oleh Alpiadi Prawiraningrat
Artikel karya Priyambudi Sulistyanto dan
Maribeth Erb dengan judul Indonesia and the
Quest for “Democracy” menjelaskan mengenai proses demokrasi yang terjadi di
Indonesia. Penulis memaparkan secara
sistematis berdasarkan periodesasi perjalanan demokrasi Indonesia dari masa ke
masa dengan setiap presiden yang berbeda. Selain itu, secara khusus dan
spesifik tema utama yang menjadi pokok pembahasan dalam artikel ini adalah
membahas relasi antara pemilihan umum atau pemilu dengan proses demokrasi di
Indoensia. Persoalan seputar desentralisasi,
konsolidasi politik dan makna dari pemilu itu sendiri menjadi bagian yang tidak
luput menjadi perhatian penulis dalam artikel ini.
Terdapat
hal menarik dari apa yang diungkapkan penulis berkaitan dengan desentralisasi
terhadap pemerintah lokal, bahwa:
“Desentralisasi dan demokrasi
akan bergabung menjadi satu dan berjalan dengan beriringan, dan memperkenalkan
pemilihan umum secara langsung di daerah mengarah kepada konsolidasi demokrasi
yang ada di Indonesia.”
Jika kita mencoba kaitkan dengan tulisan Archon Fung dan Erik Olin wright
dalam artikelnya yang berjudul “Deepening
Democracy: Innovations in Empowered Participatory Governance” bahwa
seharusnya
tidak hanya
dipahami dalam arti sempit, bahwa "Demokrasi" hanya dengan pemilu yang
kompetitif di setiap wilayah. Tapi demokrasi harus dapat melakukan sebuah transformasi, sehingga
dapat sesuai dengan kehidupan masyarakat saat ini dan sesuai dengan cita-cita
demokrasi itu sendiri, yaitu: memfasilitasi keterlibatan politik aktif warga negara,
penempaan konsensus politik melalui dialog, merancang dan mengimplementasikan
kebijakan publik dan, secara lebih radikal versi egaliter cita-cita demokrasi,
memastikan bahwa semua warga mendapat manfaat dari kekayaan bangsa.
Jika kita melihat asusmsi penulis
mengenai keterkaitan desentralisasi dengan pemilihan umum kepala daerah atau
pemilukada. Sebenarnya tidak berbeda jauh dengan apa yang diungkapkan Syarief
Hidayat dalam tulisannya “Pilkada, Money
Politics and The Dangers of Informal Governance Practices” yang mengungkapkan
bahwa di Indonesia sendiri ditetapkanya UU No. 32 Tahun 2004 adalah salah satu bentuk
legitimasi langkah besar dan fundamental menuju pemerintah lokal yang lebih
demokratis atau disebut dengan “local
good governance”. Namun, yang menjadi persoalan adalah apakah konsep
desentralisasi tersebut benar-benar bebas nilai dan bisa diimplementasikan
dengan asumsi-asumsinya yang apolitis?
Permaslahan yang muncul di
Indonesia. “Democratic behaviour” yang dipahami sebagai perilaku pemilih dalam
menentukan keputusan pemilihan umum, yang telah cukup memiliki pengetahuan
tentang politik dan kemampuan menentukan pilihan kandidat yang tepat dengan
didasarkan atas keputusan yang rasional. Namun dalam konteks Indonesia baru
terjadi di tingkat intstitusional dan tipe ini masih dalam kategori demokrasi
prosedural dan belum dapat dikatakan sebagai demokrasi yang substantif. Sebagai akibat dari demokrasi yang
prosedural, proses politik didominasi oleh interaksi, kompetisi dan kompromi
yang dilakukan oleh aktor-aktor pemerintah, dikarenakan pemilih tidak memahami
pentingnya partisipasi politik dalam Pilkada dan berimplikasi kepada pembuatan
keputusan yang bersifat pragmatis karena lebih melihat keuntungan apa yang akan
mereka dapatkan jika memilih kandidat tertentu.
Hal ini sangat membuka kesempatan pihak-pihak tertentu melakukan money politics sebagai upaya penting
dalam melakukan mobilisasi konstituen. Tidak mengherankan jika proses
Pilkada di Indonesia selalu diwarnai oleh politik dan aliansi bisnis sehingga setelah Pilkada
usai, kepala
daerah yang terpilih akan mendedikasikan dirinya kepada politisi dan klien
bisnis dibandingkan dengan rakyat dan inilah yang dimaksud oleh penulis sebagai
informal governance di mana
pemerintahan dikontrol oleh kekuatan sosial, ekonomi dan politik yang mengatur
struktur pemerintah formal.
Jika kita melihat dengan fenomena yang terjadi di
Indonesia, apakah mungkin dapat dikatakan bahwa Pemilukada sebagai implementasi
dari desentralisasi dan upaya perwujudan demokrasi di tingkat lokal merupakan
cara yang efektif dan efisien? Meskipun demikian, saya menyadari bahwa demokrasi bukanlah sesuatu yang instant atau magic yang langsung memberikan efek tatkala diimplementasikan dalam
masyarakat.
Begitupun dengan implemetasi dari Pemilukada di Indonesia sebagai
perwujudan demokrasi juga merupakan suatu proses yang panjang. Demokrasi
mungkin tidak secara langsung mengatasi masalah perkembangan ataupun
pertumbuhan ekonomi di suatu negara atau justru sebaliknya mengakibatkan
munculnya persoalan di tingkat lokal pemerintahan misalnya. Tetapi demokrasi
dapat menjadi alat dalam merusumuskan solusi dalam menyelaskan persoalan
tersebut yang tentunya dengan penerapan kebijakan yang memberikan kesempatan
kepada masyarakat untuk berpartisipasi secara aktif.
Selain itu, Demokrasi melalui Pemilukada juga membuka jalan terhadap isu
atau persoalan yang tidak dianggap penting oleh suatu rezim pemerintahan di
suatu daerah tertentu sehingga dapat dibahas bersama dan dicarikan solusinya,
sesuai dengan kondisi sosial, ekonomi, budaya dan politik daerah setempat. Hal
ini menunjukan bahwa pelan tapi pasti demokrasi akan menuntun negara menuju ke
arah yang lebih baik.
Referensi
Priyambudi Sulistyanto dan Maribeth Erb. Indonesia and the Quest for “Democracy”. Hlm. 1-37
Syarif
Hidayat, Pilkada, Money Politics and The
Dangers of Informal Governance Practices,
hlm. 125-143.
Amartya Sen. Development as Freedom:
The Importance of Democracy.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar