Kamis, 20 September 2012

Review “The Challenges of Civil Society Of The Post Suhrto Era”



oleh Alpiadi Prawiraningrat

Apa yang ditulis oleh Mikaela Nyman “The Challenges of Civil Society Of The Post Suhrto Era” mengenai berbagai tantangan dan perubahan yang harus dialami oleh masyarakat sispil di Indonesia setelah rubuhnya rezim Suharto menarik untuk diperhatikan.  Mengawali tulisannya Mikaela mencoba memaparkan terutama dalam bukunya yaitu “The Challenges of Civil Society Of The Reformasi” bahwa isu mengenai civil society merupakan isu yang cukup menarik dan cukup sulit dipahami oleh seorang peneliti.  Hal ini berkaitan dengan pemahaman akan pendefinisian masyarakat sendiri, dan bagiamana memilih dan membatasi objek yang menjadi analisis civil society.  Dalam tulisan ini, Mikaela Nyman memfokuskan analisisnya terhadap masyarakat sipil Indonesia stelah kejatuhan rezim orde baru tahun 1998 menuju pemerintahan demokratis. Secara khusus, Nyman berfokus pada tiga gerakan sosial yang dilakukan oleh sekelompok golongan yang dinilai memiliki peran yang sangat penting baik dalam fase akhir dari rezim otoriter maupun ketika angin segar demokrasi muncul.  Tiga kelompok tersebut adalah mahasiswa, tenaga kerja atau buruh dan wanita.
            Terdapat sebuah pemikiran menarik yang ditulis oleh Mikalea Nyman bahwa  gerakan masyarakat sipil yang terjadi yang jauh dari menyatu dikarenakan keberagaman serta fragmentasi dari gerakan demokrasi Indonesia dan kegagalannya untuk mencapai reformasi di Indonesia pada saat menjelang reformasi sebetulnya bukan hanya merupakan kelemahan semata, melainkan substansi dan aset yang paling penting. Pendapat Mikalea Nyman ini didasarkan kepada ketidakjelasaan tuntutan utama dari gerakan mahasiswa agar Soeharto turun dari jabatannya sebagai presiden, dan tuntutan reformasi, tanpa memberikan makna yang jelas terhadap arti dari reformasi itu sendiri.
             Namun, sejalan dengan teori gerakan sosial, yang berargumentasi bahwa ‘terfragmentasi dan terpecah belah’ belum tentu menyiratkan ‘lemah’, yang didasarkan pada  tindakan berbagai aktor-aktor politik, organisasi, pendukung serta simpatisan disatukan di bawah panggilan umum untuk reformasi dan perubahan, mereka tetap mempertahankan agenda serta tujuan mereka pribadi yang berbeda-beda.  Tindakan yang dilakukan Para mahasiswa, yaitu memobilisasikan massa tanpa melihat pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut strategi dan taktik dalam upaya penggulingan rezim otoriter telah berhasil.  Dikarenakan sejak tahun 1996, mobilisasi yang berasal dari rakyat (grassroots mobilization) telah memberikan ancaman terhadap kepemimpinan politik, selagi meningkatkan kesadaran di antara masyarakat.  Meskipun muncul kritikan bahwa mahasiswa kurang mengambil kesempatan untuk mendapatkan kekuatan politik yang institusional, serta gerakan yang dilakukan kurang radikal untuk membuat perubahan.  Namun,  upaya tersebut telah menunjukan kekuatan dari gerakan-gerakan sosial yang tersebar dan membuat mereka semakin sulit untuk ditaklukkan oleh suatu pemerintahan yang otoriter.
            Anggapan bahwa gerakan-gerakan sosial dalam civil society sering memiliki karakteristik moralitas dan berpegang pada nilai-nilai. Seperti gerakan tahun 1998 dan kritikan bahwa gerakan tersebut kurang mengambil kesempatan untuk mendapatkan kekuatan politik yang institusional, serta gerakan yang dilakukan kurang radikal untuk membuat perubahan.  Mikalea Nyman berpendapat, perlunya memperhatikan dari segi aspek perubahan dan bagaimana mengukur ‘kesuksesan’ dari gerakan tersebut. Bahkan ketika gerakan-gerakan sosial tidak ‘berhasil’ dalam artian melaksanakan tujuan-tujuan yang utama dan resmi, mereka tetap menantang sistem politik yang ada dengan sangat serius dan mengikis tatanan kekuasaan yang ada. Dari aktivitas-aktivitas mereka sendiri, mereka merupakan pemicu untuk perubahan sosial dan politik.  Serta membuka jalan untuk melakukan tata pemerintahan yang lebih baik.
            Disamping itu, meskipun gerakan pro-demokrasi selalu dikarakterisasikan sebagai “a movement very much driven by reaction[1]  sehingga menyebabkan sulitnya untuk kelompok-kelompok yang ada untuk bergabung dan merumuskan sebuah visi negara yang satu setelah jatuhnya Soeharto. Terlebih dari itu, gerakan-gerakan sosial tidak saling berkompetisi untuk kekuatan politik yang institusional, dan menurut Mikaela Nyman, sering tidak memiliki landasan dan program-program yang dirumuskan dengan jelas. Hal ini dapat sebagian menjelaskan mengenai persepsi tentang adanya fragmentasi dari gerakan anti-Soeharto setelah reformasi.[2] Sehingga, menurut Mikela Nymnan, bukan sifat atau peran dari gerakan-gerakan sosial yang mendasari  diri dengan dengan upaya implementasi dan konsolidasi. Namun, Diperlukan sebuah masyarakat sipil yang mengambil kendali adanya gerakan pro-demokrasi tahun 1998.

            Ekspektasi masyarakat Indonesia dan dunia mengenai perjuangan untuk mencapai demokratisasi di Indonesia sangatlah besar.  Meskipun mengatur ekspektasi orang di tengah kesulitan-kesulitan yang ada merupakan sesuatu yang sulit. Banyak terdapat kritikan dan kekecewaan terhadap masyarakat sipil, baik secara internal maupun eksternal.  Hal tersebut terutama ditujukan kepada tiga kelompok gerakan besar yaitu gerakan buruh dan wanita.
            Salah satu contoh dari kritikan ditujukan kepada gerakan buruh, yang dianggap gagal untuk ikut hadir dalam gerakan 1998, serta kurang dapat muncul sebagai aktor yang kuat dan jelas di masa-masa pasca-Soeharto. Pada tahun 1998, gerakan buruh justru dihindari oleh para mahasiswa, karena dinilai  bahwa gerakan buruh, petani, dan orang miskin di kota hanya berdiri untuk kepentingan mereka sendiri dan perjuangan mereka adalah perjuangan sosial-ekonomi. Sehingga gerakan mereka ditempatkan di luar gerakan reformasi yang utama.[3]  Begitpun dengan gerakan kaum wanita yang dianggap selalu terpisah-pisah, dalam upaya membuat dampak yang signifikan terhadap reformasi. Walaupun akhir-akhir ini, tidak dapat dipungkiri bahwa gerakan wanita memberikan dampak yang cukup besar dalam memberikan pengaruh politik.
            Mikaela Nyman memberikan beberapa perspektif mengenai usaha-usaha demokratisasi di Indonesia pasca-Orde Baru, termasuk pro serta contra-nya. Demokratisasi merupakan proses yang kompleks.  Sebagaimana yang dikemukakan oleh Samuel P. Hutington bahwa ada tiga syarat demokratisasi, yaitu:  (1) Berakhirnya rezim otoriter; (2) Dibangunya rezim demokratisasi, fase ini disebut tranisis demokrasi dan merupakan tahap penting, karena menentuka kea rah mana demokrastisasi akan dibangun;  (3) Konsolidasi demokrasi.[4]
            Dalam usaha-usaha menuju demokratisasi di Indonesia, telah tercapai beberapa hal termasuk pemilu di Indonesia menjadi lebih demokrasi; kebebasan pers dan asosiasi; menghapuskan doktrin monoloyalitas (terhadap partai Golkar); presiden memiliki tanggung jawab langsung terhadap rakyat yang memilihnya; menghilangkan dwifungsi ABRI; adanya desentralisasi kekuasaan terhadap daerah-daerah; undang-undang perburuhan yang baru; undang-undang finansial baru yang menjamin peningkatan transparansi fiskal serta pengawasan; reformasi kepegawaian sipil; didirikannya institusi-institusi independen seperi Mahkamah Konstitusi dan Badan Pengawas Keuangan; dan melibatkan masyarakat sipil, media, serta pengamat-pengamat internasional dalam berbagai proses pengawasan. 
            Namun, masih terdapat beberapa kekurangan, antara lain kurangnya implementasi dari instrumen-instrumen legal yang terdapat sekarang (seperti legislasi buruh atau otonomi daerah di Papua serta Aceh) serta proses demokratisasi secara keseluruhan. Momentum dari transisi antara Orde Baru dengan reformasi serta hak-hak dan institusi-institusi pro-demokrasi telah dibajak, serta ruang gerak masyarakat sipil dalam berpolitik dibatasi oleh kalangan elit politik sampai pada pinggiran-pinggiran dari sistem politik. Nyman di sini menitikberatkan bahwa hak-hak serta kebebasan yang dibutuhkan sebuah masyarakat sipil telah berada pada posisi yang lebih baik apabila dibandingkan dengan hak-hak sosial-ekonomi, penerapan hukum, keadilan, korupsi, representasi, pemerintahan serta kendali atas angkatan bersenjata. Intinya, walaupun berbagai hak dan kemajuan dalam hal demokratisasi telah tercapai setelah reformasi, termasuk adanya pemilu tahun 2004 yang sekilas memberikan gambaran terciptanya atmosfir demokrasi yang kondusif.
            Nyman mengutip dari Törnquist bahwa terdapat empat kesimpulan mengenai permasalahan dan pilihan untuk sebuah demokrasi yang berbasis hak asasi manusia:[5]
1.      Terdapat kebebasan-kebebasan dasar yang mendasar, namun terdapat kekurangan demokratik dari hak-hak dan institusi-institusi yang lain, termasuk identifikasi masyarakat dengan demo-demo nasional dan regional.
2.      Terdapat pemilu-pemilu yang adil dan bebas, namun terhadap partai dan politisi yang tidak responsif dan tidak benar-benar merepresentasikan rakyat.
3.       Kalangan-kalangan elit politik cenderung menyesuaikan dengan “permainan” demokrasi yang baru, namun mereka memonopolir permainan tersebut dan melecehkan aturan-aturan yang ada.
4.      Agen-agen perubahan yang membawa demokrasi ke Indonesia tetap kritis sebagai aktivis-aktivis sipil serta kelompok-kelompok penkan, tidak dapat memberikan dampak yang nyata.



            Dapat disimpulkan bahwa walaupun status demokrasi di Indonesia masih suram, namun kondisi masyarakat sipil berada dalam posisi yang relatif baik berdasarkan survey dan penelitian.  meskipun belum terkonsolidasi sebagai satu gerakan pro-demokrasi yang benar-benar jelas, namun dengan adanya kebebasan pers dan asosiasi, maka diprediksikan bahwa masyarakat sipil di Indonesia akan terus berkembang ke arah yang lebih baik.
            Partisipasi politik dari masyarakat sipil dalam pemerintahan dan pembuatan kebijakan merupakan kondisi yang diperlukan untuk tercapainya demokrasi. Partisipasi yang dimaksud oleh Mikaela Nyman di sini bukan sekedar partisipasi politik yang hanya mendapatkan akses terhadap pemerintah itu sendiri.  Masyarakat sipil harus memiliki jiwa politik serta mekanisme-mekanisme yang tepat agar pengawasan yang benar-benar nyata dapat terjadi antara mereka dengan negara. Responden dari penelitiannya Nyman sendiri menyadari perlunya masyarakat sipil yang lebih menyatu agar dapat menetapkan kembali ‘kontrak sosial’ serta solidaritas antar rakyat yang telah terkikis dan bahkan dihilangkan selama masa Orde Baru.
            Di samping itu, Mikaela Nyman menekankan bahwa perlu adanya dua kondisi eksternal yang memungkinkan masyarakat sipil untuk dapat berkembang dan berpartisipasi. Yang pertama merupakan pengakuan oleh negara, dan yang kedua adalah suatu lingkungan yang memungkinkan (enabling environment) masyarakat sipil untuk menggarap dana, sesuatu yang menurut Nyman dibutuhkan dalam negara-negara dunia ketiga.  Kami berpendapat, pemikiran mengenai lingkungan yang memungkinkan tersebut, kurang memperlihatkan kondisi dan fakta di Indonesia, di mana masyarakat sipil pada awalnya didanai melalui program-program kedermawanan dari perusahaan, yang kemudian berkembang menjadi suatu tatanan program yang lebih sistematik dan nyata: corporate social responsibility (CSR). Sehigga, CSR inilah yang kemudian bersambung kepada posisi masyarakat sipil di Indonesia yang bertindak sebagai ‘klien’ dari bisnis-bisnis tersebut; LSM-LSM berfungsi sebagai pembangun komunitas (community developer), konsultan, serta kontraktor.
            Suatu bidang yang dianggap Nyman dapat digarap oleh masyarakat sipil untuk mencapai suatu perubahan adalah pembangunan daerah. Walaupun demokratisasi dan desentralisasi memberikan kondisi-kondisi penting yang berdiri terlebih dulu, mereka sendiri tidak cukup tanpa adanya keterlibatan yang aktif dari pemerintah maupun dari masyarakat sipil, baik di tingkat nasional maupun regional. Nyman di sini menyatakan bahwa dengan adanya pemulihan makroekonomi yang pelan, prediksi-prediksi mengenai pertumbuhan yang rendah yang dapat berdampak pada pergolakan sosial, serta dampak dari keluar dari International Monetary Fund (IMF) (yang menurutnya berimplikasi pada lebih sedikit dana untuk reformasi-reformasi sosial serta pembangunan daerah), perlu adanya sumber daya manusia dan jasa yang lebih banyak di daerah-daerah rural, sesuatu yang pemerintah belum dapat sediakan.
            Mikaela Nyman berpendapat bahwa masyarakat sipil diperlukan dalam kapasitas pengawasan, serta untuk lebih menitikberatkan keseimbangan nasional ke arah rakyat Indonesia. Nyman mengutip Antlöv dalam menyatakan bahwa elit-elit lokal serta negara tetap merupakan ancaman yang paling besar terhadap demokrasi merakyat (grassroots democracy) di Indonesia.
            Akhir kata, Mikaela Nyman menyatakan bahwa dengan kondisi Indonesia yang sedang bergerak melampaui masa-masa awal dari transisi demokrasi, masyarakat sipil perlu menerjemahkan ajaran-ajaran penting yang telah didapatkan pada awal masa pasca-Soeharto ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh rakyat Indonesia secara keseluruhan.  Merupakan tugas masyarakat sipil untuk memfasilitasi kaitan-kaitan yang dibutuhkan antara pemerintah dengan rakyat, serta harus terus menaruh tekanan pada kedua belah pihak agar dapat berpartisipasi lebih aktif dalam proses demokratisasi.

DAFTAR PUSTAKA

Nyman, M. (2002) Indonesia in Transition: The Challenges of civil society in the Era of      Reformasi.  MA Dissertation, University of Southern Queensland.
Pakulski, J. (1991) Social Movement: the Politics of Moral Protest, Melbourne: Longman   Cheshire.
Huntington, Samuel P.  Political Order in Changing Societies.  New Haven: Yale University         Press, 1968.
Törnquist, O. (2000)”Dynamicis of Indonesian democratization”. Third world Quartely, 21 (3).    Online.            Available Academic Search Premier, item: 3325509 (accessed 15 May 2002).




[1] Nyman, M. (2002) Indonesia in Transition: The Challenges of civil society in the Era of Reformasi.  MA Dissertation, University of Southern Queensland.  Hal 262.
[2] Pakulski, J. (1991) Social Movement: the Politics of Moral Protest, Melbourne: Longman Cheshire.  Hal 36.
[3]  Ibid,.hal 263
[4] Huntington, Samuel P.  Political Order in Changing Societies.  New Haven: Yale University Press, 1968.
[5] Törnquist, O. (2000)”Dynamicis of Indonesian democratization”. Third world Quartely, 21 (3).  Online.  Available Academic Search Premier, item: 3325509 (accessed 15 May 2002).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar