebih baik.
Disamping itu, meskipun gerakan pro-demokrasi selalu
dikarakterisasikan sebagai “a movement
very much driven by reaction”[1] sehingga menyebabkan sulitnya untuk
kelompok-kelompok yang ada untuk bergabung dan merumuskan sebuah visi negara
yang satu setelah jatuhnya Soeharto. Terlebih dari itu, gerakan-gerakan sosial
tidak saling berkompetisi untuk kekuatan politik yang institusional, dan
menurut Mikaela Nyman, sering tidak memiliki landasan dan program-program yang
dirumuskan dengan jelas. Hal ini dapat sebagian menjelaskan mengenai persepsi
tentang adanya fragmentasi dari gerakan anti-Soeharto setelah reformasi.[2] Sehingga,
menurut Mikela Nymnan, bukan sifat atau peran dari gerakan-gerakan sosial yang
mendasari diri dengan dengan upaya implementasi
dan konsolidasi. Namun, Diperlukan sebuah masyarakat sipil yang mengambil
kendali adanya gerakan pro-demokrasi tahun 1998.
Ekspektasi masyarakat Indonesia dan dunia mengenai
perjuangan untuk mencapai demokratisasi di Indonesia sangatlah besar. Meskipun mengatur ekspektasi orang di tengah
kesulitan-kesulitan yang ada merupakan sesuatu yang sulit. Banyak terdapat
kritikan dan kekecewaan terhadap masyarakat sipil, baik secara internal maupun
eksternal. Hal tersebut terutama
ditujukan kepada tiga kelompok gerakan besar yaitu gerakan buruh dan wanita.
Salah
satu contoh dari kritikan ditujukan kepada gerakan buruh, yang dianggap gagal
untuk ikut hadir dalam gerakan 1998, serta kurang dapat muncul sebagai aktor
yang kuat dan jelas di masa-masa pasca-Soeharto. Pada tahun 1998, gerakan buruh
justru dihindari oleh para mahasiswa, karena dinilai bahwa gerakan buruh, petani, dan orang miskin
di kota hanya berdiri untuk kepentingan mereka sendiri dan perjuangan mereka
adalah perjuangan sosial-ekonomi. Sehingga gerakan mereka ditempatkan di luar
gerakan reformasi yang utama.[3] Begitpun dengan gerakan kaum wanita yang
dianggap selalu terpisah-pisah, dalam upaya membuat dampak yang signifikan
terhadap reformasi. Walaupun akhir-akhir ini, tidak dapat dipungkiri bahwa gerakan
wanita memberikan dampak yang cukup besar dalam memberikan pengaruh politik.
Mikaela
Nyman memberikan beberapa perspektif mengenai usaha-usaha demokratisasi di
Indonesia pasca-Orde Baru, termasuk pro
serta contra-nya. Demokratisasi
merupakan proses yang kompleks.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Samuel P. Hutington bahwa ada tiga
syarat demokratisasi, yaitu: (1)
Berakhirnya rezim otoriter; (2) Dibangunya rezim demokratisasi, fase ini
disebut tranisis demokrasi dan merupakan tahap penting, karena menentuka kea
rah mana demokrastisasi akan dibangun;
(3) Konsolidasi demokrasi.[4]
Dalam
usaha-usaha menuju demokratisasi di Indonesia, telah tercapai beberapa hal
termasuk pemilu di Indonesia menjadi lebih demokrasi; kebebasan pers dan asosiasi;
menghapuskan doktrin monoloyalitas (terhadap partai Golkar); presiden memiliki
tanggung jawab langsung terhadap rakyat yang memilihnya; menghilangkan
dwifungsi ABRI; adanya desentralisasi kekuasaan terhadap daerah-daerah;
undang-undang perburuhan yang baru; undang-undang finansial baru yang menjamin
peningkatan transparansi fiskal serta pengawasan; reformasi kepegawaian sipil;
didirikannya institusi-institusi independen seperi Mahkamah Konstitusi dan
Badan Pengawas Keuangan; dan melibatkan masyarakat sipil, media, serta
pengamat-pengamat internasional dalam berbagai proses pengawasan.
Namun,
masih terdapat beberapa kekurangan, antara lain kurangnya implementasi dari
instrumen-instrumen legal yang terdapat sekarang (seperti legislasi buruh atau
otonomi daerah di Papua serta Aceh) serta proses demokratisasi secara
keseluruhan. Momentum dari transisi antara Orde Baru dengan reformasi serta
hak-hak dan institusi-institusi pro-demokrasi telah dibajak, serta ruang gerak
masyarakat sipil dalam berpolitik dibatasi oleh kalangan elit politik sampai
pada pinggiran-pinggiran dari sistem politik. Nyman di sini menitikberatkan
bahwa hak-hak serta kebebasan yang dibutuhkan sebuah masyarakat sipil telah
berada pada posisi yang lebih baik apabila dibandingkan dengan hak-hak
sosial-ekonomi, penerapan hukum, keadilan, korupsi, representasi, pemerintahan
serta kendali atas angkatan bersenjata. Intinya, walaupun berbagai hak dan
kemajuan dalam hal demokratisasi telah tercapai setelah reformasi, termasuk
adanya pemilu tahun 2004 yang sekilas memberikan gambaran terciptanya atmosfir
demokrasi yang kondusif.
Nyman
mengutip dari Törnquist bahwa terdapat empat kesimpulan mengenai permasalahan
dan pilihan untuk sebuah demokrasi yang berbasis hak asasi manusia:[5]
1.
Terdapat
kebebasan-kebebasan dasar yang mendasar, namun terdapat kekurangan demokratik
dari hak-hak dan institusi-institusi yang lain, termasuk identifikasi
masyarakat dengan demo-demo nasional dan regional.
2.
Terdapat
pemilu-pemilu yang adil dan bebas, namun terhadap partai dan politisi yang
tidak responsif dan tidak benar-benar merepresentasikan rakyat.
3.
Kalangan-kalangan elit politik cenderung
menyesuaikan dengan “permainan” demokrasi yang baru, namun mereka memonopolir
permainan tersebut dan melecehkan aturan-aturan yang ada.
4.
Agen-agen
perubahan yang membawa demokrasi ke Indonesia tetap kritis sebagai
aktivis-aktivis sipil serta kelompok-kelompok penkan, tidak dapat memberikan
dampak yang nyata.
Dapat
disimpulkan bahwa walaupun status demokrasi di Indonesia masih suram, namun
kondisi masyarakat sipil berada dalam posisi yang relatif baik berdasarkan
survey dan penelitian. meskipun belum
terkonsolidasi sebagai satu gerakan pro-demokrasi yang benar-benar jelas, namun
dengan adanya kebebasan pers dan asosiasi, maka diprediksikan bahwa masyarakat
sipil di Indonesia akan terus berkembang ke arah yang lebih baik.
Partisipasi
politik dari masyarakat sipil dalam pemerintahan dan pembuatan kebijakan
merupakan kondisi yang diperlukan untuk tercapainya demokrasi. Partisipasi yang
dimaksud oleh Mikaela Nyman di sini bukan sekedar partisipasi politik yang
hanya mendapatkan akses terhadap pemerintah itu sendiri. Masyarakat sipil harus memiliki jiwa politik
serta mekanisme-mekanisme yang tepat agar pengawasan yang benar-benar nyata
dapat terjadi antara mereka dengan negara. Responden dari penelitiannya Nyman
sendiri menyadari perlunya masyarakat sipil yang lebih menyatu agar dapat
menetapkan kembali ‘kontrak sosial’ serta solidaritas antar rakyat yang telah
terkikis dan bahkan dihilangkan selama masa Orde Baru.
Di
samping itu, Mikaela Nyman menekankan bahwa perlu adanya dua kondisi eksternal
yang memungkinkan masyarakat sipil untuk dapat berkembang dan berpartisipasi.
Yang pertama merupakan pengakuan oleh negara, dan yang kedua adalah suatu
lingkungan yang memungkinkan (enabling
environment) masyarakat sipil untuk menggarap dana, sesuatu yang menurut
Nyman dibutuhkan dalam negara-negara dunia ketiga. Kami berpendapat, pemikiran mengenai
lingkungan yang memungkinkan tersebut, kurang memperlihatkan kondisi dan fakta di
Indonesia, di mana masyarakat sipil pada awalnya didanai melalui
program-program kedermawanan dari perusahaan, yang kemudian berkembang menjadi
suatu tatanan program yang lebih sistematik dan nyata: corporate social responsibility (CSR). Sehigga, CSR inilah yang
kemudian bersambung kepada posisi masyarakat sipil di Indonesia yang bertindak
sebagai ‘klien’ dari bisnis-bisnis tersebut; LSM-LSM berfungsi sebagai
pembangun komunitas (community developer),
konsultan, serta kontraktor.
Suatu
bidang yang dianggap Nyman dapat digarap oleh masyarakat sipil untuk mencapai
suatu perubahan adalah pembangunan daerah. Walaupun demokratisasi dan
desentralisasi memberikan kondisi-kondisi penting yang berdiri terlebih dulu,
mereka sendiri tidak cukup tanpa adanya keterlibatan yang aktif dari pemerintah
maupun dari masyarakat sipil, baik di tingkat nasional maupun regional. Nyman
di sini menyatakan bahwa dengan adanya pemulihan makroekonomi yang pelan,
prediksi-prediksi mengenai pertumbuhan yang rendah yang dapat berdampak pada
pergolakan sosial, serta dampak dari keluar dari International Monetary Fund (IMF) (yang menurutnya berimplikasi
pada lebih sedikit dana untuk reformasi-reformasi sosial serta pembangunan
daerah), perlu adanya sumber daya manusia dan jasa yang lebih banyak di
daerah-daerah rural, sesuatu yang pemerintah belum dapat sediakan.
Mikaela
Nyman berpendapat bahwa masyarakat sipil diperlukan dalam kapasitas pengawasan,
serta untuk lebih menitikberatkan keseimbangan nasional ke arah rakyat
Indonesia. Nyman mengutip Antlöv dalam menyatakan bahwa elit-elit lokal serta
negara tetap merupakan ancaman yang paling besar terhadap demokrasi merakyat (grassroots democracy) di Indonesia.
Akhir
kata, Mikaela Nyman menyatakan bahwa dengan kondisi Indonesia yang sedang
bergerak melampaui masa-masa awal dari transisi demokrasi, masyarakat sipil
perlu menerjemahkan ajaran-ajaran penting yang telah didapatkan pada awal masa
pasca-Soeharto ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh rakyat Indonesia
secara keseluruhan. Merupakan tugas
masyarakat sipil untuk memfasilitasi kaitan-kaitan yang dibutuhkan antara
pemerintah dengan rakyat, serta harus terus menaruh tekanan pada kedua belah
pihak agar dapat berpartisipasi lebih aktif dalam proses demokratisasi.
DAFTAR PUSTAKA
Nyman, M. (2002)
Indonesia in Transition: The Challenges of civil society in the Era of Reformasi. MA Dissertation, University of Southern
Queensland.
Pakulski, J. (1991) Social Movement: the Politics of Moral Protest, Melbourne: Longman Cheshire.
Huntington, Samuel P. Political
Order in Changing Societies. New
Haven: Yale University Press,
1968.
Törnquist, O. (2000)”Dynamicis of Indonesian
democratization”. Third world Quartely,
21 (3). Online. Available Academic Search Premier,
item: 3325509 (accessed 15 May 2002).
[1] Nyman, M. (2002) Indonesia in Transition: The Challenges of
civil society in the Era of Reformasi.
MA Dissertation, University of Southern Queensland. Hal 262.
[2] Pakulski, J. (1991) Social Movement: the Politics of Moral
Protest, Melbourne: Longman Cheshire.
Hal 36.
[4] Huntington, Samuel P. Political
Order in Changing Societies. New
Haven: Yale University Press, 1968.
[5] Törnquist, O. (2000)”Dynamicis
of Indonesian democratization”. Third
world Quartely, 21 (3). Online. Available Academic Search Premier, item:
3325509 (accessed 15 May 2002).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar